بسم الله الرحمن الرحيم
Bacaan
shalat sunnah sebelum fardhu Subuh
A.
Hadits
Aisyah radhiyallahu ‘anha.
'Aisyah -radhiallahu'anha- berkata:
"
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَفِّفُ الرَّكْعَتَيْنِ
اللَّتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى إِنِّي لَأَقُولُ: هَلْ قَرَأَ
بِأُمِّ الكِتَابِ؟ " [صحيح البخاري ومسلم]
"Nabi
ﷺ meringankan dua rakaat sebelum shalat
Subuh hingga aku bertanya (dalam hati), "Apakah beliau membaca Ummul Kitab
(Al-Fatihah)?!" [Shahih Bukhari dan Muslim]
Penjelasan singkat hadits ini:
1.
Biografi
Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Lihat: Aisyah binti Abi Bakr dan keistimewaannya
2.
Ukuran
bacaan pada dua rak’at sebelum Subuh.
Jumhur
ulama berpadapat bahwa disunnahkan meringankan bacaannya sebagaimana hadits Aisyah
ini, dan hadits Abu Hurairah yang akan datang.
Hafsah -radhiallahu'anha- berkata:
«كَانَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ، لَا
يُصَلِّي إِلَّا رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ» [صحيح مسلم]
"Jika fajar telah terbit, Rasulullah ﷺ tidak
melakukan shalat selain dua rakaat ringan." [Shahih Muslim]
Ø
Anas bin Sirin –rahimahullah-
berkata, Aku bertanya kepada Ibnu
'Umar -radhiallahu'anhuma-: "Apakah shalat dua rakaat sebelum
shalat Fajar bacaannya dipanjangkan?"
Maka
dia menjawab:
«كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى،
وَيُوتِرُ بِرَكْعَةٍ، وَيُصَلِّي الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الغَدَاةِ،
وَكَأَنَّ الأَذَانَ بِأُذُنَيْهِ»
"Nabi
ﷺ melaksanakan shalat malam dua rakaat dua
rakaat lalu witir dengan satu rakaat, dan beliau mengerjakan shalat dua rakaat
sebelum melaksanakan shalat Fajar, seakan azan ada di sisi telinganya."
Hammad
berkata, "Maksudnya beliau melaksanakan dua rakaat tersebut dengan
cepat." [Shahih Bukhari]
Sedangkan
sebagian ulama Hanafiyah berpendapat bolehnya memanjangkan bacaan dua
raka’at ini, dengan dalil:
a)
Hadits Sa’id bin Jubair –rahimahullah-.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya 2/52 no.6356, dan Al-Baihaqiy
dalam “As-Sunan Al-Kubraa” 3/63 no.4882:
عن وَكِيع، قَالَ: حَدَّثَنَا مِسْعَرٌ، عَنْ شَيْخٍ مِنَ الْأَنْصَارِ، -قَالَ
مِسْعَرٌ: أَرَاهُ عُثْمَانَ-، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، قَالَ: «كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُبَّمَا أَطَالَ رَكْعَتَيِ
الْفَجْرِ»
Dari Waki’, ia berkata: Mis’ar telah menceritakan
kepada kami, dari seorang syekh keturunan Ashar –Msi’ar berkata: Saya merasa ia
adalah ‘Utsman-, dari Sa’id bin Jubair, ia berkata: “Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam terkadang memanjangkan bacaan pada dua raka’at Sunnah
Fajar”.
Al-Baihaqiy –rahimahullah- berkata: “Sanad ini terputus (mursal)”.
Hadits ini lemah karena
Sa’id bin Jubair[1]
(w.95H) seorang tabi’iy tidak bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasalam, dan ‘Utsman yang dimaksud oleh Mis’ar kemungkinan adalah ‘Utsman
bin Hakim Al-Anshariy (w.140H) murid dari Sa’id bin Jubair bin Hisyam (w.95H)
b) Atsar Al-Hasan Al-Bashriy –rahimahullah-.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya 2/52 no.6357, ia berkata:
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي الْمَشْرَفِيِّ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ: «لَا
بَأْسَ أَنْ يُطِيلَ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ، يَقْرَأُ فِيهِمَا مِنْ حِزْبِهِ إِذَا
فَاتَهُ»
Waki’ telah menceritakankepada kami, dari Sufyan, dari Abi Al-Masyrafiy,
dari Al-Hasan, ia berkata: “Tidak mengapa memanjangkan bacaan pada dua
raka’at Sunnah Fajar, ia membaca bacaan rutinnya jika terlewatkan”.
Sanad atsar ini shahih, Abu
Al-Masyrafiy yang bernama Laits, guru dari Sufyan Ats-Tsauriy; Dihukumi tsiqah
oleh Ibnu Ma’in -rahimahullah-.
c)
Atsar Mujahid –rahimahullah-.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya 2/52 no.6358, ia berkata:
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ رَجُلٍ، عَنْ
مُجَاهِدٍ، قَالَ: «لَا بَأْسَ أَنْ يُطِيلَ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ»
Waki’ telah menceritakankepada kami, dari Sufyan, dari seorang laki-laki, dari Mujahid, ia berkata:
“Tidak mengapa memanjangkan bacaan pada dua raka’at Sunnah Fajar”.
Sanad ini lemah karena guru dari Sufyan Ats-Tauriy tidak diketahui (majhul).
Pendapat
yang kuat adalah pendapat
Jumhur ulama karena haditsnya lebih kuat. Wallahu a’lam!
B.
Hadits
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Abu
Hurairah radhiyallahu
'anhu berkata:
"
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ:
{قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ}، وَ {قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ} " [صحيح مسلم]
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam membaca pada dua raka’at sebelum shalat subuh: Surah Al-Kafirun dan
Al-Ikhlash”. [Sahih Muslim]
Penjelasan singkat hadits ini:
1. Biografi Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Lihat: Abu Hurairah dan keistimewaannya
2. Anjuran
membaca surah Al-Kafirun dan Al-Ikhlash pada dua raka’at sunnah Fajar.
Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma berkata:
«رَمَقْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا فَكَانَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ
الفَجْرِ، بِـ {قُلْ يَا أَيُّهَا الكَافِرُونَ}، وَ {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ}» [سنن الترمذي: صحيح]
“Aku memperhatikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam selama sebulan, beliau sering membaca pada dua raka’at sebelum
shalat subuh: Surah Al-Kafirun dan Al-Ikhlash”. [Sunan Tirmidziy: Sahih]
3. Selain surah
Al-Kafirun dan Al-Ikhlash, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga sering
membaca satu ayat dari surah Al-Baqarah dan satu ayat dari surah Ali ‘Imran
pada dua raka’at sunnah Fajar.
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata:
كَانَ يَقْرَأُ
فِي رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فِي الْأُولَى مِنْهُمَا: {قُولُوا آمَنَّا بِاللهِ وَمَا
أُنْزِلَ إِلَيْنَا} [البقرة:
136] الْآيَةَ الَّتِي فِي الْبَقَرَةِ، وَفِي الْآخِرَةِ مِنْهُمَا:
{آمَنَّا بِاللهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ} [آل عمران: 52] [صحيح مسلم]
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
membaca pada dua raka'at sunah fajar di raka'at pertama: "Katakanlah
(hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang
diturunkan kepada kami, ..." ayat 136 yang di surah Al-Baqarah, dan pada
raka'at kedua: " ... kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri" (Ali Imran:
52). [Sahih Muslim]
Dalam riwayat lain:
"
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ:
{قُولُوا آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا} [البقرة: 136]، وَالَّتِي فِي آلِ عِمْرَانَ:
{تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ} [آل عمران: 64] ". [صحيح مسلم]
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
membaca pada dua raka'at sunah fajar di raka'at pertama: "Katakanlah
(hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang
diturunkan kepada kami, ..." (Al-Baqarah: 136), dan pada raka'at kedua
ayat 64 surah Ali 'Imran: " ... marilah (berpegang) kepada suatu
kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, ...".
[Sahih Muslim]
4. Hikmah Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam sering membaca surah Al-Kafirun dan Al-Ikhlash, atau ayat
136 surah Al-Baqarah dan ayat 52 dan 64 surah Ali ‘Imran pada dua raka’at
sunnah Fajar.
Karana
pada surah dan ayat tersebut terdapat penekanan terhadap akidah tauhid, baik
secara perbuatan dan sikap seperti pada surah Al-Kafirun dan Ali ‘Imran,
ataupun secara ucapan dan keyakinan sebagaimana dalam surah Al-Ikhlash dan Al-Baqarah.
5. Keutamaan
tauhid.
Lihat: Keutamaan Tauhid
6. Keutamaan
surah Al-Kafirun dan Al-Ikhlash.
Lihat: Keutamaan surah Al-Kafirun - Keutamaan surah Al-Ikhlash
7. Keutamaan
surah Al-Baqarah dan Ali ‘Imran.
Lihat: Keutamaan surah Al-Baqarah - Keutamaan surah Ali 'Imran
8. Boleh membaca
satu ayat dalam satu raka’at selama tidak mengurangi makna.
Allah
subhanahu wa ta'aalaa berfirman:
{فَاقْرَءُوا
مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ} [المزمل: 20]
Karena itu bacalah apa
yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an.
(Al-Muzzammil/73:20)
Ø
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
«إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ،
ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ» [صحيح البخاري]
"Jika
kamu berdiri untuk shalat maka mulailah dengan takbir, lalu bacalah apa yang
mudah buatmu dari Al Qur'an." [Shahih Bukhari]
Berbaring
setelah shalat sunnah sebelum fardhu Subuh
1. Hadits
Aisyah radhiyallahu ‘anha.
'Aisyah radhiallahu'anha
berkata:
«كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى رَكْعَتَيِ الفَجْرِ اضْطَجَعَ عَلَى
شِقِّهِ الأَيْمَنِ» [صحيح البخاري]
"Nabi
ﷺ bila selesai mendirikan dua
rakaat shalat sunat Fajar, beliau berbaring dengan bertumpu pada sisi badannya
yang sebelah kanan". [Shahih Bukhari]
2. Hadits
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam
Musnad-nya (15/217) no.9368, Abu Daud dalam Sunan-nya (2/21) no.1261,
dan At-Tirmidziy dalan “Al-Jami’” (2/281) no.420;
عن عَبْد
الْوَاحِدِ بْن زِيَادٍ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ الْأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي
صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ
الصُّبْحِ، فَلْيَضْطَجِعْ عَلَى جَنْبِهِ الْأَيْمَنِ»
Abdul Wahid bin Ziyad berkata:
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman Al-A'masy, dari Abu Shalih, dari Abu
Hurairah, ia berkata: "Jika salah seorang dari kalian selesai shalat dua
rakaat sebelum Subuh, maka hendaklah berbaring di atas rusuk kanannya."
