Sabtu, 19 Juli 2014

Takhriij hadits “Shalat MALAM LAILATUL QADAR”

بسم الله الرحمن الرحيم


Dalam kitab Durratun Nashihiin fiil-Wa’dz wal Irsyaad” karya Syaikh ‘Utsman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khuubawiy[1] Ar-Ruumiy Al-Hanafiy (w.1224H) rahimahullah, pada majlis ke tujuh puluh tiga, pada keutamaan lailatul Qadr, hal.285-286, disebutkan satu hadits:


Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma; Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menjalankan shalat pada malam Lailatul Qadr sebanyak 2 (dua) raka’at, di dalam setiap raka’atnya setelah membaca Al Fatihah (1) satu kali, kemudian membaca surat Al-Ikhlas 7 (tujuh) kali dan setelah salam membaca Astaghfirullahal azhiim wa atubu ilaih 70 (tujuh puluh) kali, maka selama dia mendirikannya Allah akan mengampuni dirinya dan kedua orang tuanya dan Allah Ta’ala akan mengutus Malaikat untuk menanam (untuknya) pepohonan di Surga, membangun gedung-gedung dan mengalirkan sungai-sungai di dalamnya, dan dia (orang yang menjalankan shalat Lailatul Qadr) tidak akan keluar dari dunia sehingga dia pernah melihat seluruhnya”.

Takhriij Hadits:

Hadits ini tidak saya temukan - dengan menggunakan maktabah Syamilah - dalam buku-buku hadits yang masyhur di kalangan umat Islam, baik yang menyebutkan sanad ataupun tidak. Wallahu a'lam!

Derajat Hadits:

Hadits ini hukumnya palsu, karena tidak didapati sumber dan sanadnya.

Ibnu Al-Jauziy (w.597H) rahimahullah berkata:

مَا أَحْسَنَ قَوْلَ الْقَائِلِ: إِذَا رَأَيْتَ الْحَدِيثَ يُبَايِنُ الْمَعْقُولَ أَوْ يُخَالِفُ الْمَنْقُولَ أَوْ يُنَاقِضُ الْأُصُولَ فَاعْلَمْ أَنَّهُ مَوْضُوعٌ. قَالَ: وَمَعْنَى مُنَاقَضَتِهِ لِلْأُصُولِ: أَنْ يَكُونَ خَارِجًا، عَنْ دَوَاوِينِ الْإِسْلَامِ مِنَ الْمَسَانِيدِ وَالْكُتُبِ الْمَشْهُورَةِ [تدريب الراوي في شرح تقريب النواوي (1/ 327)]

Sungguh baik perkataan seorang yang mengatakan: Jika engkau melihat suatu hadits menyalahi akal sehat, atau menyalahi nukilan (Al-Qur’an dan hadits shahih), atau bertentangan dengan ushul, maka ketahuilah bahwa itu adalah hadits palsu.

Dan maksudnya “bertentangan dengan ushul”: Jika hadits tersebut di luar (tidak disebutkan dalam) buku-buku Islam, dari kitab-kitab musnad, dan buku-buku yang masyhuur (terkenal). [Tadriib Ar-Rawiy karya As-Suyuthiy 1/327]

Syekh Muhammad Al-Hawamidiy (w. setelah thn 1352H) rahimahullah dalam kitabnya “As-Sunan wa Al-Mubtadi’aat Al-Muta’alliqah bi Al-Adzkaar wa Al-Shalawaat” hal.156, menyebutkan satu pasal tentang:

{فصل فِي صَلَاة لَيْلَة الْقدر الْمَوْضُوعَة}
قَالَ الْمجد اللّغَوِيّ فِي "سفر السَّعَادَة": وَصَلَاة لَيْلَة الْقدر وَصَلَاة كل لَيْلَة من رَجَب وَشَعْبَان ورمضان، هَذِه الْأَبْوَاب لم يَصح فِيهَا شَيْء أصلا [السنن والمبتدعات المتعلقة بالأذكار والصلوات (ص: 156)]

(Shalat malam lailatul Qadr yang paslu).
Al-Majd Al-Lugawiy (Fairuuz Abadiy w.817H) dalam kitabnya “Sifru As-Sa’aadah” berkata: “Dan shalat lailatul qadr, shalat setiap malam di bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan; Dalam masalah ini tidak shahih satu haditspun sebagai landasan hukum”.

Syekh Islam Ibnu Taimiyah (w.728H) rahimahullah ketika ditanya tentang satu kaum yang mendirikan shalat setelah shalat tarawih sebanyak dua raka’at secara berjama’ah, kemudian di akhir malam mereka shalat lagi sebanyak seratus raka’at secara sempurna, dan mereka menamainya “shalat Al-Qadr”?

