Selasa, 14 Mei 2024

Syarah hadits tentang shalat witir

بسم الله الرحمن الرحيم

A.    Hadits Abu Ayyub Al-Anshariy radhiyallahu ‘anhu.

Diriwayatkan secara marfu’ (dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam) dan mauquf (dari sahabat):

a)      Riwayat marfu’.

Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2/62) no.1422:

عن قُرَيْش بْن حَيَّانَ الْعِجْلِيّ، حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ وَائِلٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِيِّ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : «الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ»

Dari Quraisy bin Hayyan Al-'Ijliy telah menceritakan kepada Kami Bakr bin Wail dari Az-Zuhriy dari 'Atha` bin Yazid Al-Laitsiy dari Abu Ayyub Al-Anshariy ia berkata; Rasulullah  bersabda: "Witir adalah sebuah hak atas setiap muslim, barangsiapa yang hendak melakukan witir lima rakaat maka hendaknya ia melakukankannya dan barangsiapa yang hendak melakukan witir tiga rakaat maka hendaknya ia melakukannya, dan barangsiapa yang hendak melakukan witir satu rakaat maka hendaknya ia melakukannya."

Yang meriwayatkan dari Az-Zuhriy secara marfu’: Al-Auza’iy, Sufyan bin Husain Al-Wasithiy, Muhammad bin Walid Az-Zubaidiy, Duwaid bin Nafi’ Al-Umawiy, Muhammad bin Abi Hafsah Al-Bashriy, dan Asy’ats bin Sawwar Al-Kindiy.

b)     Riwayat mauquf.

Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy dalam Sunan-nya (3/238) no.1712:

عن أَبي مُعَيْدٍ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَطَاءُ بْنُ يَزِيدَ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ يَقُولُ: «الْوِتْرُ حَقٌّ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسِ رَكَعَاتٍ فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ»

Dari Abu Mu'aid dari Az-Zuhriy dia berkata; telah menceritakan kepadaku 'Atha bin Yazid bahwasanya ia mendengar Abu Ayyub Al-Anshariy berkata: "Shalat Witir itu hak. Barangsiapa suka shalat Witir lima rakaat maka hendaklah ia mengerjakannya. Barangsiapa suka shalat Witir tiga rakaat, maka hendaklah ia mengerjakannya, dan barangsiapa suka shalat Witir satu rakaat, maka hendaklah ia mengerjakanlah."

Yang meriwayatkan dari Az-Zuhriy secara mauquf: Syu’aib bin Abi Hamzah, Abdullah bin Budail Al-Khuza’iy, dan Muhammad bin Ishaq Al-Madaniy.

Ma’mar dan Sufyan bin ‘Uyainah juga meriwayatkan dari Az-Zuhriy, namun ada yang meriwayatkan dari mereka berdua secara marfu’ dan ada juga yang meriwayatkan dari mereka berdua secara mauquf.

Lihat: “Aniis As-Sariy fii Takhrij Fathul Bari” (8/5975).

Derajat hadits ini:

Hadits ini dishahihkan secara marfu’ oleh Ibnu Hibban (As-Shahih 6/167), Al-Hakim (Al-Mustadrak 1/444), An-Nawawiy (Al-Majmu’ 4/17), Adz-Dzahabiy, dan syekh Albaniy (Shalat At-Tarawih hal.99) rahimahumullah.

Dan dihukumi mauquf oleh Abu Hatim (‘ilal ibnu Abi Hatim 2/428), An-Nasa’iy (As-Sunan Al-Kubra 2/156), Adz-Dzuhliy, Ad-Daraquthniy (“Al-‘Ilal” 6/98), Al-Baihaqiy (As-Sunan Al-Kubra 3/35), Ibnu Hajar (At-Talkhish Al-Habir 2/36), dan selainnya rahimahumullah.

Ash-Shan’aniy (Subulus Salam 2/13) mengatakan: Akan tetapi hadits ini secara hukum adalah marfu’ karena bukan perkara ijtihad dalam penentuan kadarnya.

Penjelasan singkat hadits ini:

1.      Biografi Abu Ayyub Al-Anshariy radhiyallahu ‘anhu.

Namanya: Khalid bin Zayd bin Kulaib Al-Khazrajiy. Ia ikut pada perang Badr, bai’atul ‘Aqabah, dan peperangan lainnya bersama Nabi . Selama sebulan Nabi tinggal di rumahnya sampai rumah beliau selesai dibangun. Ia wafat tahun 50 hijriyah atau setelahnya.

Diantara keistimewaannya:

Abu Ayyub Al-Anshariy radiyallahu 'anhu berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ إِذَا أُتِيَ بِطَعَامٍ أَكَلَ مِنْهُ، وَبَعَثَ بِفَضْلِهِ إِلَيَّ، وَإِنَّهُ بَعَثَ إِلَيَّ يَوْمًا بِفَضْلَةٍ لَمْ يَأْكُلْ مِنْهَا، لِأَنَّ فِيهَا ثُومًا، فَسَأَلْتُهُ: أَحَرَامٌ هُوَ؟ قَالَ: «لَا، وَلَكِنِّي أَكْرَهُهُ مِنْ أَجْلِ رِيحِهِ»، قَالَ: فَإِنِّي أَكْرَهُ مَا كَرِهْتَ [صحيح مسلم]

Rasulullah apabila diberi makanan, beliau memakannya dan sisanya diberikannya kepadaku. Pada suatu hari beliau memberikan kepadaku makanan yang tidak dimakannya karena di dalamnya ada bawang putih. Lalu kutanya; 'Apakah bawang putih itu haram? ' Jawab beliau: 'Tidak! Tetapi aku tidak suka karena baunya.' Kata Abu Ayyub; 'Kalau begitu, aku juga tidak suka apa yang Anda tidak sukai.' [Shahih Muslim]

Lihat: Kesungguhan sahabat mengamalkan As-Sunnah

2.      Hukum shalat witir.

Pendapat pertama: Hukumnya wajib.

Dengan dalil hadits Abu Ayyub ini, dan hadits lain diantaranya:

1)      Hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu.

Diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam Musnad-nya (15/447) no.9717:

عن خَلِيل بْن مُرَّةَ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ قُرَّةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : «مَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا»

Dari Khalil bin Murrah dari Mu'awiyah bin Qurrah dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah bersabda, "Barangsiapa tidak melaksanakan shalat witir maka bukan dari golongan kami."

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

"فِيهِ الْخَلِيلُ بْنُ مُرَّةَ وَهُوَ مُنْكَرُ الْحَدِيثِ وَفِي الْإِسْنَادِ انْقِطَاعٌ بَيْنَ مُعَاوِيَةَ بْنِ قُرَّةَ وَأَبِي هُرَيْرَةَ كَمَا قَالَ أَحْمَدُ". [التلخيص الحبير ط العلمية (2/ 53)]

“Pada sanadnya ada Al-Khalil bin Murrah, ia seorang yang diingkari haditsnya, dan pada sanadnya terputus antara Mu’awiyah bin Qurrah dan Abi Hurairah, sebagaimana perkataan imam Ahmad”. [At-Talkhis Al-Habir]

2)      Hadits Abdullah bin 'Amr radhiyallahu 'anhuma, ia berkata; Rasulullah bersabda:

«إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلَاةً، فَحَافِظُوا عَلَيْهَا، وَهِيَ الْوَتْرُ» [مسند أحمد: صحيح]

“Sesungguhnya Allah menambahkan kalian satu shalat maka jagalah ia (dengan malaksanakannya setiap saat), yaitu shalat witir”. [Musnad Ahmad: Sahih]

Pendapat kedua: Tidak wajib.

Dengan dalil:

a)       Hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

«الوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الصَّلَاةِ المَكْتُوبَةِ، وَلَكِنْ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ » [سنن الترمذي: صحيح]

“Shalat witir tidaklah wajib sebagaimana kewajiban shalat fardlu, akan tetapi ia merupakan sunnah yang disunnahkan oleh Rasulullah ”. [Sunan Tirmidziy: Shahih]

Ø  Dalam riwayat lain:

إِنَّ الْوِتْرَ لَيْسَ بِحَتْمٍ وَلَا كَصَلَاتِكُمُ الْمَكْتُوبَةِ، وَلَكِنَّ رَسُولَ اللَّهِ أَوْتَرَ ثُمَّ قَالَ: «يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ أَوْتِرُوا؛ فَإِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ» [سنن ابن ماجه: صحيح]

"Shalat witir tidak wajib dan tidak pula seperti shalat maktubah kalian, hanya saja Rasulullah selalu mengerjakannya, beliau mengatakan, "Wahai ahli Qur'an, hendaklah kalian shalat witir, sesungguhnya Allah menyukai shalat witir." [Sunan Ibnu Majah: Shahih]

b)      Hadits Abu Ayyub Al-Anshariy radhiyallahu 'anhu dengan lafadz lain.