Ø Dalam riwayat Abi
Daud –rahimahullah- disebutkan:
فَقَالَ لَهُ مَرْوَانُ بْنُ
الْحَكَمِ: أَمَا يُجْزِئُ أَحَدَنَا مَمْشَاهُ إِلَى الْمَسْجِدِ حَتَّى
يَضْطَجِعَ عَلَى يَمِينِهِ، قَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ فِي حَدِيثِهِ: قَالَ: لَا،
قَالَ: فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عُمَرَ، فَقَالَ: أَكْثَرَ أَبُو هُرَيْرَةَ عَلَى
نَفْسِهِ، قَالَ: فَقِيلَ لِابْنِ عُمَرَ: هَلْ تُنْكِرُ شَيْئًا مِمَّا يَقُولُ؟
قَالَ: «لَا، وَلَكِنَّهُ اجْتَرَأَ وَجَبُنَّا»، قَالَ: فَبَلَغَ ذَلِكَ أَبَا
هُرَيْرَةَ، قَالَ: «فَمَا ذَنْبِي إِنْ كُنْتُ حَفِظْتُ وَنَسَوْا»
Marwan
bin Hakam berkata kepadanya (Abu Hurairah): "Apakah tidak cukup seseorang
dari kami berjalan ke masjid sehingga dia harus berbaring dulu ke sebelah
kanan?" Abu Hurairah menjawab, "Tidak." Lalu hal itu di sampaikan
kepada Ibnu Umar, maka Ibnu Umar berkata, "Abu Hurairah berlaku
berlebih-lebihan atas dirinya sendiri." Lalu dikatakan kepada Ibnu Umar,
"Apakah anda mengingkari apa yang dikatakannya?" Dia menjawab,
"Tidak, namun Abu Hurairah berani (karena banyak riwayat), sedangkan kami
amat hati-hati (karena sedikit periwayatan hadits)." Lalu hal itu sampai
kepada Abu Hurairah, kemudian dia berkata, "Apa salahku, jika aku pernah
menghafalnya (hadits) sedangkan ia lupa?."
Imam
Tirmdiziy –rahimahullah- berkata:
«حَدِيثُ أَبِي
هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الوَجْهِ»
“Hadits
Abu Hurairah adalah hadits yang hasan shahih, gharib melalui sanad ini”.
a.
Perselisihan ulama tentang derajat
hadits Abu Hurairah:
Beberapa
ulama menghukumi hadits ini lemah, dengan
beberapa alasan:
Alasan pertama: Riwayat
ini syadz karena menyelisihi riwayat yang lebih kuat.
Al-Baihaqiy
–rahimahullah- berkata:
خَالَفَ عَبْدُ
الْوَاحِدِ الْعَدَدَ الْكَثِيرَ فِي هَذَا، فَإِنَّ النَّاسَ إِنَّمَا
رَوَوْهُ مِنْ فِعْلِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لَا مِنْ
قَوْلِهِ: وَانْفَرَدَ عَبْدُ الْوَاحِدِ مِنْ بَيْنِ ثِقَاتِ أَصْحَابِ
الْأَعْمَشِ بِهَذَا اللَّفْظِ.
Abdul Wahid menyelisihi
perawi yang banyak dalam hadits ini, karena orang meriwayatkannya dari
perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bukan dari perkataannya; Dan
Abdul Wahid menyendiri dari perawi-perawi tsiqah
lainnya dari murid-murid Al-A’masy dengan lafadz ini”. [Tadrib Ar-Rawi karya
As-Suyuthiy 1/271]
Ibnu Qayyim –rahimahullah- berkata: Aku mendengar Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
هَذَا
بَاطِلٌ، وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ، وَإِنَّمَا الصَّحِيحُ عَنْهُ الْفِعْلُ لَا
الْأَمْرُ بِهَا، وَالْأَمْرُ تَفَرَّدَ بِهِ عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ
وَغَلِطَ فِيهِ
“Hadits ini bathil dan tidak shahih, yang shahih dalam hal ini adalah
perbuatan Nabi, bukan perintah untuk melakukannya. Dan hadits perintah hanya
diriwayatkan oleh Abdul Wahid bin Ziyad dan ia
keliru dalam hadits ini”. [Zadul Ma’ad 1/308]
Diantara
yang menyelisihi riwayat Abdul Wahid;
a)
Riwayat Syu’bah bin Al-Hajjaj, dari Suhail, dari Abu Shalih.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya
(1/378) no.1199;
عن شُعْبَة قَالَ: حَدَّثَنِي سُهَيْلُ
بْنُ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: «كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ
اضْطَجَعَ»
Dari
Syu'bah, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Suhail
bin Abu Shalih, dari Bapaknya, dari Abu Hurairah ia berkata:
"Jika Rasulullah ﷺ selesai dari dua
rakaat fajar, beliau berbaring".
b)
Riwayat Abu Ishaq, dari Muhammad bin Ibrahim,
dari Abu Shalih.
Diriwayatkan
oleh Al-Baihaqiy dalam “As-Sunan Al-Kubra” (3/64) no. 4888;
عَنْ أَبِي
إِسْحَاقَ قَالَ: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ
السَّمَّانِ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يُحَدِّثُ مَرْوَانَ بْنَ الْحَكَمِ
وَهُوَ عَلَى الْمَدِينَةِ: " أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ يَفْصِلُ بَيْنَ رَكْعَتَيْهِ مِنَ الْفَجْرِ وَبَيْنَ الصُّبْحِ بِضَجْعَةٍ
عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ ".
Dari Abi Ishaq, ia berkata: Muhammad
bin Ibrahim menceritakan kepadaku, dari Abi Shalih As-Samman, ia
berkata: Aku mendengar Abu Hurairah menceitakan kepada Marwan bin
Al-Hakam ketika ia di Madinah: “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dahulu memisahkan antara dua raka’at sunnah Fajar dan shalat Subuh
dengan berbaring pada sisi kanannya”.
Al-Baihaqiy –rahimahullah- berkata:
"هَذَا
أَوْلَى أَنْ يَكُونَ مَحْفُوظًا لِمُوَافَقَتِهِ سَائِرَ الرِّوَايَاتِ عَنْ
عَائِشَةَ، وَابْنِ عَبَّاسٍ"
“Riwayat
ini lebih utama sebagai riwayat yang terjaga karena sesuai dengan riwayat lain
dari Aisyah dan Ibnu ‘Abbas”.
