بسم الله الرحمن الرحيم
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya (2/85)
no.1518, Ibnu
Majah dalam kitab Sunan-nya (2/1254) no.3819, Imam Ahmad dalam Al-Musnad
(4/104) no.2234, An-Nasa’iy dalam As-Sunan Al-Kubra (9/171) no.10217, Ath-Thabaraniy dalam kitabnya Al-Mu’jam
Al-Ausath 6/240 no.6291, Al-Mu’jam Al-Kabiir 10/281 no.10665, dan Al-Hakim dalam kitabnya
Al-Mustadrak (4/291) no.7677:
عن الْوَلِيد
بن مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ مُصْعَبٍ،
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ أَبِيهِ،
أَنَّهُ حَدَّثَهُ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ حَدَّثَهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ، جَعَلَ اللَّهُ
لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا، وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ
لَا يَحْتَسِبُ»
Dari Al-Waliid bin Muslim, ia berkata: Telah menceritakan
kepada kami Al-Hakam bin Mush’ab, ia berkata:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ali bin Abdillah bin Abbas, dari
bapaknya; Bahwasanya ia telah menceritakan kepadanya, dari Ibnu ‘Abbas;
Bahwasanya ia telah menceritakan kepadanya, ia berkata: Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang senantiasa (memperbanyak)
istighfar niscaya Allah menjadikan baginya dari setiap kesempitan ada jalan
keluar, dari setiap kesusahan ada jalan penyelesaian, serta memberinya rizki
dari arah yang tidak ia sangka-sangka". [Ini lafadz Abu Dawud]
Perselisihan ulama dalam menghukumi hadits ini:
Imam Al-Hakim dalam “Al-Mustadrak” mengatakan: "Ini
hadits yang shahih sanadnya namun tidak dikeluarkan oleh Bukhari dan
Muslim."
Akan tetapi penilaian beliau ditolak oleh Imam Adz-Dzahabiy
dalam kitab Talkhish-nya, dan berkata: "Pada Al-Hakam bin Mush'ab terdapat
jahalah (tidak diketahui)".
Al-Hafidz Ibnu Hajar menghukumi hadits ini hasan dalam kitabnya “Al-Amaaliy Al-Muthlaqah”
(hal.250-252), dengan menguatkan riwayat Al-Hakam bin Mus’ab karena Imam
An-Nasaiy telah meriwayatkannya.
Syekh Hamdiy As-Salafiy mengeritik pendapat Ibnu Hajar, dan
berkata: Pendapatnya ini bertentangan dengan apa yang ia tetapkan dalam Taqriib
At-Thadziib, di sana ia menghukumi Al-Hakam sebagai majhuul. Dan orang
yang dikeluarkan haditsnya oleh An-Nasaiy tidak berarti ia tidak majhuul.
[Tahqiq Al-Amaaliy Al-Muthlaqah]
Syekh Ahmad Syakir dalam “Tahqiq Musnad Ahmad” (3/27-28),
menghukumi sanadnya shahih karena Imam Bukhariy menyebutkan biografi
Al-Hakam bin Mush’ab dalam kitabnya “At-Taarikh Al-Kabir” dan beliau tidak
mencantumkan pujian ataupun celaan padanya.
Syekh Ahmad Syakir berpendapat bahwa sikap Imam Bukhariy
tersebut menunjukkan bahwa Al-Hakam ini tsiqah di sisi Imam Bukhariy. Apalagi ia
dan An-Nasaiy tidak menyebut Al-Hakam ini dalam kitab Adh-Dhu’afaa’ (kumpulan
biografi perawi lemah) mereka.
Syaikh Syu'aib Al-Arna'uuth dalam “Tahqiq Musnad Ahmad”
(4/104) berkata: Sanadnya lemah, Al-Hakam bin Mush'ab majhuul.
Biografi Al-Hakam bin Mush’ab:
Namanya: Al-Hakam bin Mush’ab Al-Qurasyiy.
Gurunya: Muhammad bin Ali bin Abdillah bin Abbas.
Muridnya: Al-Waliid bin Muslim dan Abu Al-Mugirah, sebagaimana disebutkan oleh
Ibnu Hibban dalam kitab “Al-Majruuhiin”.
Imam Bukhariy menyebutnya dalam
kitab “At-Tarikh Al-Kabiir” (2/338), demikian pula Ibnu Abi Hatim dalam
kitabnya “Al-Jarh wa At-Ta’diil” (3/128), namun keduanya tidak menyebutkan
pujian ataupun celaan pada Al-Hakam.
Abu Hatim Ar-Raziy berkata: Ia adalah syekh dari Al-Waliid, dan aku
tidak mengetahui ada orang yang meriwayatkan darinya selain Al-Waliid.
