Selasa, 13 Februari 2018

50 Hadits singkat Shahih Bukhari dan faidahnya (10) no.516-570

بسم الله الرحمن الرحيم

Lanjutan kitab: Waktu-Waktu Shalat

451. Hadits no.516, Umar bin Abdul ‘Aziz –rahimahullah- mengakhirkan shalat dzuhur di akhir waktunya karena mengikuti kebiasaan pemimpin-pemimpin sebelumnya, kemudian akhirnya sampai kepada beliau sunnah mendirikan shalat dzuhur di awal waktu.
Atau beliau mengakhirkan shalat Dzuhur karena ada udzur.
Imam An-Nawawiy –rahimahullah- mengatakan: Dzahir hadits ini menguatkan kemungkinan pertama, karena kejadian ini ketika Umar sebagai pejabat di Madinah bukan ketika sebagai khalifah, karena Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu- wafat sebelum Umar menjadi Khalifah. (Syarh Shahih Muslim karya An-Nawawiy 5/124)


452. Hadits no.517, Hadits mudraj adalah hadits yang dimasuki tambahan yang bukan bagian darinya tanpa ada pembeda, baik dalam sanad maupun matannya.


Contoh pada hadits ini, kalimat: وَبَعْضُ الْعَوَالِي مِنْ الْمَدِينَةِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَمْيَالٍ أَوْ نَحْوِهِ
Kalimat ini adalah mudraj pada matan hadits, karena kalimat ini bukan perkataan Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu-, ini adalah perkataan Az-Zuhriy –rahimahullah- sebagaimana dijelaskan pada riwayat Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf (1/547) no.2069:
قَالَ: أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ: أَخْبَرَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ «يُصَلِّي الْعَصْرَ فَيَذْهَبُ الذَّاهِبُ إِلَى الْعَوَالِي وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ». قَالَ الزُّهْرِيُّ: وَالْعَوَالِي عَلَى مِيلَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ قَالَ: - وَأَحْسَبُهُ قَالَ: وَأَرْبَعَةٍ - ".
Az-Zuhriy mengatakan: “Dan Al-’Awaliy berjarak 2 mil atau 3 mil (dari Madinah)”. Ma'mar berkata: “Dan aku mengira Az-Zurhri berkata: Atau 4 mil”.
Contoh lain lihat hadits no.133.

Koreksi terjemah:
إِلَى الْعَوَالِي فَيَأْتِيهِمْ = “menuju Al-’Awaliy kemudian menemui mereka (penduduknya)”.
Al-’Awaliy adalah perkampungan yang berada di sekitar Madinah wilayah bagian atas, yang paling dekat dengan Madinah adalah wilayah masjid Qubaa’ sejauh 2 atau 3 mil, dan yang paling jauh sekitar 8 mil dari Madinah.

453. Hadits no.518, Syafi’iyah membagi waktu ashar menjadi lima[1]:
1) Waktu fadhilah (yang utama): Yaitu awal waktu. (Lihat hadits no.511)
2) Waktu ikhtiyar (longgar): Yaitu sampai bayang-bayang dua kali lebih panjang dari ukuran asli suatu benda.
Ibnu Abbasradhiyallahu ‘anhuma- berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jibril ‘alaihissalam telah mengimamiku di sisi Baitullah dua kali. Dia shalat Zhuhur bersamaku tatkala matahari tergelincir (condong) ke barat sepanjang tali sandal, kemudian shalat Ashar denganku tatkala panjang bayangan suatu benda sama dengannya, lalu shalat Maghrib bersamaku tatkala orang yang berpuasa berbuka, kemudian shalat Isya bersamaku tatkala cahaya merah (di langit) telah hilang, dan shalat Shubuh bersamaku tatkala orang yang berpuasa dilarang makan dan minum.
Besok harinya, dia shalat Zhuhur bersamaku tatkala bayangan suatu benda sama dengannya, lalu shalat Ashar bersamaku tatkala bayangan suatu benda sepanjang dua kali benda itu, kemudian shalat Maghrib bersamaku tatkala orang yang berpuasa berbuka, lalu shalat Isya bersamaku hingga sepertiga malam, dan shalat Shubuh bersamaku tatkala waktu pagi mulai bercahaya. Kemudian Jibril menoleh kapadaku seraya berkata; 'Wahai Muhammad, inilah waktu shalat para nabi sebelum kamu, dan jarak waktu untuk shalat adalah antara dua waktu ini'." [Sunan Abu Daud no.332: Shahih]
3) Waktu jawaaz (dibolehkan): Yaitu sampai matahari menguning.
Dari Abdullah bin 'Amruradhiyallahu ‘anhuma- bahwa Nabiyullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda; "Jika kalian melaksanakan shalat fajar, maka waktunya hingga muncul tanduk matahari pertama (sisi bagian atasnya), jika kalian shalat zhuhur, maka waktunya hingga tiba waktu shalat ashar, dan jika kalian melaksanakan shalat ashar, makwa waktunya hingga matahari menguning, jika kalian melaksanakan shalat maghrib, maka waktunya hingga syafaq (mega merah) menghilang, dan jika kalian shalat isya', maka waktunya hingga tengah malam." [Shahih Muslim no.964]
4) Waktu karahah (dimakruhkan): Yaitu dari matahari menguning sampai tenggelam, shalatnya orang munafiq. (Lihat hadits no.499)
Dari Anasradhiyallahu ‘anhu-; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ashar, itulah shalat (yang biasanya ditelantarkan) orang munafik, ia duduk mengamat-amati matahari, jika matahari telah berada di antara dua tanduk setan (sudah mau tenggelam), ia melakukannya dan ia mematuk empat kali (tergesa-gesa) ia tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali." [Shahih Muslim no.987].
5) Waktu ‘udzur (ada keringanan): Yaitu waktu dzuhur ketika ada rukhshah (keringanan) menjamak taqdim. (Lihat hadits no.510)


454. Hadits no.519, Maksud sabda Nabi -shallallahu'alaihiwasallam-: “kehilangan shalat Ashar”:
a) Tidak melaksanakannya sampai matahari tenggelam.
b) Tidak melaksanakannya sampai matahari menguning.
c) Tidak melaksanakannya secara berjama'ah di mesjid.
d) Terlupa melaksanakan shalat Ashar sampai lewat waktunya.
Penjelasan lengkapnya baca di sini: Keutamaan shalat ashar


Koreksi terjemah:
Abu Abdillah (Imam Bukhari) mengatakan: Makna kalimat {يَتِرَكُمْ}, sama ketika kamu mengatakan “وَتَرْتُ الرَّجُلَ”, bila kamu membunuh seseorang atau kamu mengambil hartanya.
Imam Bukhari –rahimahullah- menjelaskan makna kata (وُتِرَ) dalam hadits ini, begitu pula dalam ayat 35 surah Muhammad: {وَلَن يَتِرَكُمْ أَعْمَالَكُمْ}
{dan Dia (Allah) sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu}
Kata (وُتِرَ) terkadang membutuhkan dua maf'uul (objek) seperti dalam hadits dan ayat ini, dan terkadang cuma membutuhkan satu maf'uul seperti perkataan yang disebutkan oleh Imam Bukhari tadi.

455. Hadits 520, Maksud sabda Nabi -shallallahu'alaihiwasallam- “amalannya terhapus” :
1. Ia telah kafir keluar dari Islam karena telah melakukan satu dosa besar. Ini adalah pendapat kaum Khawarij.
2. Ia telah kafir keluar dari Islam karena sengaja meninggalkan shalat. Ini adalah pendapat orang yang mengatakan bahwa meninggalkan shalat dengan sengaja hukumnya kafir.
3. Semua amal kebaikannya terhapus (kafir) jika ia meninggalkannya karena mengingkari kewajiban shalat, atau menghina orang yang mendirikannya.
4. Hadits ini hanya sebagai ancaman keras bagi yang sengaja meninggalkan shalat Ashar, tapi makna dzahir kalimat “terhapus amalannya” tidak dimaksudkan. (Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Hajar –rahimahullah- dalam Fathul Baari 2/322)
5. Hanya sebagai majas perumpamaan seperti orang yang terhapus semua amalannya.
6. Maksudnya, hampir saja (mendekati) amalannya terhapus.
7. Terhapus amalan shalat Ashar-nya waktu itu.
8. Amal ibadahnya tidak bermanfaat di akhirat.
9. Amalan dunia yang menyebabkannya lalai dari shalat ashar tidak bermanfaat baginya di dunia dan akhirat.
10. Amal ibadahnya pada hari itu terhapus. (Pendapat ini dikuatkan oleh syekh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- dalam syarah Shahih Bukhari 2/497)
Lihat: Keutamaan shalat ashar


Koreksi terjemah:
عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ = Dari Abi Al-Maliih

456. Hadits no.521, Jika ingin melihat Allah -subhanahu wata’aalaa- di surga, maka jangan lalaikan shalat Subuh dan Ashar.