Alasan
kedua: Periwayatan hadits Abdul
Wahid kepada Al-A’masy lemah.
Yahya bin Sa’id Al-Qathan –rahimahullah- berkata:
مَا رَأَيْتُ عَبْدَ الْوَاحِدِ بْنَ
زِيَادٍ يَطْلُبُ حَدِيثًا قَطُّ بِالْبَصْرَةِ وَلَا بِالْكُوفَةِ. وَكُنَّا
نَجْلِسُ عَلَى بَابِهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ أُذَاكِرُهُ حَدِيثَ
الْأَعْمَشِ لَا يُعْرَفُ مِنْهُ حَرْفًا. [الضعفاء
الكبير للعقيلي (3/ 55)]
“Aku tidak melihat sama sekali Abdul Wahid
bin Ziyad mencari hadits di Bashrah dan tidak pula di Kufah, dan dahulu kami
duduk di depan pintunya pada hari Jum’at setelah shalat, aku menanyakan tentang
hadits Al-A’masy lalu ia tidak mengetahui satu huruf pun darinya”.
[Adh-Dhu’afaa’ karya Al-‘Uqailiy: 3/55]
Abu Daud Ath-Thayalisiy –rahimahullah- berkata tentang Abdul Wahid bin Ziyad:
عَمِدَ إِلَيَّ أَحَادِيثَ كَانَ
يُرْسِلُهَا الْأَعْمَشُ فَوَصَلَهَا كُلَّهَا، يَقُولُ: حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ
قَالَ: حَدَّثَنَا مُجَاهِدٌ فِي كَذَا وَكَذَا. [الضعفاء
الكبير للعقيلي (3/ 55)]
“Ia menyampaikan kepadaku hadits-hadits
yang ia riwayatkan secara terputus dari
Al-A’masy dan ia meriwayatkan seluruhnya secara bersambung, ia berkata:
Al-A’masy telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Mujahid telah
menceritakan kepada kami tentang ini dan itu”. [Adh-Dhu’afaa’ karya
Al-‘Uqailiy: 3/55]
Adz-Dzahabiy –rahimahullah- berkata:
تجنبا تلك المناكير التي نقمت عليه؛
فيحدث عن الأعمش بصيغة السماع، عن أبي صالح، عن أبي هريرة، قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم: " إذا صلى أحدكم الركعتين قبل الصبح فليضطجع على يمينه ".
Kami meninggalkan hadits-hadits mungkar yang
aku temui padanya, ia meriwayatkan dari Al-A’masy dengan sigat sama’
(bersambung, padahal terputus), dari Abi Shalih, dari Abi Hurairah; Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: "Jika
salah seorang dari kalian selesai shalat dua rakaat sebelum Subuh, maka
hendaklah berbaring di atas rusuk kanannya." [Mizan Al-I’tidal
2/672]
Biografi Abdul Wahid
bin Ziyad:
Dia
adalah Abdul Wahid bin Ziyad Al-‘Abdiy maula mereka, Abu Bisyr Al-Bashriy.
Dihukumi
tsiqah oleh
Ibnu Sa’ad, Ibnu Ma’in, Ahmad bin Hanbal, Al-‘Ijliy, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Ad-Daraquthniy,
Ibnu ‘Adiy, Ibnu ‘Abdil Bar dan selainnya. Ibnu Hajar berkata: “Ia
tsiqah, riwayatnya pada Al-A’masy saja yang ada perbincangkan”.
An-Nasa’iy berkata: “Periwayatan haditsnya
tidak mengapa (laa ba’sa bih)”.
Dihukumi
lemah oleh Al-‘Uqailiy, Ibnu Al-Jauziy, dan selainnya.
Beliau
wafat tahun 176 hiriyah, atau setelahnya.[2]
Alasan ketiga: Abu Shalih tidak
mendengarkan hadits dari Abu Hurairah.
Abu Bakr bin Al-‘Arabiy
berkata, sebagaimana dinukil dalam kitab ‘Aridhatul Ahwadziy:
حديثُ أبي
هريرة معلولٌ، لم يَسمعْه أبو صالح من أبي هريرة، وبَيْن الأعمش وأبي صالحٍ كلامٌ".
“Hadits Abu
Hurairah cacat, Abu Shalih tidak mendengarkannya
dari Abu Hurairah, dan periwayatan antara Al-A’masy dan Abu Shalih ada
perbincangan”. [Lihat: Fatawa Haditsiyah karya syekh Abi Ishaq
Al-Huwainiy (2/27)]
Al-Mundziriy –rahimahullah- berkata:
قيل: إنّ أَبا صالح لم يَسمع هذا الحديثَ من أبي هريرة. فيكون منقطعًا
“Dikatakan
bahwa Abu Shalih tidak mendengarkan hadits ini dari Abi Hurairah, dengan
demikian sanadnya terputus”. [Mukhtashar Sunan Abi Daud 1/365]
Alasan keempat: Sebagian perawi
meriwayatkannya secara mursal.
Al-Atsram
–rahimahullah- berkata:
سمعت أحمد بن حنبل يُسئل عن الاضطجاع
بعد ركعتَي الفجر؟ فقال:
"ما أفعلُه أنا، فإنْ فعلَه رجلٌ" ثم سكتَ، كأنه لم يعبْه إن فعلَه. قيل
له: لِمَ لَمْ تأخذْ به؟ فقال: ليس فيه حديثٌ يثبتُ، قلت له:
حديث الأعمشِ عن أبي صالح عن أبي هريرة، قال: رواه بعضُهم مرسلًا.