Diriwayatkan oleh Ibnu Al-Mundzir dalam kitabnya “Al-Ausath” (5/188) no.2666, ia berkata:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْمُبَارَكِ الْعِيسِيُّ، قَالَ: ثنا يُونُسُ يَعْنِي ابْنَ حِبَّانَ، قَالَ: ثنا بَكْرُ بْنُ وَائِلٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثيِّ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ : «الْوِتْرُ حَقٌّ لَيْسَ بِوَاجِبٍ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ»

Yahya bin Muhammad menceritakan kepada kami, ia berkata: Abdurrahman bin Al-Mubarak Al-‘Isiy menceritakan kepada kami, ia berkata: Yunus yaitu Ibnu Hibban menceritakan kepada kami, ia berkata: Bakr bin Wail menceritakan kepada kami, dari Az-Zuhriy, dari ‘Atha’ bin Yazid Al-Laitsiy, dari Abu Ayyub Al-Anshariy, ia berkata: Rasulullah bersabda: “Witir adalah hak, bukan wajib, maka barangsiapa yang ingin witir lima raka’at maka lakukanlah, dan barangsiapa yang ingin witir tiga raka’at maka lakukanlah, dan barangsiapa yang ingin witir satu raka’at maka lakukanlah”.

Imam An-Nawawiy berkata:

غَرِيبَةٌ لَا أَعْرِفُ لَهَا إسْنَادًا صَحِيحًا [المجموع شرح المهذب (4/ 17)]

“Lafadz hadits ini aneh, aku tidak mengetahui sanadnya yang shahih”. [Al-Majmu’]

c)       Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma.

Diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam Musnad-nya (3/485) no.2050:

عَنْ أَبِي جَنَابٍ الْكَلْبِيِّ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ، يَقُولُ: " ثَلاثٌ هُنَّ عَلَيَّ فَرَائِضُ، وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ: الْوَتْرُ، وَالنَّحْرُ، وَصَلاةُ الضُّحَى "

Dari Abu Janab Al-Kalbiy, dari Ikrimah, dari Ibnu 'Abbas, ia berkata; Aku mendengar Rasulullah bersabda, "Ada tiga hal yang ketiganya wajib bagiku dan sunnah bagi kalian, (yaitu) shalat witir, berkurban (menyembelih), dan shalat Dhuha."

Hadits ini lemah, disebabkan karena Abu Janab Al-Kalbiy Yahya bin Abi Hayyah Al-Kufiy (w.150H)[1]; Ibnu Hajar berkata: “Para ulama melemahkannya karena banyak melakukan tadlis (menjatuhkan gurunya)”.

d)      Hadits Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu 'anhu; Seorang A'rabiy bertanya kepada Rasulullah tentang Islam, Rasulullah menjawab:

«خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي اليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ»

"Salat lima waktu dalam sehari semalam"

Orang itu bertanya: Apakah ada yang wajib bagiku selainnya?

Rasulullah menjawab:

«لاَ، إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ» [صحيح البخاري ومسلم]

"Tidak ada lagi, kecuali jika engkau ingin mendirikan salat sunnah". [Sahih Bukhari dan Muslim

e)      Hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:

«كَانَ النَّبِيُّ يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ، حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُومِئُ إِيمَاءً صَلاَةَ اللَّيْلِ، إِلَّا الفَرَائِضَ وَيُوتِرُ عَلَى رَاحِلَتِهِ» [صحيح البخاري ومسلم]

"Nabi shalat dalam perjalan jauhnya di atas kendaraannya, kemana pun wajahnya mengarah, beliau mengangguk dalam shalat malam, kecuali shalat wajib, dan beliau mendirikan witir di atas kendaraannya". [Sahih Bukhari dan Muslim]

3.      Boleh witir 5 raka’at, atau 3 raka’at, atau hanya 1 raka’at.

Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma berkata; Rasulullah bersabda:

«الْوِتْرُ رَكْعَةٌ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ» [صحيح مسلم]

"Witir adalah satu rakaat yang dilakukan di akhir malam." [Shahih Muslim]

Ø  Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha;

«أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ كَانَ يُصَلِّي بِاللَّيْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُوتِرُ مِنْهَا بِوَاحِدَةٍ، فَإِذَا فَرَغَ مِنْهَا اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ، حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ» [صحيح مسلم]

“Bahwa Rasulullah pernah shalat malam sebelas rakaat, beliau akhiri dengan satu rakaat witir. Jika beliau selesai, beliau berbaring di atas lambung sebelah kanan hingga datang muadzin, lalu beliau melakukan dua rakaat (sunnah) ringan." [Shahih Muslim]

Ø  As-Saib bin Yazid –rahimahullah- berkata:

«أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عُثْمَانَ التَّيْمِيَّ عَنْ صَلَاةِ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ: إِنْ شِئْتَ أَخْبَرْتُكَ عَنْ صَلَاةِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: قُلْتُ: " لَأَغْلِبَنَّ اللَّيْلَةَ النَّفْرَ عَلَى الْحِجْرِ" يُرِيدُ الْمَقَامَ قَالَ: فَلَمَّا قُمْتُ إِذَا رَجُلٌ يَزْحَمُنِي مُتَقَنِّعًا، قَالَ: فَنَظَرْتُ فَإِذَا هُوَ عُثْمَانُ فَتَأَخَّرْتُ عَنْهُ، فَصَلَّى، فَإِذَا هُوَ يَسْجُدُ سُجُودَ الْقُرْآنِ، حَتَّى إِذَا قُلْتُ: "هَذَا هُوَ أَذَانُ الْفَجْرِ!"، أَوْتَرَ بِرَكْعَةٍ لَمْ يُصَلِّ غَيْرَهَا ثُمَّ انْطَلَقَ» [مصنف عبد الرزاق الصنعاني (3/ 24): إسناده صحيح]

“Bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada Abdurrahman bin ‘Utsman At-Taimiy tentang shalatnya Thalhah bin ‘Ubaidillah, maka ia berkata: Jika kamu mau maka aku akan beritahukan kepadamu tentang shalatnya ‘Utsman bin ‘Affan! Ia berkata: Iya. Ia berkata: Suatu hari aku berkata: Aku akan mengalahkan malam ini orang-orang dari Al-Hijr maksudnya maqam Ibrahim! Ia berkata: Ketika aku berdiri, tiba-tiba seseorang mendesakku. Ia berkata: Maka aku melihatnya dan ternyata ia adalah ‘Utsman, maka aku mundur darinya, lalu ia shalat, dan ia melakukan sujud tilawah, sampai aku mengatakan: Ini adzan fajar sudah akan masuk! Lalu ia witir satu raka’at dan ia tidak melakukan shalat selainnya, kemudian ia pergi”. [Mushanaf ‘Abdurrazaq: Sanadnya shahih]

Ø  Dalam riwayat lain disebutkan, dari As-Saib bin Yazid rahimahullah;

«أن عثمان بن عفان قرأ القرآن في ركعة أوتر بها» [صلاة الوتر لمحمد بن نصر المروزي]

“Bahwasanya ‘Utsman bin ‘Affan membaca Al-Qur’an seluruhnya dalam satu raka’at yang ia jadikan witirnya”. [Shalat witir karya Muhammad bin Nashr Al-Marwaziy]

Ø  Ibnu Abu Mulaikah rahimahullah berkata;

قِيلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ: " هَلْ لَكَ فِي أَمِيرِ المُؤْمِنِينَ مُعَاوِيَةَ، فَإِنَّهُ مَا أَوْتَرَ إِلَّا بِوَاحِدَةٍ؟ قَالَ: «أَصَابَ، إِنَّهُ فَقِيهٌ» [صحيح البخاري]

"Pernah ditanyaan kepada Ibnu 'Abbas, apakah Anda punya pendapat tentang amirul mukminin, Mu'awiyah, yang tidak shalat Witir kecuali satu rakaat?"

Ibnu 'Abbas menjawab, "Dia benar, karena dia seorang yang faqih (faham agama) ". [Shahih Bukhari]

B.     Hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy dalam “Al-Jami’” (2/316) no.403:

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ ضَمْرَةَ، عَنْ عَلِيٍّ، قَالَ: الوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَصَلَاتِكُمُ المَكْتُوبَةِ، وَلَكِنْ سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ، وَقَالَ: «إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الوِتْرَ، فَأَوْتِرُوا يَا أَهْلَ القُرْآنِ»

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin 'Ayyas telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq dari 'Ashim bin Dhamrah dari Ali dia berkata, shalat witir tidaklah wajib sebagaimana shalat wajib kalian, akan tetapi ia merupakan sunnah Rasulullah . Dan dia juga berkata: “Sesungguhnya Allah adalah witir (ganjil) dan menyukai dengan sesuatu yang ganjil, maka berwitirlah kalian wahai para ahli Qur'an”.

