بسم
الله الرحمن الرحيم
A.
Hadits ‘Imran bin Hushain
–radhiyallahu ‘anhu-.
'Imrah bin Hushain radhiyallahu
'anhu berkata:
كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ: «صَلِّ
قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى
جَنْبٍ» [صحيح البخاري]
"Suatu kali aku menderita sakit wasir,
lalu aku tanyakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang cara
shalat. Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Shalatlah
dengan berdiri, jika kamu tidak sanggup lakukanlah dengan duduk dan bila tidak
sanggup juga lakukanlah dengan berbaring pada salah satu sisi badannya".
[Shahih Bukhari]
Az-Zaila’iy (Nashburrayah 2/175) dan Ibnu
Hajar (At-Talkhish 1/551) –rahimahumallah- menyebutkan bahwa
imam An-Nasa’iy –rahimahullah- juga meriwayatkan hadits ini
dengan tambahan lafadz:
" فإن لم تستطع؛
فمستلقياً، {لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا} ".
“Kalau
ia tidak mempu (shalat dengan samping badannya) maka hendaklah ia shalat
dengan terlentang {Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya} “.
Hadits
ini tidak ditemukan dalam Sunan “Ash-Shugraa”
maupun “Al-Kubraa” karya An-Nasa’iy. Wallahu a’lam!
B.
Hadits Jabir bin Abdillah
–radhiyallahu ‘anhuma-.
Diriwayatkan
oleh Al-Bazzaar –rahimahullah- dalam musnadnya, sebagaimana
disebutkan dalam kitab “Kaysful Astaar” karya Al-Haitsamiy (1/274) no.568,
dan Al-Baihaqiy –rahimahullah- dalam “Ma’rifatussunan wal aatsaar”
(3/225) no.4359:
عن أَبي
بَكْرٍ الْحَنَفِيّ، ثنا
سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَادَ مَرِيضًا، فَرَآهُ يُصَلِّي
عَلَى وِسَادَةٍ، فَرَمَى بِهَا، فَأَخَذَ عُودًا يُصَلِّي عَلَيْهِ، فَرَمَى
بِهِ، وَقَالَ: «إِنْ أَطَقْتَ الأَرْضَ وَإِلا فَأَوْمِئْ إِيمَاءً، وَاجْعَلْ
سُجُودَكَ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوعِكَ».
Dari Abu Bakr
Al-Hanafiy, ia berkata: Sufyan Ats-Tsauriy menceritakan kepada kami,
dari Abu Az-Zubair, dari Jabir; Bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menjenguk seorang yang sakit, kemudian beliau melihatnya
shalat di atas bantal, maka beliau menjauhkannya, kemudian orang tersebut
mengambil kayu untuk shalat di atasnya, maka beliau menjauhkannya, dan
bersabda: “Jika engkau mampu maka shalatlah (sujud) di atas tanah, jik
tidak mampu maka berilah isyarat anggukan kepala, dan jadikanlah anggukan
kepala untuk sujudmu lebih rendah ketika rukuk”.
Al-Bazzaar berkata: “Kami tidak mengetahui
seseorang yang meriwayatkan hadits ini dari Ats-Tsauriy kecuali Al-Hanafiy”.
Abu Hatim Ar-Raziy –rahimahullah- berkata: Hadits
ini keliru, yang benar hadits ini hanya mauquuf
dari perkataan Jabir bahwasanya ia menemui seorang yang sakit.
Kemudian ada yang bertanya: Akan tetapi Abu Usamah telah meriwayatkan hadits ini dari
Ats-Tsauriy secara marfuu’ (dari Nabi)?
Maka Abu Hatim menjawab: Riwayat itu tidak
ada artinya, hadits itu juga mauquuf (dari perkataan Jabir). [‘Ilal Ibnu
Abi Hatim 2/197 no.307]
Al-Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- membantah
pendapat Abu Hatim ini dengan mengatakan bahwa tiga perawi yang tsiqah telah
meriwayatkan hadits ini dari Sufyan Ats-Tsauriy, yaitu: Abu Bakr Al-Hanafiy,
Abu Usamah (Hammad bin Usamah), dan Abdul Wahhab bin ‘Athaa.
