بسم الله الرحمن الرحيم
Abdullah bin Abbas radhiyallahu
‘anhuma berkata:
«أَقْبَلْتُ
رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلاَمَ،
وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِمِنًى إِلَى غَيْرِ
جِدَارٍ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ، وَأَرْسَلْتُ الأَتَانَ تَرْتَعُ،
فَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ، فَلَمْ يُنْكَرْ ذَلِكَ عَلَيَّ» [صحيح البخاري
ومسلم]
“Aku datang dengan mengendarai keledai betina, waktu itu aku
hampir memasuki masa balig, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sedang shalat di Mina tidak menghadap tembok. Maka aku berlalu di hadapan
sebagian shaf dan melepaskan keledai betina untuk mencari makan, kemudian aku
masuk dalam shaf (ikut shalat berjama’ah), dan tidak ada yang mengingkari
perbuatannku tersebut”. [Sahih Bukhari dan Muslim]
Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas berkata:
«أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ
يَدَيْهِ شَيْءٌ» [مسند أحمد]
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di
padang kosong, tidak ada sesuatupun di hadapannya”. [Musnad Ahmad]
Hadits ini secara dzahir nampak bertentangan dengan beberapa hadits lain
berikut ini:
1. Hadits larangan
lewat depan orang shalat.
Dari Abu Juhaim radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
«لَوْ
يَعْلَمُ المَارُّ بَيْنَ يَدَيِ المُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ
أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ»
“Andai orang yang lewat di depan orang shalat
mengetahui hukuman apa yang akan ia terima, maka ia berdiri selama empat puluh
lebih baik baginya dari pada lewat di depan orang yang sedang shalat”
Abu An-Nadhr (rawi hadits ini) berkata: Aku
tidak tahu, apakah beliau mengatakan empat puluh hari atau bulan atau tahun.
[Sahih Bukhari dan Muslim]
2. Hadits perintah
memakai sutrah (batasan) ketika shalat.
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
«إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا» [سنن أبي داود]
“Jika seorang dari kalian shalat maka shalatlah menghadap sutrah
(memakai pembatas diletakkan beberapa jarak dari tempat sujud), dan hendaklah
ia mendekat dari sutrah tersebut”. [Sunan Abi Daud]
3.
Hadits yang menunjukkan bahwa shalat
terputus jika keledai lewat depan orang shalat.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«يَقْطَعُ
الصَّلَاةَ الْمَرْأَةُ وَالْحِمَارُ وَالْكَلْبُ، وَيَقِي ذَلِكَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ
الرَّحْلِ» [صحيح مسلم]
“Perempuan, keledai, dan anjing memutuskan
shalat (jika lewat depan orang shalat)”. [Sahih Muslim]
Seperti apa bentuk pertentangan antara hadits Ibnu Abbas dengan ketiga hadits tersebut, dan bagaimana cara ulama menyikapinya?
Berikut ini penjelasannya:
A.
Hadits larangan lewat
depan orang shalat.
Bentuk ta’arud
(pertentangan) hadits Abu Juhaim dengan hadits Ibnu Abbas adalah:
Pada hadits Abu Juhaim mengandung
larangan lewat di hadapan orang yang sedang shalat, sedangkan dalam hadits Ibnu
Abbas ada sunnah taqrir (pegakuan) dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam membolehkan lewat di hadapan orang yang sedang shalat
seperti yang dilakukan oleh Ibnu Abbas.
Diantara cara mempertemukan kedua hadits ini:
a. Salah satu hadits ini ada yang umum dan ada yang khusus.
Hadits ini sifatnya umum melarang
lewat di hadapan orang sedang shalat, baik itu shalat sendiri, jadi imam, atau
sedang makmum.
Adapun hadits Ibnu Abbas sifatnya
khusus, memberi pengkhususan membolehkan seseorang lewat depan makmun yang
sedang shalat berjama’ah.
Adapun lewat depan orang yang
sedang shalat sendiri atau sebagai imam, maka tetap tidak boleh sebagaimana ditunjukkan
oleh keumuman hadits Abu Juhaim.
Ini adalah jawaban yang paling
tepat.
b. Adanya perbedaan situasi dari kedua hadits ini.