At-Tirmidziy rahimahullah berkata:

«حَدِيثُ عَلِيٍّ حَدِيثٌ حَسَنٌ»

“Hadits Ali adalah hadits hasan”.

Derajat hadits ini:

Dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah (Ash-Shahih 2/136 no.1067), Al-Hakim (Al-Mustadrak 1/441 no.1118) dan selainnya.

Dilemahkan oleh Ibnu ‘Abdil Hadiy (w.744H) dalam kitabnya “Al-Muharrar” hal.231.

Biografi 'Ashim bin Dhamrah As-Saluliy Al-Kufiy[2]:

Dihukumi tsiqah oleh Ibnu Sa’d, Al-‘Ijliy, Ibnu Al-Madiniy, dan imam Ahmad.

An-Nasa’iy mengatakan: “Haditsnya tidak mengapa (ليس به بأس)”. Adz-Dzahabiy mengatakan: “Ia pertengahan (وسط)”.

Dilemahkan oleh Ibnu ‘Adiy, Al-Jauzajaniy, Ibnu Hibban berkata: “Hafalannya buruk dan banyak kekeliruan”.

Ibnu Hajar berkata dalam kitabnya “At-Taqriib”:

عاصم بن ضَمْرة السَّلولي الكوفي، صدوق، من الثالثة، مات سنة أربع وسبعين (4).

“‘Ashim bin Dhamrah As-Saluliy Al-Kufiy, shaduq, dari thabaqah ketiga, wafat tahun 174 hijriyah, haditsnya diriwayatkan oleh penusil sunan yang empat (Abu Daud, Tirmidziy, An-Nasa’iy, dan Ibnu Majah).”

Penjelasan singkat hadits ini:

1.      Biografi Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

Lihat: Keistimewaan Ali bin Abi Thalib

2.      Shalat witir tidak wajib, akan tetapi sunnah.

3.      Al-Witr adalah nama Allah yang husnaa.

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

«لِلَّهِ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ اسْمًا، مِائَةٌ إِلَّا وَاحِدًا، لاَ يَحْفَظُهَا أَحَدٌ إِلَّا دَخَلَ الجَنَّةَ، وَهُوَ وَتْرٌ يُحِبُّ الوَتْرَ» [صحيح البخاري ومسلم]

"Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, tidaklah seseorang menghafalnya melainkan ia akan masuk surga, dan Dia adalah witir dan menyukai yang ganjil." [Shahih Bukhari dan Muslim]

4.      Allah “Al-Witr” artinya:

Ibnu Atsir -rahimahullah- (606H) berkata:

الْوِتْرُ: الفَرْدُ، وتُكْسَر وَاوهُ وتُفْتَح. فاللَّه واحدٌ فِي ذَاتِهِ، لَا يَقْبل الانْقسام والتَّجْزِئة، واحدٌ فِي صِفَاتِهِ، فَلَا شِبْهَ لَهُ وَلَا مِثْلَ، وَاحِدٌ فِي أفْعالهِ، فَلَا شَرِيكَ لَهُ وَلَا مُعِينَ. [النهاية في غريب الحديث والأثر (5/ 147)]

“Al-Witri artinya Yang satu, dikasrah huruf wawu-nya atau difathah. Maka Allah itu satu pada dzatnya, tidak terpecah dan terpisah, satu dalam sifatnya tidak ada yang serupa dengannya dan tidak ada yang mirip, satu dalam perbuatannya maka tidak ada sekutu baginya dan tidak ada penolong”. [An-Nihayah]

5.      Allah mencintai sesuatu yang ganjil.

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah bersabda:

" إِنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ " قَالَ نَافِعٌ: وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ لَا يَصْنَعُ شَيْئًا إِلَّا وِتْرًا [مسند أحمد: حسن لغيره]

"Sesungguhnya Allah adalah Esa (ganjil) dan menyukai yang ganjil."

Nafi' berkata; Dan tidaklah Ibnu Umar berbuat sesuatu kecuali ganjil. [Musnad Ahmad: Hasan ligairih]

Ø  Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

«إِذَا اسْتَجْمَرَ أَحَدُكُمْ، فَلْيَسْتَجْمِرْ وِتْرًا، فَإِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ» [مسند أحمد: صحيح]

"Jika salah seorang di antara kalian beristijmar (bersuci dengan batu), maka hendaklah ia melakukannya dengan jumlah ganjil. Karena sesungguhnya Allah itu tunggal menyukai yang ganjil." [Musnad Ahmad: Shahih]

6.      Anjuran witir untuk para ahli Al-Qur’an.

Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu; Nabi bersabda:

«إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ، أَوْتِرُوا يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ» فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ: مَا يَقُولُ رَسُولُ اللَّهِ ؟ قَالَ: «لَيْسَ لَكَ وَلَا لِأَصْحَابِكَ» [سنن ابن ماجه: صحيح]

"Sesungguhnya Allah itu ganjil, menyukai yang ganjil, maka laksanakanlah witir wahai ahli Qur'an."

Kemudian seorang Badui berkata, "Apa yang dikatakan Rasulullah ?"

Beliau bersabda, "Bukan bagimu dan bukan pula bagi teman-temanmu." [Sunan Ibnu Majah: Shahih]

Ø  Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu; Nabi bersabda:

" إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ فَأَوْتِرُوا يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ " [تاريخ بغداد: إسناده صحيح]

"Sesungguhnya Allah itu ganjil, menyukai yang ganjil, maka laksanakanlah witir wahai ahli Qur'an." [Tarikh Bagdad: Sanadnya shahih]

7.      Yang dimaksud dengan ahli Al-Qur’an.

Adalah orang yang membenarkannya, terkhusus yang menghafal, membacanya dan mengamalkan hukum-hukumnya.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

«إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنَ النَّاسِ»

“Sesungguhnya Allah memeliki ahliin (wali) dari kalangan manusia”.

Sahabat bertanya: Siapa mereka, Ya Rasulullah?

Rasulullah menjawab:

«هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ، أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ» [سنن ابن ماجه: صحيح]

“Mereka adalah ahli Al-Qur'an (yang menghafal dan mengamalkannya), mereka adalah wali Allah dan orang pilihan-Nya”. [Sunan Ibnu Majah: Sahih]

Lihat: Sifat ahli Al-Qur’an

C.     Hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma.

Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya (2/138) no.1070, dan Ibnu Hibban (6/173) no.2415:

عن يَعْقُوب وهو ابْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْقُمِّيُّ، عَنْ عِيسَى بْنِ جَارِيَةَ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِي رَمَضَانَ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ وَالْوِتْرَ، فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْقَابِلَةِ اجْتَمَعْنَا فِي الْمَسْجِدِ وَرَجَوْنَا أَنْ يَخْرُجَ إِلَيْنَا، فَلَمْ نَزَلْ فِي الْمَسْجِدِ حَتَّى أَصْبَحْنَا، فَدَخَلْنَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، فَقُلْنَا لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، رَجَوْنَا أَنْ تَخْرُجَ إِلَيْنَا فَتُصَلِّيَ بِنَا، فَقَالَ: «كَرِهْتُ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْكُمُ الْوِتْرُ»

Dari Ya’qub yaitu Ibnu Abdillah Al-Qummiy, dari ‘Isa bin Jariyah, dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata: Rasulullah shalat mengimami kami pada bulan Ramadhan delapan raka’at dan witir, lalu ketika esoknya kami kembali berkumpul di masjid dan berharap beliau keluar shalat mengimami kami. Namun beliau tidak datang ke masjid sampai kami memasuki waktu subuh, maka kami menemui Rasulullah . Lalu kami berkata kepada beliau: Wahai Rasulullah, kami menanti kedatanganmu untuk shalat mengimami kami. Maka beliau bersabda: “Aku tidak ingin shalat witir diwajibkan kepada kalian”.

Hadits ini diriwayatkan dari beberapa sahabat lain, diantaranya:

a.      Hadits Aisyah radhiyallahu 'anha.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam “Ash-Shahih” (2/50) no.1129, Muslim dalam “Ash-Shahih” (1/524) no.761, dan Ahamd dalam “Al-Musnad” (42/317) no. 25496; Aisyah berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي المَسْجِدِ، فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ القَابِلَةِ، فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ، فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: «قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ» وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ.

"Pada suatu malam Rasulullah melaksanakan shalat di masjid, maka orang-orang mengikuti shalat beliau. Pada malam berikutnya beliau kembali melaksanakan shalat di masjid dan orang-orang yang mengikuti bertambah banyak. Pada malam ketiga atau keempat, orang-orang banyak sudah berkumpul namun Rasulullah tidak keluar untuk shalat bersama mereka. Ketika pagi harinya, beliau bersabda, "Sungguh aku mengetahui apa yang kalian lakukan tadi malam dan tidak ada yang menghalangi aku untuk keluar shalat bersama kalian. Hanya saja aku khawatir nanti diwajibkan atas kalian". Kejadian ini di bulan Ramadhan.