Hadits ini ada penguat (syaahid), dari
Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu:
Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy –rahimahullah- dalam
“Al-Mu’jam Al-Kabiir” (12/269) no.13082:
عن حَفْص
بْن سُلَيْمَانَ، عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ، عَنِ
ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: عَادَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِهِ مَرِيضًا، وَأَنَا مَعَهُ فَدَخَلَ عَلَيْهِ، وَهُوَ
يُصَلِّي عَلَى عُودٍ فَوَضَعَ جَبْهَتَهُ عَلَى الْعُودِ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ
فَطَرَحَ الْعُودَ وَأَخَذَ وِسَادَةً فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «دَعْهَا عَنْكَ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَسْجُدَ عَلَى
الْأَرْضِ، وَإِلَّا فَأَوْمِئْ إِيمَاءً، وَاجْعَلْ سُجُودَكَ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوعِكِ»
Dari
Hafs bin Sulaiman, dari Qais bin Muslim, dari
Thariq bin Syihab, dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menjenguk seorang dari sahabatnya yang sedang sakit, dan
aku ikut bersamanya kemudian beliau menemuinya sementara ia sedang shalat di
atas kayu kemudian meletakkan dahinya di atas kayu (ketika sujud), maka beliau
memberi isyarat kemudian menjauhkan kayu tesebut, lalu oran gtersebut mengambil
bantal. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jauhkan
itu darimu, jika engkau mamu maka sujudlah di atas tanah, dan jika tidak maka
cukup memberi isyarat aggukan kepala, dan jadikanlah anggukan sujudmu lebih
rendah dari rukukmu”.
Hadits
ini dilemahkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam “At-Talkhish
Al-Habiir” (1/555).
Hafs bin Sulaiman dalam sanad
ini ada dua kemungkinan: Dia adalah Hafs bin Sulaiman
Al-Asadiy, Abu Umar Al-Bazzaar Al-Kufiy Al-Qaari’[1].
Atau dia adalah Hafs bin Sulaiman Al-Minqariy
At-Tamimiy Al-Bashriy[2].
Jika
ia adalah orang yang pertama maka hadits ini sangat
lemah karena ia seorang yang tertolak haditsnya (matruukul hadits).
Namun jika ia adalah orang yang kedua maka hadits ini shahih
karena ia seorang yang tsiqah.
Syekh
Albaniy –rahimahullah- men-shahih-kan
hadits ini dalam kitabnya “Silsilah Ash-Shahihah” no.323.
Ada riwayat lain, tapi sangat lemah:
a)
Hadits Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu
‘anhu-.
Diriwayatkan oleh Ad-Daaraquthniy
–rahimahullah- dalam Sunan-nya (2/377) no.1706:
عن حَسَن بْن
حُسَيْنٍ الْعُرَنِيّ , حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ زَيْدٍ , عَنْ جَعْفَرِ
بْنِ مُحَمَّدٍ , عَنْ أَبِيهِ , عَنْ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ , عَنِ الْحُسَيْنِ
بْنِ عَلِيٍّ , عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ , عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «يُصَلِّي
الْمَرِيضُ قَائِمًا إِنِ اسْتَطَاعَ , فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ صَلَّى قَاعِدًا ,
فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَسْجُدَ أَوْمَأَ وَجَعَلَ سُجُودَهُ أَخْفَضَ مِنْ
رُكُوعِهِ , فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ قَاعِدًا صَلَّى عَلَى
جَنْبِهِ الْأَيْمَنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ , فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ
يُصَلِّيَ عَلَى جَنْبِهِ الْأَيْمَنِ صَلَّى مُسْتَلْقِيًا وَرِجْلَاهُ مِمَّا يَلِي الْقِبْلَةَ»
Dari
Hasan bin Husain Al-‘Uraniy, ia berkata: Husain
bin Zaid menceritakan kepada kami, dari Ja’far bin Muhammad, dari bapaknya,
dari Ali bin Husain, dari Al-Husain bin Ali, dari Ali bin Abi Thalib,
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Orang
yang sakit shalat berdiri jika mampu, jika tidak mampu maka shalat duduk, jika
tidak mampu maka ia sujud dengan anggukan kepada, dan menjadikan anggukan
sujudnya lebih rendah dari rukuknya, jika ia tidak mampu shalat duduk maka ia
shalat dengan berbaring di atas sisi badannya yang sebelah kanan menghadap kiblat,
jia ia tidak mampu shalat dengan sisi kanannya maka ia shalat
terlentang dan kedua kakinya menghadap kiblat”.
Sanad
hadits ini sangat lemah, karena ada Hasan bin Husain Al-‘Uraniy Al-Kufiy[3].
Periwayatan haditsnya ditolak (matruuk).
b)
Hadits Ibnu Abbas –radhiyallahu
‘anhuma-.