Koreksi terjemah:
ثُمَّ قَرَأَ = kemudian Jarir membaca ayat ...
Al-Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- mengatakan bahwa kalimat (ثُمَّ قَرَأَ) adalah mudraj, bukan Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- yang membaca ayat tersebut tapi Jarir -radhiyallahu ‘anhu- sebagaimana dijelaskan pada riwayat Imam Muslim dalam shahih-nya no.1002. [Fathul Bari 2/324]
Pembahasan dan contoh hadits mudraj, lihat hadits no.133 dan 517.

457. Hadits no.522, Malaikat penjaga di waktu siang dan malaikat penjaga di waktu malam bergantian menemui Allah –subhanahu wata’aalaa- untuk menyampaikan amal ibadah hamba-hamba-Nya, mereka bertemu dan berganti sip di waktu shalat subuh dan ashar.


458. Hadits no.523, Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang sengaja menunda shalat sampai keluar waktunya maka tidak ada qadha’ baginya kecuali taubat dan memperbanyak shalat sunnah. Karena Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- hanya memerintahkan untuk melanjutkan shalat bagi yang terlambat jika ia mendapati satu raka’at sebelum habis waktu.


Koreksi terjemah:
سَجْدَةً = satu sujud
Maksudnya: satu raka’at, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat lain dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat subuh sebelum terbit matahari berarti dia mendapatkan subuh. Dan siapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat 'Ashar sebelum terbenam matahari berarti dia telah mendapatkan 'Ashar." [Shahih Bukhari no.545]

459. Hadits no.525, Imam Bukhari –rahimahullah- menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwa orang yang tidak sengaja meninggalkan shalat sampai akan habis waktunya dan hanya mendapatkan satu raka’at, maka pahalanya sama ketika ia melakukan seluruh raka’at dalam waktunya.
Dari Abdullah bun Umar radhiyallahu ‘anhuma-; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya keberadaan kalian dibandingakan ummat-ummat sebelum kalian seperti masa antara shalat 'Ashar dan terbenamnya matahari. Ahli Taurat (Yahudi) diberikan Kitab Taurat, kemudian mereka mengamalkannya hingga apabila sampai pertengahan siang hari mereka menjadi lemah (tidak kuat sehingga melalaikannya). Maka mereka diberi pahala (masing-masing) satu qirath satu qirath. Kemudian Ahli Injil (Nashrani) diberikan Kitab Injil, lalu mereka mengamalkannya hingga waktu shalat 'Ashar, dan mereka pun melemah. Maka merekapun diberi pahala (masing-masing) satu qirath satu qirath. Sedangkan kita (umat Islam) diberikan Al-Qur'an, lalu kita mengamalkannya hingga matahari terbenam, maka kita diberi pahala (masing-masing) dua qirath dua qirath. Kedua Ahlul Kitab tersebut berkata, 'Wahai Rabb kami, bagaimana Engkau memberikan mereka (masing-masing) dua qirath dua qirath dan Engkau beri kami (masing-masing) satu qirath satu qirath. Padahal kami lebih banyak beramal!' Beliau melanjutkan kisahnya: "Maka Allah 'azza wajalla bertanya: 'Apakah Aku menzhalimi sesuatu dari bagian pahala kalian?' Mereka menjawab, 'Tidak'. Maka Allah 'azza wajalla berfirman: 'Itulah karunia-Ku yang Aku berikan kepada siapa yang Aku kehendaki'." [Shahih Bukhari no.524]


* Hadits ini menunjukkan bahwa amalan yang lebih banyak dan lama tidak mesti pahalanya juga lebih besar, yang menentukan adalah kualitas amalan tersebut di sisi Allah ‘azza wa jalla.

Dari Ibnu 'Abbasradhiyallahu ‘anhuma- dari Juwairiyahradhiyallahu ‘anha- bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam keluar dari rumah Juwairiyah pada pagi hari usai shalat Subuh dan dia tetap di tempat shalatnya. Tak lama kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kembali setelah terbit fajar (pada waktu dhuha), sedangkan Juwairiyah masih duduk di tempat shalatnya. Setelah itu, Rasulullah menyapanya: "Ya Juwairiyah, kamu masih belum beranjak dari tempat shalatmu?"
Juwairiyah menjawab; 'Ya. Saya masih di sini, di tempat semula ya Rasulullah.'
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: 'Setelah keluar tadi, aku telah mengucapkan empat rangkaian kata-kata -sebanyak tiga kali- yang kalimat tersebut jika dibandingkan dengan apa yang kamu baca seharian tentu akan sebanding, yaitu:
سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ، عَدَدَ خَلْقِهِ، وَرِضَا نَفْسِهِ، وَزِنَةَ عَرْشِهِ، وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ
“Maha Suci Allah dengan segala puji bagi-Nya sebanyak hitungan makhluk-Nya, menurut keridlaan-Nya, seberat arasy-Nya dan sebanyak tinta kalimat-Nya.” [Shahih Muslim no. 4905]

460. Hadits no.526, Disunnahkan mempercepat pelaksanaan shalat magrib.


Koreksi terjemah:
مَوَاقِعَ نَبْلِهِ = tempat jatuh anak panahnya (yang melesat dari busurnya).
Dari 'Ali bin Bilalrahimahullah- dari orang-orang Anshar mereka berkata; Kami shalat maghrib bersama Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam kemudian kami bubar. Lalu kami saling melempar anak panah hingga tiba ke rumah kami dan tempat jatuhnya anak panah itu masih bisa kami lihat. [Musnad Ahmad no.15819: Hasan]

461. Hadits no.527, Waktu awal masuk shalat magrib ketika matahari sudah terbenam sempurna tidak terlihat lagi.


Koreksi terjemah:
قَدِمَ الْحَجَّاجُ = Al-Hajjaj tiba (di Madinah)
Dalam riwayat lain:
كَانَ الْحَجَّاجُ يُؤَخِّرُ الصَّلَوَاتِ فَسَأَلْنَا جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّه
“Al-Hajjaj seringkali mengakhirkan shalat, maka kami bertanya kepada Jabir bin Abdullah ... “. [Shahih Muslim no.1023]

462. Hadits no.528, Keutamaan menyegerakan shalat magrib di awal waktu:
Martsad bin Abdullah –rahimahullah- berkata; Tatkala Abu Ayyub –radhiyallahu ‘anhu- mendatangi kami sebagai tentara perang, dan pada saat itu Uqbah bin Amir –radhiyallahu ‘anhu- menjadi gubernur Mesir. Dia mengakhirkan shalat Maghrib. Maka Abu Ayyub mendatanginya dan berkata; Shalat apa ini wahai Uqbah?
Dia menjawab; Kami disibukkan!.
Lantas Abu Ayyub berkata; Tidakkah engkau pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Umatku akan senantiasa dalam kebaikan -atau di atas fithrah- selama mereka tidak mengakhirkan shalat Maghrib hingga semua bintang-bintang nampak. [Sunan Abi Daud no.354: Hasan]


463. Hadits no.529, Boleh menjamak shalat Magrib dengan Isya jika ada udzur seperti bepergian jauh, hujan deras, sangat ketakutan, sakit, angin kencang, dll.
Atau ada hajat yang mendesak atau terpaksa, seperti: ujian sekolah/kuliah yang tidak bisa ditinggalkan, operasi darurat bagi dokter, rapat kantor yang tdk bisa ditunda, dll. Tapi jangan dijadikan kebiasaan!


464. Hadits no.530, Dengan hadits ini, sebagian ulama melarang menyebut shalat Magrib dengan nama Isya.
Namun pendapat lain membolehkan jika penamaan Isya tidak mendominasi atau sampai meninggalkan nama Magrib, dengan dalil:
Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Siapa pun wanita yang memakai parfum, maka janganlah dia hadir bersama kami dalam shalat Isya' yang akhir.“ [Shahih Muslim no.675]
Ini menu jukkan bahwa Magib adalah shalat Isya yang pertama. (Syarh Shahih Bukhari karya Ibnu Rajab 4/361)
Ali –radhiyallahu ‘anhu- berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda pada perang Ahzab; "Pasukan musuh benar-benar telah menyibukkan kita dari shalat wustha (ashar), semoga Allah memenuhi rumah dan kuburan mereka dengan api." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendirikan shalat Ashar di antara dua Isya; yaitu maghrib dan isya. [Shahih Muslim no.996]


Koreksi terjemah:
1) قَالَ الْأَعْرَابُ وَتَقُولُ هِيَ الْعِشَاءُ
dalam riwayat lain: قَالَ: وَتَقُولُ الْأَعْرَابُ هِيَ الْعِشَاءُ
Beliau bersabda: Dan orang-orang a'rabiy mengatakan ‘magrib itu isya’
Al-Kirmaniy -rahimahullah- memastikan bahwa ini adalah ucapan 'Abdullah bin Mughaffal Al-Muzaniy -radhiyallahu ‘anhu-, namun tidak ada buktinya, sedangkan dzahir matan hadits ini menunjukkan bahwa ucapan ini adalah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. [Fathul Bari kry Ibnu Hajat 2/340]
2) Saya tidak mendapatkan komentar ulama yang menyebutkan bahwa orang Badui menyebut Maghrib dengan 'Isya kerena mereka menunda pelaksanaan Maghrib hingga masuk waktu 'Isya. Wallahu a’lam!