Beliau menjawab:

إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَمْ يَسْتَحِبَّهَا أَحَدٌ مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ، بَلْ هِيَ بِدْعَةٌ مَكْرُوهَةٌ بِاتِّفَاقِ الْأَئِمَّةِ، وَلَا فَعَلَ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَلَا أَحَدٌ مِنْ الصَّحَابَةِ، وَلَا التَّابِعِينَ، وَلَا يَسْتَحِبُّهَا أَحَدٌ مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَاَلَّذِي يَنْبَغِي أَنْ تُتْرَكَ وَيَنْهَى عَنْهَا. [الفتاوى الكبرى لابن تيمية (2/ 256)]

“Sesungguhnya shalat ini tidak dianjurkan oleh seorang pun dari imam-imam umat Islam, bahkan ia adalah bid’ah yang tercela sesuai kesepakatan para imam, dan shalat semacam ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula seorang dari sahabat Nabi, tidak pula dari kalangan tabi’in, dan tidak pula dianjurkan oleh seorang pun dari imam-imam umat Islam. Dan yang mesti dilakukan adalah meninggalkan dan melarang orang untuk melaksanakannya”. [Al-Fatawaa Al-Kubraa 2/256]

Syekh Al-‘Ajluniy (w.1162H) rahimahullah berkata:

وباب صلاة الرغائب، وصلاة نصف شعبان، وصلاة نصف رجب، وصلاة الإيمان، وصلاة ليلة المعراج، وصلاة ليلة القدر، وصلاة كل ليلة من رجب وشعبان، ورمضان وهذه الأبواب؛ لم يصح فيها شيء أصلًا. [كشف الخفاء ت هنداوي (2/ 517)]

“Dan bab tentang shalat Ar-Ragaib, shalat seperdua Sya’ban, shalat seperdua Rajab, shalat Al-Iman, shalat lailatul Mi’raaj, shalat lailatul Qadr, dan shalat setiap malam bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan; Dalam masalah ini tidak shahih satu pun hadits tentangnya yang bisa dijadikan landasan hukum”. [Kasyful Khafaa 2/517]

Syekh Al-Laknawiy rahimahullah (w.1304H) berkata:

وَمِنْهَا صَلَاة الْقدر لَيْلَة السَّابِع وَالْعِشْرين من رَمَضَان وَهِي اثْنَتَا عشر رَكْعَة فِي كل رَكْعَة الْفَاتِحَة مرّة وَسورَة الْإِخْلَاص ثَلَاث مَرَّات، وَبعد الْفَرَاغ يقْرَأ: " سُبْحَانَ الله وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ الله الْعَظِيم " مائَة مرّة. وَفِي رِوَايَة: مائَة رَكْعَة فِي كل رَكْعَة سُورَة الْإِخْلَاص خمس مَرَّات. [الآثار المرفوعة في الأخبار الموضوعة (ص: 115)]

“Diantaranya (shalat sunnah yang tidak punya landasan hadits yang shahih) adalah shalat Al-Qadr pada malam dua puluh tujuh Ramadhan, dilakukan sebanyak dua belas raka’at, pada setiap raka’at membaca surah Al-Fatihah satu kali, surah Al-Ikhlash tiga kali. Dan setelah selesai shalat membaca “Subhanallah wa bihamdihi, subhanallahil ‘adziim” seratus kali.

Dan dalam riwayat lain: Seratus raka’at, pada setiap raka’at membaca surah Al-Ikhlash lima kali. [Al-Atsaar Al-Marfuu’ah fi Al-Akhbaar Al-Maudhu’ah hal.115]

Kitab “Durratun Nashihiin” banyak menyebutkan hadits lemah dan palsu

Syekh Ibnu Baaz (w.1420H) rahimahullah ditanya tentang suatu hadits yang disebutkan dalam kitab “Durratun Nashihiin”, beliau menjawab:

هذا الكتاب لا يعتمد عليه، وهو يشتمل على أحاديث موضوعة وأحاديث ضعيفة لا يعتمد عليها [مجموع فتاوى ابن باز (26/ 333)]

"Kitab ini tidak bisa dijadikan pegangan. (Sebab) berisi hadits-hadits maudhu (palsu) dan lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran". [Majmuu’ Fatawaa Ibnu Baaz 26/333]


Syekh Ibnu Utsaimin (w.1421H) rahimahullah juga pernah ditanya tentang kitab “Durratun Nashihiin”, beliau menjawab:

