Minggu, 01 September 2019

Hadits 'Imran dan Jabir; Cara shalat orang sakit

بسم الله الرحمن الرحيم
A.    Hadits ‘Imran bin Hushain –radhiyallahu ‘anhu-.
'Imrah bin Hushain radhiyallahu 'anhu berkata:
كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ: «صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ» [صحيح البخاري]
"Suatu kali aku menderita sakit wasir, lalu aku tanyakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang cara shalat. Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak sanggup lakukanlah dengan duduk dan bila tidak sanggup juga lakukanlah dengan berbaring pada salah satu sisi badannya". [Shahih Bukhari]
Az-Zaila’iy (Nashburrayah 2/175) dan Ibnu Hajar (At-Talkhish 1/551) –rahimahumallah- menyebutkan bahwa imam An-Nasa’iy rahimahullah- juga meriwayatkan hadits ini dengan tambahan lafadz:
" فإن لم تستطع؛ فمستلقياً، {لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا} ".
“Kalau ia tidak mempu (shalat dengan samping badannya) maka hendaklah ia shalat dengan terlentang {Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya} “.
Hadits ini tidak ditemukan dalam Sunan “Ash-Shugraa” maupun “Al-Kubraa” karya An-Nasa’iy. Wallahu a’lam!
B.     Hadits Jabir bin Abdillah –radhiyallahu ‘anhuma-.
Diriwayatkan oleh Al-Bazzaarrahimahullah- dalam musnadnya, sebagaimana disebutkan dalam kitab “Kaysful Astaar” karya Al-Haitsamiy (1/274) no.568, dan Al-Baihaqiyrahimahullah- dalam “Ma’rifatussunan wal aatsaar” (3/225) no.4359:
عن أَبي بَكْرٍ الْحَنَفِيّ، ثنا سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَادَ مَرِيضًا، فَرَآهُ يُصَلِّي عَلَى وِسَادَةٍ، فَرَمَى بِهَا، فَأَخَذَ عُودًا يُصَلِّي عَلَيْهِ، فَرَمَى بِهِ، وَقَالَ: «إِنْ أَطَقْتَ الأَرْضَ وَإِلا فَأَوْمِئْ إِيمَاءً، وَاجْعَلْ سُجُودَكَ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوعِكَ».
Dari Abu Bakr Al-Hanafiy, ia berkata: Sufyan Ats-Tsauriy menceritakan kepada kami, dari Abu Az-Zubair, dari Jabir; Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjenguk seorang yang sakit, kemudian beliau melihatnya shalat di atas bantal, maka beliau menjauhkannya, kemudian orang tersebut mengambil kayu untuk shalat di atasnya, maka beliau menjauhkannya, dan bersabda: “Jika engkau mampu maka shalatlah (sujud) di atas tanah, jik tidak mampu maka berilah isyarat anggukan kepala, dan jadikanlah anggukan kepala untuk sujudmu lebih rendah ketika rukuk”.
Al-Bazzaar berkata: “Kami tidak mengetahui seseorang yang meriwayatkan hadits ini dari Ats-Tsauriy kecuali Al-Hanafiy”.
Abu Hatim Ar-Raziy rahimahullah- berkata: Hadits ini keliru, yang benar hadits ini hanya mauquuf dari perkataan Jabir bahwasanya ia menemui seorang yang sakit.
Kemudian ada yang bertanya: Akan tetapi Abu Usamah telah meriwayatkan hadits ini dari Ats-Tsauriy secara marfuu’ (dari Nabi)?
Maka Abu Hatim menjawab: Riwayat itu tidak ada artinya, hadits itu juga mauquuf (dari perkataan Jabir). [‘Ilal Ibnu Abi Hatim 2/197 no.307]
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah- membantah pendapat Abu Hatim ini dengan mengatakan bahwa tiga perawi yang tsiqah telah meriwayatkan hadits ini dari Sufyan Ats-Tsauriy, yaitu: Abu Bakr Al-Hanafiy, Abu Usamah (Hammad bin Usamah), dan Abdul Wahhab bin ‘Athaa.