Aku
mendengar Ahmad bin Hanbal ditanya tentang berbaring setelah shalat dua
raka’at sebelum fardhu Fajar? Ia menjawab: “Aku tidak melakukannya, dan
jika seseorang melakukannya”. Kemudian ia diam, seolah-olah ia tidak mencela
orang yang melakukannya. Ditanyakan lagi kepadanya: Kenapa engkau tidak
melakukannya? Ia menjawab: Tidak ada dalam masalah ini hadits yang kuat. Aku
bertanya kepadany: Bagaimana dengan hadits Al-A’masy dari Abi Shalihi dari Abi
Hurairah? Ia menjawab: “Sebagian perawi meriwayatkannya secara mursal”.
[Al-Jami’ Li ‘ulum Imam Ahmad (fiqhi) 6/393]
Ulama yang menshahihkan hadits ini:
At-Tirmidziy, Ibnu Hazm, An-Nawawiy, Ibnu
Hajar (Fathul Bari 3/44), syekh Albaniy, Abu Ishaq Al-Huwainiy rahimahumullah.
Adapun jawaban terhadap kritikan hadits
ini:
Yang
pertama: Periwayatan hadits
Al-A’masy terhadap Abu Shalih lebih kuat dari pada Suhail dan Muhammad bin Ibrahim.
Yahya bin Ma’in ditanya tentang
perawi yang paling kuat dari murid-murid Al-A’masy, ia menjawab:
"بعد سفيان وشعبة
أبو معاوية الضرير وبعده عبد الواحد بن زياد"
“Setelah Sufyan dan Syu’bah adalah Abu
Mu’awiyah Adh-Dharir, dan setelah itu Abdul Wahid bin Ziyad”. [Al-Jarh wa
At-Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim 6/21]
Yang kedua: Cacat pada riwayat Abdul Wahid terhadap Al-A’masy
khusus pada riwayat Al-A’masy kepada Mujahid sebagaimana disebutkan oleh Abu
Daud Ath-Thayalisiy. Adapun riwayat Al-A’masy kepada Abu Shalih maka termasuk
riwayat yang terkuat.
Adz-Dzahabiy –rahimahullah- berkata:
هو يدلس، وربما دلس عن ضعيف، ولا يدرى
به، فمتى قال حدثنا فلا كلام، ومتى قال " عن " تطرق إلى احتمال التدليس
إلا في شيوخ له أكثر عنهم: كإبراهيم، وابن أبي وائل، وأبي صالح السمان، فإن روايته
عن هذا الصنف محمولة على الاتصال. [ميزان الاعتدال
(2/ 224)]
“Ia melakukan tadlis (menjatuhkan gurunya
dari sanad), dan terkadang menjatuhkan seorang yang lemah dan ia tidak
diketahui, maka jika ia berkata “haddatsana” maka tidak ada perbincangan, dan
ketika ia berkata “’an” maka terdapa kemungkinan adanya tadlis, kecuali
riwayatnya pada beberapa guru yang ia banyak menerima hadits dari mereka
seperti Ibrahim, Ibnu Abi Wail, Abu Shalih As-Samman, karena seseungguhnya
periwayatannya pada golongan ini dianggap bersambung”. [Mizan Al-I’tidal 2/224]
Yang ketiga: Tidak ada bukti bahwa Abu Shalih tidak mendengar
hadits ini dari Abu Hurairah, sedangkan Abu Bakr bin Al-A’rabiy banyak
melakukan kekeliruan dalam menghukumi hadits.
Abu Shalih –rahimahullah- berkata:
" مَا أَحَدٌ
يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ إِلَّا وَأَنَا أَعْلَمُ صَادِقًا هُوَ أَمْ
كَاذِبًا " [الطبقات الكبرى (5/ 302)]
“Tida
ada seorang pun yang meriwayatkan dari Abu Hurairah kecuali aku tahu ia jujur
atau ia dusta”. [Ath-Thabaqat Al-Kubra 5/302]
Adz-Dzahabiy –rahimahullah- berkata:
"
لاَزَمَ أَبَا هُرَيْرَةَ مُدَّةً " [سير أعلام النبلاء (5/ 36)]
“Ia senantiasa bersama Abu Hurairah
beberapa waktu yang lama”. [Siar A’lam An-Nubalaa’ 5/36]
Yang
keempat: Tidak didapatkan riwayat mursal dari hadits ini.
Lihat: “Fatawa Haditsiyah” karya syekh Abi
Ishaq Al-Huwainiy –rahimahullah- (2/26).
b.
Hukum berbaring setelah shalat sunnah sebelum Fardhu Subuh:
Pendapat
pertama: Hukumnya wajib, shalat
subuh tidak sah tanpanya.
Dengan dalil hadits Abu Hurairah yang
mengandung perintah, sedangkan hukum asal perintah adalah wajib.
Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata:
كُلُّ مَنْ
رَكَعَ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ لَمْ تُجْزِهِ صَلَاةُ الصُّبْحِ إلَّا بِأَنْ
يَضْطَجِعَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ بَيْنَ سَلَامِهِ مِنْ رَكْعَتَيْ
الْفَجْرِ، وَبَيْنَ تَكْبِيرِهِ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ. وَسَوَاءٌ - عِنْدَنَا
- تَرْكُ الضَّجْعَةِ عَمْدًا أَوْ نِسْيَانًا؛ وَسَوَاءٌ صَلَّاهَا فِي وَقْتِهَا
أَوْ صَلَّاهَا قَاضِيًا لَهَا مِنْ نِسْيَانٍ، أَوْ عَمْدِ نَوْمٍ. فَإِنْ لَمْ يُصَلِّ
رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ لَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يَضْطَجِعَ، فَإِنْ عَجَزَ عَنْ
الضَّجْعَةِ عَلَى الْيَمِينِ لِخَوْفٍ، أَوْ مَرَضٍ، أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ
أَشَارَ إلَى ذَلِكَ حَسْبَ طَاقَتِهِ فَقَطْ. [المحلى بالآثار (2/ 227)]
“Semua orang yang melakukan dua raka’at Sunnah Fajar maka shalat
Subuhnya tidak sah kecuali jika ia berbaring pada sisi kanannya pada waktu
antara salam dari shalat Sunnah Fajarnya dengan takbiratul ihram untuk shalat
Subuh. Sama halnya –menurut kami- ia meninggalkan berbaring karena sengaja atau
karena lupa, dan sama halnya ia shalat pada waktunya atau ia qadhal karena lupa
atau sengaja tidur. Dan jika ia tidak shalat dua raka’at Sunnah Fajar maka
tidak mesti ia berbaring, dan jika ia tidak mampu berbaring pada sisi kanannya
karena ketakutan atau sakit atau selain itu maka ia memberi isyarat akan hal
itu sesuai kemampuannya saja”. [Al-Muhalla bil atsar 2/227]
Pendapat
kedua: Hukumnya makruh secara
mutlak.