465. Hadits no.531, Awal waktu Isyah adalah ketika mega merah di langit telah menghilang.


Dari Buraidah -radhiyallahu ‘anhu-; Dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada beliau tentang waktu shalat, maka beliau menjawab: "Shalatlah bersama kami selama dua hari ini." Ketika matahari telah condong (ke barat), beliau menyuruh Bilal untuk mengumandangkan adzan, kemudian beliau memerintahkan Bilal untuk mengiqamati shalat zhuhur, setelah itu beliau memerintahkan Bilal supaya mengumandangkan adzan untuk shalat ashar, yaitu ketika matahari masih meninggi putih cemerlang, waktu selanjutnya beliau memerintahkan sehingga Bilal mengiqamati shalat maghrib, yaitu ketika matahari sudah menghilang, setelah itu beliau memerintahkan Bilal untuk mengiqamati shalat isya`, yaitu ketika mega merah telah menghilang, waktu selanjutnya beliau memerintahkan supaya Bilal mengiqamati shalat subuh (fajar), yaitu ketika fajar terbit. Di hari kedua, beliau memerintahkan Bilal supaya mengakhirkan shalat zhuhur hingga cuaca agak dingin, maka Bilal pun mengakhirkan hingga cuaca agak dingin, dengan demikian beliau telah memberi kenyamanan dengan menangguhkan zhuhur hingga cuaca agak dingin, dan beliau shalat ashar ketika matahari masih tinggi, beliau mengakhirkannya lebih dari waktu sebelumnya, setelah itu beliau melaksanakan shalat maghrib sebelum mega merah menghilang, dan beliau mengerjakan shalat isya` setelah sepertiga malam berlalu, beliau lalu shalat fajar (subuh) ketika fajar telah merekah, kemudian beliau bertanya: "Dimanakah orang yang bertanya tentang waktu shalat tadi?"
Laki-laki itu berkata; "Aku wahai Rasulullah"
Beliau bersabda: "Waktu shalat kalian adalah antara waktu yang telah kalian lihat sendiri." [Shahih Muslim no.969]

Koreksi terjemah:
 رَأْسَ مِائَةِ سَنَةٍ مِنْهَا= pada penghujung seratus tahun dari malam ini.

Pertanyaan:
Saya pernah baca ini salah satu dalil bahwa tidak ada itu Nabi Khidir yang hidup sampai akhir jaman. Juga dajjal belum ada pada saat itu. Bagaimana pendapat ustadz?
Jawaban:
Iya, keumuman hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Khidir -‘alaihissalam- sudah wafat, ini adalah pendapat: Imam Bukhari, Ibnu Al-Jauziy, Ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar Al’Asqalaniy, dll –rahimahumullah-.
Adapun Dajjal, telah dikhususkan (dikeluarkan) dari keumuman hadits ini dengan beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Dajjal sudah ada di masa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan akan muncul di akhir zaman, di antaranya hadits Fathimah binti Qais -radhiyallahu ‘anha- dalam shahih Muslim no.5235.

466. Hadits no.532, Disunnahkan menunda pelaksanaan shalat Isya sampai banyak orang yang hadir untuk berjama’ah.


467. Hadits no.533, Keutamaan shalat Isya:
Abu Musa -radhiyallahu ‘anhu- berkata: "Aku dan sahabat-sahabatku yang pernah ikut dalam perahu singgah pada tanah lapang yang memiliki aliran air, sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berada di Madinah. Di antara mereka ada beberapa orang yang saling bergantian mengikuti Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat 'Isya di setiap malamnya. Hingga pada suatu malam, aku dan para sahabatku menjumpai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang saat itu sedang sibuk dengan urusannya, sehingga beliau mengakhirkan pelaksanaan shalatr 'Isya hingga pada pertengahan malam. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam keluar untuk menunaikan shalat bersama mereka. Selesai shalat beliau bersabda kepada orang-orang yang hadir: "Tetaplah kalian di tempat kalian, dan bergemberilah. Sesungguhnya termasuk dari nikmat Allah kepada kalian adalah didapatinya seorang pun saat ini yang melaksanakan shalat (Isya) selain kalian."
Atau Beliau bersabda: "Tidak ada yang melaksanakan shalat pada waktu seperti ini kecuali kalian."
Berkata Abu Musa: "Maka kami kembali dengan gembira dengan apa yang kami dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." [Shahih Bukhari no.534]
Abdurrahman bin Abu 'Amrah –rahimahullah- berkata; Usman bin Affan -radhiyallahu ‘anhu- memasuki masjid setelah shalat maghrib, ia lalu duduk seorang diri, maka aku pun duduk menyertainya. Katanya; "Wahai keponakanku, aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa shalat isya` berjama'ah, seolah-olah ia shalat malam selama separuh malam, dan barangsiapa shalat shubuh berjamaah, seolah-olah ia telah shalat seluruh malamnya." [Shahih Muslim no.1049]


468. Hadits no.535, Makruh hukumnya tidur sebelum melaksanakan shalat Isya.


Adapun berbincang-bincang setelah shalat Isya, maka dibolehkan jika ada manfaatnya.
Ibnu 'Abbas radhiallahu 'anhuma berkata; Suatu ketika aku bermalam di rumah bibiku Maimunah, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berbincang-bincang bersama istrinya sesaat (setelah shalat Isya) kemudian beliau tidur. [Shahih Bukhari no.4203]
Umar bin Al-Khaththab radhiallahu 'anhu berkata; "Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- pernah berbincang-bincang (begadang setelah shalat Isya) dengan Abu Bakar dalam permasalahan kaum muslimin, sedang aku bersama keduanya." [Sunan Tirmidziy no.154: Shahih]
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada bergadang setelah waktu shalat yakni Isya` yang akhir kecuali salah satu dari dua orang; orang yang shalat dan musafir." [Musnad Ahmad no.3421: Hasan]
Lihat hadits sebelumnya (Shahih Bukhari no.534) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan hadits setelah menunaikan shalat Isya. Wallahu a'lam!

469. Hadits no.536, Boleh tidur sebelum melaksanakan shalat Isya jika yakin akan bangun shalat berjama’ah sebelum keluar waktunya.


Dari 'Abdullah bin 'Umar -radhiallahu ' anhuma-, bahwa Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- pernah suatu malam disibukkan dengan urusan sehingga mengakhirkan shalat 'Isya. Dan karenanya kami tertidur di dalam masjid. Lalu kami terbangun, lalu tertidur, lalu terbangun lagi hingga akhirnya Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- keluar menemui kami seraya bersabda: "Tidak ada seorangpun dari penduduk bumi yang menunggu shalat seperti ini selain kalian."
Dan Ibnu 'Umar tidak mempermasalahkan apakah ia memajukan atau mengakhirkan pelaksanaan shalat isya jika ia tidak khawatir akan tertidur sampai waktu shlat isya habis. Dan Ibnu Umar terkadang tidur dahulu sebelum shalat Isya.
Ibnu Juraij –rahimahullah- berkata, "Aku bertanya kepada 'Atha' –rahimahullah-, lalu dia berkata, "Aku mendengar Ibnu 'Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- berkata, "Pernah suatu malam Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- mengakhirkan shalat 'Isya hingga banyak orang tertidur, kemudian mereka terbangun, lalu tertidur lagi, kemudian terbangun lagi." 'Umar bin Al-Khaththab –radhiyallahu ‘anhu- lalu berdiri dan berkata, "Shalat."
'Atha' berkata, Ibnu 'Abbas berkata, "Maka Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- kemudian keluar, seakan-akan aku melihat beliau saat ini, kepala beliau basah meneteskan air, dan beliau meletakkan tangannya di kepala. Beliau kemudiaan bersabda: "Seandainya tidak memberatkan ummatku, niscaya aku akan perintahkan mereka melaksanakan shalat 'Isya seperti waktu sekarang ini."
Aku (Ibnu Juraij) kemudian menanyakan kepada 'Atha untuk memastikan bagaimana Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- meletakkan tangan di kepalanya seabagaimana yang diberitakan oleh Ibnu 'Abbas.
Maka 'Atha merenggangkan sedikit jari-jarinya kemudian meletakkan ujung jarinya di atas sisi kepala, kemudian ia menekannya sambil menggerakkan ke sekeliling kepala hingga ibu jarinya menyentuh ujung telinga yang dimulai dari pelipis hingga pangkal jenggot. Dia melakukannya tidak pelan juga tidak cepat, kecuali sedang seperti itu. Lalu Beliau bersabda: "Seandainya tidak memberatkan ummatku, niscaya aku akan perintahkan mereka melaksanakan shalat seperti waktu sekarang ini." [Shahih Bukhari no.537]

Koreksi terjemah:
وَلَا يُصَلَّى يَوْمَئِذٍ إِلَّا بِالْمَدِينَةِ = Dan shalat isya tidak didirikan pada saat itu kecuali di Madinah.