Hadits yang melarang hukumnya
mutlak berlaku pada setiap kondisi, adapun hadits Ibnu Abbas adalah kondisi
darurat yang membolehkan lewat depan orang shalat.
Akan tetapi pendapat ini
dibantah, karena dalam hadits Ibnu Abbas tidak ada isyarat yang menunjukkan
bahwa ia lewat depan makmum karena terpaksa.
Justru ucapan Ibnu Abbas bahwa
tidak ada yang mengingkari perbuatannya menunjukkan bahwa ia melakukan itu
dengan sengaja.
c. Menakwil salah satu makna hadits.
Bahwa ketika Ibnu Abbas lewat
depan shaf makmun, saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum
takbiratul ihram (belum mulai shalat).
Namun jika kita memakai pemahaman
ini maka kandungan hukum hadits Ibnu Abbas tidak terlihat jelas, karena lewat
depan orang yang tidak shalat disepakati kebolehannya.
Sedangkan Ibnu Abbas menyampaikan
hadits ini sebagai argumen yang mengandung muatan hukum pada satu masalah yang
diperselisihkan.
B.
Hadits perintah memakai
sutrah (pembatas) ketika shalat.
Bentuk pertentangan hadits ini
dengan hadits Ibnu Abbas adalah: Hadits Abi Sa’id menunjukkan kewajiban memakai
surtara ketika shalat karena ada perintah, sedangkan ucapan Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat tanpa
meghadap dinding, ini menunjukkan kalau saat itu beliau shalat tidak memakai
sutrah.
Diantara cara mempertemukan kedua hadits ini:
a) Mengalihkan lafadz perintah dari makna wajib ke makna mustahab
(sunnah).
Bahwa hadits perintah memakai
sutrah ketika shalat hukumnya hanya sunnah, dan hadits Ibnu Abbas menjadi
pengalih makna wajib pada lafadz perintah dalam hadits Abu Sa’id menjadi makna
sunnah.
b) Menakwil salah satu makna hadits.
Bahwa makna ucapan Ibnu Abbas: “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat tidak meghadap dinding”, bukan
berarti beliau tidak memakai sutrah, karena sutra tidak harus dinding.
Penakwilan ini dibantah dengan
lafadz lain hadits ini sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad, Ibnu Abbas berkata:
لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ
“Tidak ada sesuatupun
di hadapannya”.
Riwayat ini diperselishkan ulama, syekh Albaniy menghukuminya lemah
dalam silsilah Adh-Dha’ifah 12/679 no.5814. Sedangkan syekh Syu’aib Al-Arnauth
menghukuminya hasan, wallahu a’lam!
C.
Hadits yang menunjukkan bahwa shalat terputus jika
keledai lewat depan orang shalat.
Bentuk ta’arud
(pertentangan) hadits Abu Hurairah dengan hadits Ibnu Abbas adalah: Hadits Abu
Hurairah menunjukkan bahwa jika keledai lewat di hadapan orang yang sedang
shalat maka shalatnya batal, sedangkan dalam hadits Ibnu Abbas ia lewat di depan
shaf mengendarai keledai dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
memerintahkan sahabatnya untuk mengulangi shalat.
Dalam menyikapi pertentangan
kedua haidts ini ulama memakai beberapa metode:
1. Berusaha memadukan makna kedua hadits tersebut, dengan
cara:
a. Salah satunya ada yang
sifatnya umum dan yang lain sifatnya khusus.
Hadits Abu Hurairah sifatnya umum
jika keledai lewat di hadapan orang yang sedang shalat maka shalatnya batal,
baik itu ketika shalat sendiri, menjadi imam, atau sedang makmum.
Adapun hadits Ibnu Abbas sifatnya
khusus, memberi pengkhususan apabila keledai lewat depan makmun yang sedang
shalat berjama’ah maka shalatnya tidak batal.
Adapun jika keledai lewat depan
orang yang sedang shalat sendiri atau sebagai imam, maka shalatnya batal.
Atau jika keledainya lewat
ditengah antara orang yang shalat dengan sutrahnya maka shalatnya batal, sedangkan
jika lewat di atas sutrah maka tidak membatalkan shalat. Dan sutrah makmun
adalah sutrahnya imam, maka jika ia lewat depan makmun tidak membatalkan
shalat.
