بسم الله الرحمن الرحيم
Dalam bab ini, syekh Muhammad bin Abdil
Wahhab rahimahullah menyebutkan 1 hadits yang menunjukkan larangan mengucapkan: “Abdi atau
amati (hambaku)”.
Diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan
Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; Bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
"لاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ: أَطْعِمْ
رَبَّكَ، وَضِّئْ رَبَّكَ، وَلْيَقُلْ: سَيِّدِيْ وَمَوْلاَي، وَلاَ يَقُلْ
أَحَدُكُمْ: عَبْدِيْ وَأَمَتِيْ، وَلْيَقُلْ:
فَتَاي وَفَتَاتِيْ وَغُلاَمِيْ"
“Janganlah salah seorang di antara kalian
berkata: (kepada hamba sahaya atau pelayannya): “Hidangkan makanan untuk
gustimu, dan ambilkan air wudhu untuk gustimu”, dan hendaknya pelayan itu
mengatakan: “tuanku, majikanku”; dan janganlah salah seorang di antara kalian
berkata: (kepada budaknya): “hamba laki-lakiku, dan hamba perempuanku”, dan
hendaknya ia berkata: “bujangku, gadisku, dan anakku”.
Dari hadits di atas, syekh –rahimahullah-
menyebutkan 5 poin penting:
1. Larangan
mengatakan “Abdi atau Amati”, yang berarti hambaku.
Hukum masalah ini ada dua macam:
Pertama: Kata “abdun” dan “amatun”
disandarkan kepada orang lain, maka ini hukumnya boleh.
Allah subhanahu wata'aalaa berfirman:
{وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ
وَإِمَائِكُمْ} [النور: 32]
Dan kawinkanlah orang-orang yang
sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. [An-Nuur:32]
Ø Dari Abu
Hurairah radhiallahu'anhu; Nabi ﷺ
bersabda:
«لَيْسَ عَلَى المُسْلِمِ
صَدَقَةٌ فِي عَبْدِهِ وَلاَ فِي فَرَسِهِ» [صحيح
البخاري ومسلم]
"Tidak ada kewajiban zakat bagi
seorang muslim pada budak dan kudanya". [Shahih Bukhari dan Muslim]
Kedua: Ia sandarkan kepada dirinya, maka
ini ada dua bentuk:
a) Diucapkan dalam bentuk pemberitaan, seperti mengatakan “aku
memberi makan hambaku”.
Jika ia mengucapkannya tanpa kehadiran sang
budak maka boleh, dan jika ia mengucapkan di hadapannya maka jika bisa
membahayakan keyakinan si budak maka mesti ditinggalkan, jika tidak maka
dibolehkan. Karena yang mengatakan demikian tidak memaksudkan hamba penyembahan
tapi hanya sebatas budak saja.
b) Diucapkan dalam bentuk panggilan, seperti mengatakan “wahai
hambaku, ambilkan aku sesuatu”.
Maka ini terlarang, dan ulama berselisih
apakah haram atau makruh.
2. Larangan
bagi seorang hamba sahaya untuk memanggil majikannya dengan ucapan: “Rabbi”
yang berarti: “tuanku”, dan larangan bagi seorang majikan mengatakan kepada
hamba sahayanya atau pelayannya “أَطْعِمْ رَبَّكَ” yang artinya: “hidangkan makanan untuk
tuanmu”.
Penyandaran kata “Rabb” ada beberapa macam:
Pertama:
Disandarkan kepada dhamir mukhthab (kata ganti lawan bicara), seperti:
“Beri makan tuanmu”. Ucapan seperti ini dimakruhkan karena dua sebab;
a) Dari segi lafadz akan menimbulkan kekeliruan terhadap makna “Rabb”
yang merupakan salah satu dari nama Allah Al-Husnaa.
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
«السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ» [سنن
النسائي: صحيح]
"Siwak adalah pembersih bagi
mulut, sebab mendapatkan ridha dari Allah". [Sunan An-Nasa'i: Sahih]
b) Dari segi makna akan menimbulkan perasaan rendah dan tunduk pada
si budak.
Kedua: Disandarkan kepada dhamir gaib (kata ganti
orang yang tidak hadir), maka ini dibolehkan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu; Nabi ﷺ bersabda:
"سَأُخْبِرُكَ عَنْ
أَشْرَاطِهَا: إِذَا وَلَدَتِ الأَمَةُ رَبَّهَا"
“Aku akan terangkan tanda-tandanya (hari
kiamat), yaitu: Jika seorang budak melahirkan majikannya”. [Shahih
Bukhari dan Muslim]
Ø Zaid bin Khalid radhiallahu'anhu berkata, Nabi ﷺ ditanya, "Bagaimana tentang menemukan
unta”. Maka beliau menjawab:
«دَعْهَا فَإِنَّ مَعَهَا
حِذَاءَهَا وَسِقَاءَهَا، تَرِدُ المَاءَ، وَتَأْكُلُ الشَّجَرَ حَتَّى يَجِدَهَا رَبُّهَا»
[صحيح البخاري ومسلم]
"Biarkanlah unta itu, karena ia selalu
nampak sepatunya dan perutnya (yang terisi air) sehingga ia bisa hilir mudik
mencari air dan makan rerumputan hingga ditemukan oleh pemiliknya".