Diriwayatkan
oleh Ath-Thabaraniy –rahimahullah- dalam “Al-Ausath”
(4/210) no.3997:
عن حَلْبَسُ
بْنُ مُحَمَّدٍ الضُّبَعِيُّ قَالَ: نا ابْنُ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ،
ونَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: «يُصَلِّي الْمَرِيضُ قَائِمًا، فَإِنْ نَالَتْهُ مَشَقَّةٌ صَلَّى
جَالِسًا، فَإِنْ نَالَتْهُ مَشَقَّةٌ صَلَّى نَائِمًا يُومِئُ بِرَأْسِهِ، فَإِنْ
نَالَتْهُ مَشَقَّةٌ سَبَّحَ»
Dari
Halbas bin Muhammad Adh-Dhuba’iy, ia berkata:
Ibnu Juraij menyampaikan kepada kami, dari ‘Athaa’, dan Nafi’, dari Ibnu
‘Abbas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Orang
yang sakit shalat sambil berdiri, jika ia merasakan kesulitan maka ia shalat
duduk, jika ia merasakan kesulitan maka cukum memberi isyarat dengan kepalanya,
dan jika ia merasakan kesuliatan maka cukup bertasbih”.
Sanad
hadits ini sangat lemah, karena ada Halbas bin Muhammad Adh-Dhuba’iy Al-Kalbiy atau Al-Kilabiy[4].
Ibnu ‘Adiy –rahimahullah-berkata: “Ia meriwayatkan hadits mungkar dari
perawi yang tsiqah”. Adz-Dzahabiy –rahimahullah-berkata: “Haditsnya
ditolak (matruukul hadits)”.
Penjelasan singkat hadits ini:
1.
‘Imran bin Hushain bin ‘Ubaid, Abu Nujaid Al-Khuza’iy radhiyallahu
'anhu.
Beliau masuk Islam pada saat perang Khaebar
bersama Abu Hurairah tahun 7 hijriah. Beliau pemegang panji kabilah “Khuza’ah”
ketika pembebasan kota Mekah. Beliau wafat tahun 53 hijriyah.
Malaikat memberi salam kepadanya:
Mutharrif –rahimahullah- berkata: Saat sakit yang menyebabkan
kematiannya, Imran bin Hushain mengutus seseorang kepadaku. Kemudian ia
pun berkata;
إِنِّي كُنْتُ مُحَدِّثَكَ
بِأَحَادِيثَ، لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَنْفَعَكَ بِهَا بَعْدِي، فَإِنْ عِشْتُ
فَاكْتُمْ عَنِّي، وَإِنْ مُتُّ فَحَدِّثْ بِهَا إِنْ شِئْتَ: إِنَّهُ قَدْ
سُلِّمَ عَلَيَّ، وَاعْلَمْ أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَدْ جَمَعَ بَيْنَ حَجٍّ وَعُمْرَةٍ، ثُمَّ لَمْ يَنْزِلْ فِيهَا كِتَابُ اللهِ،
وَلَمْ يَنْهَ عَنْهَا نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ
رَجُلٌ فِيهَا: بِرَأْيِهِ مَا شَاءَ
“Saya akan menceritakan kepadamu suatu
hadits dan semoga bermanfaat bagimu sepeninggalku nanti. Jika saya masih hidup,
maka rahasiakanlah, dan bila aku telah meninggal, maka ceritakanlah hadits itu
jika kamu mau. Sesungguhnya aku telah diberi salam (oleh Malaikat). Dan
ketahuilah, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah menggabungkan
antara haji dan umrah. Setelah itu, tidak ada ayat yang melarangnya. Dan Nabi shallallahu
'alaihi wasallam juga tidak pernah melarangnya. Namun seorang laki-laki
telah berkata tentangnya dengan pendapatnya sendiri”. [Shahih Muslim]
Dalam riwayat lain:
«أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا
عَسَى اللهُ أَنْ يَنْفَعَكَ بِهِ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ جَمَعَ بَيْنَ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ، ثُمَّ لَمْ يَنْهَ عَنْهُ حَتَّى
مَاتَ، وَلَمْ يَنْزِلْ فِيهِ قُرْآنٌ يُحَرِّمُهُ، وَقَدْ كَانَ يُسَلَّمُ
عَلَيَّ، حَتَّى اكْتَوَيْتُ، فَتُرِكْتُ، ثُمَّ تَرَكْتُ الْكَيَّ فَعَادَ»
“Akan kusampaikan kepadamu sebuah hadits,
semoga ia bermanfaat bagimu. Yaitu; bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam pernah menggabungkan umrah dengan haji dan mengerjakannya
sekaligus. Kemudian beliau tidak pernah melarang yang demikian sampai beliau
meninggal. Serta ayat yang melarang demikian pun tidak pernah turun. Dan
pernah aku diberi salam (oleh Malaikat), sampai aku berobat dengan cara
kai’ (besi panas), maka aku ditinggalkan (malaikat tidak lagi memberi salam),
kemudian aku meninggalkan ka’i, maka malaikat kembali (memberi salam kepadaku)”.