Hadits ini ada penguat (syaahid), dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu:
Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy rahimahullah- dalam “Al-Mu’jam Al-Kabiir” (12/269) no.13082:
عن حَفْص بْن سُلَيْمَانَ، عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: عَادَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِهِ مَرِيضًا، وَأَنَا مَعَهُ فَدَخَلَ عَلَيْهِ، وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى عُودٍ فَوَضَعَ جَبْهَتَهُ عَلَى الْعُودِ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ فَطَرَحَ الْعُودَ وَأَخَذَ وِسَادَةً فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «دَعْهَا عَنْكَ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَسْجُدَ عَلَى الْأَرْضِ، وَإِلَّا فَأَوْمِئْ إِيمَاءً، وَاجْعَلْ سُجُودَكَ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوعِكِ»
Dari Hafs bin Sulaiman, dari Qais bin Muslim, dari Thariq bin Syihab, dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjenguk seorang dari sahabatnya yang sedang sakit, dan aku ikut bersamanya kemudian beliau menemuinya sementara ia sedang shalat di atas kayu kemudian meletakkan dahinya di atas kayu (ketika sujud), maka beliau memberi isyarat kemudian menjauhkan kayu tesebut, lalu oran gtersebut mengambil bantal. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jauhkan itu darimu, jika engkau mamu maka sujudlah di atas tanah, dan jika tidak maka cukup memberi isyarat aggukan kepala, dan jadikanlah anggukan sujudmu lebih rendah dari rukukmu”.
Hadits ini dilemahkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam “At-Talkhish Al-Habiir” (1/555).
Hafs bin Sulaiman dalam sanad ini ada dua kemungkinan: Dia adalah Hafs bin Sulaiman Al-Asadiy, Abu Umar Al-Bazzaar Al-Kufiy Al-Qaari’[1]. Atau dia adalah Hafs bin Sulaiman Al-Minqariy At-Tamimiy Al-Bashriy[2].
Jika ia adalah orang yang pertama maka hadits ini sangat lemah karena ia seorang yang tertolak haditsnya (matruukul hadits). Namun jika ia adalah orang yang kedua maka hadits ini shahih karena ia seorang yang tsiqah.
Syekh Albaniy –rahimahullah- men-shahih-kan hadits ini dalam kitabnya “Silsilah Ash-Shahihah” no.323.
Ada riwayat lain, tapi sangat lemah:
a)      Hadits Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu-.
Diriwayatkan oleh Ad-Daaraquthniyrahimahullah- dalam Sunan-nya (2/377) no.1706:
عن حَسَن بْن حُسَيْنٍ الْعُرَنِيّ , حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ زَيْدٍ , عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ , عَنْ أَبِيهِ , عَنْ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ , عَنِ الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ , عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ , عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:  «يُصَلِّي الْمَرِيضُ قَائِمًا إِنِ اسْتَطَاعَ , فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ صَلَّى قَاعِدًا , فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَسْجُدَ أَوْمَأَ وَجَعَلَ سُجُودَهُ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوعِهِ , فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ قَاعِدًا صَلَّى عَلَى جَنْبِهِ الْأَيْمَنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ , فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى جَنْبِهِ الْأَيْمَنِ صَلَّى مُسْتَلْقِيًا وَرِجْلَاهُ مِمَّا يَلِي الْقِبْلَةَ»
Dari Hasan bin Husain Al-‘Uraniy, ia berkata: Husain bin Zaid menceritakan kepada kami, dari Ja’far bin Muhammad, dari bapaknya, dari Ali bin Husain, dari Al-Husain bin Ali, dari Ali bin Abi Thalib, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Orang yang sakit shalat berdiri jika mampu, jika tidak mampu maka shalat duduk, jika tidak mampu maka ia sujud dengan anggukan kepada, dan menjadikan anggukan sujudnya lebih rendah dari rukuknya, jika ia tidak mampu shalat duduk maka ia shalat dengan berbaring di atas sisi badannya yang sebelah kanan menghadap kiblat, jia ia tidak mampu shalat dengan sisi kanannya maka ia shalat terlentang dan kedua kakinya menghadap kiblat”.
