بسم الله الرحمن الرحيم
Syekh Isma’il Al-‘Ajluniy (1162H) rahimahullah menyebutkan
suatu hadits yang masyhur dalam kitabnya “Kasyful khafaa” 2/190 no.2115:
(
لَوْ مُنِعَ النَّاسُ عَنْ فَتِّ الْبَعْرِ لَفَتُّوْهُ ، وَقَالُوْا : مَا نُهِيْنَا
عَنْهُ إِلاَّ وَفِيْهِ شَيْءٌ )
“Seandainya
manusia dilarang untuk mencabik-cabik kotoran hewan maka mereka akan
mencabik-cabiknya, dan mereka berkata: Kita tidak dilarang mencabik-cabiknnya
kecuali pasti ada sesuatu di dalamnya”
Hadits ini
disebutkan oleh Imam Al-Gazaliy (505H) rahimahullah dalam kitabnya “Ihyaa’ uluumiddin”
1/96.
Abu Al-Fadhl Al-‘Iraqiy (806H) rahimahullah ketika mentakhrij
hadits ini dalam kitabnya “Al-Mugniy” 1/35 mengatakan: Aku tidak
mendapatkan hadits ini.
Ali Al-Qaariy (1014H) rahimahullah dalam kitabnya “Al-Asraar
Al-Marfuu’ah” hal.288 mengatakan: Makna hadits ini diambil dari firman
Allah subhanahu wa ta’aalaa:
{وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا
مِنَ الظَّالِمِينَ} [البقرة: 35] [الأعراف: 19]
Dan
janganlah kamu (nabi Adam dan istrinya) dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu
termasuk orang-orang yang zalim.
[Al-Baqarah:35] [Al-A’raaf:19]
Kemudian
Iblis menggoda mereka dan berkata:
{مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ
إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ} [الأعراف: 20]
Tuhan kamu
tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak
menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga). [Al-A’raaf:20]
Dengan
lafadz yang berbeda, hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy (360H) rahimahullah dalam
kitabnya “Al-Mu’jam Al-Kabiir” 18/86 no.159:
قال:
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ غَنَّامٍ، ثنا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، ثنا أَبُو
أُسَامَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ،
عَنْ عَبْدَةَ السُّوَائِيِّ قَالَ: لَغَطَ قَوْمٌ قُرْبَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ: يَا رَسُولَ اللهِ، لَوْ بُعِثْتَ
إِلَى هَؤُلَاءِ بَعْضَ مَنْ يَنْهَاهُمْ عَنْ هَذَا، فَقَالَ: «لَوْ بُعِثْتُ إِلَيْهِمْ
فَنَهَيْتُهُمْ أَنْ يَأْتُوا الْحَجُونَ لَأَتَاهُ بَعْضُهُمْ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ
لَهُ بِهِ حَاجَةٌ»
Dari Abu Usamah,
dari Al-A’masy, dari Abu Ishaq, dari
‘Abdah As-Suwaiy ia berkata: Beberapa orang membuat keributan di dekat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beberapa sahabat berkata: Ya Rasulallah,
andai engkau mengutus kepada mereka beberapa orang untuk melarang mereka dari
keributan ini?
Maka beliau
bersabda: “Andai aku mengutus kepada mereka, kemudian aku melarang mereka
untuk mendatangi gunung Al-Hajuun maka sebagian mereka pasti akan mendatanginya
sekalipun mereka tidak ada keperluan untuk ke sana”.
Al-Haitsamiy (807H) rahimahullah dalam kitabnya “Majma’
Az-Zawaid” 1/176 no.824 mengatakan:
Semua perawinya adalah perawiy yang shahih (رجاله رجال الصحيح).
Diriwayatkan juga
oleh Abu Nu’aim Al-Ashbahaniy (430H) rahimahullah dalam kitabnya “Ma’rifah
Ash-Shahabah” 4/1918 no.4820:
قال: حَدَّثَنَا أَبُو عَمْرِو بْنُ حَمْدَانَ، ثنا الْحَسَنُ
بْنُ سُفْيَانَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، ثنا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، أَنَّهُ سَمِعَ
عَبْدَةَ بْنَ حَزْنٍ النَّصْرِيَّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: " لَوْ نَهَيْتُ رِجَالًا أَنْ يَأْتُوا الْحَجُونَ لَأَتَوْهَا، وَمَا
لَهُمْ بِهَا حَاجَةٌ "
Dari Sufyan, dari Abu Ishaq bahwasanya
ia mendengar ‘Abdah bin Hazn An-Nashriy berkata: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Andai aku melarang orang-orang untuk
mendatangi gunung Al-Hajuun maka pasti mereka akan mendatanginya sekalipun mereka
tidak punya keperluan ke sana”.