Ø  Lafadz shahih Muslim:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ خَرَجَ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ، فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ يَتَحَدَّثُونَ بِذَلِكَ، فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي اللَّيْلَةِ الثَّانِيَةِ، فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ يَذْكُرُونَ ذَلِكَ، فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ، فَخَرَجَ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ، فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللهِ ﷺ، فَطَفِقَ رِجَالٌ مِنْهُمْ يَقُولُونَ: الصَّلَاةَ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللهِ ﷺ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ، فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ، ثُمَّ تَشَهَّدَ، فَقَالَ: «أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ شَأْنُكُمُ اللَّيْلَةَ، وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ صَلَاةُ اللَّيْلِ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا»

Bahwa Rasulullah pernah keluar di tengah malam lalu beliau shalat di Masjid dan diikuti oleh beberapa orang, akhirnya mereka saling menceritakan tentang hal tersebut sehingga orang yang shalat bersama beliau semakin banyak. Pada malam ke dua, Rasulullah keluar menunaikan shalat dan orang-orang pun shalat bersama beliau, kemudian mereka pun menyebut-nyebut kejadian itu sehingga pada malam ketiga jamaah masjid semakin banyak dan mereka pun shalat bersama beliau. Pada malam ke empat masjid penuh sesak dan tidak dapat menampung jamaahnya, tetapi Rasulullah tidak keluar hingga beliau menunaikan shalat Fajar. Usai menunaikan shalat Fajar, beliau menghadap jamaah, membaca syahadat kemudian bersabda, "Amma ba'd, sesungguhnya tidak ada kekhawatiran yang menimpaku terkait dengan keadaan kalian semalam, akan tetapi saya hanya khawatir (shalat malam itu) akan diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak sanggup melaksanakannya."

Ø  Lafadz imam Ahmad:

نَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي رَمَضَانَ، وَصَلَّى خَلْفَهُ نَاسٌ بِصَلَاتِهِ، ثُمَّ نَزَلَ اللَّيْلَةَ الثَّانِيَةَ، فَكَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ، ثُمَّ كَثُرُوا فِي اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ، فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ، غَصَّ الْمَسْجِدُ بِأَهْلِهِ، فَلَمْ يَنْزِلْ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ، فَقَالُوا فِي ذَلِكَ: مَا شَأْنُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ لَمْ يَنْزِلْ؟ فَسَمِعَ مَقَالَتَهُمْ، فَلَمَّا أَصْبَحَ، قَالَ: «يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي قَدْ سَمِعْتُ مَقَالَتَكُمْ، وَإِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِي أَنْ أَنْزِلَ إِلَيْكُمْ إِلَّا مَخَافَةَ أَنْ يُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ قِيَامُ هَذَا الشَّهْرِ»

"Pada suatu malam, Rasulullah pernah shalat di masjid pada bulan Ramadan, dan shalat di belakangnya satu orang dengan shalatnya. Pada malam kedua, mereka bertambah banyak daripada yang pertama. Mereka pun semakin bertambah banyak pada malam ketiga. Tatkala malam keempat, para penghuni masjid sampai ketiduran sedangkan beliau belum keluar rumah. Ketika itu mereka berkata; 'Apa yang terjadi dengan Rasulullah hingga beliau belum keluar?' Beliau mendengar percakapan mereka, maka tatkala di pagi hari beliau bersabda, 'Wahai manusia, sesungguhnya aku mendengar perkataan kalian dan sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk mendatangi kalian kecuali karena aku khawatir akan diwajibkan atas kalian shalat pada bulan ini.'"

b.      Haidts Zayd bin Tsabit radhiyallahu 'anhu.

Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam “Ash-Shahih” (9/95) no.7290, Zayd berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ اتَّخَذَ حُجْرَةً فِي المَسْجِدِ مِنْ حَصِيرٍ، فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِيهَا لَيَالِيَ حَتَّى اجْتَمَعَ إِلَيْهِ نَاسٌ، ثُمَّ فَقَدُوا صَوْتَهُ لَيْلَةً، فَظَنُّوا أَنَّهُ قَدْ نَامَ، فَجَعَلَ بَعْضُهُمْ يَتَنَحْنَحُ لِيَخْرُجَ إِلَيْهِمْ، فَقَالَ: «مَا زَالَ بِكُمُ الَّذِي رَأَيْتُ مِنْ صَنِيعِكُمْ، حَتَّى خَشِيتُ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْكُمْ، وَلَوْ كُتِبَ عَلَيْكُمْ مَا قُمْتُمْ بِهِ، فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ، فَإِنَّ أَفْضَلَ صَلاَةِ المَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلاَةَ المَكْتُوبَةَ»

Bahwa Nabi pernah mengambil kamar di masjid dari tikar, lantas Rasulullah shalat di sana beberapa malam hingga beberapa sahabat berkumpul kepadanya, lalu disuatu malam mereka tidak mendengar suara beliau hingga mereka menyangka bahwa beliau tertidur. Sebagian sahabat lalu pura-pura batuk agar Nabi muncul menemui mereka, maka beliau pun bersabda, "Masih saja aku lihat kalian melakukan perbuatan kalian itu (shalat malam), hingga aku khawatir bahwa itu akan diwajibkan atas kalian, padahal jika diwajibkan atas kalian, niscaya kalian tak bisa melakukannya. Shalatlah hai manusia di rumah kalian, sebab seutama-utama shalat seseorang adalah di rumahnya selain shalat wajib."

Penjelasan singkat hadits ini:

1.      Biografi Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma.

Lihat: https://umar-arrahimy.blogspot.com/

2.      Kenapa Nabi khawatir akan diwajiban shalat malam, padahal Allah sudah menyatakan bahwa shalat wajib hanya lima waktu?

Dari Abu Dzar dalam hadits “mi’raj” tentang penetapan shalat fardhu lima waktu, Allah berfirman:

«هِيَ خَمْسٌ، وَهِيَ خَمْسُونَ، لاَ يُبَدَّلُ القَوْلُ لَدَيَّ» [صحيح البخاري ومسلم]

“Ia berjumlah lima shalat, dan ia bernilai limapuluh shalat, tidak bisa lagi diganti suatu yang menjadi ketetapan di sisiKu”. [Shahih Bukhari dan Muslim]

Al-Hafidz Ibnu Hajarrahimahullah- menyebutkan beberapa jawaban dalam kitabnya “Fathul Bari” (3/13) kemudian beliau membantah semua pendapat tersebut, kemudian beliau menyebutkan tiga jawaban lain dan menguatkan salah satunya.

Pertama: Kemungkinan yang ditakutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diwajibkannya shalat malam secara berjama’ah di mesjid, oleh sebab itu beliau menganjurkan untuk melakukannya di rumah saja sebagaimana ditunjukan pada hadits Zayd bin Tsabit pada riwayat imam Bukhari di atas

Kedua: Kemungkinan yang ditakutkan adalah diwajibkan secara kifayah bukan secara ‘ain (person).

Ketiga: Kemungkinan yang dikhawatirkan adalah diwajibkan pada bulan Ramadhan secara khusus, sebagaimana ditunjukkan pada hadits Aisyah dalam riwayat imam Ahmad di atas.

Kemudian Al-Hafidz Ibnu Hajar menguatkan pendapat pertama dari tiga pendapat tersebut. Wallahu a’lam!

3.      Hadits Jabir ini menunjukkan bahwa witir tidak wajib.

D.    Hadits Buraidah bin Al-Hashib radhiyallahu ‘anhu.

Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam “As-Sunan” (2/62) no.1419:

عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْعَتَكِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: «الْوِتْرُ حَقٌّ، فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا، الْوِتْرُ حَقٌّ، فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا، الْوِتْرُ حَقٌّ، فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا»

Dari 'Ubaidullah bin Abdullah Al 'Atakiy, dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata; Saya mendengar Rasulullah bersabda, "Shalat witir adalah sebuah hak, barangsiapa yang tidak melakukan shalat Witir maka ia bukan dari golongan kami, shalat witir adalah sebuah hak, barangsiapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan dari golongan kami, shalat witir adalah sebuah hak, barangsiapa yang tidak melakukan shalat witir maka bukan dari golongan kami."

