بسم الله الرحمن الرحيم
Dalam masalah ini ada beberapa hadits
yang secara dzahir bertentangan:
A. Hadits Abu
Ayyub Al-Anshariy radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
«إِذَا أَتَيْتُمُ
الغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا القِبْلَةَ، وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا
أَوْ غَرِّبُوا» [صحيح البخاري ومسلم]
"Jika kalian mendatangi tempat buang hajat maka janganlah
kalian buang hajat menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya, akan
tetapi menghadap ke timurlah atau ke barat.
Abu Ayyub berkata: Lalu kami mendatangi daerah Syam dan kami mendapati
tempat buang hajat menghadap kiblat, maka kami memiringkan badan ketika buang
hajat dan beristigfar setelahnya. [Sahih Bukhari dan Muslim]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
«إِذَا جَلَسَ
أَحَدُكُمْ عَلَى حَاجَتِهِ، فَلَا يَسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ، وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا»
[صحيح مسلم]
"Jika salah seorang dari kalian duduk untuk memenuhi hajatnya, maka
janganlah dia menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya." [Sahih
Muslim]
Dari Sahal bin Hunaif; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
mengutusnya dan bersabda:
" أَنْتَ
رَسُولِي إِلَى أَهْلِ مَكَّةَ، قُلْ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَرْسَلَنِي يَقْرَأُ عَلَيْكُمُ السَّلَامَ، وَيَأْمُرُكُمْ بِثَلَاثٍ: لَا تَحْلِفُوا
بِغَيْرِ اللهِ، وَإِذَا تَخَلَّيْتُمْ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ، وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا،
وَلَا تَسْتَنْجُوا بِعَظْمٍ، وَلَا بِبَعْرَةٍ " [مسند أحمد:
حسن لغيره]
"Engkau adalah utusanku kepada penduduk Makkah, katakanlah
bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mengutusku
untuk menyampaikan salam untuk kalian, dan menyuruh kalian tiga hal yaitu:
Janganlah kalian bersumpah dengan selain Allah, dan jika kalian buang hajat
maka janganlah menghadap atau membelakangi kiblat, dan janganlah bercebok
menggunakan tulang ataupun kotoran unta". [Musnad Ahmad: Hasan]
B.
Hadits
Salman radhiyallahu ‘anhu;
Ditanyakan kepadanya: '(Apakah) Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu
hingga adab beristinja? '
Salman menjawab:
أَجَلْ لَقَدْ
نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ، أَوْ بَوْلٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ
بِالْيَمِينِ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، أَوْ أَنْ
نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ [صحيح مسلم]
'Tentu. Sungguh dia telah melarang kami untuk menghadap kiblat
saat buang air besar, buang air kecil, beristinja' dengan tangan kanan,
beristinja' dengan batu kurang dari tiga buah, atau beristinja' dengan kotoran
hewan atau tulang'." [Sahih Muslim]
Abdullah bin Al-Harits bin Jaz`i Az-Zubaidiy radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku adalah orang yang pertama mendengar Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
«لَا يَبُولَنَّ
أَحَدُكُمْ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ» [سنن ابن ماجه: صحيح]
"Janganlah salah seorang dari kalian kencing dengan menghadap ke
arah Kiblat."
Dan akulah orang yang pertama kali menyampaikan hadits ini kepada
orang-orang. [Sunan Ibnu Majah: Sahih]
Abu Sa'id Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu bersaksi:
أَنَّ رَسُول اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ
بِبَوْلٍ [سنن ابن ماجه: صحيح]
Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, melarang kami
menghadap kiblat ketika buang air besar atau air kecil. [Sunan Ibnu Majah:
Sahih]
C.
Hadits
Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma; ia berkata:
لَقَدْ ارْتَقَيْتُ
يَوْمًا عَلَى ظَهْرِ بَيْتٍ لَنَا، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَى لَبِنَتَيْنِ، مُسْتَقْبِلًا بَيْتَ المَقْدِسِ لِحَاجَتِهِ [صحيح البخاري ومسلم]
Suatu hari
aku memanjat di atas rumah kami lalu aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dua batu bata menghadap
baitul maqdis sedang buang hajat. [Sahih Bukhari dan Muslim]
D.
Hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma; ia berkata:
«نَهَى نَبِيُّ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِبَوْلٍ،
فَرَأَيْتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْبَضَ بِعَامٍ يَسْتَقْبِلُهَا» [سنن أبي داود:
حسنه الألباني]
Nabi Allah shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang kami menghadap kiblat ketika kencing, lalu aku melihatnya
setahun sebelum wafat buang hajat menghadap kiblat. [Sunan Abu Daud: Hasan]
Dari hadits-hadits ini ulama berselisih pendapat tentang hukum buang
hajat menghadap atau membelakangi kiblat.
Diantara pendapat-pendapat tersebut:
Pendapat pertama:
Haram buang hajat menghadap atau membelakangi kiblat secara muthlak,
baik dalam ruangan atau di luar.