[Shahih Muslim]
2.
Jabir bin Abdillah bin ‘Amr bin Haram, Abu Abdillah
Al-Khazrajiy Al-Anshariy Al-Salmiyy radhiyallahu ‘anhu.
Ayahnya juga seorang sahabat Nabi yang
syahid pada perang Uhud. Jabir menghadiri perjanjian ‘Aqabah, mengikuti semua
peperangan bersama Nabi kecuali perang Badr dan Uhud. Beliau wafat setelah tahun
70 hijriah di Madinah.
Rasulullah mendo’akan keberkahan dan
kebaikan kepadanya:
Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhuma
berkata, "Bapakku wafat dan ia meninggalkan tujuh orang anak wanita, maka
aku pun menikah dengan seorang janda." Maka Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bertanya padaku: "Apakah kamu sudah menikah wahai
Jabir?"
Aku menjawab, "Ya."
Beliau bertanya lagi: "Dengan gadis
ataukah janda?"
Aku menjawab, "Dengan janda."
Beliau bersabda:
«فَهَلَّا جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا
وَتُلاَعِبُكَ، وَتُضَاحِكُهَا وَتُضَاحِكُكَ»
"Kenapa tidak dengan gadis sehingga
kamu dapat bermain-main dengannya dan ia pun dapat bermain-main denganmu. Kamu
dapat bergurau dengannya dan ia pun dapat bergurau denganmu?."
Maka aku pun berkata pada beliau,
"Sesungguhnya Abdullah meninggal, dan ia meninggalkan banyak anak wanita.
Dan aku tidak suka membawakan mereka (menikahi) gadis seperti mereka. Karena
itulah, aku menikahi seorang wanita dewasa (janda) agar dapat mengurus
mereka."
Maka beliau pun bersabda:
«بَارَكَ اللَّهُ لَكَ»
"Semoga Allah memberi keberkahan
padamu."
Atau beliau mendo’akan Jabir dengan
kebaikan. [Shahih Bukhari]
3.
Berdiri ketika shalat fardhu adalah rukun shalat bagi yang
mampu.
Allah -subhanahu wata’aalaa-
berfirman:
{وَقُومُوا
لِلَّهِ قَانِتِينَ} [البقرة
: 23]
Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu)
dengan khusyu'. [Al Baqarah: 238]
4.
Kondisi dibolehkan shalat sambil duduk:
a)
Sedang sakit dan tidak mampu atau kesulitan berdiri.
Ukuran kesulitan, jika ia shalat berdiri
maka kekhusyu’annya terganggu karena menahan sakit.
b)
Shalat sunnah.
Abdullah
bin Syaqiq Al-‘Uqailiy –rahimahullah- berkata: Aku bertanya kepada Aisyah
radhiyallahu 'anha tentang
shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di malam hari, maka ia
menjawab:
«كَانَ يُصَلِّي لَيْلًا
طَوِيلًا قَائِمًا، وَلَيْلًا طَوِيلًا قَاعِدًا، وَكَانَ إِذَا قَرَأَ قَائِمًا
رَكَعَ قَائِمًا، وَإِذَا قَرَأَ قَاعِدًا رَكَعَ قَاعِدًا» [صحيح مسلم]
“Rasulullah
terkadan shalat malam yang panjang sambil berdiri, dan terkadang shalat malam
yang panjang sambil duduk, dan jika beliau membaca ayat sambil berdiri maka ia
ruku’ sambil berdiri, dan jika beliau membaca sambil duduk maka beliau ruku’
sambil duduk”. [Shahih Muslim]
c)
Kondisi ketakutan (perang berkecamuk).
Allah -subhanahu wata’aalaa-
berfirman:
{فَإِنْ
خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا} [البقرة : 239]
Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya),
maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. [Al Baqarah: 239]
d)
Kondisi sulit atau darurat, seperti di atas perahu kecil,
pesawat, atau terpasung.
Ibnu
Umar radhiyallahu
'anhuma berkata: Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam ditanya tentang shalat di atas perahu, maka beliau
menjawab:
" صَلِّ فِيهَا
قَائِمًا، إِلَّا أَنْ تَخَافَ الْغَرَقَ " [السنن
الكبرى للبيهقي وحسنه]
“Shalatlah
di atas perahu sambil berdiri, kecuali jika engkau khawatir tenggelam”.
