Senin, 17 Oktober 2022

Syarah Kitab Tauhid bab (54); Larangan mengucapkan: “Abdi atau amati (hambaku)”

بسم الله الرحمن الرحيم

Dalam bab ini, syekh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah menyebutkan 1 hadits yang menunjukkan larangan mengucapkan: “Abdi atau amati (hambaku)”.

Diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"لاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ: أَطْعِمْ رَبَّكَ، وَضِّئْ رَبَّكَ، وَلْيَقُلْ: سَيِّدِيْ وَمَوْلاَي، وَلاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ: عَبْدِيْ وَأَمَتِيْ، وَلْيَقُلْ:  فَتَاي وَفَتَاتِيْ وَغُلاَمِيْ"

“Janganlah salah seorang di antara kalian berkata: (kepada hamba sahaya atau pelayannya): “Hidangkan makanan untuk gustimu, dan ambilkan air wudhu untuk gustimu”, dan hendaknya pelayan itu mengatakan: “tuanku, majikanku”; dan janganlah salah seorang di antara kalian berkata: (kepada budaknya): “hamba laki-lakiku, dan hamba perempuanku”, dan hendaknya ia berkata: “bujangku, gadisku, dan anakku”.

Dari hadits di atas, syekh –rahimahullah- menyebutkan 5 poin penting:

1.      Larangan mengatakan “Abdi atau Amati”, yang berarti hambaku.

Hukum masalah ini ada dua macam:

Pertama: Kata “abdun” dan “amatun” disandarkan kepada orang lain, maka ini hukumnya boleh.

Allah subhanahu wata'aalaa berfirman:

{وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ} [النور: 32]

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. [An-Nuur:32]

Ø  Dari Abu Hurairah radhiallahu'anhu; Nabi bersabda:

«لَيْسَ عَلَى المُسْلِمِ صَدَقَةٌ فِي عَبْدِهِ وَلاَ فِي فَرَسِهِ» [صحيح البخاري ومسلم]

"Tidak ada kewajiban zakat bagi seorang muslim pada budak dan kudanya". [Shahih Bukhari dan Muslim]

Kedua: Ia sandarkan kepada dirinya, maka ini ada dua bentuk:

a)       Diucapkan dalam bentuk pemberitaan, seperti mengatakan “aku memberi makan hambaku”.

Jika ia mengucapkannya tanpa kehadiran sang budak maka boleh, dan jika ia mengucapkan di hadapannya maka jika bisa membahayakan keyakinan si budak maka mesti ditinggalkan, jika tidak maka dibolehkan. Karena yang mengatakan demikian tidak memaksudkan hamba penyembahan tapi hanya sebatas budak saja.

b)      Diucapkan dalam bentuk panggilan, seperti mengatakan “wahai hambaku, ambilkan aku sesuatu”.

Maka ini terlarang, dan ulama berselisih apakah haram atau makruh.

2.      Larangan bagi seorang hamba sahaya untuk memanggil majikannya dengan ucapan: “Rabbi” yang berarti: “tuanku”, dan larangan bagi seorang majikan mengatakan kepada hamba sahayanya atau pelayannya “أَطْعِمْ رَبَّكَ” yang artinya: “hidangkan makanan untuk tuanmu”.

Penyandaran kata “Rabb” ada beberapa macam:

Pertama: Disandarkan kepada dhamir mukhthab (kata ganti lawan bicara), seperti: “Beri makan tuanmu”. Ucapan seperti ini dimakruhkan karena dua sebab;

a)       Dari segi lafadz akan menimbulkan kekeliruan terhadap makna “Rabb” yang merupakan salah satu dari nama Allah Al-Husnaa.

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

«السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ» [سنن النسائي: صحيح]

"Siwak adalah pembersih bagi mulut, sebab mendapatkan ridha dari Allah". [Sunan An-Nasa'i: Sahih]

b)      Dari segi makna akan menimbulkan perasaan rendah dan tunduk pada si budak.