Sanad hadits ini sangat lemah, karena ada Hasan bin Husain Al-‘Uraniy Al-Kufiy[3]. Periwayatan haditsnya ditolak (matruuk).
b)     Hadits Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniyrahimahullah- dalam “Al-Ausath” (4/210) no.3997:
عن حَلْبَسُ بْنُ مُحَمَّدٍ الضُّبَعِيُّ قَالَ: نا ابْنُ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ، ونَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «يُصَلِّي الْمَرِيضُ قَائِمًا، فَإِنْ نَالَتْهُ مَشَقَّةٌ صَلَّى جَالِسًا، فَإِنْ نَالَتْهُ مَشَقَّةٌ صَلَّى نَائِمًا يُومِئُ بِرَأْسِهِ، فَإِنْ نَالَتْهُ مَشَقَّةٌ سَبَّحَ»
Dari Halbas bin Muhammad Adh-Dhuba’iy, ia berkata: Ibnu Juraij menyampaikan kepada kami, dari ‘Athaa’, dan Nafi’, dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Orang yang sakit shalat sambil berdiri, jika ia merasakan kesulitan maka ia shalat duduk, jika ia merasakan kesulitan maka cukum memberi isyarat dengan kepalanya, dan jika ia merasakan kesuliatan maka cukup bertasbih.
Sanad hadits ini sangat lemah, karena ada Halbas bin Muhammad Adh-Dhuba’iy Al-Kalbiy atau Al-Kilabiy[4]. Ibnu ‘Adiy –rahimahullah-berkata: “Ia meriwayatkan hadits mungkar dari perawi yang tsiqah”. Adz-Dzahabiy –rahimahullah-berkata: “Haditsnya ditolak (matruukul hadits)”.
Penjelasan singkat hadits ini:
1.      ‘Imran bin Hushain bin ‘Ubaid, Abu Nujaid Al-Khuza’iy radhiyallahu 'anhu.
Beliau masuk Islam pada saat perang Khaebar bersama Abu Hurairah tahun 7 hijriah. Beliau pemegang panji kabilah “Khuza’ah” ketika pembebasan kota Mekah. Beliau wafat tahun 53 hijriyah.
Malaikat memberi salam kepadanya:
Mutharrif rahimahullah- berkata: Saat sakit yang menyebabkan kematiannya, Imran bin Hushain mengutus seseorang kepadaku. Kemudian ia pun berkata;
إِنِّي كُنْتُ مُحَدِّثَكَ بِأَحَادِيثَ، لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَنْفَعَكَ بِهَا بَعْدِي، فَإِنْ عِشْتُ فَاكْتُمْ عَنِّي، وَإِنْ مُتُّ فَحَدِّثْ بِهَا إِنْ شِئْتَ: إِنَّهُ قَدْ سُلِّمَ عَلَيَّ، وَاعْلَمْ أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَمَعَ بَيْنَ حَجٍّ وَعُمْرَةٍ، ثُمَّ لَمْ يَنْزِلْ فِيهَا كِتَابُ اللهِ، وَلَمْ يَنْهَ عَنْهَا نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ رَجُلٌ فِيهَا: بِرَأْيِهِ مَا شَاءَ
“Saya akan menceritakan kepadamu suatu hadits dan semoga bermanfaat bagimu sepeninggalku nanti. Jika saya masih hidup, maka rahasiakanlah, dan bila aku telah meninggal, maka ceritakanlah hadits itu jika kamu mau. Sesungguhnya aku telah diberi salam (oleh Malaikat). Dan ketahuilah, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah menggabungkan antara haji dan umrah. Setelah itu, tidak ada ayat yang melarangnya. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga tidak pernah melarangnya. Namun seorang laki-laki telah berkata tentangnya dengan pendapatnya sendiri”. [Shahih Muslim]
Dalam riwayat lain:
«أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا عَسَى اللهُ أَنْ يَنْفَعَكَ بِهِ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ بَيْنَ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ، ثُمَّ لَمْ يَنْهَ عَنْهُ حَتَّى مَاتَ، وَلَمْ يَنْزِلْ فِيهِ قُرْآنٌ يُحَرِّمُهُ، وَقَدْ كَانَ يُسَلَّمُ عَلَيَّ، حَتَّى اكْتَوَيْتُ، فَتُرِكْتُ، ثُمَّ تَرَكْتُ الْكَيَّ فَعَادَ»
“Akan kusampaikan kepadamu sebuah hadits, semoga ia bermanfaat bagimu. Yaitu; bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah menggabungkan umrah dengan haji dan mengerjakannya sekaligus. Kemudian beliau tidak pernah melarang yang demikian sampai beliau meninggal. Serta ayat yang melarang demikian pun tidak pernah turun. Dan pernah aku diberi salam (oleh Malaikat), sampai aku berobat dengan cara kai’ (besi panas), maka aku ditinggalkan (malaikat tidak lagi memberi salam), kemudian aku meninggalkan ka’i, maka malaikat kembali (memberi salam kepadaku)”. [Shahih Muslim]