Al-Hafidz Ibnu Hajar (852H) rahimahullah dalam
kitabnya “Al-Ishabah” 4/195 mengatakan: Para perawinya kuat (رجاله أثبات).
‘Abdah bin Hazn Abu Al-Waliid Al-Kuufiy[1], yang meriwayatkan hadits ini dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam diperselisihkan ulama, apakah ia seorang sahabat Nabi
atau ia hanya seroang tabi’iy?
Ath-Thabaraniy, Al-Mizziy, Al-‘Alaiy, dan Ibnu Hajar rahimahumullah mengatakan: Posisinya sebagai seorang sahabat Nabi diperselisihkan.
Abu Ishaq As-Sabi’iy, Syariik, Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dukain, dan yang
lainya rahimahumullah mengatakan bahwa ia seorang sahabat Nabi.
Sedangkan Abu Hatim Ar-Raziy, Ibnu Hibban, Ibnu Al-Barqiy, Ibnu
As-Sakan, Ibnu Al-Qathaan, dan yang lainnya rahimahumullah mengatakan bahwa
ia bukan seorang sahabat Nabi.
Adz-Dzahabiy rahimahullah mengatkan: Yang paling nampak adalah ia seorang tabi’iy.
Dengan demikian, jika ‘Abdah memang seorang sahabat Nabi maka sanad
hadits ini sahih, karana Al-A’masy Sulaiman bin Mihran[2] (147H)
yang dikhawatirkan sebagai seorang “mudallis” (sering menjatuhkan
gurunya dalam sanad) telah mendapat dukungan (mutaba’ah) dari
periwayatan Sufyan.
Begitu pula dengan Abu Ishaq As-Sabi’iy ‘Amr bin Abdillah[3] (129H)
seorang “mudallis”, akan tetapi dalam riwayat Abu Nu’aim ia menjelaskan
bahwa hadits ini ia dengar langsung dari ‘Abdah.
Namun jika ‘Abdah adalah seroang tabi’iy maka sanad ini lemah karena
terputus.
Ibnu Al-Qathaan (628H) rahimahullah dalam
kitabnya “Bayaan Al-Wahm wa Al-Ihaam” 2/548 melemahkan hadits ini.
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Al-A’rabiy (340H) rahimahullah dalam kitabnya “Al-Mu’jam” 1/57 no.69, dan Ath-Thabaraniy
dalam kitabnya “Al-Mu’jam Al-Kabiir” 22/123 no.319:
عن يَحْيَى بْن سَعِيدٍ الْأُمَوِيُّ، نا الْأَعْمَشُ، عَنْ
أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ جَالِسًا ذَاتَ يَوْمٍ وَقُدَّامَهُ قَوْمٌ يَصْنَعُونَ شَيْئًا يَكْرَهُهُ
مِنْ كَلَامٍ وَلَغَطٍ، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا تَنْهَاهُمْ قَالَ: «لَوْ
نَهَيْتُهُمْ عَنِ الْحَجُونِ لَأَوْشَكَ بَعْضُهُمْ يَأْتِيهِ وَلَيْسَتْ لَهُ حَاجَةٌ»
Dari Yahya bin Sa’id Al-Umawiy ia berkata: Telah menceritakan kepada
kami Al-A’masy, dari Abu Ishaq, dari Abu Juhaifah; Bahwasanya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam suatu hari duduk sementara di hadapannya beberapa orang
melakukan hal yang tidak ia sukai dari perkataan dan keributan, maka dikatakan
kepadanya: Ya Rasulallah, tidakkah engkau melarang mereka?
Beliau menjawab: “Andai aku melarang mereka untuk mendatangi gunun
Al-Hajuun maka akan ada dari mereka yang mendatanginya sekalipun ia tidak punya
keperluan di sana”.
Al-Haitsamiy mengatakan: Semua perawinya
adalah perawiy yang shahih (رجاله رجال الصحيح). [“Majma’
Az-Zawaid” 1/177 no.825]
Imam Al-Bukhariy (256H) rahimahullah berkata:
Hadits ini salah, yang benar adalah dari Abu Ishaq dari ‘Abdah bin Hazn.