Atau jika lewat di hadapan orang
yang shalat yang tidak memakai sutrah maka shalatnya tidak batal. Sebagaimana
dalam riwayat lain, Ibnu Abbas berkata:
جِئْتُ أَنَا وَالْفَضْلُ
عَلَى أَتَانٍ، فَمَرَرْنَا بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِعَرَفَةَ وَهُوَ يُصَلِّي الْمَكْتُوبَةَ، لَيْسَ شَيْءٌ يَسْتُرُهُ، يَحُولُ بَيْنَنَا
وَبَيْنَهُ [صحيح ابن خزيمة]
Aku datang bersama Al-Fadhl mengendarai himar
betina, lalu kami lewat di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
di Arafah sementara beliau shalat wajib, tidak ada sesuatu yang menjadi
sutrahnya (pembatas) yang menghalangi antara kami dan beliau. [Sahih Ibnu
Khuzaimah]
Akan tetapi riwayat ini dilemahkan Ibnu
Khuzaimah sendiri dan syekh Albaniy dalam kitabnya silsilah Adh-Dha’ifah
12/682.
b. Adanya perbedaan situasi dari
kedua hadits ini.
Hadits yang menunjukkan batalnya
shalat jika keledai lewat depan orang shalat hukumnya mutlak berlaku pada
setiap kondisi, adapun hadits Ibnu Abbas adalah kondisi darurat maka tidak
membatalkan.
Akan tetapi pendapat ini
dibantah, karena dalam hadits Ibnu Abbas tidak ada isyarat yang menunjukkan
bahwa ia lewat bersama keledainya di depan makmum karena terpaksa.
Justru ucapan Ibnu Abbas bahwa
tidak ada yang mengingkari perbuatannya menunjukkan bahwa ia melakukanitu
dengan sengaja.
c. Menakwil salah satu maksud
hadits.
Bahwa ketika Ibnu Abbas lewat bersama
himarnya depan shaf makmun, saat itu Rasulullah belum takbiratul ihram
(belum mulai shalat).
Namun jika kita memakai pemahaman
ini maka kandungan hukum hadits Ibnu Abbas tidak terlihat jelas, karena lewat
depan orang yang tidak shalat disepakati kebolehannya.
Sedangkan Ibnu Abbas menyampaikan
hadits ini sebagai argumen yang mengandung muatan hukum atas suatu yang
diperselisihkan.
Atau makna shalat terputus adalah
hilangnya kekhusyu’an dalam shalat, bukan berarti shalatnya batal.
2. Salah satu hadits ini ada yang telah di-nasakh (dihapus
hukumnya)
Ada juga ulama yang berpendapat
bahwa hadits Abu Hurairah sudah dinasakh dengan hadits:
لَا يَقْطَعُ صَلَاةَ
الْمَرْءِ شَيْءٌ وَادْرَءُوا مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Tidak ada yang membatalkan shalat seseorang suatu apa pun, dan cegahlah
apa yang ingin lewat dihadapan kalian (saat shalat) sesuai kemampuan kalian”
Imam An-Nawawiy rahimahullah membantah pendapat ini, dengan
alasan:
1) Tidak boleh menghukumi “mansukh” (terhapus
hukumnya) pada salah satu hadits yang secara dzahir bertentangan jika masih
bisa dipertemukan antara keduanya.
2) Untuk menghukumi salah satunya ada yang
mansukh maka harus diketahui waktu hadits tersebut diucapkan agar bisa
menghukumi mana hadits yang terdahulu dan dinasakh oleh hadits yang belakangan.
Adapun kedua hadits dalam masalah ini maka tidak ada bukti yang menunjukkan
mana yang terdahulu dan mana yang belakangan diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
3) Hadits yang dijadikan penasakh ini derajatnya
lemah.
Lihat: Syarh Sahih Muslim karya Imam An-Nawawiy
4/227.
3.
Mentarjih salah satu
hadits tersebut.
Imam Syafi’iy rahimahullah
melemahkan hadits Abu Hurairah ini. [Ikhtilaaful Hadits 8/624]
Wallahu a’lam!
Lihat juga: Keistimewaan Abdullah bin ‘Abbas - Lurus dan rapatkan shaf - Perbuatan yang boleh dilakukan dalam shalat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...