2.      Jabir bin Abdillah bin ‘Amr bin Haram, Abu Abdillah Al-Khazrajiy Al-Anshariy Al-Salmiyy radhiyallahu ‘anhu.
Ayahnya juga seorang sahabat Nabi yang syahid pada perang Uhud. Jabir menghadiri perjanjian ‘Aqabah, mengikuti semua peperangan bersama Nabi kecuali perang Badr dan Uhud. Beliau wafat setelah tahun 70 hijriah di Madinah.
Rasulullah mendo’akan keberkahan dan kebaikan kepadanya:
Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhuma berkata, "Bapakku wafat dan ia meninggalkan tujuh orang anak wanita, maka aku pun menikah dengan seorang janda." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya padaku: "Apakah kamu sudah menikah wahai Jabir?"
Aku menjawab, "Ya."
Beliau bertanya lagi: "Dengan gadis ataukah janda?"
Aku menjawab, "Dengan janda."
Beliau bersabda:
«فَهَلَّا جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ، وَتُضَاحِكُهَا وَتُضَاحِكُكَ»
"Kenapa tidak dengan gadis sehingga kamu dapat bermain-main dengannya dan ia pun dapat bermain-main denganmu. Kamu dapat bergurau dengannya dan ia pun dapat bergurau denganmu?."
Maka aku pun berkata pada beliau, "Sesungguhnya Abdullah meninggal, dan ia meninggalkan banyak anak wanita. Dan aku tidak suka membawakan mereka (menikahi) gadis seperti mereka. Karena itulah, aku menikahi seorang wanita dewasa (janda) agar dapat mengurus mereka."
Maka beliau pun bersabda:
«بَارَكَ اللَّهُ لَكَ»
"Semoga Allah memberi keberkahan padamu."
Atau beliau mendo’akan Jabir dengan kebaikan. [Shahih Bukhari]
3.      Berdiri ketika shalat fardhu adalah rukun shalat bagi yang mampu.
Allah -subhanahu wata’aalaa- berfirman:
{وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ} [البقرة : 23]
Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'. [Al Baqarah: 238]
4.      Kondisi dibolehkan shalat sambil duduk:
a)      Sedang sakit dan tidak mampu atau kesulitan berdiri.
Ukuran kesulitan, jika ia shalat berdiri maka kekhusyu’annya terganggu karena menahan sakit.
b)      Shalat sunnah.
Abdullah bin Syaqiq Al-‘Uqailiy –rahimahullah- berkata: Aku bertanya kepada Aisyah radhiyallahu 'anha tentang shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di malam hari, maka ia menjawab:
«كَانَ يُصَلِّي لَيْلًا طَوِيلًا قَائِمًا، وَلَيْلًا طَوِيلًا قَاعِدًا، وَكَانَ إِذَا قَرَأَ قَائِمًا رَكَعَ قَائِمًا، وَإِذَا قَرَأَ قَاعِدًا رَكَعَ قَاعِدًا» [صحيح مسلم]
“Rasulullah terkadan shalat malam yang panjang sambil berdiri, dan terkadang shalat malam yang panjang sambil duduk, dan jika beliau membaca ayat sambil berdiri maka ia ruku’ sambil berdiri, dan jika beliau membaca sambil duduk maka beliau ruku’ sambil duduk”. [Shahih Muslim]
c)       Kondisi ketakutan (perang berkecamuk).