Mereka menguatkan hadits Abu Ayyub Al-Anshariy dan Abu Hurairah dengan
alasan:
1. Dalil yang melarang lebih didahulukan dari pada dalil yang
membolehkan, karena dalil yang membolehkan sealur dengan hukum asal sesuatu itu
adalah boleh, sedangkan dalil yang melarang adalah hukum baru yang membatalkan
hukum asal.
2. Hadits Abu Ayyub dan Abu Hurairah adalah perkataan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang sifatnya umum bagi semua umat Islam, sedangkan hadits Ibnu Umar dan
Jabir adalah perbuatan yang bisa jadi adalah hukum khusus bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau Rasulullah melakukannya karena
ada uzur (halangan).
3. Perbuatan Abu Ayyub menunjukkan bahwa larangan ini umum, baik di
dalam ruangan maupun di luar ruangan.
4. Alasan larangan ini adalah karena kemuliaan arah kiblat, jadi
sekalipun dalam satu ruangan maka larangan ini tetap berlaku.
Pendapat kedua:
Boleh buang hajat membelakangi ka'bah tapi tidak boleh menghadap,
sebagaimana hadits Ibnu Umar.
1. Hadits Salman dan Abdullah bin Al-Harits hanya melarang menghadap
qiblat.
2. Hadits Ibnu Umar menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam buang
hajat menghadap baitul maqdis berarti membelakangi ka'bah.
3. Perbuatan
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak boleh
kita hukumi sebagai hukum khusus baginya tanpa ada dalil yang jelas, karena perbuatan
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah
teladan bagi umat Islam.
Allah subhanahu wa ta'aalaa berfirman:
{لَقَدْ كَانَ
لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا} [الأحزاب: 21]
Sesungguhnya telah
ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. [Al-Ahzaab:21]
Pendapat ketiga:
Buang hajat menghadap atau membelakangi kiblat boleh jika dalam ruangan,
sedangkan di luar ruangan tidak boleh.
Dalilnya:
Hadits Ibnu Umar menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat
itu berada dalam ruangan, begitu pula dengan hadits Jabir.
Marwan Al
Ashfar rahimahullah berkata: Saya pernah melihat Ibnu Umar
mendudukkan untanya menghadap kiblat, lalu dia duduk dan buang air kecil dalam
keadaan menghadapnya, lalu saya bertanya: "Wahai Abu Abdurrahman, bukankah
hal ini telah dilarang?"
Dia menjawab:
بَلَى إِنَّمَا
نُهِيَ عَنْ ذَلِكَ فِي الْفَضَاءِ، فَإِذَا كَانَ بَيْنَكَ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ شَيْءٌ
يَسْتُرُكَ فَلَا بَأْسَ [سنن أبي داود: حسن]
"Benar,
akan tetapi hal itu dilarang jika dilakukan di tempat terbuka, apabila antara
dirimu dan kiblat ada sesuatu yang menutupimu, maka itu tidaklah mengapa."
[Sunan Abu Daud: Hasan]
Dalam kitab “Fathul Bariy” 1/245, setelah menyebutkan hadits Jabir,
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
وَالْحَقُّ
أَنَّهُ لَيْسَ بِنَاسِخٍ لِحَدِيثِ النَّهْيِ خِلَافًا لِمَنْ زَعَمَهُ بَلْ هُوَ
مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ رَآهُ فِي بِنَاءٍ أَوْ نَحْوِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ هُوَ
الْمَعْهُودُ مِنْ حَالِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمُبَالَغَتِهِ فِي
التستر
“Dan
yang benar bahwasanya hadits Jabir bukan sebagai penasakh (penghapus hukum)
bagi hadits yang melarang (menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang
hajat), berbeda dengan sebagian orang yang menganggapnya demikian. Akan tetapi
hadits Jabir dipahami bahwasanya ia melihat Nabi melakukan itu di dalam
bangunan atau sejenisnya, karena itulah yang diketahui dari kondisi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang senantiasa berlebihan dalam berlindung (saat buang
hajat).
Pendapat keempat:
Boleh menghadap atau membelakangi kiblat ketika buang hajat baik di
dalam atau di luar ruangan.
Dalilnya:
1. Hadits Jabir tidak menyebutkan kalau Rasulullah buang hajat menghadap
kiblat dalam ruangan.
2. Kalau boleh
menghadap kiblat, maka membelakanginya juga boleh.
3. Hadits Jabir menunjukkan bahwa hadits Abu Ayyub telah dinasakh (diganti)
hukumnya karena kejadiannya terjadi setahun sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.
4. Kalaupun kita menganggap bahwa hadits Abu Ayyub tidak dinasakh maka
larangan yang terkandung di dalamnya bukanlah larangan yang bermakna haram akan
tetapi larangan yang sifatnya “tanziih” yang sebaiknya ditinggalkan
sebagai bentuk pengagungan terhadap syi'ar agama Islam.
Allah subhanahu wa ta'aalaa berfirman:
{وَمَنْ يُعَظِّمْ
شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ} [الحج: 32]
Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu
timbul dari ketakwaan hati. [Al-Hajj:32]
Wallahu a'lam!
Referensi:
نيل الأوطار للشوكاني 1/103 ط. دار الحديث
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...