[As-Sunan Al-Kubraa karya Al-Baihaqiy, dan beliau menghukuminya hasan]
e)
Ketika shalat dalam keadaan telanjang karena tidak
mendapatkan pakaian.
Jika sesorang tidak mendapatkan sehelai
kain pun, maka ia boleh shalat dengan telanjang.
Mazhab Hanafiy dan Hambaliy
membolehkan ia shalat berdiri atau duduk (untuk menutupi auratnya) dengan cukup
memberi isyarat kepala untuk ruku’ dan sujudnya.
Adapun mazhab Malikiy dan Syafi’iy
maka ia wajib shalat berdiri.
Dan jika setelah shalat ia mendapatkan
pakaian maka ia tidak perlu mengulangi shalatnya menurut mazhab Syafi’i dan
Hambali. [Shahih fiqhi Sunnah 1/303]
f)
Ketika makmum kepada imam yang shalat duduk karena udzur.
Ulama berselisih pendapat dalam masalah
ini:
'Aisyah -radhiyallahu 'anha- Ummul
Mukminin berkata, "Saat sakit Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
pernah shalat di rumahnya sambil duduk. Dan segolongan kaum shalat di belakang
beliau dengan berdiri. Maka beliau memberi isyarat kepada mereka agar duduk.
Ketika shalat sudah selesai beliau bersabda:
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ
بِهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا وَإِذَا صَلَّى
جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا
"Sesungguhnya imam dijadikan untuk
diikuti, apabila dia rukuk maka rukuklah kalian, bila dia mengangkat kepalanya
maka angkatlah kepala kalian. Dan bila dia shalat dengan duduk, maka shalatlah
kalian dengan duduk." [Shahih Bukhari no.467]
Madzhab Ahnaaf dan Syafi’iy
mewajibkan makmum untuk shalat berdiri jika mampu, adapun perintah duduk
mengikuti imam dalam hadits Bukhari no.647 dan 648, telah di-nasakh
(hukumnya dicabut) dengan hadits sebelumnya no.646 dimana Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam shalat dengan cara duduk sedangkan sahabatnya shalat dengan
cara berdiri.
● 'Ubaidullah bin 'Abdullah bin 'Utbah ia
berkata, "Aku masuk menemui 'Aisyah radhiyallahu 'anha, aku
lalu berkata kepadanya, "Maukah engkau menceritakan kepadaku tentang
peristiwa yang pernah terjadi ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
sedang sakit?"
'Aisyah menjawab, " ... Ketika
itu Abu Bakar sedang mengimami shalat, ketika ia melihat beliau (Nabi) datang,
Abu Bakar berkehendak untuk mundur dari posisinya namun Nabi shallallahu
'alaihi wasallam memberi isyarat supaya dia tidak mundur. Kemudian beliau
bersabda:
أَجْلِسَانِي إِلَى جَنْبِهِ
"Dudukkanlah aku di sampingnya."
Maka kami mendudukkan beliau di samping Abu
Bakar. Maka jadilah Abu Bakar shalat dengan mengikuti shalatnya Nabi shallallahu
'alaihi wasallam sementara orang-orang mengikuti shalatnya Abu Bakar, dan
saat itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat sambil duduk
(sedangkan Abu Bakr dan sahabat lainnya shalat berdiri)". [Shahih Bukhari
no.646]
■
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam pada suatu hari mengendarai kudanya lalu terjatuh dan terhempas
pada bagian lambungnya yang kanan. Karena sebab itu beliau pernah melaksanakan
shalat sambil duduk di antara shalat-shalatnya. Maka kamipun shalat di belakang
Beliau dengan duduk. Ketika selesai Beliau bersabda:
" إِنَّمَا جُعِلَ
الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا صَلَّى قَائِمًا، فَصَلُّوا قِيَامًا،
فَإِذَا رَكَعَ، فَارْكَعُوا وَإِذَا رَفَعَ، فَارْفَعُوا، وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ
اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَقُولُوا: رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ، وَإِذَا صَلَّى
قَائِمًا، فَصَلُّوا قِيَامًا، وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا، فَصَلُّوا جُلُوسًا
أَجْمَعُونَ "
"Sesungguhnya imam dijadikan untuk
diikuti, jika ia shalat dengan berdiri maka shalatlah kalian dengan berdiri.