[Shahih Bukhari dan Muslim]
Ketiga: Disandarkan kepada dhamir mutakallim (kata
ganti pembicara), maka ini dibolehkan.
{وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا
عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ
اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ
الظَّالِمُونَ} [يوسف: 23]
Dan wanita yang Yusuf tinggal di
rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup
pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini." Yusuf berkata:
"Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan
Aku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.
[Yusuf: 23-24]
Keempat:
Disandarkan kepada isim dzahir (bukan kata ganti), seperti: “Tuan si
budak”. Maka ini dibolehkan selama tidak ada pemahaman buruk yang menganggap
maksudnya adalah Tuhan.
3. Dianjurkan
kepada majikan atau tuan untuk memanggil pelayan atau hamba sahayanya dengan
ucapan “fataya” (bujangku), fatati (gadisku), dan ghulami
(anakku).
4. Dan
dianjurkan kepada pelayan atau hamba sahaya untuk memanggil tuan atau
majikannya dengan panggilan “sayyidi” (tuanku) atau “maulaya"
(majikanku).
Kata “As-Sayyid” ada dua macam:
1) Jika dimutlakkan maka yang dimaksud adalah Allah ‘azza
wajalla.
Abdullah bin Asy-Syakhir radhiallahu'anhu
berkata:
انْطَلَقْتُ فِي وَفْدِ بَنِي عَامِرٍ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ: فَقُلْنَا: أَنْتَ سَيِّدُنَا، فَقَالَ: «السَّيِّدُ
اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى» قُلْنَا: وَأَفْضَلُنَا فَضْلًا وَأَعْظَمُنَا
طَوْلًا، فَقَالَ: «قُولُوا بِقَوْلِكُمْ، أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ، وَلَا
يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ» [سنن أبي داود: صحيح]
"Aku pergi bersama rombongan utusan
bani Amir menemui Rasulullah ﷺ. Kami lalu berkata,
"Engkau adalah junjungan kami." Beliau langsung menyahut,
"Junjungan itu hanyalah Allah Ta'ala semata." Kami berkata lagi,
"Engkau adalah yang paling utama di antara kami dan memiliki kemuliaan
yang besar." Beliau bersabda, "Berkatalah kalian dengan perkataan
kalian, atau sebagian dari perkataan kalian (tidak perlu banyak pujian), dan
jangan sekali-kali kalian terpengaruh oleh setan." [Sunan Abi Daud:
Shahih]
2) Dan jika disandarkan maka yang dimaksud adalah selain Allah.
Allah subhanahu wata’aalaa
berfirman:
{وَاسْتَبَقَا الْبَابَ
وَقَدَّتْ قَمِيصَهُ مِنْ دُبُرٍ وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ} [يوسف: 25]
Dan keduanya berlomba menuju pintu dan perempuan
itu menarik baju gamisnya (Yusuf) dari belakang hingga koyak dan keduanya
mendapati suami perempuan itu di depan pintu. [Yusuf: 25]
Ø Abu Sa'id radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah shallallahu
'alaihi wa salam bersabda:
«أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَلَا فَخْرَ»
"Aku pemimpin anak cucu Adam
pada hari kiamat dan itu bukannya aku membangga-banggakan diri." [Sunan
Tirmidziy: Sahih]
Ø Sedangkan kata “Maula”, juga ada dua macam:
Pertama: jika dimutlakkan juga yang
dimaksud adalah Allah.
Allah subhanahu wata’aalaa
berfirman:
{نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِير} [الأنفال:
40]
Dia adalah sebaik-baik pelindung
dan sebaik-baik penolong. [Al-Anfaal:40]
Dan wilayah Allah ada dua jenis:
a.
Wilayah umum untuk semua makhluk.
Allah subhanahu wata'aalaa berfirman:
{هُنَالِكَ تَبْلُو كُلُّ نَفْسٍ مَا أَسْلَفَتْ وَرُدُّوا إِلَى
اللَّهِ مَوْلَاهُمُ الْحَقِّ وَضَلَّ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَفْتَرُونَ} [يونس:
30]
Di tempat itu (padang Mahsyar),
tiap-tiap diri merasakan pembalasan dari apa yang telah dikerjakannya dahulu
dan mereka dikembalikan kepada Allah Pelindung mereka yang sebenarnya dan
lenyaplah dari mereka apa yang mereka ada-adakan. [Yunus: 30]
b.