At-Tirmidziy (279H) rahimahullah berkata: Yahya bin Sa’id Al-Umawiy[4]
keliru dalam meriwayatkan hadits ini. [Lihat: ‘Ilal Al-Kabiir karya
At-Tirmidziy hal.380-381]
Al-Khathabiy (388H) rahimahullah dalam kitabnya “Al-‘Uzlah” hal.58 mengatakan:
قَدْ أَنْبَأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِهَذَا الْقَوْلِ أَنَّ الشَّرَّ طِبَاعٌ فِي النَّاسِ، وَأَنَّ الْخِلَافَ عَادَةٌ
لَهُمْ، وَحَضَّ بِذَلِكَ عَلَى شِدَّةِ الْحَذَرِ مِنْهُمْ وَقِلَّةِ الثِّقَةِ بِهِمْ.
وَقَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: الشَّرُّ فِي النَّاسِ طِبَاعٌ،
وَحُبُّ الْخِلَافِ لَهُمْ عَادَةٌ، وَالْجَوْرُ فِيهِمْ سُنَّةٌ وَلِذَلِكَ تَرَاهُمْ
يُؤْذُونَ مَنْ لَا يُؤْذِيهِمْ وَيَظْلِمُونَ مَنْ لَا يَظْلِمُهُمْ وَيُخَالِفُونَ
مَنْ يَنْصَحُهُمْ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kita
dengan hadits ini bahwasanya keburukan itu adalah tabi’at pada manusia, dan
bahwasanya perselisihan itu adalah kebiasaan bagi mereka. Dengan demikian
beliau menasehati agar sangat berhati-hati dari mereka dan jangan terlalu
percaya pada mereka.
Dan beberapa ahli hikmah berkata: Keburukan pada manusia adalah tabi’at,
suka berselisih adalah kebiasaan mereka, dan berbuat jahat adalah jalan hidup
mereka. Oleh karena itu kalian melihat mereka menyakiti orang yang tidak
menyakiti mereka, dan mendzalimi orang yang tidak mendzlimi mereka, dan
menyelisihi orang yang menasehati mereka.
Wallahu a’lam!
[1] Lihat biografi “Abdah” dalam kitab: Al-Jarh wa
At-Ta’diil karya Ibnu Abi Hatim 6/89, Mu’jam Ash-Shahabah karya Ibnu Qani’
2/187, Ats-Tsiqaat karya Ibnu Hibban 5/145, Al-Mu’jam Al-Kabiir karya
Ath-Thabaraniy 18/86, Mu’jam Ash-Shahabah karya Abu Nu’aim 4/1918, Al-Isti’ab
karya Ibnu Abdil Barr 2/821, Bayaan Al-Wahm wa Al-Ihaam karya Ibnu Al-Qathaan
5/654, Usdul Gaabah karya Ibnu Al-Atsiir 3/512, Tahdziib Al-Kamaal karya
Al-Mizziy 18/529, Tajriid Asmaa’ Ash-Shahabah karya Adz-Dzahabiy 1/361, Jaami’
At-Tahshiil karya Al-‘Alaaiy hal.231, Al-Ibanah ilaa ma’rifah Al-Mukhtalafah
fiihim min Ash-Shahabah 2/38, Al-Ishabah karya Ibnu Hajar 4/194.
[2] Lihat biografi
“Al-A’masy” dalam kitab: Tahdziib Al-Kamaal 12/76, Thabaqaat
Al-Mudallisin karya Ibnu Hajar hal.33,
Asmaa’ Al-Mudallisiin karya As-Suyuthiy hal.55.
[3] Lihat biografi “Abu
Ishaq” dalam kitab: Thabaqaat Al-Mudallisin hal.42, Asmaa’ Al-Mudallisiin hal.77.
[4] Lihat biografi “Yahya
bin Sa’id” dalam kitab: Adh-Dhu'afaa' Al-Kabiir karya Al-'Uqaily 4/403, Al-Jarh
wa At-Ta'diil 9/151, Ats-Tsiqaat karya Ibnu Hibban 7/599,
Tahdziib Al-Kamaal 31/318, Al-Kaasyif karya Adz-Dzahabiy 2/366,
Taqriib At-Tahdziib karya Ibnu Hajar hal.590.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...