Ini adalah pendapat Umar, Ibnu
Umar, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhum, Sa’id bin Al-Musayyib,
Ibrahim An-Nakha’iy, Sa’id bin Jubair dan Al-Hasan Al-Bashriy
rahimahumullah.
Sa’id
bin Al-Musayyib –rahimahullah-
berkata:
رَأَى عُمَرُ رَجُلًا اضْطَجَعَ بَعْدَ
الرَّكْعَتَيْنِ، فَقَالَ: «احْصِبُوهُ أَوْ أَلَا حَصَّبْتُمُوهُ» [مصنف ابن أبي شيبة]
“Umar melihat seorang yang berbaring
setelah shalat dua raka’at Sunnah Fajar dan berkata: Lempari ia atau tidakkah
kalian melempari ia?” [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah]
Ø Ibnu Umar -radhiallahu'anhuma- berkata:
«لَا نَفْعَلُهُ»،
وَيَقُولُ: «كَفَى بِالتَّسْلِيمِ» [مصنف عبد
الرزاق]
“Kami
tidak melakukannya (berbaring setelah shalat Sunnah Subuh)”. Ia juga berkata:
“Cukup ia memberi salam”. [Mushannaf ‘Abdurrazar]
Ø Mujahid –rahimahullah- berkata:
«صَحِبْتُ ابْنَ عُمَرَ
فِي السَّفَرِ وَالْحَضَرِ، فَمَا رَأَيْتُهُ اضْطَجَعَ بَعْدَ رَكْعَتَيِ
الْفَجْرِ» [مصنف ابن أبي شيبة]
“Saya mendampingi Ibnu Umar dalam
perjalanan jauh dan menetap, maka aku tidak pernya melihatnya berbaring setelah
dua raka’at Sunnah Fajar”. [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah]
Ø Abu Mijlaz –rahimahullah- berkata:
سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ عَنْ ضِجْعَةِ
الرَّجُلِ عَلَى يَمِينِهِ بَعْدَ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ،
فَقَالَ: «يَتَلَعَّبُ بِكُمُ الشَّيْطَانُ» [مصنف
ابن أبي شيبة]
“Aku bertanya kepada Ibnu Umar
tentang baringnya seseorang pada sisi kanannya setelah dua raka’at sebelum
shalat Fajar, maka ia menjawab: Setan mempermainkan kalian”. [Mushannaf Ibnu Abi
Syaibah]
Ø Abu Ash-Shiddiq
An-Najiy –rahimahullah-
berkata:
رَأَى ابْنُ عُمَرَ قَوْمًا
اضْطَجَعُوا بَعْدَ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهِمْ فَنَهَاهُمْ،
فَقَالُوا: نُرِيدُ بِذَلِكَ السُّنَّةَ، فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: «ارْجِعْ
إِلَيْهِمْ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهَا بِدْعَةٌ» [مصنف ابن أبي شيبة]
“Ibnu Umar melihat satu kaum
berbaring setelah dua raka’at Sunnah Fajar, maka ia mengutus seseorang kepada
mereka dan melarang mereka, lalu mereka berkata: Kami ingin menerapkan Sunnah
dengan hal itu! Maka Ibnu Umar berkata: Kembali kepada mereka dan sampaikan
bahwa itu adalah bid’ah”. [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah]
Ø Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu'anhu- berkata:
«مَا بَالُ الرَّجُلِ
إِذَا صَلَّى الرَّكْعَتَيْنِ يَتَمَعَّكُ كَمَا تَتَمَعَّكُ الدَّابَّةُ
وَالْحِمَارُ؟! إِذَا سَلَّمَ قَعَدَ فَصَلَّى» [مصنف ابن أبي شيبة]
“Ada apa dengan seseorang yang shalat dua
raka’at Sunnah Fajar kemudian ia berbaring seperti baringnya hewan dan
keledai?! Jika ia salam maka ia duduk kemudian shalat”. [Mushannaf Ibnu Abi
Syaibah]
Ø Sa’id bin
Al-Musayyib –rahimahullah- berkata:
«مَا بَالُ أَحَدِكُمْ
إِذَا صَلَّى الرَّكْعَتَيْنِ يَتَمَرَّغُ؟! كَفَاهُ التَّسْلِيمُ» [مصنف ابن أبي شيبة]
“Ada
apa dengan seseorang dari kalian, jika ia selesai shalat dua raka’at Sunnah
Fajar iam barbering?! Cukuplah ia memberi salam”. [Mushannaf Ibnu Abi
Syaibah]
Ø Al-Hasan bin
‘Ubaidillah –rahimahullah-
berkata:
«كَانَ إِبْرَاهِيمُ
يَكْرَهُ الضِّجْعَةَ بَعْدَمَا يُصَلِّي الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَ
الْفَجْرِ» قَالَ: «هِيَ ضِجْعَةُ الشَّيْطَانِ» [مصنف ابن أبي شيبة]
“Ibrahim membenci berbaring setelah
shalat dua raka’at sebelum shalat Fajar, ia berkata: Itu adalah baringnya
setan”. [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah]
Ø Sa’id bin Jubair –rahimahullah- berkata:
«لَا تَضْطَجِعْ بَعْدَ
الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ، وَاضْطَجِعْ بَعْدَ الْوِتْرِ» [مصنف ابن أبي شيبة]
“Jangan kalian berbaring setelah dua
raka’at sebelum Fajar, dan berbaringlah setelah shalat witir”. [Mushannaf Ibnu
Abi Syaibah]
Ø Hisyam –rahimahullah- berkata:
" أَنَّ الْحَسَن
كَانَ لَا يُعْجِبُهُ أَنْ يَضْطَجِعَ بَعْدَ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ " [مصنف ابن أبي شيبة]
“Sesungguhnya Al-Hasan tidak senang
dengan berbaring setelah dua raka’at Sunnah Fajar”. [Mushannaf Ibnu Abi
Syaibah]
Pendapat
ketiga: Makruh jika dilakukan
secara rutin, dan boleh jika untuk istirahat.