Allah -subhanahu wata’aalaa- berfirman:
{فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا} [البقرة : 239]
Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. [Al Baqarah: 239]
d)      Kondisi sulit atau darurat, seperti di atas perahu kecil, pesawat, atau terpasung.
Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang shalat di atas perahu, maka beliau menjawab:
" صَلِّ فِيهَا قَائِمًا، إِلَّا أَنْ تَخَافَ الْغَرَقَ " [السنن الكبرى للبيهقي وحسنه]
“Shalatlah di atas perahu sambil berdiri, kecuali jika engkau khawatir tenggelam”. [As-Sunan Al-Kubraa karya Al-Baihaqiy, dan beliau menghukuminya hasan]
e)      Ketika shalat dalam keadaan telanjang karena tidak mendapatkan pakaian.
Jika sesorang tidak mendapatkan sehelai kain pun, maka ia boleh shalat dengan telanjang.
Mazhab Hanafiy dan Hambaliy membolehkan ia shalat berdiri atau duduk (untuk menutupi auratnya) dengan cukup memberi isyarat kepala untuk ruku’ dan sujudnya.
Adapun mazhab Malikiy dan Syafi’iy maka ia wajib shalat berdiri.
Dan jika setelah shalat ia mendapatkan pakaian maka ia tidak perlu mengulangi shalatnya menurut mazhab Syafi’i dan Hambali. [Shahih fiqhi Sunnah 1/303]
f)        Ketika makmum kepada imam yang shalat duduk karena udzur.
Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini:
'Aisyah -radhiyallahu 'anha- Ummul Mukminin berkata, "Saat sakit Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah shalat di rumahnya sambil duduk. Dan segolongan kaum shalat di belakang beliau dengan berdiri. Maka beliau memberi isyarat kepada mereka agar duduk. Ketika shalat sudah selesai beliau bersabda:
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا
"Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti, apabila dia rukuk maka rukuklah kalian, bila dia mengangkat kepalanya maka angkatlah kepala kalian. Dan bila dia shalat dengan duduk, maka shalatlah kalian dengan duduk." [Shahih Bukhari no.467]
Madzhab Ahnaaf dan Syafi’iy mewajibkan makmum untuk shalat berdiri jika mampu, adapun perintah duduk mengikuti imam dalam hadits Bukhari no.647 dan 648, telah di-nasakh (hukumnya dicabut) dengan hadits sebelumnya no.646 dimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat dengan cara duduk sedangkan sahabatnya shalat dengan cara berdiri.
● 'Ubaidullah bin 'Abdullah bin 'Utbah ia berkata, "Aku masuk menemui 'Aisyah radhiyallahu 'anha, aku lalu berkata kepadanya, "Maukah engkau menceritakan kepadaku tentang peristiwa yang pernah terjadi ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang sakit?"
'Aisyah menjawab, "  ... Ketika itu Abu Bakar sedang mengimami shalat, ketika ia melihat beliau (Nabi) datang, Abu Bakar berkehendak untuk mundur dari posisinya namun Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memberi isyarat supaya dia tidak mundur. Kemudian beliau bersabda:
أَجْلِسَانِي إِلَى جَنْبِهِ
"Dudukkanlah aku di sampingnya."
Maka kami mendudukkan beliau di samping Abu Bakar. Maka jadilah Abu Bakar shalat dengan mengikuti shalatnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sementara orang-orang mengikuti shalatnya Abu Bakar, dan saat itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat sambil duduk (sedangkan Abu Bakr dan sahabat lainnya shalat berdiri)". [Shahih Bukhari no.646]
  Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada suatu hari mengendarai kudanya lalu terjatuh dan terhempas pada bagian lambungnya yang kanan. Karena sebab itu beliau pernah melaksanakan shalat sambil duduk di antara shalat-shalatnya. Maka kamipun shalat di belakang Beliau dengan duduk. Ketika selesai Beliau bersabda:
" إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا صَلَّى قَائِمًا، فَصَلُّوا قِيَامًا، فَإِذَا رَكَعَ، فَارْكَعُوا وَإِذَا رَفَعَ، فَارْفَعُوا، وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَقُولُوا: رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ، وَإِذَا صَلَّى قَائِمًا، فَصَلُّوا قِيَامًا، وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا، فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ "
"Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti, jika ia shalat dengan berdiri maka shalatlah kalian dengan berdiri. Jika ia rukuk maka rukuklah kalian, jika ia mengangkat kepalanya maka angkatlah kepala kalian. Dan jika ia mengucapkan SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH (Semoga Allah merndengar orang yang memuji-Nya) ', maka ucapkanlah; RABBANAA WA LAKAL HAMDU (Ya Rabb kami, milik Engkaulah segala pujian) '. Dan jika ia shalat dengan berdiri maka shalatlah kalian dengan berdiri, dan jika ia shalat dengan duduk maka shalatlah kalian semuanya dengan duduk."