Al-Hakim -rahimahullah- berkata:

«هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ، وَأَبُو الْمُنِيبِ الْعَتَكِيُّ مَرْوَزِيٌّ ثِقَةٌ يُجْمَعُ حَدِيثُهُ وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ» [المستدرك (1/448)]

“Hadits ini shahih, Abu Al-Munib Al-‘Atakiy seorang Marwaziy, ia tsiqah diterima hadits, Imam Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya”. [Al-Mustadrak karya Al-Hakim]

Adz-Dzahabiy -rahimahullah- berkata:

"قال البخاري: عنده مناكير" [التلخيص]

“Imam Bukhari berkata: Ia meriwayatkan beberapa hadits mungkar”. [At-Talkhish]

Sanad hadits ini sedikit lemah karena ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah Al-‘Atakiy[3], periwayatan haditsnya dilemahkan oleh Al-Bukhari, An-Nasa’iy, dan selainnya. Ditsiqahkan oleh Ibnu Ma’in dan selainnya, sedangkan Abu Daud mengatakan laa ba’sa bih (periwayatan haditsnya tidak mengapa), dan Abu Hatim mengatakan ia shalihul hadits (haditsnya baik) dan menginkari pendapat Al-Bukhari. Ibnu Hajar berkata: Ia shaduq terkadang keliru.

Haidts ini punya syahid namun sangat lemah dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sudah disebutkan pada penjelasan hadits sebelumnya (hal. 5) .

Ibnu Ma’in mengatakan hadits ini mauquf.

Penjelasan singkat hadits ini:

1.      Biografi Buraidah bin Al-Hushaib, Abu Abdillah Al-Aslamiy radhiyallahu ‘anhu.

Ia memeluk Islam ketika Nabi melewatinya sewaktu hijrah kemudian ia tinggal bersama kaumnya sehingga tidak ikut perang Badr dan Uhud. Ia menghadiri perang Khaibar dan Fahu Makkah, dan dipercayakan memegang bendera komando kabilah Aslam. Rasulullah mempercayakan kepadanya pengumpulan zakat pada kaumnya. Tinggal di Madinah, kemudian pindah ke Bashrah, kemudian ke Marw dan wafat di sana pada tahun 63 hijriyah.

2.      Hadits ini diantara dalil yang mewajibkan shalat witir.

Namun pendapat yang paling kuat bahwa witir hanya sunnah yang sangat ditekankan.

E.     Hadits Aisyah radhiyallahu 'anha.

Dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman bahwasanya dia pernah bertanya kepada 'Aisyah radhiallahu'anha tentang cara shalat Rasulullah di bulan Ramadan. Maka 'Aisyah radhiallahu'anha menjawab:

«مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا» قَالَتْ عَائِشَةُ: فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ: أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ؟ فَقَالَ: «يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي» [صحيح البخاري ومسلم]

"Tidaklah Rasulullah melaksanakan shalat malam di bulan Ramadan dan di bulan-bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat, beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya kemudian beliau shalat empat rakaat lagi dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya kemudian beliau shalat tiga rakaat". 'Aisyah radhiallahu'anha berkata; Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah Anda tidur sebelum melaksanakan witir?" Beliau menjawab, "Wahai 'Aisyah, kedua mataku tidur, namun hatiku tidaklah tidur". [Shahih Bukhari dan Muslim]

Ø  'Aisyah radhiallahu'anha berkata:

«كُلَّ اللَّيْلِ أَوْتَرَ رَسُولُ اللَّهِ ، وَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ» [صحيح البخاري ومسلم]

"Setiap malam, Rasulullah melaksanakan witirnya, dan witirnya beliau lakukan hingga tiba waktu sahur." [Shahih Bukhari dan Muslim]

Ø  'Aisyah radhiallahu'anha berkata:

«مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُولُ اللهِ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ، وَأَوْسَطِهِ، وَآخِرِهِ، فَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ» [صحيح مسلم]

"Pada setiap waktu malam Rasulullah melaksanakan witir, kadang di awal malam, kadang pertengahannya, dan kadang di akhir malam, dan witirnya berakhir hingga tiba waktu sahur." [Shahih Muslim]

Penjelasan singkat hadits ini:

1.      Biografi Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Lihat: Aisyah binti Abi Bakr dan keistimewaannya

2.      Berapa jumlah raka’at shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?

Lihat: Hadits Ibnu Umar dan Abu Hurairah tentang shalat malam

3.      Ucapan ‘Aisyah bahwa Nabi tidak lebih dari 11 raka’at shalat malamnya menunjukkan kondisi umum beliau, dan tidak menafikan adanya tambahan raka’at sebagaimana ditunjukkan dalam riwayat lainnya.

4.      Rasulullah tidak memperbanyak raka’at shalat malamnya karena bacaanya yang panjang.

Hudzaifah radhiallahu'anhu berkata;

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ، فَقُلْتُ: يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ، ثُمَّ مَضَى، فَقُلْتُ: يُصَلِّي بِهَا فِي رَكْعَةٍ، فَمَضَى، فَقُلْتُ: يَرْكَعُ بِهَا، ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ، فَقَرَأَهَا، ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ، فَقَرَأَهَا، يَقْرَأُ مُتَرَسِّلًا، إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ، وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ، وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ، ثُمَّ رَكَعَ، فَجَعَلَ يَقُولُ: «سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ»، فَكَانَ رُكُوعُهُ نَحْوًا مِنْ قِيَامِهِ، ثُمَّ قَالَ: «سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ»، ثُمَّ قَامَ طَوِيلًا قَرِيبًا مِمَّا رَكَعَ، ثُمَّ سَجَدَ، فَقَالَ: «سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى»، فَكَانَ سُجُودُهُ قَرِيبًا مِنْ قِيَامِهِ. [صحيح مسلم]

Pada suatu malam, saya shalat (Qiyamul Lail) bersama Rasulullah , lalu beliau mulai membaca surah Al-Baqarah. Kemudian saya pun berkata (dalam hati bahwa beliau) akan rukuk pada ayat yang ke seratus. Kemudian (seratus ayat pun) berlalu, lalu saya berkata (dalam hati bahwa) beliau akan shalat dengan (surat itu) dalam satu rakaat. Namun (surah Al-Baqarah pun) berlalu, maka saya berkata (dalam hati bahwa) beliau akan segera sujud. Ternyata beliau melanjutkan dengan mulai membaca surah An-Nisa` hingga selesai membacanya. Kemudian beliau melanjutkan ke surah Ali 'Imran hingga selesai hingga beliau selesai membacanya. Bila beliau membaca ayat tasbih, beliau bertasbih dan bila beliau membaca ayat yang memerintahkan untuk memohon, beliau memohon, dan bila beliau membaca ayat ta'awwudz (ayat yang memerintahkan untuk memohon perlindungan) beliau memohon perlindungan. Kemudian beliau rukuk. Dalam rukuk, beliau membaca, "SUBHAANA RABBIYAL 'AZHIIM (Mahasuci Tuhanku yang Mahaagung)." Dan lama beliau rukuk hampir sama dengan berdirinya. Kemudian beliau membaca, "SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH (Maha Mendengar Allah akan orang yang memuji-Nya)." Kemudian beliau berdiri dan lamanya berdiri lebih kurang sama dengan lamanya rukuk. Sesudah itu beliau sujud, dan dalam sujud beliau membaca, "SUBHAANA RABBIYAL A'LAA (Mahasuci Tuhanku Yang Mahatinggi)." Lama beliau sujud hampir sama dengan lamanya berdiri. [Shahih Muslim]

Ø  Abdullah bin Mas’ud radhiallahu'anhu berkata:

«صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ ، فَأَطَالَ حَتَّى هَمَمْتُ بِأَمْرِ سَوْءٍ»، قَالَ: قِيلَ: وَمَا هَمَمْتَ بِهِ؟ قَالَ: «هَمَمْتُ أَنْ أَجْلِسَ وَأَدَعَهُ». [صحيح البخاري ومسلم]

"Saya pernah shalat bersama Rasulullah lalu beliau memanjangkannya hingga saya berkeinginan untuk berbuat sesuatu yang tidak baik." Ditanyakan kepadanya, "Perbuatan apa yang hendak kamu lakukan?" Abdullah menjawab, "Saya hendak duduk dan meninggalkannya." [Shahih Bukhari dan Muslim]

5.      Jumlah raka’at shalat witir Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Abdullah bin Abu Qais berkata; Abu bertanya kepada Aisyah radhiallahu'anha, "Berapa kalikah Rasulullah biasa mengerjakan witir?"

Dia menjawab:

«كَانَ يُوتِرُ بِأَرْبَعٍ وَثَلَاثٍ، وَسِتٍّ وَثَلَاثٍ، وَثَمَانٍ وَثَلَاثٍ، وَعَشْرٍ وَثَلَاثٍ، وَلَمْ يَكُنْ يُوتِرُ بِأَنْقَصَ مِنْ سَبْعٍ، وَلَا بِأَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَ عَشْرَةَ» [سنن أبي داود: صحيح]

"Beliau biasa mengerjakan shalat Witir empat dan tiga rakaat, enam dan tiga rakaat, delapan dan tiga rakaat, sepuluh dan tiga rakaat, beliau tidak pernah shalat Witir kurang dari tujuh rakaat dan tidak pernah lebih dari tiga belas rakaat. [Sunan Abi Daud: Shahih]

6.      Apakah tidur membatalkan wudhu?

Ulama berselisih dalam masalah ini:

Pendapat pertama: Tidur tidak membatalkan wudhu.