Ini adalah pendapat imam Malik dan
selainnya.
Pendapat
keempat: Hukumnya Sunnah secara
mutlak.
Ini
adalah pendapat Abu Musa Al-Asy’ariy, Rafi’ bin Khadij, Anas
bin Malik, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum, Muhammad bin
Sirin dan ‘Urwah bin Az-Zubair rahimahumallah.
Ibnu
Sirin –rahimahullah-
berkata:
" أَنَّ أَبَا
مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ، وَرَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ، وَأَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، كَانُوا
يَضْطَجِعُونَ عِنْدَ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ، وَيَأْمُرُونَ بِذَلِكَ " [مصنف عبد الرزاق الصنعاني]
“Sesungguhnya Abu Musa Al-Asy’ariy, Rafi’
bin Khadij, dan Anas bin Malik, mereka berbaring setelah dua raka’at
Sunnah Fajar, dan mereka memerintahkan hal itu”. [Mushannaf ‘Abdurrazaq
Ash-Shan’aniy]
Ø Mujahid –rahimahullah-
berkata:
أَنَّ مَرْوَانَ سَأَلَ أَبَا
هُرَيْرَةَ عَنْ الِاضْطِجَاعِ بَعْدَ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فَقَالَ: «لَا حَتَّى
تَضْطَجِعَ» [مصنف ابن أبي شيبة]
“Sesungguhnya Marwan bertanya kepada Abu
Hurairah tentang berbaring setelah dua raka’at Sunnah Fajar, maka ia
menjawab: Jangan shalat Subuh sampai ia berbaring”. [Mushannaf Ibnu Abi
Syaibah]
Ø Ibnu ‘Aun –rahimahullah- berkata:
«أَنَّ مُحَمَّد كَانَ
إِذَا صَلَّى رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ اضْطَجَعَ» [مصنف
ابن أبي شيبة]
“Sesungguhnya Muhammad jika ia
selesai shalat dua raka’at Sunnah Fajar, ia berbaring”. [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah]
Ø ‘Abdul Karim –rahimahullah- berkata:
«أَنَّ عُرْوَةَ، دَخَلَ
الْمَسْجِدَ وَالنَّاسُ فِي الصَّلَاةِ، فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَمَسَّ
جَنْبَهُ الْأَرْضَ، ثُمَّ قَامَ فَدَخَلَ مَعَ النَّاسِ فِي الصَّلَاةِ» [مصنف ابن أبي شيبة]
“Sesungguhnya ‘Urwah –rahimahullah- masuk masjid dan orang sedang shalat, maka ia shalat dua
raka’at Sunnah Fajar kemudian menyentuhkan sisinya ke tanah kemudian bangkit
dan ikut shalat bersama orang-orang”. [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah]
Pendapat
kelima: Disyari’atkan bagi yang shalat tahajjud untuk beristirahat.
Ibnu Juraij –rahimahullah- berkata:
أَخْبَرَنِي مَنْ أُصَدِّقُ: أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ: «كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ يُصَلِّي
رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ، ثُمَّ يَضْطَجِعُ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ حَتَّى
يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ فَيُؤْذِنَهُ بِالصَّلَاةُ، لَمْ يَضْطَجِعْ لِسُنَّةٍ
وَلَكِنَّهُ كَانَ يَدْأَبُ لَيْلَةً فَيَسْتَرِيحُ» [مصنف
عبد الرزاق الصنعاني]
Orang
yang saya percaya menyampaikan kepadaku bahwasanya ‘Aisyah -radhiallahu'anha-
berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika terbit Fajar ia
shalat dua raka’at secara ringan, kemudia ia berbaring di atas sisi kanannya
sampai muadzin mendatanginya dan meminta izin untuk shalat, beliau tidak
bebaring karena Sunnah, akan tetapi karena beliau shalat malam dan beristirahat
(dengan berbaring)”. [Mushannaf ‘Abdurrazaq]
Ash-Shan’aniy –rahimahullah- berkata: Sanad
hadits ini lemah karena ada perawi yang tidak
disebutkan namanya.
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat keempat: Sunnah secara mutlak.
Aisyah -radhiallahu'anha- berkata:
«كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ، فَإِنْ كُنْتُ
مُسْتَيْقِظَةً حَدَّثَنِي، وَإِلَّا اضْطَجَعَ». [صحيح
مسلم]
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
jika selesai shalat dua raka’aat Sunnah Fajar, apabila aku telah bangun maka
beliau mengajakku berbicara, dan jika tidak maka beliau berbaring”. [Shahih
Muslim]
Imam An-Nawawiy –rahimahullah- berkata: Pendapat
yang terpilih adalah Sunnah karena dzahirnya hadits Abi Hurairah –radhiyallahu
‘anhu-.
c.