Abu 'Abdullah (Imam Bukhari) berkata: Al-Humaidiy ketika menerangkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam 'Dan bila dia shalat dengan duduk maka shalatlah kalian dengan duduk' dia berkata, "Kejadian ini adalah saat sakitnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di waktu yang lampau. Kemudian setelah itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat dengan duduk sedangkan orang-orang shalat di belakangnya dengan berdiri, dan beliau tidak memerintahkan mereka agar duduk. Dan sesungguhnya yang dijadikan ketentuan adalah berdasarkan apa yang paling akhir dari perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam." [Shahih Bukhari no.648]
~ Adapun mazhab Hanabilah dan Dzahiriy berpendapat bahwa makmum harus ikut imam jika ia shalat duduk sejak dari awal shalat, sebagaimana hadits Bukhari no.647 dan 648. Adapun jika imam tiba-tiba shalat dengan cara duduk di pertengahan shalat, maka makmum tetap shalat dengan cara berdiri, seperti yang dicontohkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada hadits Bukhari no.646.
5.      Orang yang shalat sunnah sambil duduk padahal mampu berdiri, maka pahalanya berkurang.
'Imran bin Hushain radhiyallahu 'anhu pernah menderita sakit wasir. Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang seseorang yang melaksanakan shalat dengan duduk. Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab:
مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ
"Siapa yang shalat dengan berdiri maka itu lebih utama. Dan siapa yang melaksanakan shalat dengan duduk maka baginya setengah pahala dari orang yang shalat dengan berdiri dan siapa yang shalat dengan tidur (berbaring) maka baginya setengah pahala orang yang shalat dengan duduk".
Berkata Abu 'Abdullah Al Bukhari rahimahullah-; "Menurutku yang dimaksud dengan tidur adalah berbaring." [Shahih Bukhari]
Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
صَلَاةُ الْقَاعِدِ نِصْفُ صَلَاةِ الْقَائِمِ
"Shalat dengan duduk (pahalanya) separoh shalat berdiri". [Musnad Ahmad: Shahih]
~ Kecuali Nabi shallallahu ' alaihi wasallam, pahalanya tetap sempurna.
Dari Abdullah bin 'Amru radhiyallahu 'anhuma; Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلَاةِ
"Shalat seseorang yang dilakukanya dengan duduk, memperoleh separoh pahala shalat (dengan berdiri)."
Abdullah bin 'Amru berkata; Lalu aku menemui beliau, ternyata aku mendapati beliau shalat dengan duduk, lalu aku meletakkan tanganku di atas kepalanya, maka beliau bersabda: "Apa urusanmu wahai Abdullah bin 'Amru?"
Aku menjawab; "Disampaikan kepadaku wahai Rasulullah, bahwa engkau bersabda: "Shalat seseorang dengan duduk mendapat separoh pahala shalat dengan berdiri", lalu kenapa engkau shalat dengan duduk?"