Jika ia rukuk maka rukuklah kalian, jika ia mengangkat kepalanya maka angkatlah
kepala kalian. Dan jika ia mengucapkan SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH (Semoga
Allah merndengar orang yang memuji-Nya) ', maka ucapkanlah; RABBANAA WA
LAKAL HAMDU (Ya Rabb kami, milik Engkaulah segala pujian) '. Dan jika ia
shalat dengan berdiri maka shalatlah kalian dengan berdiri, dan jika ia
shalat dengan duduk maka shalatlah kalian semuanya dengan duduk."
Abu 'Abdullah (Imam Bukhari) berkata:
Al-Humaidiy ketika menerangkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
'Dan bila dia shalat dengan duduk maka shalatlah kalian dengan duduk' dia
berkata, "Kejadian ini adalah saat sakitnya Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam di waktu yang lampau. Kemudian setelah itu Nabi shallallahu
'alaihi wasallam shalat dengan duduk sedangkan orang-orang shalat di
belakangnya dengan berdiri, dan beliau tidak memerintahkan mereka agar duduk.
Dan sesungguhnya yang dijadikan ketentuan adalah berdasarkan apa yang paling
akhir dari perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam." [Shahih
Bukhari no.648]
~ Adapun mazhab Hanabilah dan Dzahiriy
berpendapat bahwa makmum harus ikut imam jika ia shalat duduk sejak dari awal
shalat, sebagaimana hadits Bukhari no.647 dan 648. Adapun jika imam tiba-tiba
shalat dengan cara duduk di pertengahan shalat, maka makmum tetap shalat dengan
cara berdiri, seperti yang dicontohkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
pada hadits Bukhari no.646.
Lihat: https://islamqa.info
5.
Orang yang shalat sunnah sambil duduk padahal mampu berdiri,
maka pahalanya berkurang.
'Imran bin Hushain radhiyallahu
'anhu pernah menderita sakit wasir. Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam tentang seseorang yang melaksanakan shalat dengan duduk.
Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab:
مَنْ
صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ
الْقَائِمِ وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ
"Siapa yang shalat dengan berdiri maka
itu lebih utama. Dan siapa yang melaksanakan shalat dengan duduk maka baginya
setengah pahala dari orang yang shalat dengan berdiri dan siapa yang shalat
dengan tidur (berbaring) maka baginya setengah pahala orang yang shalat dengan
duduk".
Berkata Abu 'Abdullah Al Bukhari –rahimahullah-; "Menurutku
yang dimaksud dengan tidur adalah berbaring." [Shahih Bukhari]
● Anas bin Malik radhiyallahu
'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
صَلَاةُ
الْقَاعِدِ نِصْفُ صَلَاةِ الْقَائِمِ
"Shalat dengan duduk (pahalanya)
separoh shalat berdiri". [Musnad Ahmad: Shahih]
~ Kecuali Nabi shallallahu ' alaihi
wasallam, pahalanya tetap sempurna.
Dari Abdullah bin 'Amru radhiyallahu
'anhuma; Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
صَلَاةُ
الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلَاةِ
"Shalat seseorang yang dilakukanya
dengan duduk, memperoleh separoh pahala shalat (dengan berdiri)."
Abdullah bin 'Amru berkata; Lalu aku
menemui beliau, ternyata aku mendapati beliau shalat dengan duduk, lalu aku
meletakkan tanganku di atas kepalanya, maka beliau bersabda: "Apa urusanmu
wahai Abdullah bin 'Amru?"
Aku menjawab; "Disampaikan kepadaku
wahai Rasulullah, bahwa engkau bersabda: "Shalat seseorang dengan duduk
mendapat separoh pahala shalat dengan berdiri", lalu kenapa engkau shalat
dengan duduk?"
Beliau menjawab:
أَجَلْ
وَلَكِنِّي لَسْتُ كَأَحَدٍ مِنْكُمْ
"Benar, namun aku tidak seperti
kalian." [Shahih Muslim]
6.
Orang yang shalat duduk karena tidak mampu maka pahalanya
sempurna.
Dari Abu Musa radhiyallahu 'anhu;
Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا
مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا
صَحِيحًا
"Jika seorang hamba sakit atau
bepergian (lalu beramal) ditulis baginya (pahala) seperti ketika dia beramal
sebagai muqim dan dalam keadaan sehat". [Shahih Bukhari]
7.
Boleh shalat sunnah berdiri sebagian dan duduk sebagiannya.