470. Hadits no.538, Yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa waktu shalat Isya hanya sampai seperdua malam.


Dengan demikian, jika seorang wanita suci dari haid atau nifas setelah pertengahan malam, maka ia tidak wajib shalat isya. Wallahu a’lam!

Pertanyaan 1:
Pertanyaan ana yang masih mengganjal tentang pendapat ini. Dari pendapat kedua ini apakah masih ada kemungkinan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- melaksanakan shalat isya lebih dari separuh malam ustadz? Misalnya yang dipahami pada hadits ini Hadits Anas bin Malik radiyallahu 'anhu, ia berkata:
أَخَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ العِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ، ثُمَّ صَلَّى
"Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- mengakhirkan salat isya sampai pertengahan malam kemudian ia shalat"
Tambahan “tsummas shollaa” itu maksudnya sholat apa ustadz?
Jawaban:
Yang dimaksud adalah shalat Isya, lihat “Irsyaad As-Saariy” karya Al-Qathalaniy 1/505.
Pertanyaan 2:
Maksudnya sampai pertengahan malam itu, selesai sholatnya pas di pertengahan malam ataukah baru mulai pertengahan malam ustadz?
Jawaban:
Mendekati pertengahan malam, seperti dalam riwayat Imam Muslim no.1012: “mengakhirkan shalat isya` hingga separuh malam atau nyaris separuh malam berlalu”.
Pertnyaan 3:
Cara menghitung tengah malam, maghrib tambah subuh bagi dua, bener gak mas?
Jawaban:
Iya, malam antara magrib dan subuh, jika magrib jam 6 dan subuh jam 4 maka malam hanya 10 jam, jadi seperdua malam itu hanya sampai jam 11 malam. Wallahu a'lam!
Pertanyaan 4:
Maaf ustadz, selama ini saya berpegang pada awal malam adalah hilangnya cahaya kekuningan (waktu masuk isya) sebagai awal malam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
" صلاة المغرب وتر صلاة النهار ".
“Shalat Maghrib itu witirnya siang hari”. (HR.Ahmad).
Bagaimana pegangan saya tersebut, apa kuat atau lemah. Terima kasih!
Jawaban:

471. Hadits no.539, Keutamaan shalat subuh:


Jundab Al-Qasriradhiyallahu ‘anhu- berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa shalat subuh, maka ia berada dalam jaminan Allah, oleh karena itu jangan sampai Allah karena jaminan-Nya menuntut kalian dengan suatu hal (dengan mendzalimi orang yang shalat subuh), karena siapa yang Allah menuntutnya sesuatu karena jaminan-Nya, Allah pasti akan menemukannya dan menelungkupkannya di atas wajahnya di neraka jahannam." [Shahih Muslim no.1051]
Lihat hadits no.521-522.
Lihat: Keutamaan shalat subuh

Koreksi terjemah:
 ثُمَّ قَرَأَ = kemudian Jarir membaca ayat ...
Al-Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- mengatakan bahwa kalimat (ثُمَّ قَرَأَ) adalah mudraj, bukan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang membaca ayat tersebut tapi Jarir -radhiyallahu ‘anhu- sebagaimana dijelaskan pada riwayat Imam Muslim dalam shahih-nya no.1002. [Fathul Bari 2/324]
Pembahasan dan contoh hadits mudraj, lihat hadits no.133, 517, dan 521.

472. Hadits no.540, Maksud kataالبردين  (dua waktu dingin) adalah waktu subuh dan ashar.


Dari Abu Musa -radhiyallahu ‘anhu-, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa melakukan shalat bardain maka ia masuk Surga."
Abu Muhammad (Ad-Darimiy) –rahimahullah- ditanya, "Apakah shalat bardain itu?
Ia menjawab, "Subuh dan asar." [Sunan Ad-Darimiy no.1389: Sanadnya Shahih]

473. Hadits no.541, Awal waktu shalat subuh adalah ketika fajar terbit.


Dari Abu Musa -radhiyallahu ‘anhu-, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa seseorang datang menemui beliau dan bertanya tentang waktu-waktu shalat, namun beliau tidak menjawabnya sama sekali. Kemudian beliau mendirikan shalat fajar (subuh) ketika fajar (shadiq) baru merekah (terbit) dan antara sahabat satu dengan yang lain belum bisa mengenal (masih gelap), kemudian beliau memerintahkan Bilal (untuk adzan dzuhur), maka beliau mendirikan shalat zhuhur ketika matahari condong (tergelincir ke barat), saat seseorang berkata; "Siang telah berlalu separohnya.!" Padahal beliau adalah orang yang paling tahu diantara mereka, kemudian beliau memerintahkan Bilal (untuk adzan ashar), lalu beliau mendirikan shalat ashr ketika matahari masih tinggi, kemudian beliau memerintahkan Bilal (untuk adzan magrib) kemudian beliau mendirikan shalat maghrib ketika matahari tenggelam, setelah itu beliau memerintahkan Bilal (untuk adzan isya) kemudian beliau mendirikan shalat isya`, yaitu ketika mega merah telah hilang, keesokan harinya beliau mengakhirkan shalat fajar, sampai beliau selesai dan seseorang berkata; 'Matahari telah terbit atau nyaris terbit.!" Setelah itu beliau mengakhirkan shalat zhuhur hingga mendekati waktu 'ashar seperti waktu kemaren, kemudian beliau mengakhirkan shalat ashar, setelah selesai shalat seseorang berkata; "Matahari telah memerah.!" Kemudian beliau mengakhirkan shalat maghrib hingga syafaq (mega merah) menghilang, setelah itu beliau mengakhirkan shalat isya` hingga sepertiga malam pertama berlalu, di pagi hari beliau memanggil si penanya, lalu beliau bersabda: 'Waktu-waktu shalat ada diantara dua waktu ini." [Shahih Muslim no.971]

474. Hadits no.542, Fajar ada dua: Fajar kaadzib dan fajar shaadiq.


Fajar kaadzib (bohongan) adalah cahaya yang membentang lurus di ufuk seperti ekor serigala, kemudian setelah itu menghilang.
Fajar shaadiq adalah cahaya yang melintang/melebar di ufuk timur, makin lama makin terang.
Dari Jabir bin Abdillah -radhiyallahu ‘anhuma-; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
" الفجر فجران، فجر يقال له: ذنب السرحان، وهو الكاذب يذهب طولا ولا يذهب عرضا، والفجر الآخر يذهب عرضا ولا يذهب طولا ".
“Fajar ada dua: Fajar yang dinamai ekor serigala, ia adalah fajar kaadzib (bohongan), ia muncul secara memanjang ke atas langit dan tidak melebar. Sedangkan fajar yang lain (shaadiq) muncul secara melebar tidak memanjang ke atas”. [Silsilah Ash-Shahihah no.2002]
Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"الْفَجْرُ فَجْرَانِ: فَجْرٌ يَحْرُمُ فِيهِ الطَّعَامُ، وَيَحِلُّ فِيهِ الصَّلَاةُ، وَفَجَرٌ يَحْرُمُ فِيهِ الصَّلَاةُ، وَيَحِلُّ فِيهِ الطَّعَامُ".
“Fajar ada dua: Fajar (shaadiq) diharamkan saat itu makan (bagi yang ingin puasa) dan dibolehkan mendirikan shalat subuh, dan fajar (kaadzib) diharamkan saat itu shalat subuh, dan dihalalkan makan sahur”. [Shahih Ibnu Khuzaimah no.356]

475. Hadits no.543, Disunnahkan mempercepat pelaksanaan shalat subuh, sebagaimana disebutkan dalam hadits sebelumnya no.527: “Sementara untuk shalat Subuh, mereka (para sahabat) atau Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- melaksanakannya saat masih gelap (غلس)".