Ibnu
Hibban menyebutnya dalam kitab “Ats-Tsiqaat” (6/187), dan berkata: Ia melakukan
kesalahan (يخطئ). Dan dalam kitab
“Al-Majruuhiin” (1/249), beliau mengatakan: “Tidak halal menjadikannya hujjah,
dan meriwayatkan hadits darinya kecuali untuk i’tibar”.
Ibnu
Al-Qathan (w.628H) dalam kitab “Bayaan Al-Wahm wa Al-Ihaam” (4/650), berkata:
Ibnu Abi Hatim tidak menyebutkan derajat haditsnya, maka ia majhuul
(tidak diketahui).
Adz-Dzahabiy
dalam kitabnya “Al-Kaasyif” (1/345) mengatakan: Ia Shuwailih. Sedangkan dalam
kitab “Al-Mugniy fii Adh-Dhu’afaa’” (1/186), beliau mengatakan: Ia majhuul,
tidak diketahui ada orang yang meriwayatkan darinya selain Al-Waliid bin
Muslim.
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam “Tahdziib At-Tahdziib” (2/439),
berkata: Hadits yang diriwayatkannya sangat sedikit, kalau ia melakukan kesalahan
maka ia seorang yang lemah.
Al-Azdiy mengatakan: Haditsnya tidak ada yang mendukung,
fiihi nadzar (sangat lemah).
Dan dalam “Taqriib At-Tahdziib” (hal.176), Ibnu Hajar
berkata: Ia majhuul (tidak diketahui).
Saya cuma mendapatkan dua hadits riwayat Al-Hakam bin Mus’ab, hadits
ini dan satunya lagi disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab “Al-Majruhiin”
(1/249) tanpa sanad melalui jalur Al-Hakam:
عن محمد بن علي عن
أبيه عن جده عن ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " لو يربي أحدكم
بعد سنة ستين ومائة جرو كلب خير له من أن يربي ولد صلبه ".
Dari Muhammad bin Ali, dari
bapaknya, dari kakeknya, dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam bersabda: “Jika seorang dari kalian mendidik seekor
anak anjing selama seratus enam puluh tahun, itu lebih baik baginya daripada
mendidik anak kandungnya”.
Ibnu Hibban mengatakan: Hadits ini
tidak punya asal.
Ibnu Al-Qaisaraniy (w.507H) mengatakan: Al-Hakam ini periwayatan haditsnya mungkar
(sangat lemah), ia dilemahkan karena meriwayatkan hadits ini. [Tadzkirah
Al-Huffadz no.653]
Ibnu Al-Jauziy dalam kitab Al-Maudhu’at (2/279), dan Adz-Dzahabiy dalam kitab
Mukhtashar kitab Al-Maudhu’at (no.607) menuduh Al-Hakam sebagai pemalsu hadits ini!
Beberapa Ulama yang melemahkan
hadits ini:
Abu Nu’aim Al-Ashbahaniy dalam Hilyah Al-Auliyaa (3/211)
mengatakan: Hadits ini gariib dari Muhammad bin Ali, dari bapaknya, dari
kakeknya. Al-Hakam bin Mush’ab sendiri meriwayatkan hadits ini darinya.
Al-Bagawiy
(w.516H) dalam kitabnya Syarh As-Sunnah (5/79) no.1296, mengatakan: Hadits ini
diriwayatkan oleh Al-Hakam bin Mush’ab dengan sanad ini, dan ia lemah.
Syekh
Albaniy melemahkan hadits ini karena Al-Hakam bin Mush’ab majhuul.
[Lihat: Induk Dhaif Sunan Abi Daud 2/97, dan silsilah Adh-Dhaifah 2/142 no.705.
Syekh Ibnu
Utsaimin mengatakan: Hadits ini lemah, akan tetapi maknanya shahih, karena
Allah ta’aalaa berfirman:
{وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا
حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ } [هود: 3]
Dan hendaklah kamu meminta ampun
kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian),
niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai
kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap
orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. [Huud:3]
{وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ
تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً
إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ } [هود: 52]
Dan (Dia berkata): "Hai kaumku,
mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya dia
menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan
kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa." [Huud:52]
Dan tidak
diragukan bahwasanya istigfar adalah sebab dihapusnya dosa-dosa, dan jika
dosa-dosa telah dihapuskan maka akibatnya juga akan hilang, dengan demikian
seorang akan mendapatkan rezki dan kemudahan dari setiap kesulitan dan
kesusahan.
Maka
hadits ini lemah sanadanya akan tetapi sahih maknanya. [Fatawaa Nuur ‘alaa
Ad-Darb 6/2, Al-Maktabah Asy-Syamilah]
Wallahu ta’aalaa a’lam!
Lihat juga: Taubat ... kenapa tidak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...