Ibnu 'Abbas radhiallahu'anhuma berkata:

«نِمْتُ عِنْدَ مَيْمُونَةَ وَالنَّبِيُّ عِنْدَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي، فَقُمْتُ عَلَى يَسَارِهِ، فَأَخَذَنِي، فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ، فَصَلَّى ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً، ثُمَّ نَامَ حَتَّى نَفَخَ، وَكَانَ إِذَا نَامَ نَفَخَ، ثُمَّ أَتَاهُ المُؤَذِّنُ، فَخَرَجَ، فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ» [صحيح البخاري ومسلم]

"Suatu malam aku pernah tidur di sisi Maimunah, sementara Nabi tidur di sebelahnya pada malam itu. Rasulullah kemudian berwudhu lalu berdiri menunaikan shalat. Maka aku datang dan berdiri shalat di samping kiri beliau. Namun beliau memegangku dan menggeserku ke sebelah kanannya. Setelah itu beliau shalat tiga belas rakaat, kemudian tidur hingga terdengar nafasnya. Dan memang beliau apabila tidur (terdengar suara) nafas beliau. Kemudian seorang muazin datang kepada beliau, maka beliau pun keluar untuk menunaikan shalat (Subuh) tanpa berwudhu lagi." [Shahih Bukhari dan Muslim]

Ø  Anas radhiallahu'anhu berkata;

«كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ» [صحيح مسلم]

‘Para sahabat Rasulullah tertidur (ketika menunggu shalat), kemudian mereka shalat tanpa berwudhu.’ [Shahih Muslim]

Pendapat kedua: Tidur membatalkan wudhu.

Shafwan bin 'Assal radhiallahu'anhu berkata;

«كانَ النَّبِيُّ ﷺ يأْمُرنا إِذَا كُنا سَفراً أوْ مُسافِرين أَن لا ننْزعَ خفافَنا ثَلاثَةَ أَيَّامٍ ولَيَالِيهنَّ إِلاَّ مِنْ جنَابةٍ، لكِنْ مِنْ غائطٍ وبْولٍ ونْومٍ.

Nabi memerintahkan kami apabila sedang bersafar agar tidak melepaskan sepatu kami selama tiga hari tiga malam kecuali karena junub, akan tetapi karena buang air besar dan buang air kecil serta tidur. [Sunan Tirmidziy: Hasan]

Pendapat ketiga: Kalau tidur sampai hilang kesadaran maka wudhunya batal.

Sebagaimana dalam hadits ini, wudhu Nabi tidak batal karena beliau tetap sadar walau sedang tidur.

Pendapat keempat: Tidak kalau tidur duduk.

Karena yang dikhawatirkan ketika tidur adalah sesuatu yang keluar dari duburnya, maka jika ia duduk maka itu bisa dicegah.

Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu berkata; Rasulullah bersabda:

«وِكَاءُ السَّهِ الْعَيْنَانِ، فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ» [سنن أبي داود: حسن]

"Tali pantat adalah kedua mata, maka barangsiapa yang tidur, hendaklah dia berwudhu." [Sunan Abi Daud: Dihasankan oleh syekh Albaniy]

7.      Mata Nabi tertidur tapi hatinya tidak.

Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu bercerita tentang perjalanan malam isra' Nabi dari masjid Ka'bah (Al-Haram):

" جَاءَهُ ثَلاَثَةُ نَفَرٍ، قَبْلَ أَنْ يُوحَى إِلَيْهِ، وَهُوَ نَائِمٌ فِي مَسْجِدِ الحَرَامِ، فَقَالَ أَوَّلُهُمْ: أَيُّهُمْ هُوَ؟ فَقَالَ أَوْسَطُهُمْ: هُوَ خَيْرُهُمْ، وَقَالَ آخِرُهُمْ: خُذُوا خَيْرَهُمْ. فَكَانَتْ تِلْكَ، فَلَمْ يَرَهُمْ حَتَّى جَاءُوا لَيْلَةً أُخْرَى فِيمَا يَرَى قَلْبُهُ، وَالنَّبِيُّ نَائِمَةٌ عَيْنَاهُ وَلاَ يَنَامُ قَلْبُهُ، وَكَذَلِكَ الأَنْبِيَاءُ تَنَامُ أَعْيُنُهُمْ وَلاَ تَنَامُ قُلُوبُهُمْ، فَتَوَلَّاهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ عَرَجَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ " [صحيح البخاري]

Ketika itu, beliau didatangi oleh tiga orang (malaikat) sebelum beliau diberi wahyu, saat sedang tertidur di Masjidilharam. Malaikat pertama berkata, "Siapa orang ini diantara kaumnya?'. Malaikat yang di tengah berkata, "Dia adalah orang yang terbaik di kalangan mereka'. Lalu malaikat yang ketiga berkata, "Ambillah yang terbaik dari mereka." Itulah di antara kisah Isra' dan beliau tidak pernah melihat mereka lagi hingga akhirnya mereka datang berdasarkan penglihatan hati beliau dan Nabi matanya tidur namun hatinya tidaklah tidur, dan demikian pula para nabi, mata mereka tidur namun hati mereka tidaklah tidur. Kemudian Jibril menghampiri beliau lalu membawanya naik (mi'raj) ke atas langit". [Shahih Bukhari]

8.      Mu’jizat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Lihat: Mu'jizat Nabi Muhammad

9.      Tata cara pelaksanaan shalat malam dan witir

1)      13 raka’at, salam pada setiap dua raka’at, dan witir 1 raka’at terakhir.

Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu'anhuma berkata:

صَلَّى ﷺ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ أَوْتَرَ، ثُمَّ اضْطَجَعَ حَتَّى أَتَاهُ المُؤَذِّنُ، فَقَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ، ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الصُّبْحَ " [صحيح البخاري ومسلم]

“Kemudian beliau shalat dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian witir. Setelah itu beliau tidur berbaring hingga tukang azan mendatanginya, beliau lalu berdiri dan shalat dua rakaat ringan, kemudian keluar untuk menunaikan shalat Subuh." [Shahih Bukhari dan Muslim]

2)      13 raka’at, salam pada setiap dua raka’at, dan witir 5 raka’at terakhir satu kali tasyahhud.

'Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

«كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ، لَا يَجْلِسُ فِي شَيْءٍ إِلَّا فِي آخِرِهَا» [صحيح مسلم]

"Rasulullah biasa shalat malam tiga belas raka’at, dengan lima raka’at witir, beliau tidak pernah melakukan sambil duduk selain di akhir (hayatnya)." [Shahih Muslim]

3)      11 raka’at, salam pada setiap dua raka’at, dan witir 1 raka’at terakhir.

'Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

«كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ - وَهِيَ الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ - إِلَى الْفَجْرِ، إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ، وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ، فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ، وَتَبَيَّنَ لَهُ الْفَجْرُ، وَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ، قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ، ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ، حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ لِلْإِقَامَةِ». [صحيح مسلم]

Rasulullah pernah shalat antara habis shalat Isya yang biasa disebut 'atamah hingga waktu fajar. Beliau melakukan sebelas rakaat, setiap dua rakaat beliau salam, dan beliau juga melakukan witir satu rakaat. Jika muadzin shalat fajar telah diam, dan fajar telah jelas, sementara muadzin telah menemui beliau, maka beliau melakukan dua kali rakaat ringan, kemudian beliau berbaring di atas lambung sebelah kanan hingga datang muadzin untuk iqamat." [Shahih Muslim]

4)      11 rak’at, salam pada raka’at kesepuluh, dan witir 1 raka’at terakhir.

'Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan:

«كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللهِ ﷺ مِنَ اللَّيْلِ عَشَرَ رَكَعَاتٍ، وَيُوتِرُ بِسَجْدَةٍ، وَيَرْكَعُ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ، فَتْلِكَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً» [صحيح مسلم]

"Shalat malam Rasulullah adalah sepuluh rakaat, beliau melakukan witir dengan satu raka’at, dan beliau juga melakukan dua rakaat fajar, hingga jumlahnya menjadi tiga belas rakaat." [Shahih Muslim]

5)      9 raka’at, tidak tasyahhud kecuali pada raka’at kedelapan dan salam pada raka’at kesembilan.

Sa'ad bin Hisyam –rahimahullah- bertanya: "Wahai Ummul mukminin, beritahukanlah kepadaku tentang witir Rasulullah !