Kedua: Disandarkan kepada dhamir gaib (kata ganti orang yang tidak hadir), maka ini dibolehkan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu; Nabi bersabda:

"سَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا: إِذَا وَلَدَتِ الأَمَةُ رَبَّهَا"

“Aku akan terangkan tanda-tandanya (hari kiamat), yaitu: Jika seorang budak melahirkan majikannya”. [Shahih Bukhari dan Muslim]

Ø  Zaid bin Khalid radhiallahu'anhu berkata, Nabi ditanya, "Bagaimana tentang menemukan unta”. Maka beliau menjawab:

«دَعْهَا فَإِنَّ مَعَهَا حِذَاءَهَا وَسِقَاءَهَا، تَرِدُ المَاءَ، وَتَأْكُلُ الشَّجَرَ حَتَّى يَجِدَهَا رَبُّهَا» [صحيح البخاري ومسلم]

"Biarkanlah unta itu, karena ia selalu nampak sepatunya dan perutnya (yang terisi air) sehingga ia bisa hilir mudik mencari air dan makan rerumputan hingga ditemukan oleh pemiliknya". [Shahih Bukhari dan Muslim]

Ketiga: Disandarkan kepada dhamir mutakallim (kata ganti pembicara), maka ini dibolehkan.

{وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ} [يوسف: 23]

Dan wanita yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini." Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan Aku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung. [Yusuf: 23-24]

Keempat: Disandarkan kepada isim dzahir (bukan kata ganti), seperti: “Tuan si budak”. Maka ini dibolehkan selama tidak ada pemahaman buruk yang menganggap maksudnya adalah Tuhan.

3.      Dianjurkan kepada majikan atau tuan untuk memanggil pelayan atau hamba sahayanya dengan ucapan “fataya” (bujangku), fatati (gadisku), dan ghulami (anakku).

4.      Dan dianjurkan kepada pelayan atau hamba sahaya untuk memanggil tuan atau majikannya dengan panggilan “sayyidi” (tuanku) atau “maulaya" (majikanku).

Kata “As-Sayyid” ada dua macam:

1)      Jika dimutlakkan maka yang dimaksud adalah Allah ‘azza wajalla.

Abdullah bin Asy-Syakhir radhiallahu'anhu berkata:

انْطَلَقْتُ فِي وَفْدِ بَنِي عَامِرٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ: فَقُلْنَا: أَنْتَ سَيِّدُنَا، فَقَالَ: «السَّيِّدُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى» قُلْنَا: وَأَفْضَلُنَا فَضْلًا وَأَعْظَمُنَا طَوْلًا، فَقَالَ: «قُولُوا بِقَوْلِكُمْ، أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ، وَلَا يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ» [سنن أبي داود: صحيح]

"Aku pergi bersama rombongan utusan bani Amir menemui Rasulullah . Kami lalu berkata, "Engkau adalah junjungan kami." Beliau langsung menyahut, "Junjungan itu hanyalah Allah Ta'ala semata." Kami berkata lagi, "Engkau adalah yang paling utama di antara kami dan memiliki kemuliaan yang besar." Beliau bersabda, "Berkatalah kalian dengan perkataan kalian, atau sebagian dari perkataan kalian (tidak perlu banyak pujian), dan jangan sekali-kali kalian terpengaruh oleh setan." [Sunan Abi Daud: Shahih]

2)      Dan jika disandarkan maka yang dimaksud adalah selain Allah.

Allah subhanahu wata’aalaa berfirman:

{وَاسْتَبَقَا الْبَابَ وَقَدَّتْ قَمِيصَهُ مِنْ دُبُرٍ وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ} [يوسف: 25]

Dan keduanya berlomba menuju pintu dan perempuan itu menarik baju gamisnya (Yusuf) dari belakang hingga koyak dan keduanya mendapati suami perempuan itu di depan pintu. [Yusuf: 25]

Ø  Abu Sa'id radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam bersabda:

«أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَلَا فَخْرَ»

"Aku pemimpin anak cucu Adam pada hari kiamat dan itu bukannya aku membangga-banggakan diri." [Sunan Tirmidziy: Sahih]

Ø  Sedangkan kata “Maula”, juga ada dua macam:

Pertama: jika dimutlakkan juga yang dimaksud adalah Allah.

Allah subhanahu wata’aalaa berfirman:

{نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِير} [الأنفال: 40]

Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. [Al-Anfaal:40]

Dan wilayah Allah ada dua jenis:

a.       Wilayah umum untuk semua makhluk.

Allah subhanahu wata'aalaa berfirman:

{هُنَالِكَ تَبْلُو كُلُّ نَفْسٍ مَا أَسْلَفَتْ وَرُدُّوا إِلَى اللَّهِ مَوْلَاهُمُ الْحَقِّ وَضَلَّ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَفْتَرُونَ} [يونس: 30]

Di tempat itu (padang Mahsyar), tiap-tiap diri merasakan pembalasan dari apa yang telah dikerjakannya dahulu dan mereka dikembalikan kepada Allah Pelindung mereka yang sebenarnya dan lenyaplah dari mereka apa yang mereka ada-adakan. [Yunus: 30]

b.      Wilayah khusus untuk orang beriman.