Hikmah berbaring dengan sisi kanan:
Ibnu Qayyim –rahimahullah- berkata:
وَفِي اضْطِجَاعِهِ عَلَى شِقِّهِ
الْأَيْمَنِ سِرٌّ، وَهُوَ أَنَّ الْقَلْبَ مُعَلَّقٌ فِي الْجَانِبِ الْأَيْسَرِ،
فَإِذَا نَامَ الرَّجُلُ عَلَى الْجَنْبِ الْأَيْسَرِ، اسْتَثْقَلَ نَوْمًا،
لِأَنَّهُ يَكُونُ فِي دَعَةٍ وَاسْتِرَاحَةٍ، فَيَثْقُلُ نَوْمُهُ، فَإِذَا نَامَ
عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ، فَإِنَّهُ يَقْلَقُ وَلَا يَسْتَغْرِقُ فِي النَّوْمِ،
لِقَلَقِ الْقَلْبِ، وَطَلَبِهِ مُسْتَقَرَّهُ، وَمَيْلِهِ إِلَيْهِ، وَلِهَذَا
اسْتَحَبَّ الْأَطِبَّاءُ النَّوْمَ عَلَى الْجَانِبِ الْأَيْسَرِ لِكَمَالِ
الرَّاحَةِ وَطِيبِ الْمَنَامِ، وَصَاحِبُ الشَّرْعِ يَسْتَحِبُّ النَّوْمَ عَلَى
الْجَانِبِ الْأَيْمَنِ، لِئَلَّا يَثْقُلَ نَوْمُهُ فَيَنَامَ عَنْ قِيَامِ
اللَّيْلِ، فَالنَّوْمُ عَلَى الْجَانِبِ الْأَيْمَنِ أَنْفَعُ لِلْقَلْبِ،
وَعَلَى الْجَانِبِ الْأَيْسَرِ أَنْفَعُ لِلْبَدَنِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ. [زاد المعاد في هدي خير العباد (1/ 311)]
Berbaringnya Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam di atas sisi kanan terdapat rahasia (hikmah), yaitu bahwasanya
hati itu bergantung pada sisi kiri, sehingga jika seseorang tidur di atas sisi
kiri maka ia akan tertidur pulas, karena ia dalam kondisi nyaman dan istirahat
sehingga tidurnya pulas. Dan jika ia tidur di atas sisi kanan maka ia tidak
tenang dan tidak bisa tidur pulas, karena hati tidak tenang dan mencari tempat
yang baik yang sesuai. Oleh sebab itu para dolter menganjurkan untuk tidur di
sisi kiri untuk kesempurnaan istirahat dan kepuasan tidur, sedangkan sang pemilik
syari’at (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) menganjurkan tidur di sisi
kanan agar tidak tertidur pulas dan tidak mampu bangun shalat malam. Maka tidur
di sisi kanan lebih baik untuk hati, dan tidur di sisi kiri lebih baik untuk
badan. Wallahu a’lam! [Zadul Ma’ad]
Hukum
mengqadha’ shalat sunnah subuh
Boleh mengqadha’ shalat sunnah Subuh setelah
menunaikan shalat Subuh.
Qais bin ‘Amru radhiallahu ‘anhu
berkata:
رَأَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يُصَلِّي
بَعْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «أَصَلَاةَ الصُّبْحِ مَرَّتَيْنِ؟» فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ: إِنِّي
لَمْ أَكُنْ صَلَّيْتُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَهَا، فَصَلَّيْتُهُمَا.
قَالَ: فَسَكَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
melihat seorang laki-laki shalat dua raka’at setelah Subuh, maka Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam pun bertanya kepadanya: “Apakah ada shalat subuh
dikerjakan dua kali?!”
Laki-laki itu menjawab, “Aku belum mengerjakan
dua raka’at sebelum Subuh, maka aku mengerjakannya!”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
pun diam. “ [Sunan Ibnu Majah: Shahih]
Tapi
sebaikanya di-qadha setelah matahari terbit.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«مَنْ لَمْ يُصَلِّ
رَكْعَتَيِ الفَجْرِ فَلْيُصَلِّهِمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ»
“Barangsiapa belum melaksanakan unnah dua
rakaat fajar, hendaklah ia melaksanakannya setelah terbit matahari.” [Sunan
Tirmidzi: Shahih]
Wallahu a’lam!
Lihat juga: Syarah hadits tentang shalat Sunnah sebelum dan setelah shalat fardhu
[1]
Lihat biografi " Sa’id bin Jubair " dalam kitab: Ats-Tsiqat karya Al-‘Ijliy
1/395, Al-Jarh wa At-Ta'diil karya Ibnu Abi Hatim 4/9, Ats-Tsiqat karya Ibnu
Hibban 4/275, Tahdziib Al-Kamaal karya Al-Mizziy 10/358, Al-Kasyif karya
Adz-Dzahabiy 1/433, Tadzkiratul Huffadz karya Adz-Dzahabiy 1/76, Jami’
At-Tahshil karya Al-‘Alaiy hal.182, Taqriib At-Tahdziib karya Ibnu Hajar hal.374.
[2]
Lihat biografi Abdul Wahid bin Ziyad dalam
kitab: Ats-Tsiqah karya Al-‘Ijliy 2,107, Adh-Dhu'afaa' Al-Kabiir karya
Al-'Uqaily 3/55, Al-Jarh wa At-Ta’dil 6/20, Adh-Dhu'afaa'
karya Ibnu Al-Jauziy 2/155, Tahdzib Al-Kamal 18/450, Al-Kasyif 1/672, Taqrib At-Tahdzib hal.367.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...