Aisyah radhiyallahu ‘anha mejawab:

" يُصَلِّي -النبي - تِسْعَ رَكَعَاتٍ لَا يَجْلِسُ فِيهَا إِلَّا فِي الثَّامِنَةِ، فَيَذْكُرُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ، ثُمَّ يَنْهَضُ وَلَا يُسَلِّمُ، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّ التَّاسِعَةَ، ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ، ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ وَهُوَ قَاعِدٌ، فَتِلْكَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَا بُنَيَّ، فَلَمَّا أَسَنَّ نَبِيُّ اللهِ ، وَأَخَذَهُ اللَّحْمُ أَوْتَرَ بِسَبْعٍ، وَصَنَعَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ مِثْلَ صَنِيعِهِ الْأَوَّلِ، فَتِلْكَ تِسْعٌ يَا بُنَيَّ [صحيح مسلم]

“Nabi shalat witir sembilan rakaat, Beliau tidak duduk dalam kesembilan rakaat itu selain pada rakaat kedelapan, beliau menyebut nama Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, kemudian beliau bangkit dan tidak mengucapkan salam. Setelah itu beliau berdiri dan shalat untuk rakaat ke sembilannya. Kemudian beliau berzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, lalu beliau mengucapkan salam dengan nyaring agar kami mendengarnya. Setelah itu beliau shalat dua rakaat setelah salam sambil duduk, itulah sebelas rakaat wahai anakku. Ketika Nabiyullah berusia lanjut dan beliau telah merasa kegemukan, beliau berwitir dengan tujuh rakaat, dan beliau lakukan dalam dua rakaatnya sebagaimana yang beliau lakukan pada yang pertama, maka itu berarti sembilan wahai anakku. [Shahih Muslim]

6)      7 raka’at, tidak tasyahhud kecuali pada raka’at ketujuh.

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

«لَمَّا أَسَنَّ رَسُولُ اللَّهِ وَأَخَذَ اللَّحْمَ صَلَّى سَبْعَ رَكَعَاتٍ لَا يَقْعُدُ إِلَّا فِي آخِرِهِنَّ، وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ قَاعِدٌ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ، فَتِلْكَ تِسْعٌ يَا بُنَيَّ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ إِذَا صَلَّى صَلَاةً أَحَبَّ أَنْ يُدَاوِمَ عَلَيْهَا» [سنن النسائي: صحيح]

"Setelah Rasulullah berusia lanjut dan mulai gemuk, beliau shalat tujuh rakaat tanpa duduk, kecuali pada akhir rakaat. Lalu shalat dua rakaat sambil duduk setelah salam (dari yang tujuh rakaat), sehingga semuanya berjumlah sembilan rakaat. Wahai anakku! Bila Rasulullah mengerjakan suatu shalat, maka beliau suka untuk melakukannya secara kontinu." [Sunan An-Nasa’iy: Shahih]

7)      7 raka’at, tidak tasyahhud kecuali pada raka’at keenam dan salam pada raka’at ketujuh.

Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang witir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ia berkata:

«يُصَلِّي سَبْعَ رَكَعَاتٍ، وَلَا يَجْلِسُ فِيهِنَّ إِلَّا عِنْدَ السَّادِسَةِ، فَيَجْلِسُ وَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَدْعُو» [صحيح ابن حبان]

“Beliau shalat tujuh raka’at, dan tidak duduk tasyahhud kecuali pada raka’at keenam, kemudian duduk berdzikir kepada Allah dan berdo’a”. [Shahih Ibnu Hibban]

8)      5 raka’at, tidak tasyahhud kecuali pada raka’at terakhir.

Ibnu 'Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ بِنْتِ الحَارِثِ زَوْجِ النَّبِيِّ ﷺ وَكَانَ النَّبِيُّ ﷺ عِنْدَهَا فِي لَيْلَتِهَا، فَصَلَّى النَّبِيُّ ﷺ العِشَاءَ، ثُمَّ جَاءَ إِلَى مَنْزِلِهِ، فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ نَامَ، ثُمَّ قَامَ، ثُمَّ قَالَ: «نَامَ الغُلَيِّمُ» أَوْ كَلِمَةً تُشْبِهُهَا، ثُمَّ قَامَ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ، فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ، فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ نَامَ، حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أَوْ خَطِيطَهُ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ

"Aku bermalam di rumah bibiku Maimunah binti Al-Harits, istri Nabi . Dan saat itu Nabi bersamanya karena memang menjadi gilirannya. Nabi melaksanakan shalat Isya, lalu beliau pulang ke rumahnya dan shalat empat rakaat, kemudian tidur dan bangun lagi untuk shalat." Kemudian Rasulullah bersabda, "Si anak kecil sudah tidur (maksudnya Ibnu Abbas) -atau kalimat yang semisal itu-, kemudian beliau bangun shalat. Kemudian aku bangun dan berdiri di sisi kirinya, beliau lalu menempatkan aku di kanannya. Setelah itu beliau shalat lima rakaat, kemudian shalat dua rakaat, kemudian tidur hingga aku mendengar dengkurannya, kemudian beliau keluar untuk melaksanakan shalat Subuh." [Shahih Bukhari]

9)      3 raka’at, salam pada raka’at kedua dan ketiga.

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:

«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يَفْصِلُ بَيْنَ الْوَتْرِ وَالشَّفْعِ بِتَسْلِيمَةٍ وَيُسْمِعُنَاهَا» [مسند أحمد: إسناده قوي]

"Rasulullah memisahkan antara shalat Witir (shalat ganjil) dan syaf' (genap), dan beliau memperdengarkannya kepada kami." [Musnad Ahmad: Sanadnya kuat]

10)  3 raka’at, tidak tasyahhud kecuali pada raka’at terakhir.

Ubay bin Ka'ab radhiyallahu ‘anhu berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَفِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ بِقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَفِي الثَّالِثَةِ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَلَا يُسَلِّمُ إِلَّا فِي آخِرِهِنَّ، وَيَقُولُ ـ يَعْنِي بَعْدَ التَّسْلِيمِ ـ: «سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ»، ثَلَاثًا [سنن النسائي: صحيح]

"Rasulullah ketika shalat Witir membaca surah Al-A'Iaa, pada rakaat kedua membaca surah Al-Kafirun, dan pada rakaat ketiga membaca surah Al-Ikhlash. Beliau tidak mengucapkan salam kecuali pada rakaat terakhir. Setelah selesai salam beliau lalu membaca doa: `Subhaanal malikul qudduus' tiga kali." [Sunan An-Nasa’iy: Shahih]

10.  Waktu dibolehkan pelaksanaan shalat witir.

Pendapat pertama: Setelah shalat isya sampai masuk waktu fajar.

Ini adalah pendapat jumhur ulama dengan dalil hadits Aisyah dan Kharijah bin Hudzafah di atas.

Pendapat kedua: Boleh setelah fajar sebelum shalat subuh.

Ini adalah amalan beberapa sahabat Nabi seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, ‘Ubadah bin Ash-Shamit, Hudzaifah, Abu Ad-Darda’, dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum.

Pendapat ketiga: Boleh setelah shalat subuh.

Ini adalah pendapat Thawus.

Pendapat keempat: Boleh sekalipun telah terbit matahari.

Ini adalah pendapat Abu Tsaur dan Al-Auza’iy.

Pendapat kelima: Mengqadha’ witirnya pada malam berikutnya.

Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair.

Pendpat yang paling kuat adalah pendapat pertama, adapun selainnya maka itu mereka bolehkan sebagai bentuk qadha’. [Lihat: Bidayatul Mujtahid 1/472-474]

F.     Hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu 'anhuma.

'Abdullah bin 'Amru bin Al-'Ash radhiyallahu 'anhuma berkata; Rasulullah bersabda kepadaku:

«يَا عَبْدَ اللَّهِ لَا تَكُنْ مِثْلَ فُلَانٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ»

"Wahai 'Abdullah, janganlah kamu seperti Fulan, yang dia biasa mendirikan shalat malam namun kemudian meninggalkan shalat malam". [Shahih Bukhari dan Muslim]

Nb: Hadits ini sudah dijelaskan pada Syarah Riyadhushalihin Bab (15) Menjaga amalan, hadits ketiga

G.    Hadits Thalq bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu.

Qais bin Thalq rahimahullah berkata;

زَارَنَا طَلْقُ بْنُ عَلِيٍّ فِي يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ، وَأَمْسَى عِنْدَنَا، وَأَفْطَرَ، ثُمَّ قَامَ بِنَا اللَّيْلَةَ، وَأَوْتَرَ بِنَا، ثُمَّ انْحَدَرَ إِلَى مَسْجِدِهِ، فَصَلَّى بِأَصْحَابِهِ، حَتَّى إِذَا بَقِيَ الْوِتْرُ قَدَّمَ رَجُلًا، فَقَالَ: أَوْتِرْ بِأَصْحَابِكَ، فَإِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ: «لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ» [سنن أبي داود: صحيح]