رأي في هذا الكتاب وفي غيره من كتب الوعظ أن يقرأها الإنسان بتحفظ شديد؛ لأن كثيرًا من المؤلفين في الوعظ يأتون بأحاديث لا زمام لها ولا قياد لها، ولا أصل لها عن الرسول - صلى الله عليه وسلم -، بل هي أحاديث موضوعة أحيانًا، وضعيفة جدًا، أحيانًا يأتون بها من أجل ترقيق القلوب وتخويفها، وهذا خطأ عظيم. فإن فيما صح من سنة الرسول عليه الصلاة والسلام من أحاديث الوعظ كفاية [مجموع فتاوى ورسائل العثيمين (26/ 362)]

"Pendapat saya tentang buku ini dan buku lainnya dari buku-buku tentang nasehat, agar seseorang membacanya dengan sangat hati-hati, karena banyak dari penulis tentang nasehat menyebutkan hadits-hadits yang tidak punya pegangan, dan tidak punya dasar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan terkadang menyebutkan hadits-hadits palsu dan sangat lemah. Terkadang mereka menyebutkannya demi menggugah hati dan menakut-nakutinya, dan ini adalah kesalahan yang besar, karena hadits-hadits sahih dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang nasehat sangat mencukupi". [Majmuu’ Fatawa Al-Utsaimin 26/362]

Kesimpulan:

Tidak ada hadits yang shahih maupun hasan yang bisa dijadikan pegangan dalam menjalankan shalat khusus di malam lailatul qadr.

Yang ada adalah shalat secara umum dilakukan pada malam "lailatul qadr" tanpa ada cara dan bacaan khusus, sebagaimana diriwayatan dalam sahih Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

«َمَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»

“Barangsiapa yang mendirikan shalat di malam lailatul Qadr dengan keimanan dan harapan, maka diampuni untuknya semua dosanya yang telah lalu”.

Wallahu a’alam!

Lihat juga: Takhriij hadits “SOLAT SUNNAT QODHO FAWAIT”
                 Shalat hajat
                 Hadits larangan berdusta atas nama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam



[1] Dalam cetakan buku tertulis “Al-Khubariy”, yang betul adalah “Al-Khuubawiy” nisbat ke nama kampung Al-Khuubah bagian dari daerah Trabzon wilayah Turki sebagaimana disebutkan dalam kitab “Hadiyyatul ‘Arifiin” karya Ismail Al-Bagdadiy 1/661.

7 komentar:

  1. Mohon kepada para dai/ kalang pondok yg masih menjadikan kitab درة الناصحين sebagai bahan rujukan atau diajarkan dikalangan santri untuk mentelaah dengan teliti (menggnakan ilmu hadis) dan melacak hadis-hadis yg ada dilamnya di kitab-kitab hadis yg telah diakui oleh ulama dan umat islam sedunia. saya coba melacak bbrapa hadis di dalamnya di dlm 9 kitab hadis (كتب الستة)apa lagi shoheh bukhori muslim, dan melalu aplikasi hadis Jawamiul kalim ternyata sebagian tidak saya temukan, sebagian lemah, ada juga yg shohih, ada yg matnnya berbeda dituliskan....semoga kita tdk menjadi pnyebar hadis palsu, ngeri ancaman Rasul SAW (من كذب علي متعمدافليتبوء مقعده على النار)"barang siapa yang berdusta atasku (membua-buat hadis palsu atas nama ku)maka tempatnya adalah neraka....nauzubillah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apa mas dari kalangan pondok pesantren,,?
      Apakah orang yg memposting ini jg dari pesantren?
      Seberapa banyak kitab hadist yg telah bpk teliti?

      Hapus
    2. Alhamdulillah sy 7 thn di Pesantren, 17 thn kuliah di Al-Azhar Mesir jurusan Hadits, semoga Allah Yg Maha Mulia memberi berkah ilmu kita, dan menjauhkan kita dari sifat sombong dan angkuh.
      Aamiin!

      Hapus
  2. hadits yang di samapikan nabi itu ribuan dan tidak semuanya tercatat oleh ulama hadits ada yang sifatnya khususiyah tidak di samapaikan untuk umum .ingat sejarah ulama mashur yang langsung di ajarkan ilmu oleh rosulullah .padahal rosul sudah wafat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini adalah logika Yahudi, Nashrani, dan pemalsu hadits.
      Kalau logika ini dipakai, maka tdk perlu ada ilmu musthalah hadits, dan semua org bebas mengarang dalam urusan ibadah.
      Imam Ibnu Mubarak -rahimahullah- berkata:
      إن الإسناد من الدين، ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء
      Sesungguhnya sanad itu bagian dari agama, tanpa sanad maka siapa saja bisa berkata apa yg mau ia katakan (dlm urusan agama).
      Wallahu a'lam!

      Hapus

Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...