Allah subhanahu wata’aalaa berfirman:

{ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ مَوْلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَأَنَّ الْكَافِرِينَ لَا مَوْلَى لَهُمْ} [محمد: 11]

Yang demikian itu karena Allah pelindung bagi orang-orang yang beriman; sedang orang-orang kafir tidak ada pelindung bagi mereka. [Muhammad: 11]

Kedua: Maula disandarkan kepada selain Allah, ini mengandung beberapa makna, diantaranya:

a)      Penolong.

Allah subhanahu wata’aalaa berfirman:

{وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلَاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ} [التحريم: 4]

Dan jika kamu berdua saling bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sungguh, Allah menjadi pelindungnya dan (juga) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik.  [At-Tahrim: 4]

Ø  Dari Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu; Rasulullah bersabda:

«مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ»

"Barangsiapa yang menjadikanku tuannya, maka Ali juga adalah tuannya". [Sunan Ibnu Majah: Shahih]

b)      Pengatur urusan.

Allah subhanahu wata’aalaa berfirman:

{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ} [النساء: 59]

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. [An-Nisaa':59]

c)       Tuan.

Allah subhanahu wata’aalaa berfirman:

{وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَى مَوْلَاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّهْهُ لَا يَأْتِ بِخَيْرٍ هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَنْ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَهُوَ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ} [النحل: 76]

Dan Allah (juga) membuat perumpamaan, dua orang laki-laki, yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatu dan dia menjadi beban penanggungnya, ke mana saja dia disuruh (oleh penanggungnya itu), dia sama sekali tidak dapat mendatangkan suatu kebaikan. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada di jalan yang lurus? [An-Nahl: 76]

Ø  Dari Mu'awiyah bin Haidah radhiyallahu 'anhu; Rasulullah bersabda:

«لَا يَأْتِي رَجُلٌ مَوْلَاهُ يَسْأَلُهُ مِنْ فَضْلٍ عِنْدَهُ، فَيَمْنَعُهُ إِيَّاهُ، إِلَّا دُعِيَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعٌ أَقْرَعُ يَتَلَمَّظُ فَضْلَهُ الَّذِي مَنَعَ» [سنن النسائي: حسنه الألباني]

“Seseorang tidak mendatangi tuannya untuk meminta sebagian dari kelebihan yang ia miliki lalu tuannya menolak kecuali akan didatangkan untuknya di hari kiamat seeokor ular yang botak (karena bisanya yang dahsyat) menuntut kelebihan hartanya yang ia tahan”. [Sunan An-Nasa'i: Hasan]

d)      Yang memerdekakan.

Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha; Nabi bersabda:

«ابْتَاعِيهَا فَأَعْتِقِيهَا، فَإِنَّ الوَلاَءَ لِمَنْ أَعْتَقَ» [صحيح البخاري ومسلم]

"Belil dan merdekakanlah. Sesungguhnya perwalian itu bagi orang yang memerdekakannya." [Shahih Bukhari dan Muslim]

5.      Tujuan dari anjuran di atas untuk mengamalkan tauhid dengan semurni-murninya, sampai dalam hal ucapan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

«إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ، مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا، يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ، أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ» [صحيح البخاري ومسلم]

"Sungguh seorang hamba berbicara satu kalimat, ia tidak memikirkan kandungannya, akan menyebabkan ia terjerumus ke dalam neraka, lebih jauh dari jarak antara timur dan barat". [Sahih Bukhari dan Muslim]

Ø  Dalam riwayat lain:

«إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ، لاَ يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ، لاَ يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ» [صحيح البخاري]

"Sungguh seorang hamba berbicara satu kalimat yang diridhai Allah, tanpa ia pikirkan, menyebabkan Allah mengangkat derajatnya. Dan sungguh seorang hamba berbicara satu kalimat yang dimurkai Allah, tanpa ia pikirkan, menyebabkan ia terjerumus ke dalam neraka jahannam". [Sahih Bukhari]

Wallahu a’lam!

Lihat juga: Syarah Kitab Tauhid bab (53); Berdo’a dengan ucapan “Ya Allah ampunilah aku jika Engkau menghendaki”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...