Thalq bin Ali telah mengunjungi Kami pada bulan Ramadan hingga sore dan berbuka bersama Kami, kemudian dia melakukan shalat sebagai Imam bagi Kami pada malam itu, dan melakukan witir, kemudian dia turun kemasjidnya dan melaksanakan shalat menjadi imam bagi sahabat-sahabatnya hingga tatkala tinggal shalat Witir, ia mempersilakan seseorang kedepan dan mengatakan kepadanya: shalat Witirlah kamu sebagai imam bagi sahabat-sahabatmu, karena aku mendengar Nabi bersabda, "Tidak ada dua witir dalam semalam!" [Sunan Abi Daud: Shahih]

Abu Isa At-Tirmidziy berkata:

اخْتَلَفَ أَهْلُ العِلْمِ فِي الَّذِي يُوتِرُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ، ثُمَّ يَقُومُ مِنْ آخِرِهِ، فَرَأَى بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ: نَقْضَ الوِتْرِ، وَقَالُوا: يُضِيفُ إِلَيْهَا رَكْعَةً وَيُصَلِّي مَا بَدَا لَهُ، ثُمَّ يُوتِرُ فِي آخِرِ صَلَاتِهِ، لِأَنَّهُ لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ، وَهُوَ الَّذِي ذَهَبَ إِلَيْهِ إِسْحَاقُ، وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ وَغَيْرِهِمْ: إِذَا أَوْتَرَ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ، ثُمَّ نَامَ، ثُمَّ قَامَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ، فَإِنَّهُ يُصَلِّي مَا بَدَا لَهُ وَلَا يَنْقُضُ وِتْرَهُ، وَيَدَعُ وِتْرَهُ عَلَى مَا كَانَ، وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ، وَمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ، وَابْنِ المُبَارَكِ، وَأَحْمَدَ، وَهَذَا أَصَحُّ، لِأَنَّهُ قَدْ رُوِيَ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَدْ صَلَّى بَعْدَ الوِتْرِ [سنن الترمذي (2/ 334)]

Ahli ilmu berbeda pendapat tentang orang yang melaksanakan witir di permulaan malam, kemudian dia bangun pada akhir malam. sebagian ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi dan orang-orang setelahnya berpendapat membatalkan witir, mereka mengatakan ditambahkan kepada witir satu rakaat, kemudian shalat menurut yang nampak baginya lalu melaksanakan witir di akhir shalatnya, karena tidak ada witir dua kali dalam satu malam dan itulah yang menjadi pendapat Ishaq, sedangkan sebagian Ahli ilmu yang lain dari kalangan sahabat dan yang lainnya berpendapat bahwa jika telah melaksanakan witir di permulaan malam kemudian tidur, lalu bangun di akhir malam, maka dia melaksanakan shalat menurut yang nampak bagi dia dan jangan membatalkan witirnya (yang di permulaan malam) dan membiarkan witir yang telah dia laksanakan seperti semula, ini adalah pendapat Sufyan Ats Tsauri, Malik bin Anas, bin Al Mubarak, Syafi'i, penduduk Kufah dan Ahmad, ini adalah pendapat yang paling shahih, karena haditsnya telah diriwayatkan dari berbagai jalur bahwa Nabi melaksanakan shalat setelah witir. [Sunan Tirmidziy]

Sahabat Nabi yang membolehkan membatalkan witir, diantaranya:

Pertama: Abdullah bin ‘Umar.

Diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr –sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam “Fathul Bariy” 2/481- dari jalur Sa’id bin Al-Harits bahwasanya ia bertanya kepada Ibnu Umar tentang hal itu (shalat setelah witir), maka ia menjawab:

"إِذَا كُنْتَ لَا تَخَافُ الصُّبْحَ وَلَا النَّوْمَ فَاشْفَعْ ثُمَّ صَلِّ مَا بَدَا لَكَ ثُمَّ أَوْتِرْ، وَإِلَّا فَصَلِّ وِتْرَكَ عَلَى الَّذِي كُنْتَ أَوْتَرْتَ".

“Jika engkau tidak khawatir masuknya waktu subuh dan tidak khawatir dengan ketiduran maka genapkanlah witirmu, kemudian shalat sebanyak yang engkau mau, kemudian witir, dan jika tidak maka biarkanlah witirmu yang telah engaku lakukan (tidak perlu digenapkan)”.

Ø  Dan dari jalur lain dari Ibnu Umar bahwasanya ia ditanya tentang hal itu, maka ia menjawab:

"أَمَّا أَنَا فَأُصَلِّي مَثْنَى، فَإِذَا انْصَرَفْتُ رَكَعْتُ رَكْعَةً وَاحِدَةً، فَقِيلَ: أَرَأَيْتَ إِنْ أَوْتَرْتُ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ ثُمَّ قُمْتُ مِنَ اللَّيْلِ فَشَفَعْتُ حَتَّى أُصْبِحَ؟ قَالَ: لَيْسَ بِذَلِكَ بَأْسٌ .

“Adapun saya maka saya shalat dua raka’at, jika saya sudah selesai maka saya shalat satu raka’at”. Maka ditanyakan kepadanya: Bagaimana menurutmu jika aku witir sebelum aku tidur kemudian aku bangun untun shalat malam, kemudian aku shalat dengan raka’at genap? Ia menjawab: “Hal itu tidak mengapa”.

Kedua dan ketiga: Usamah bin Zayd dan Ibnu ‘Abbas; Bahwasanya keduanya berkata:

«إِذَا أَوْتَرْتَ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ، ثُمَّ قُمْتَ تُصَلِّي فَصَلِّ مَا بَدَا لَكَ، وَاشْفَعْ بِرَكْعَةٍ ثُمَّ أَوْتِرْ» [مصنف ابن أبي شيبة]

“Jika engkau telah witir di awal malam, kemudian engkau bangun untuk shalat maka shalatlah sebanyak yang engkau mau, dan genapkanlah (witir yang engkau lakukan di awal malam) dengan shalat satu raka’at, kemudian witirlah”. [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah]

Wallahu a’lam!

Lihat juga: Syarah hadits tentang shalat Dhuha - Syarah hadits tentang shalat sunnah fardhu Subuh - Syarah hadits tentang shalat Sunnah sebelum dan setelah shalat fardhu


[1] Lihat biografi " Abu Janab " dalam kitab: Adh-Dhu'afaa' Ash-Shagiir karya Al-Bukhariy hal.119, Adh-Dhu'afaa' karya An-Nasa'iy hal.109 , Adh-Dhu'afaa' Al-Kabiir karya Al-'Uqaily 4/398, Al-Jarh wa At-Ta'diil karya Ibnu Abi Hatim 9/138, Al-Majruhiin karya Ibnu Hibban 3/111, Al-Kaamil karya Ibnu 'Adiy 9/50, Adh-Dhu'afaa' karya Ad-Daraquthniy 3/136, Adh-Dhu'afaa' karya Ibnu Al-Jauziy 3/193, Tahdziib Al-Kamaal karya Al-Mizziy 31/284, Miizaan Al-I'tidaal karya Adz-Dzahabiy 4/371, Taqriib At-Tahdziib karya Ibnu Hajar hal.589.

[2] Lihat biografi "'Ashim bin Dhamrah " dalam kitab: Ath-Thabaqaat karya Ibnu Sa’ad 6/222, Taariikh Ibnu Ma'in riwayat Ad-Darimiy hal.149, Ats-Tsiqat karya Al-‘Ijliy 2/8, Al-Jarh wa At-Ta'diil 6/345, Al-Majruhiin 2/125, Al-Kaamil 6/386, Adh-Dhu'afaa' karya Ibnu Al-Jauziy 2/69, Tahdziib Al-Kamaal 13/496, Miizaan Al-I'tidaal 2/352, Al-Kasyif karya Adz-Dzahabiy 1/519, Tahdzib At-Tahdzib karya Ibnu Hajar 5/45, Taqriib At-Tahdziib hal.285.

[3] Lihat biografi " Ubaidillah bin ‘Abdillah Al-‘Atakiy " dalam kitab: Adh-Dhu'afaa' Ash-Shagiir hal.75 , Adh-Dhu'afaa' karya An-Nasa'iy hal.204, Adh-Dhu'afaa' Al-Kabiir 3/121, Al-Jarh wa At-Ta'diil 5/322, Al-Majruhiin 2/64, Al-Kaamil 5/530, Adh-Dhu'afaa' karya Ibnu Al-Jauziy 2/163, Tahdziib Al-Kamaal 19/80, Miizaan Al-I'tidaal 3/10, Taqriib At-Tahdziib hal.372.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...