Sebagian ulama berpendapat bahwa dianjurkan mengakhirkan shalat subuh sampai langit sedikit terang dengan dalil hadits: “"Shalatlah subuh ketika agak terang (isfaar), karena itu lebih banyak pahalanya." [Sunan Tirmidziy no.142: Shahih]
Akan tetapi makna yang benar dari hadits ini adalah anjuran untuk meyakinkan masuknya waktu fajar sebelum melakukan shalat subuh.
Imam Tirmidziy -rahimahullah- setelah meriwayatkan hadits tersebut, beliau mengatakan:
وقَالَ الشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ مَعْنَى الْإِسْفَارِ أَنْ يَضِحَ الْفَجْرُ فَلَا يُشَكَّ فِيهِ وَلَمْ يَرَوْا أَنَّ مَعْنَى الْإِسْفَارِ تَأْخِيرُ الصَّلَاةِ
“Imam Asy-Syafi’iy, Ahmad, dan Ishaq (bin Rahawaih) mengatakan bhw makna “Al-Isfaar” (terangnya langit) adalah adanya cahaya fajar nampak sangat jelas hingga tidak ada keraguan padanya, dan mereka (para imam tersebut) tidak berpendapat bahwa makna “al-isfaar” adalah mengakhirkan shalat subuh.”
Pendapat lain bahwa maksud hadits ini adalah anjuran memanjangkan bacaan shalat subuh hingga ketika selesai shalat langit sudah agak terang, sebagaimana disebutkan dalam hadits sebelumnya no.508 dan 514: “Dan beliau selesai melaksanakan shalat Shubuh ketika seseorang dapat mengetahui siapa yang ada di sebelahnya, beliau membaca enam hingga seratus ayat." Wallahu a’lam!

476. Hadits no.544, Perempuan boleh shalat berjama'ah di mesjid.


Lihat: Perempuan shalat jamaah di masjid

477. Hadits no.545, Akhir waktu shalat subuh ketika matahari terbit.


Lihat hadits no.523.

* Ancaman bagi orang yang melalaikan shalat subuh:
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setan mengikat tengkuk kepala seseorang dari kalian saat dia tidur dengan tiga tali ikatan dan syaitan mengikatkannya sedemikian rupa sehingga setiap ikatan diletakkan pada tempatnya lalu (dikatakan) kamu akan melewati malam yang sangat panjang maka tidurlah dengan nyenyak. Jika dia bangun dan mengingat Allah maka lepaslah satu tali ikatan. Jika kemudian dia berwudhu' maka lepaslah tali yang lainnya dan bila ia mendirikan shalat lepaslah seluruh tali ikatan dan pada pagi harinya ia akan merasakan semangat dan kesegaran yang menenteramkan jiwa. Namun bila dia tidak melakukan seperti itu, maka pagi harinya jiwanya merasa tidak segar dan menjadi malas beraktifitas". [Shahih Bukhari no.1074]
'Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu berkata: Diceritakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang seseorang yang dia terus tertidur sampai pagi hari hingga tidak mengerjakan shalat. Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Syaitan telah mengencingi orang itu pada telinganya". [Shahih Bukhari no.1076]
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang-orang Munafik dari shalat shubuh dan 'Isya. Seandainya mereka mengetahui (kebaikan) yang ada pada keduanya tentulah mereka akan mendatanginya walau harus dengan merangkak. [Shahih Bukhari no.617]

478. Hadits no.546, Hadits ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama bahwa seseorang dianggap mendapatkan shalat jama’ah jika ia mendapatkan satu raka’at.


Dalam riwayat lain: "Barangsiapa mendapatkan satu raka’at shalat bersama imam, maka ia telah mendapatkan (pahala) shalat seluruhnya (secara berjama’ah) ." [Shahih Muslim no.955]
Sedangkan ulama lain berpendapat bahwa dengan mendapati imam pada tasyahhud akhir berarti ia telah mendapatkan shalat jama’ah, dengan dalil hadits Abu Qatadah radhiallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kalian mendatangi shalat (berjama’ah) maka datanglah dengan tenang, apa yang kalian dapatkan dari shalat maka ikutilah, dan apa yang kalian tertinggal maka sempurnakanlah." [Shahih Bukhari no.599]
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang berwudlu, lalu memperbagus wudlunya, kemudian pergi ke masjid, sementara dia mendapati jama'ah telah selesai mengerjakan shalat, maka Allah ‘azza wa jalla akan memberinya pahala, seperti pahala orang yang telah mengerjakan (shalat jama'ah) dan menghadirinya, tidak kurang sedikit pun dari pahala mereka." [Sunan Abi Daud no.477: Shahih]
Adapun hadits yang dijadikan hujjah oleh pendapat pertama, maka yang dimaksud adalah ukuran untuk mendapatkan shalat pada waktunya sebelum habis, sebagaimana dijelaskan pada riwayat sebelumnya no.545.
Sedangkan tambahan lafadz “bersama imam” tidak ditemukan kecuali dalam riwayat imam Muslim, dari Ibnu Wahab, dari Yunus, dari Ibnu Syihab. Semua yang meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Syihab tidak menyebutkan tambahan tersebut, bahkan Ibnu Al-Mubarak meriwayatkannya dari Yunus juga tanpa tambahan. Maka dikhawatirkan tambahan tersebut derajatnya syadz (menyelisihi riwayat yang lebih kuat). [Lihat Al-Irwaa’ kry syekh Albaniy 3/90 no.623]

Pertanyaan 1:
Untuk ukuran mendapat satu rokaat ada pendapat yang menyatakan bahwa saat makmum mendapati imam saat rukuk meski makmum tersebut tidak mendapati bacaan al-fathihah. Apakah pendapat ini benar ustadz, terima kasih sebelumnya!
Jawaban:
Iya, itu adalah pendapat jumhur ulama, dengan dalil:
Dari Abu Bakrah radhiallahu 'anhu, bahwa dia pernah mendapati Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sedang rukuk, maka dia pun ikut rukuk sebelum sampai ke dalam barisan shaf. Kemudian dia menceritakan kejadian tersebut kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu bersabda: "Semoga Allah menambah semangat kepadamu, namun jangan diulang kembali." [Shahih Bukhari no.741]
Pertanyaan 2:
Pendapat Imam Bukhari katanya tetap tidak terhitung 1 rakaat ya ustadz?
Jawaban:
Iya, itu pendapat Imam Bukhari rahimahullah dalam kitabnya "Al-Qiraa'ah khalfal Imam".
Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambaliy rahimahullah membantah pendapat ini dalam kitabnya "Fathul Bari syarh Shahih Al-Bukhari" 7/109-116.

479. Hadits no.547, Makruh hukumnya shalat sunnah setelah fardhu subuh sampai matahari terbit agak tinggi (syuruuq).


480. Hadits no.548, Boleh mengqadha’ shalat sunnah subuh setelah menunaikan shalat subuh.
Qais bin ‘Amru radhiallahu 'anhu berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melihat seorang laki-laki shalat dua raka'at setelah subuh, maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun bertanya kepadanya: "Apakah ada shalat subuh dikerjakan dua kali! "
Laki-laki itu menjawab, "Aku belum mengerjakan dua raka'at sebelum subuh, maka aku mengerjakannya!"
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun diam. " [Sunan Ibnu Majah no.1144: Shahih]


Tapi sebaikanya di-qadha setelah matahari terbit.
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa belum melaksanakan sunnah dua rakaat fajar, hendaklah ia melaksanakannya setelah terbit matahari." [Sunan Tirmidzi no.388: Shahih]

481. Hadits no.549, Disunnahkan tinggal di mesjid berdzikir setelah shalat subuh berjama’ah sampai matahari terbit (syuruuq) kemudian shalat dua raka’at.
Anas bin Malik radhiallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang shalat subuh berjama'ah kemudian duduk berdzikir sampai matahari terbit yang dilanjutkan dengan shalat dua raka'at, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah yg sempurna, sempurna, sempurna." [Sunan Tirmidziy no.535: Hasan]


Koreksi terjemah:
Pengertian dua jenis jual beli yang dilarang sudah dijelaskan pada hadits no.355.
Dan pengertian dua cara berpakaian yang dilarang sudah dijelaskan pada haditsno.354.

482. Hadits no.550, Sebab kedua shalat ini dilarang karena matahari terbit dan terbenam di antara dua tanduk setan dan kaum musyrik sujud untuknya pada saat itu.