Beliau menjawab:
أَجَلْ وَلَكِنِّي لَسْتُ كَأَحَدٍ مِنْكُمْ
"Benar, namun aku tidak seperti kalian." [Shahih Muslim]
6.      Orang yang shalat duduk karena tidak mampu maka pahalanya sempurna.
Dari Abu Musa radhiyallahu 'anhu; Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
"Jika seorang hamba sakit atau bepergian (lalu beramal) ditulis baginya (pahala) seperti ketika dia beramal sebagai muqim dan dalam keadaan sehat". [Shahih Bukhari]
7.      Boleh shalat sunnah berdiri sebagian dan duduk sebagiannya.
Dari Aisyah ummul mu’minin -radhiyallahu 'anha-:
«أَنَّهَا لَمْ تَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي صَلاَةَ اللَّيْلِ قَاعِدًا قَطُّ حَتَّى أَسَنَّ، فَكَانَ يَقْرَأُ قَاعِدًا، حَتَّى إِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ، فَقَرَأَ نَحْوًا مِنْ ثَلاَثِينَ آيَةً - أَوْ أَرْبَعِينَ آيَةً - ثُمَّ رَكَعَ» [صحيح البخاري ومسلم]
“Bahwasanya ia sama sekali tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di malam hari dalam keadaan duduk sampai beliau lanjut usia, dan terkadang beliau shalat duduk, jika beliau sudah ingin ruku’ beliau berdiri kemudian melanjutkan bacaanya sekitar tiga puluh ayat atau empat puluh ayat, kemudian beliau ruku’’. [Shahih Bukhari dan Muslim]
8.     Cara duduk dalam shalat adalah seperti duduk tasyahhud (iftirasy atau tawarruk), dan boleh juga dengan bersila. Dan tidak boleh menbentangkan kaki ke depan kecuali darurat.
'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata;
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مُتَرَبِّعًا
'Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat sambil duduk dengan kaki bersilang di bawah paha (mutarabi'). [Sunan An-Nasaiy: Shahih]
9.      Ketika shalat duduk atau baring maka ruku' dan sujud dengan isyarat kepala jika tidak mampu, merunduk ketika sujud lebih rendah dari ruku'nya.
Dan tidak boleh mengabil seseuatu sebagai tempat sujud ketika tidak mampu sujud di tanah/lantai.
10.  Boleh shalat sambil tidur jika tidak mampu duduk.
Allah -subhanahu wata’aalaa- berfirman:
{فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ} [النساء: 103]
Ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. [An-Nisaa’: 103]
Tapi jika mampu, maka tidak dibolehkan shalat berbaring sekalipun dalam shalat sunnah.
11.  Cara shalat berbaring dengan badan sisi kanan di bawah dan menghadapkan wajah ke kiblat.
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:
«كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ التَّيَمُّنَ مَا اسْتَطَاعَ فِي شَأْنِهِ كُلِّهِ، فِي طُهُورِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَتَنَعُّلِهِ» [صحيح البخاري ومسلم]
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam suka memulai yang kanan dalam setiap urusannya sesuai kemampuan, dalam bersucinya, bersisirnya, dan memakai sendalnya. [Sahih Bukhari dan Muslim]
Kalau tidak mampu maka boleh dalam keadaan apapun yang memungkinkan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
«وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»
“Dan jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian maka kerjakanlah sesuai dengan kemampuan kalian”. [Shahih Bukhari dan Muslim]
12.  Hukum shalat sambil bersandar di tembok atau tali.
Ummu Qais binti Mihshan radhiyallahu 'anha menyampaikan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَسَنَّ وَحَمَلَ اللَّحْمَ اتَّخَذَ عَمُودًا فِي مُصَلَّاهُ يَعْتَمِدُ عَلَيْهِ
“Bahwa setelah berusia lanjut dan lemah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membuat tiang di tempat shalatnya untuk bersandar." [Sunan Abi Daud: Shahih]
Hadits ini menunjukkan bahwa boleh shalat sambil sandar jika ada udzur, jika tidak maka hal tersebut dilarang.
Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata:
دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا حَبْلٌ مَمْدُودٌ بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ فَقَال:َ مَا هَذَا الْحَبْل؟ُ قَالُوا: هَذَا حَبْلٌ لِزَيْنَبَ، فَإِذَا فَتَرَتْ تَعَلَّقَتْ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا، حُلُّوهُ، لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَه،ُ فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَقْعُدْ
"Pada suatu hari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam masuk (ke masjid), kemudian Beliau mendapati tali yang diikatkan dua tiang. Kemudian Beliau berkata: "Apa ini?"
Orang-orang menjawab: "Tali ini milik Zainab, bila dia shalat dengan berdiri lalu merasa letih, dia berpegangan tali tersebut".
Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jangan ia lakukan sedemikian itu. Hendaklah seseorang dari kalian tekun dalam ibadah shalatnya dan apabila dia merasa letih, shalatlah sambil duduk". [Shahih Bukhari dan Muslim]
13.  Hadits ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan.
Allah subhanahu wata’aalaa berfirman:
{وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ} [الحج: 78]
Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. [Al-Hajj: 78]
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda suatu hari:
" لَتَعْلَمُ يَهُودُ أَنَّ فِي دِينِنَا فُسْحَةً، إِنِّي أُرْسِلْتُ بِحَنِيفِيَّةٍ سَمْحَةٍ " [مسند أحمد: سنده حسن]
"Agar orang Yahudi tahu bahwa dalam agama kita ada kelonggaran, sesungguhnya aku diutus dengan agama yang lurus dan ringan". [Musnad Ahmad: Sanadnya Hasan]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
" إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ " [صحيح البخاري]
"Sesungguhnya agama Islam itu mudah (jika mengikuti Al-Qur'an dan Sunnah dengan baik), dan seseorang tidak mempersulit urusan agama (dengan sesuatu yang tidak disyari'atkan) kecuali ia akan terkalahkan olehnya". [Sahih Bukhari]
14.  Setiap ada kesulitan dalam menjalankan syari’at Islam maka dibolehkan mengambil keringanan.
Beberapa kaidah fiqhiyah berbunyi:
" المشقة تجلب التيسير "
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
" لا واجب مع العجز ولا محرم مع الضرورة "
“Tidak ada kewajiban jika tidak mampu, dan tidak ada keharaman jika darurat”.
" التكليف مشروط بالعلم والقدرة معاً "
“Beban hukum taklif disyarakan adanya ilmu dan kemampuan melaksanakannya”.
" إذا ضاق الأمر اتسع وإذا اتسع ضاق "
“Jika suatu urusan terasa sempit maka ada kelonggaran, dan jika terasa longgar maka mesti disempitkan”
" الْمَيْسُورُ لَا يَسْقُطُ بِالْمَعْسُور "
“Yang mudah dikerjakan tidak digugurkan karena adanya kesulitan”
Allah -subhanahu wata’aalaa- berfirman:
{وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ} [الأنعام: 119]
Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu melakukannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas. [Al-An'aam:119]
Wallahu a’lam!



[1] Lihat biografi " Hafs bin Sulaiman Al-Asadiy " dalam kitab: Adh-Dhu'afaa' Ash-Shagiir karya Al-Bukhariy hal.35, Adh-Dhu'afaa' Al-Kabiir karya Al-'Uqaily 1/270, Al-Jarh wa At-Ta'diil karya Ibnu Abi Hatim 3/174, Al-Majruhiin karya Ibnu Hibban 1/255, Al-Kaamil karya Ibnu 'Adiy 3/268, Adh-Dhu'afaa' karya Ibnu Al-Jauziy 1/221, Tahdziib Al-Kamaal karya Al-Mizziy 7/10, Miizaan Al-I'tidaal karya Adz-Dzahabiy 1/558, Al-Kasyf Al-Hatsits karya Ibnu Al-'Ajamiy hal.101 , Taqriib At-Tahdziib karya Ibnu Hajar hal.172.
[2] Lihat biografi " Hafs bin Sulaiman Al-Minqariy " dalam kitab: Al-Jarh wa At-Ta'diil 3/173, Tahdziib Al-Kamaal 7/16, Taqriib At-Tahdziib hal.172.
[3] Lihat biografi " Hasan bin Husain " dalam kitab: Al-Jarh wa At-Ta'diil 3/6, Al-Kaamil 3/181, Miizaan Al-I'tidaal 1/483, Lisaan Al-Miizaan karya Ibnu Hajar 3/33.
[4] Lihat biografi " Halbas bin Muhammad " dalam kitab: Al-Majruhiin 1/277, Al-Kaamil 3/401, Adh-Dhu'afaa' karya Ibnu Al-Jauziy 1/231, Miizaan Al-I'tidaal 1/587, Lisaan Al-Miizaan 3/263.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...