Dari
Aisyah ummul mu’minin -radhiyallahu 'anha-:
«أَنَّهَا لَمْ تَرَ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي صَلاَةَ اللَّيْلِ
قَاعِدًا قَطُّ حَتَّى أَسَنَّ، فَكَانَ يَقْرَأُ قَاعِدًا، حَتَّى إِذَا أَرَادَ
أَنْ يَرْكَعَ قَامَ، فَقَرَأَ نَحْوًا مِنْ ثَلاَثِينَ آيَةً - أَوْ أَرْبَعِينَ
آيَةً - ثُمَّ رَكَعَ» [صحيح البخاري ومسلم]
“Bahwasanya ia sama sekali tidak pernah
melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di malam hari
dalam keadaan duduk sampai beliau lanjut usia, dan terkadang beliau shalat
duduk, jika beliau sudah ingin ruku’ beliau berdiri kemudian melanjutkan
bacaanya sekitar tiga puluh ayat atau empat puluh ayat, kemudian beliau ruku’’.
[Shahih Bukhari dan Muslim]
8.
Cara duduk dalam shalat adalah seperti duduk tasyahhud (iftirasy
atau tawarruk), dan boleh juga dengan bersila. Dan tidak boleh
menbentangkan kaki ke depan kecuali darurat.
'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata;
رَأَيْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مُتَرَبِّعًا
'Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam shalat sambil duduk dengan kaki bersilang di bawah paha (mutarabi').
[Sunan An-Nasaiy: Shahih]
9.
Ketika shalat duduk atau baring maka ruku' dan sujud dengan
isyarat kepala jika tidak mampu, merunduk ketika sujud lebih rendah dari
ruku'nya.
Dan tidak boleh mengabil seseuatu sebagai
tempat sujud ketika tidak mampu sujud di tanah/lantai.
10. Boleh shalat sambil tidur jika tidak
mampu duduk.
Allah -subhanahu wata’aalaa-
berfirman:
{فَاذْكُرُوا اللَّهَ
قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ} [النساء:
103]
Ingatlah Allah di waktu berdiri,
di waktu duduk dan di waktu berbaring. [An-Nisaa’: 103]
Tapi jika mampu, maka tidak dibolehkan shalat
berbaring sekalipun dalam shalat sunnah.
11. Cara shalat berbaring dengan badan
sisi kanan di bawah dan menghadapkan wajah ke kiblat.
Aisyah radhiyallahu 'anha
berkata:
«كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ التَّيَمُّنَ مَا اسْتَطَاعَ
فِي شَأْنِهِ كُلِّهِ، فِي طُهُورِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَتَنَعُّلِهِ» [صحيح البخاري ومسلم]
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
suka memulai yang kanan dalam setiap urusannya sesuai kemampuan, dalam
bersucinya, bersisirnya, dan memakai sendalnya. [Sahih Bukhari dan Muslim]
Kalau tidak mampu maka boleh dalam
keadaan apapun yang memungkinkan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
«وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ
بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»
“Dan jika aku memerintahkan sesuatu kepada
kalian maka kerjakanlah sesuai dengan kemampuan kalian”. [Shahih Bukhari dan
Muslim]
12. Hukum shalat sambil bersandar di
tembok atau tali.
Ummu Qais binti Mihshan radhiyallahu
'anha menyampaikan:
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَسَنَّ وَحَمَلَ
اللَّحْمَ اتَّخَذَ عَمُودًا فِي مُصَلَّاهُ يَعْتَمِدُ عَلَيْهِ
“Bahwa setelah berusia lanjut dan lemah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membuat tiang di tempat
shalatnya untuk bersandar." [Sunan Abi Daud: Shahih]
Hadits ini menunjukkan bahwa boleh
shalat sambil sandar jika ada udzur, jika tidak maka hal tersebut dilarang.
■
Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata:
دَخَلَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا حَبْلٌ مَمْدُودٌ بَيْنَ
السَّارِيَتَيْنِ فَقَال:َ مَا هَذَا الْحَبْل؟ُ قَالُوا: هَذَا حَبْلٌ
لِزَيْنَبَ، فَإِذَا فَتَرَتْ تَعَلَّقَتْ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا، حُلُّوهُ، لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَه،ُ فَإِذَا
فَتَرَ فَلْيَقْعُدْ
"Pada suatu hari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam masuk (ke masjid), kemudian Beliau mendapati tali yang
diikatkan dua tiang. Kemudian Beliau berkata: "Apa ini?"
Orang-orang menjawab: "Tali ini milik
Zainab, bila dia shalat dengan berdiri lalu merasa letih, dia berpegangan tali
tersebut".
Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Jangan ia lakukan sedemikian itu. Hendaklah seseorang dari
kalian tekun dalam ibadah shalatnya dan apabila dia merasa letih, shalatlah
sambil duduk". [Shahih Bukhari dan Muslim]
13. Hadits ini menunjukkan bahwa Islam
adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan.
Allah subhanahu wata’aalaa
berfirman:
{وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ
فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ} [الحج: 78]
Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan. [Al-Hajj: 78]
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda suatu hari:
"
لَتَعْلَمُ
يَهُودُ أَنَّ فِي دِينِنَا فُسْحَةً، إِنِّي أُرْسِلْتُ بِحَنِيفِيَّةٍ سَمْحَةٍ
" [مسند أحمد: سنده حسن]
"Agar orang Yahudi tahu bahwa dalam
agama kita ada kelonggaran, sesungguhnya aku diutus dengan agama yang lurus dan
ringan". [Musnad Ahmad: Sanadnya Hasan]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
" إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ
يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ " [صحيح
البخاري]
"Sesungguhnya agama Islam itu mudah
(jika mengikuti Al-Qur'an dan Sunnah dengan baik), dan seseorang tidak
mempersulit urusan agama (dengan sesuatu yang tidak disyari'atkan) kecuali ia
akan terkalahkan olehnya". [Sahih Bukhari]
14. Setiap ada kesulitan dalam
menjalankan syari’at Islam maka dibolehkan mengambil keringanan.
Beberapa kaidah fiqhiyah berbunyi:
"
المشقة تجلب التيسير "
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
" لا واجب مع العجز
ولا محرم مع الضرورة "
“Tidak ada kewajiban jika tidak mampu, dan tidak ada keharaman jika
darurat”.
" التكليف مشروط بالعلم والقدرة
معاً "
“Beban hukum taklif disyarakan adanya ilmu dan kemampuan
melaksanakannya”.
" إذا ضاق الأمر اتسع وإذا اتسع
ضاق "
“Jika suatu urusan terasa sempit maka ada kelonggaran, dan jika terasa
longgar maka mesti disempitkan”
" الْمَيْسُورُ لَا يَسْقُطُ
بِالْمَعْسُور "
“Yang mudah dikerjakan tidak digugurkan karena adanya kesulitan”
Allah -subhanahu wata’aalaa-
berfirman:
{وَقَدْ
فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ وَإِنَّ
كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ} [الأنعام:
119]
Padahal sesungguhnya Allah telah
menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa
kamu melakukannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar
hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan.
Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui
batas. [Al-An'aam:119]
Wallahu a’lam!
Lihat juga: Keringanan syari'at Islam dalam puasa - Hukum mengucapkan salam di akhir shalat - Hadits Abu Hurairah; Dzikir setelah shalat - Keutamaan shalat dalam As-Sunnah
[1]
Lihat biografi " Hafs
bin Sulaiman Al-Asadiy " dalam kitab: Adh-Dhu'afaa' Ash-Shagiir
karya Al-Bukhariy hal.35, Adh-Dhu'afaa' Al-Kabiir karya Al-'Uqaily 1/270,
Al-Jarh wa At-Ta'diil karya Ibnu Abi Hatim 3/174, Al-Majruhiin karya Ibnu
Hibban 1/255, Al-Kaamil karya Ibnu 'Adiy 3/268, Adh-Dhu'afaa' karya Ibnu
Al-Jauziy 1/221, Tahdziib Al-Kamaal karya Al-Mizziy 7/10, Miizaan Al-I'tidaal karya
Adz-Dzahabiy 1/558, Al-Kasyf Al-Hatsits karya Ibnu Al-'Ajamiy hal.101 , Taqriib
At-Tahdziib karya Ibnu Hajar hal.172.
[2]
Lihat biografi " Hafs
bin Sulaiman Al-Minqariy " dalam kitab: Al-Jarh wa At-Ta'diil 3/173, Tahdziib Al-Kamaal 7/16, Taqriib
At-Tahdziib hal.172.
[3]
Lihat biografi " Hasan
bin Husain " dalam kitab: Al-Jarh wa At-Ta'diil 3/6, Al-Kaamil 3/181, Miizaan Al-I'tidaal 1/483, Lisaan Al-Miizaan karya Ibnu Hajar 3/33.
[4]
Lihat biografi " Halbas
bin Muhammad " dalam kitab: Al-Majruhiin 1/277,
Al-Kaamil 3/401, Adh-Dhu'afaa' karya Ibnu Al-Jauziy 1/231,
Miizaan Al-I'tidaal 1/587, Lisaan Al-Miizaan 3/263.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...