Dari Amru bin Abasah As-Sulamiy radhiallahu 'anhu; Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda: ... Dirikanlah shalat subuh, kemudian jangan shalat sampai matahari terbit dan meninggi, karena matahari terbit di antara dua tanduk syetan, dan pada waktu itu orang-orang kafir sujud untuknya (menyembah matahari). Kemudian (setelah matahari sudah meninggi) shalatlah, karena shalat pada waktu itu disaksikan dan dihadiri (oleh para malaikat) hingga bayang-bayang berkurang sepanjang tombak. Setetelah itu janganlah kamu shalat, karena pada waktu itu api neraka sedang dinyalahkan. Dan apabila bayangan sudah kembali muncul maka shalatlah kamu, karena shalat pada waktu itu disaksikan dan dihadiri (oleh para malaikat) sampai engkau shalat ashar. Kemudian janganlah kamu shalat hingga matahati benar-benar terbenam, karena matahari terbenam di antara dua tanduk syetan dan pada waktu itulah orang-orang kafir sujud untuknya. ... " [Shahih Muslim no.1374]

483. Hadits no.551, Boleh shalat sunnah setelah shalat ashar, yang dilarang ketika matahari sudah menguning sampai masuk waktu magrib.
Ali radhiallahu 'anhu berkata; "Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam melarang shalat setelah Ashar kecuali matahari masih putih jernih dan tinggi." [Sunan An-Nasaiyno.569: Shahih]



484. Hadits no.552, Setiap sahabat Nabi menyampaikan sesuai apa yang mereka saksikan dari amalan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-.


Dari Abu Musa radhiallahu 'anhu, bahwa ia melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat dua rakaat setelah shalat Ashar. [Musnad Ahmad no.18899: Shahih ligairih]

485. Hadits no.553, Boleh shalat pada waktu yang dimakruhkan jika ada sebab yang menganjurkan untuk shalat, seperti:
1) Mengqadha’ shalat wajib atau sunah, lihat hadits no.562, dan pembahasan sebelumnya di hadits no.548.
2) Sunnah wudhu, lihat hadits no.155 dan 159.
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada Bilal radhiallahu 'anhu ketika shalat Fajar (Shubuh): "Wahai Bilal, ceritakan kepadaku amal yang paling utama yang sudah kamu amalkan dalam Islam, sebab aku mendengar di hadapanku suara sandalmu dalam surga".
Bilal menjawab; "Tidak ada amal yang utama yang aku sudah amalkan kecuali bahwa jika aku bersuci (berwudhu') pada suatu kesempatan malam ataupun siang melainkan aku selalu shalat dengan wudhu' tersebut sebanyak yang Allah telah tentukan untukku". [Shahih Bukhari no.1081]
3) Tahiyatul masjid, lihat hadits no.425.
4) Mendapati orang shalat berjama’ah.
Al-Aswad Al-'Amiri radhiallahu 'anhu berkata; "Aku pernah berhaji bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu aku shalat subuh bersamanya di masjid Al Khaif. Ketika beliau selesai melakasanakan shalat subuh dan berpaling, tiba-tiba ada dua orang laki-laki dari kaum lain yang tidak ikut shalat berjama'ah bersama beliau. Maka beliau pun bersabda: "Bawalah dua orang itu kemari!"
Maka mereka pun dibawa ke hadapan Nabi sedang urat mereka bergetar. Beliau bersabda: "Apa yang menghalangi kalian untuk shalat bersama kami?"
Mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, kami telah shalat di tempat kami, "
Beliau bersabda: "Janganlah kalian lakukan, jika kalian telah melaksanakannya di tempat kalian, lalu kalian datang ke masjid yang melaksanakan shalat berjama'ah maka shalatlah bersama mereka, karena hal itu akan menjadi pahala nafilah (sunnah) kalian berdua." [Sunan Tirmidzi no.203: Shahih]
5) Shalat sunnah setelah tawaf.
Dari Jubair bin Muth'im radhiallahu 'anhu; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai bani Abdu Manaf, janganlah kalian melarang seorang pun untuk melakukan thawaf di Ka'bah, dan melakukan shalat pada saat kapanpun yang ia kehendaki, malam atau siang." [Sunan Abi Daud no.1618: Shahih]


486. Hadits no.554, Selain shalat ketika matahari terbit dan terbenam, shalat beberapa saat (5-10 menit) sebelum matahari tergelincir juga dilarang.
Uqbah bin Amir Al-Juhaniy radhiallahu 'anhu berkata; "Ada tiga waktu, yang mana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang kita untuk shalat atau menguburkan jenazah pada waktu-waktu tersebut. (Pertama), saat matahari terbit hingga ia agak meninggi. (Kedua), saat matahari tepat berada di pertengahan langit (tengah hari tepat) hingga ia telah condong ke barat, (Ketiga), saat matahari hampir terbenam, hingga ia terbenam sama sekali." [Shahih Muslim no.1373]
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata, "Shafwan bin Al-Mu'aththal radhiallahu 'anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Wahai Rasulullah, aku ingin bertanya kepadamu sesuatu yang engkau ketahui dan tidak aku ketahui, "
Beliau bersabda: "Apa itu?"
Ia berkata, "Apakah pada waktu siang dan malam ada waktu-waktu yang seseorang tidak boleh shalat di dalamnya?"
Beliau bersabda: "Ya, jika engkau telah selesai dari shalat subuh, maka tinggalkanlah shalat hingga matahari terbit, sebab ia terbit antara dua tanduk setan. Setelah itu shalatlah, sebab shalat pada waktu itu dihadiri dan diterima hingga matahari berada di atas kepalamu (dan bayanganmu) sepanjang tombak. Jika matahari telah berada di atas kepalamu (dan bayanganmu) sepanjang tombak maka tinggalkanlah shalat, sebab pada waktu itu jahannam sedang menyala-nyala dan semua pintunya terbuka hingga matahari bergeser dari alis matamu yang sebelah kanan (ke barat). Jika matahari telah bergeser maka shalat pada waktu itu disaksikan dan diterima hingga engkau mengerjakan shalat ashar. Setelah itu tinggalkanlah shalat hingga matahari terbenam. " [Sunan Ibnu Majah no.1242: Shahih]

Kecuali pada hari Jum’at, shalat pada waktu matahari di atas kepala tidak dilarang:
Salman Al-Farsiy radhiallahu 'anhu berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah seorang laki-laki mandi pada hari Jum'at lalu bersuci semaksimal mungkin, memakai wewangian miliknya atau minyak wangi keluarganya, lalu keluar rumah menuju Masjid, ia tidak memisahkan dua orang pada tempat duduknya lalu dia shalat sebanyak yang telah ditakdirkan baginya kemudin diam ketika imam khutbah, kecuali dia akan diampuni dosa-dosanya yang ada antara Jum'atnya itu dan Jum'at yang lainnya." [Shahih Bukhari no.834]


487. Hadits no.555, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- suka kemudahan dan keringanan untuk umatnya, lalu kenapa kita mempersulitnya dengan amalan yang tidak dianjurkan?!


'Aisyah radhiallahu 'anha berkata; "Tidaklah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam diberi pilihan dari dua perkara yang dihadapinya, melainkan beliau mengambil yang paling ringan selama bukan perkara dosa. Seandainya perkara dosa, beliau adalah orang yang paling jauh darinya". [Shahih Bukhari no.3296]

488. Hadits no.556, Asal mula dua raka’at yang dilakukan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- setelah shalat ashar.



Ibnu 'Abbas dan Al-Mismar bin Makhramah dan 'Abdurrahman bin Azhar -radhiallahu 'anhum-, ketiganya mengutusnya (Kuraib) untuk menemui 'Aisyah radhiallahu 'anha dengan mengatakan; "Sampaikan salam dari kami semua kepadanya, dan tanyakan tentang dua raka'at setelah shalat 'Ashar dan tanyakan kepadanya bahwa kami mendapat berita bahwa engkau mengerjakan shalat tersebut padahal telah sampai berita kepada kami dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa Beliau melarang mengerjakannya, bahkan aku bersama 'Umar bin Al Khaththab -radhiallahu 'anhu- pernah memukul orang yang mengerjakannya”.
Kuraib berkata; "Maka aku menemui 'Aisyah radhiallahu 'anha lalu kusampaikan kepadanya semua tujuan aku diutus. Maka (Aisyah radhiallahu 'anha) menjawab; "Tanyakan saja kepada Ummu Salamah". Lalu aku menemui mereka yang mengutusku dan aku sampaikan ucapan 'Aisyah radhiallahu 'anha. Lantas mereka memerintahkanku menemui Ummu Salamah dengan memerintahkan hal yang sama seperti ketika mereka mengutusku menemui 'Aisyah radhiallahu 'anha.
Maka Ummu Salamah radhiallahu 'anha berkata: "Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah melarang mengerjakannya namun di kemudian hari aku melihat Beliau mengerjakannya seusai mengerjakan shalat 'Ashar. Setelah itu Beliau menemuiku yang ketika itu bersamaku ada beberapa wanita dari suku Bani Haram dari kalangan Kaum Anshar. Maka aku utus seorang sahaya wanita dan aku berkata kepadanya; "Pergilah menemui Beliau (Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) dan sampaikan kepadanya bahwa Ummu Salamah bertanya; Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Aku mendengar anda pernah melarang shalat dua raka'at setelah 'Ashar namun aku juga melihat anda mengerjakannya. Jika Beliau memberi isyarat dengan tangannya maka tunggulah". Maka sahaya tersebut melaksanakannya dan ternyata Beliau memberi isyarat dengan tangannya. Maka sahaya ini menunggu dari Beliau. Setelah selesai Beliau berkata: "Wahai binti Abu Umayyah, kamu bertanya tentang dua raka'at setelah 'Ashar. Sungguh aku kedatangan rambongan orang dari suku 'Abdul Qais yang menyebabkan aku terhalang dari mengerjakan dua raka'at setelah Zhuhur. Itulah yang aku kerjakan (setelah 'Ashar) ". [Shahih Bukhari no.1157]

Koreksi terjemah:
1) ابْنَ أُخْتِي = Wahai anak saudari perempuanku!
Huruf “nidaa’” nya dijatuhkan, dan yang dimaksud adalah Urwah bin Az-Zubair –rahimahullah-, anak Asma’ binti Abu Bakr –radhiyallahu ‘anhuma- saudari Aisyah.
2) عِنْدِي قَطُّ = di rumahku sama sekali.