Wilayah khusus untuk orang beriman.
Allah subhanahu wata’aalaa
berfirman:
{ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ
مَوْلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَأَنَّ الْكَافِرِينَ لَا مَوْلَى لَهُمْ} [محمد: 11]
Yang demikian itu karena Allah pelindung bagi
orang-orang yang beriman; sedang orang-orang kafir tidak ada pelindung bagi
mereka. [Muhammad: 11]
Kedua: Maula disandarkan kepada
selain Allah, ini mengandung beberapa makna, diantaranya:
a) Penolong.
Allah subhanahu wata’aalaa
berfirman:
{وَإِنْ تَظَاهَرَا
عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلَاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ} [التحريم: 4]
Dan jika kamu berdua saling bantu-membantu menyusahkan
Nabi, maka sungguh, Allah menjadi pelindungnya dan (juga) Jibril dan
orang-orang mukmin yang baik.
[At-Tahrim: 4]
Ø Dari Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu;
Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ»
"Barangsiapa yang menjadikanku
tuannya, maka Ali juga adalah tuannya".
[Sunan Ibnu Majah: Shahih]
b) Pengatur urusan.
Allah subhanahu wata’aalaa
berfirman:
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ} [النساء:
59]
Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.
[An-Nisaa':59]
c) Tuan.
Allah subhanahu wata’aalaa
berfirman:
{وَضَرَبَ اللَّهُ
مَثَلًا رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ
عَلَى مَوْلَاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّهْهُ لَا يَأْتِ بِخَيْرٍ هَلْ يَسْتَوِي
هُوَ وَمَنْ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَهُوَ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ} [النحل: 76]
Dan Allah (juga) membuat perumpamaan, dua orang
laki-laki, yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatu dan dia menjadi beban
penanggungnya, ke mana saja dia disuruh (oleh penanggungnya itu), dia
sama sekali tidak dapat mendatangkan suatu kebaikan. Samakah orang itu dengan
orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada di jalan yang lurus? [An-Nahl: 76]
Ø Dari Mu'awiyah bin Haidah radhiyallahu 'anhu;
Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَا يَأْتِي رَجُلٌ مَوْلَاهُ يَسْأَلُهُ مِنْ فَضْلٍ
عِنْدَهُ، فَيَمْنَعُهُ إِيَّاهُ، إِلَّا دُعِيَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعٌ
أَقْرَعُ يَتَلَمَّظُ فَضْلَهُ الَّذِي مَنَعَ» [سنن النسائي: حسنه
الألباني]
“Seseorang tidak mendatangi tuannya
untuk meminta sebagian dari kelebihan yang ia miliki lalu tuannya menolak
kecuali akan didatangkan untuknya di hari kiamat seeokor ular yang botak
(karena bisanya yang dahsyat) menuntut kelebihan hartanya yang ia tahan”.
[Sunan An-Nasa'i: Hasan]
d) Yang memerdekakan.
Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha;
Nabi ﷺ bersabda:
«ابْتَاعِيهَا
فَأَعْتِقِيهَا، فَإِنَّ الوَلاَءَ لِمَنْ أَعْتَقَ» [صحيح
البخاري ومسلم]
"Belil dan merdekakanlah. Sesungguhnya
perwalian itu bagi orang yang memerdekakannya." [Shahih Bukhari dan Muslim]
5. Tujuan
dari anjuran di atas untuk mengamalkan tauhid dengan semurni-murninya, sampai
dalam hal ucapan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
«إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ
بِالْكَلِمَةِ، مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا، يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ، أَبْعَدَ
مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ» [صحيح البخاري ومسلم]
"Sungguh seorang hamba
berbicara satu kalimat, ia tidak memikirkan kandungannya, akan menyebabkan ia
terjerumus ke dalam neraka, lebih jauh dari jarak antara timur dan barat".
[Sahih Bukhari dan Muslim]
Ø Dalam riwayat lain:
«إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ،
لاَ يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ العَبْدَ
لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ، لاَ يُلْقِي لَهَا بَالًا،
يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ» [صحيح البخاري]
"Sungguh seorang hamba
berbicara satu kalimat yang diridhai Allah, tanpa ia pikirkan, menyebabkan
Allah mengangkat derajatnya. Dan sungguh seorang hamba berbicara satu kalimat
yang dimurkai Allah, tanpa ia pikirkan, menyebabkan ia terjerumus ke dalam
neraka jahannam". [Sahih Bukhari]
Wallahu a’lam!
Lihat juga: Syarah Kitab Tauhid bab (53); Berdo’a dengan ucapan “Ya Allah ampunilah aku jika Engkau menghendaki”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...