489. Hadits no.557, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- selalu konsisten dengan ibadah yang dilakukannya.



Abu Salamah –rahimahullah- pernah bertanya kepada Aisyahradhiyallahu ‘anha- mengenai dua raka’at yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sesudah shalat Ashar, maka ia menjawab; "Dulu beliau melakukannya sebelum Ashar, kemudian beliau tersibukkan darinya atau lupa, sehingga beliau melaksanakannya sesudah shalat Ashar, kemudian beliau selalu menunaikannya. Dan biasanya, bila beliau melaksanakan suatu shalat, maka beliau menekuninya."
Yahya bin Ayyub berkata; Isma'il berkata, "Yakni beliau selalu menunaikannya." [Shahih Muslim no.1378]
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha-; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya amalan yang dicintai oleh Allah adalah yang terus menerus (konsisten) walaupun sedikit." [Shahih Bukhari no.5983]

490. Hadits no.558, Boleh mengerjakan shalat yang tertinggal atau selainnya setelah shalat ashar dengan syarat memisahkan kedua shalat tersebut dengan dzikir atau berpindah tempat.



Dari seorang sahabat Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat 'ashar, kemudian seseorang berdiri dan shalat, 'Umar –radhiyallahu ‘anhu-melihatnya lalu berkata padanya: “Duduklah, ahli kitab binasa karena shalat mereka tidak dipisah (antara yang wajib dan yang sunnah)”.
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bagus, Ibnu Al-Khaththab." [Musnad Ahmad no.22041: Shahih]
Dalam hadits ini, orang tersebut ditegur bukan karena melakukan shalat sunnah setelah fardhu Ashar, tapi karena ia tidak memisahkan keduanya. Wallahu a'lam!

491. Hadits no.559, Mencegah lebih baik sebelum menyesal.



Buraidah -radhiyallahu ‘anhu- memerintahkan untuk menyegerakan shalat Ashar di waktu mendung karena khawatir akan terlewatkan dari shalat Ashar.
Lihat hadits no. 520, Maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: “amalannya terhapus”.

492. Hadits no.561, Tetap adzan dan berjama’ah jika lupa atau tertidur dari shalat fardhu.



Abu Qatadah -radhiyallahu ‘anhu- berkata, "Kami pernah berjalan bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada suatu malam. Sebagian kaum lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sekiranya Tuan mau istirahat sebentar bersama kami?"
Beliau menjawab: "Aku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan shalat."
Bilal berkata, "Aku akan membangunkan kalian."
Maka merekapun berbaring, sedangkan Bilal bersandar pada hewan tunggannganya, tapi rasa kantuknya mengalahkannya dan akhirnya iapun tertidur. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terbangun ternyata matahari sudah terbit, maka beliau pun bersabda: "Wahai Bilal, mana bukti yang kau ucapkan!"
Bilal menjawab: "Aku belum pernah sekalipun merasakan kantuk seperti ini sebelumnya."
Beliau lalu bersabda: "Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla memegang ruh-ruh kalian sesuai kehendak-Nya dan mengembalikannya kepada kalian sekehendak-Nya pula. Wahai Bilal, berdiri dan adzanlah (umumkan) kepada orang-orang untuk shalat!"
Kemudian beliau berwudlu, ketika matahari meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan shalat." [Shahih Bukhari no.560]
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, bahwa ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kembali dari perang Khaibar, beliau terus berjalan di malam hari, ketika beliau diserang kantuk, maka beliau singgah. Beliau bersabda kepada Bilal "Hendaknya kamu yang mengawasi tidur kami malam ini!."
Bilal pun shalat sekemampuan yang ditakdirkan, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidur. Begitu juga dengan para sahabatnya. Ketika mendekati fajar, Bilal bersandar kepada unta tunggangannya, rupanya kedua mata Bilal terasa berat hingga ketiduran, dengan posisi bersandar kepada untanya. Di pagi harinya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam belum juga bangun, demikian juga Bilal, dan tak satupun dari sahabatnya yang bangun hingga mereka terbangun oleh sinar matahari yang menyengat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam akhirnya yang pertama-tama bangun. Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam merasa kaget dan menyeru: "Hei Bilal!"
Bilal Menjawab; "Wahai Rasulullah, tadi nyawaku telah dipegang Dzat yang memegang nyawamu, demi ayah dan ibuku sebagai tebusanmu!
Beliau lalu bersabda: "Mari tuntunlah hewan tunggangan kalian."
Para sahabat pun menuntun hewan tunggangannya, sesaat kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwudhu. Beliau lalu memerintahkan Bilal supaya mengumandangkan iqamat shalat. Setelah itu Beliau mengimami shalat subuh bersama mereka. Selesai shalat, beliau bersabda: "Siapa yang terlupa shalat, lakukanlah ketika ingat, sebab Allah ta'ala berfirman {Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku}." (QS. Toha 14). [Shahih Muslim no.1097]

Koreksi terjemah:
بُطْحَانَ = Nama suatu lembah di Madinah.

Pertanyaan 1:
Jika jamah sholat maghrib-isya (dijamak karena hujan), apakah nanti setelah masuk isya tetap dikumandangkan adzan.?? Barakallahu fiik!
Jawaban:
Tetap mengumandangkan adzan Isya untuk memberi tanda masuknya waktu bagi yang tidak shalat Isya bersama Imam di waktu magrib. Wallahu a'lam!
Pertanyaan 2:
Apakah di masjid tersebut juga diselenggarakan shalat isya berjamaah?
Jawaban:
Boleh bagi yang belum shalat isya jamak taqdim, dan sebaiknya minta izin imam masjid atau yang mewakili, dan imam yang telah shalat isya jamak taqdim boleh menjadi imam lagi. Wallahu a'lam!
493. Hadits no.562, Orang yang lupa atau ketiduran dan tidak melakukan shalat fardhu pada waktunya maka ia menunaikannya langsung setelah ingat atau bangun.



Dari Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu-; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa lupa shalat atau ketiduran karenanya, maka kaffaratnya adalah menunaikannya disaat ingat (terbangun)." [Shahih Muslim no.1103]

Koreksi terjemah:
وَأَقِمْ الصَّلَاةَ للذِّكْرَى = Dan tegakkanlah shalat ketika mengingatnya.

Pertanyaan:
Kenapa li -nya dterjemahkan jd ketika tadz?
Jawaban:
Huruf laam terkadang bermakna waktu.

494. Hadits 563, Jika mengqadha beberapa shalat fardhu maka disunnahkan untuk menunaikannya secara berurutan.



Kecuali jika mendapati Imam Mesjid sedang berjamah, maka yang didahulukan adalah shalat bersama imam kemudian mengqadha shalat yang tertinggal.

Koreksi terjemah:
بُطْحَانَ = Nama suatu lembah di Madinah.

495. Hadits no.564, Hikmah larangan ngobrol (begadang) setelah shalat isya:
1. Karena Allah menciptakan malam sebagai waktu istirahat dan siang untuk mencari nafkah, maka jika seseorg ngobrol setelah shalat isya berarti ia telah menyalahi hikmah penciptaan malam.
{Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari karunia Allah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar}. [Yunus: 67]
2. Untuk mengistirahatkan malaikat pencatat amal. Oleh sebab itu sebagian salaf berkata kepada orang yang hendak berbincang-bincang setelah shalat isya: “Istirahatkanlah malaikat pencatat amal!”
Lihat: Al-’Uddah fii syarhil ‘umdah kry Ibnu Al-’Aththar (w.724H) 1/300-301.
3. Dikhawatirkan obrolan tersebut mengandung maksiat sehingga catatan amal ditutup dengan keburukan sebelum tidur, yang mana tidur adalah saudara kematian atau kematian kecil, atau dikhawatirkan akan mati sungguhan saat tidur dan tidak bangun lagi.
4. Dikhawatirkan obrolannya kelamaan dan menyebabkan tertidur dari shalat subuh atau shalat tahajjud.
Lihat: Al-Mufhim kry Abu Al-’Abbas Al-Qurthubiy (w.656H) 2/271.


Pembahasan tentang hukum mengobrol setelah shalat isya bisa dilihat pada postingan hadits no.535.
Koreksi terjemah:
1) تَدْعُونَهَا الْأُولَى = kalian sebut sebagai yang pertama.
Shalat dzuhur disebut “al-ulaa” karena ia adalah shalat yang pertama diajarkan Jibril kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, atau karena ia adalah shalat yang pertama dilakukan di waktu siang.
2) وَنَسِيتُ مَا قَالَ فِي الْمَغْرِبِ
Abu Al-Minhal berkata: Dan aku lupa apa yg dikatakan Abu Barzah tentang waktu magrib.
3) يَنْفَتِلُ مِنْ صَلَاةِ = beliau selesai melaksanakan shalat.
4) وَيَقْرَأُ بِالسِّتِّينَ إِلَى الْمِائَةِ = Dan beliau membaca enam puluh hingga seratus ayat.

496. Hadits no.565, Menanti kebaikan adalah kebaikan.



497. Hadits no.566, Boleh berbincang-bincang sebentar dengan keluarga atau tamu setelah shalat isya.



Dari 'Abdurrahman bin Abu Bakar -radhiyallahu'anhuma-, bahwa para Ashhabush Shuffah adalah orang-orang yang berasal dari kalangan fakir miskin. Dan suatu hari Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda: "Barangsiapa memiliki makanan cukup untuk dua orang, maka ajaklah orang yang ketiga. Jika memiliki makanan untuk empat orang hendaklah mengajak orang yang kelima atau keenam."
Maka Abu Bakar -radhiallahu ' anhu- datang dengan membawa makanan yang cukup untuk tiga orang. Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- lalu pergi dengan membawa makanan yang cukup untuk sepuluh orang."
'Abdurrahman bin Abu Bakar berkata, "Mereka itu adalah aku, bapakku, ibuku, -perawi berkata; aku tidak tahu apakah ia juga mengatakan- isteriku dan pelayan yang biasa membantu kami dan keluarga Abu Bakar. Saat itu Abu Bakar makan malam di sisi Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- hingga waktu isya, dan ia tetap di sana hingga shalat dilaksanakan. Ketika Abu Bakar pulang di waktu yang sudah malam isterinya (ibuku) berkata, "Apa yang menghalangimu untuk menjamu tamu-tamumu?"
Abu Bakar balik bertanya, "Kenapa tidak engkau jamu mereka?"
Isterinya menjawab, "Mereka enggan untuk makan hingga engkau kembali, padahal mereka sudah ditawari."
'Abdurrahman berkata, "Kemudian aku pergi dan bersembunyi."
Abu Bakar lantas berkata, "Wahai Ghuntsar (kalimat celaan)!"
Abu Bakar terus saja marah dan mencela (aku). Kemudian ia berkata (kepada tamu-tamunya), "Makanlah kalian semua."
Kemudian tamunya mengatakan, "Selamanya kami tidak akan makan (sampai engkau datang). Demi Allah, tidaklah kami ambil satu suap kecuali makanan tersebut justru bertambah semakin banyak dari yang semula."
'Abdurrahman berkata, "Mereka kenyang semua, dan makanan tersebut menjadi tiga kali lebih banyak dari yang semula. Abu Bakar memandangi makanan tersebut tetap utuh bahkan lebih banyak lagi. Kemudian ia berkata kepada isterinya, "Wahai saudara perempuan Bani Firas, bagaimana ini?"
Isterinya menjawab, "Tak masalah, bahkan itu suatu kebahagiaan, ia bertambah tiga kali lipatnya."
Abu Bakar kemudian memakannya seraya berkata, "Itu pasti dari setan -yakni sumpah yang ia ucapkan-."
Kemudian ia memakan satu suap lantas membawanya ke hadapan Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-. Waktu itu antara kami mempunyai perjanjian dengan suatu kaum dan masanya pun telah habis. Kemudian kami membagi orang-orang menjadi dua belas orang, dan setiap dari mereka diikuti oleh beberapa orang -dan Allah yang lebih tahu berapa jumlah mereka-. Kemudian mereka menyantap makanan tersebut hingga kenyang." [Shahih Bukhari no.567]

Kitab tentang Adzan

498. Hadits no.568, Panggilan adzan shalat mulai disyari’atkan pada tahun pertama atau dua hijriyah, ketika jumlah umat Islam mulai tambah banyak.



499. Hadits no.569, Dalam riwayat lain disebutkan bahwa yang pertama menyampaikan cara adzan kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah Abdullah bin Zayd bin Abdi Rabbih -radhiyallahu ‘anhu-.



Abdullah bin Zaid berkata; Sewaktu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hendak memerintahkan supaya memakai lonceng yang dipukul untuk mengumpulkan orang-orang yang mengerjakan shalat, ada seorang laki-laki berkeliling bertemu denganku, sedang saya dalam keadaan tidur (dalam mimpi). Ia membawa lonceng di tangannya, maka saya berkata; “Wahai hamba Allah, apakah kamu mau menjual lonceng ini?”
Dia bertanya; “Apa yang akan kamu lakukan dengannya?”
Saya menjawab; “Saya akan pakai untuk memanggil orang-orang mengerjakan shalat”.
Kata orang itu; Maukah saya tunjukan kepadamu yang lebih baik dari itu?
Saya katakan kepadanya; Tentu.
Orang itu berkata; Engkau ucapkan; "Allaahu Akbar Allaahu Akbar, Allaahu Akbar Allaahu Akbar (Allah Maha Besar Allah Maha Besar, Allah Maha Besar Allah Maha Besar), Asyhadu an laa ilaaha Illallah, Asyhadu an laa ilaaha Illallah (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah), Ayshadu anna Muhammadar Rasuulullah, Ayshadu anna Muhammadar Rasuulullah (Aku bersaksi bahwasannya Muhammad adalah utusan Allah, Aku bersaksi bahwasannya Muhammad adalah utusan Allah), Hayya 'alash shalaah, Hayya 'alash shalaah (Marlilah kita shalat, Marlilah kita shalat). Hayya 'alal falaah, Hayya 'alal falaah (Marilah meraih kemenangan, marilah meraih kemenangan). Allaahu Akbar, Allaahu Akbar (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar). Laailaaha illallah (Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah).
Abdullah berkata; Kemudian orang itu mundur tidak jauh dariku, lalu berkata; Apabila kamu membaca iqamah shalat, ucapkanlah; Allahu Akbar Allahu Akbar, (Allah Maha Besar Allah Maha Besar). Asyhadu an laa ilaaha Illallah (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah). Ayshadu anna Muhammadar Rasuulullah (Aku bersaksi bahwasannya Muhammad adalah utusan Allah), Hayya 'alash shalaah (Marlilah kita shalat). Hayya 'alal falaah (Marilah meraiah kemenangan). Qad qaamatish shalaah, Qad qaamatish shalaah (Sungguh shalat telah mulai didirikan Sungguh shalat telah mulai didirikan). Allahu Akbar Allahu Akbar (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar). Laailaaha illallah (Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah).
Maka keesokan harinya, saya pergi menemui Rasulallah shallallahu 'alaihi wasallam dan memberitahukan kejadian mimpiku itu, maka beliau bersabda: "Sesungguhnya mimpimu itu adalah mimpi yang benar InsyaAllah. Karena itu berdirilah bersama Bilal dan ajarkan kepadanya mimpimu itu, dan hendaklah dia yang adzan, karena suaranya lebih lantang dari suaramu."
Maka saya pun berdiri bersama Bilal, lalu saya ajarkan kepadanya bacaan-bacaan itu, sementara dia menyerukan adzan itu.
Dia berkata; Kemudian Umar bin Al-Khaththab mendengar seruan adzan itu ketika dia sedang berada di rumahnya, lalu dia keluar sambil menarik pakaiannya dan berkata; “Demi Dzat yang mengutusmu dengan al-Haq, wahai Rasulullah, sungguh saya telah bermimpi seperti mimpi Abdullah itu”.
Maka Rasulallah bersabda: "Maka segala puji hanya bagi Allah. [Sunan Abi Dawud no.421: Shahih]

500. Hadits no.570, Lafadz adzan diucapkan dua kali dua kali, kecuali lafadz takbir 4x di awal dan tahlil 1x di akhir.


Bersambung ...

NB: Gambar hadits bersumber dari Ensiklopedi Hadits 9 Imam


[1] Lihat: Syarh Shahih Muslim karya Imam An-Nawawiy (5/111).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...