بسم
الله الرحمن الرحيم
A. Penjelasan pertama.
Imam
Bukhari rahimahullah berkata:
بَابُ
{وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ} [البقرة: 184]
Bab: {Dan wajib bagi orang-orang yang bisa
menjalankan puasa (namun mereka tidak berpuasa) membayar fidyah} [Al-Baqarah: 184]
Pada bab ini, imam Bukhari rahimahullah ingin
menjelaskan makna firman Allah subhanahu wata’aalaa yang membolehkan
tidak berpuasa Ramadhan sekalipun mampu tapi dengan syarat membayar fidyah.
Kemudian imam Bukhari menyebutkan beberapa atsar
Sahabat Nabi yang menunjukkan bahwa ayat tersebut telah dinasakh (dihapus
hukumnya).
قَالَ ابْنُ عُمَرَ، وَسَلَمَةُ بْنُ
الأَكْوَعِ: نَسَخَتْهَا {شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ القُرْآنُ
هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الهُدَى وَالفُرْقَانِ، فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ، يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ اليُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ العُسْرَ،
وَلِتُكْمِلُوا العِدَّةَ، وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ} [البقرة: 185]
Ibnu
Umar dan Salamah bin
Al-Akwa’ berkata: “Ayat tersebut (Al-Baqarah: 184) dinasakh oleh ayat: {Bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah
kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur}.” [Al-Baqarah:185]
وَقَالَ [عبد الله] ابْنُ نُمَيْرٍ،
حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ [سليمان بن مهران]، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ [الكوفى
الأعمى]، حَدَّثَنَا [عبد الرحمن] ابْنُ أَبِي لَيْلَى، حَدَّثَنَا أَصْحَابُ
مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَزَلَ رَمَضَانُ فَشَقَّ عَلَيْهِمْ،
فَكَانَ مَنْ أَطْعَمَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا تَرَكَ الصَّوْمَ مِمَّنْ
يُطِيقُهُ، وَرُخِّصَ لَهُمْ فِي ذَلِكَ، فَنَسَخَتْهَا: {وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ
لَكُمْ} [البقرة: 184] فَأُمِرُوا بِالصَّوْمِ
Dan
[Abdullah] Ibnu Numair berkata: Al-A’masy [Sulaiman bin Mihran] menceritakan
kepada kami, ia berkata: ‘Amru bin Murrah [Al-Kufiy Al-A’maa] menceritakan
kapada kami, ia berkata: [Abdurrahman] Ibnu Abi Laila menceritakan kepada kami,
ia berkata: Beberapa sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan
kepada kami; “Bahwa ketika puasa Ramadhan disyari’atkan, itu memberatkan
sebagian mereka, maka siapa yang memberi makan setiap hari seorang miskin, ia
boleh tidak berpuasa sekalipun mampu, dan diberikan keringanan untuk mereka.
Kemudian hukum ini dinasakh oleh firman Allah: {Dan berpuasa lebih baik
bagimu} [Al-Baqarah: 184], kemudian mereka diperintahkan berpuasa”.
Takhrij ketiga atsar
ini:
a)
Atsar Abdullah bin Umar radhiyallahu
'anhuma.
Atsar
ini akan diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dengan sanad yang lengkap dalam bab ini.
b)
Sedangkan atsar Salamah bin Al-Akwa’
radhiyallahu 'anhu.
Atsar
ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dalam
“Ash-Shahih” kitab Tafsir Al-Qur’an, ia berkata:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا
بَكْرُ بْنُ مُضَرَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ الحَارِثِ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ، عَنْ يَزِيدَ مَوْلَى سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ، عَنْ سَلَمَةَ، قَالَ:
" لَمَّا نَزَلَتْ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ}
[البقرة: 184]. «كَانَ مَنْ أَرَادَ أَنْ يُفْطِرَ
وَيَفْتَدِيَ، حَتَّى نَزَلَتِ الآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا فَنَسَخَتْهَا»
Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Bakr bin Mudhar,
dari Amru bin Al-Harits, dari Bukair bin Abdullah, dari Yazid -budak yang
dimerdekakan Salamah bin Al Akwa'-, dari Salamah dia berkata;
"Tatkala turun ayat; {Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya
maka wajib membayar fidya yaitu memberi makan orang miskin} [Al-Baqarah:
184], adalah barangsiapa yang ingin berbuka (tidak berpuasa Ramadhan) maka
hendaklah membayar fidyah, hingga turunlah ayat setelahnya (Al-Baqarah: 185)
yang menasakh (menghapus) ayat tersebut”.
c)
Atsar beberapa sahabat Nabi -radhiyallahu
‘anhum-.
Diriwayatkan
oleh Al-Baihaqiy rahimahullah dalam
“As-Sunan Al-Kubraa” 4/336 no.7894, ia berkata:
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ
الْحَافِظُ، أَخْبَرَنِي أَبُو أَحْمَدَ يَعْنِي الْحَافِظَ، أنبأ الْحُسَيْنُ
بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عُفَيْرٍ، ثنا عَلِيٌّ يَعْنِي ابْنَ الرَّبِيعِ
الْأَنْصَارِيَّ، ثنا عَبْدُ اللهِ بْنُ نُمَيْرٍ، عَنِ الْأَعْمَشِ، ثنا عَمْرُو
بْنُ مُرَّةَ، ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي لَيْلَى، ثنا أَصْحَابُ
مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا: " أُحِيلَ الصَّوْمُ
عَلَى ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ: قَدِمَ النَّاسُ الْمَدِينَةَ وَلَا عَهْدَ لَهُمْ
بِالصِّيَامِ، فَكَانُوا يَصُومُونَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ حَتَّى
نَزَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فَاسْتَكْثَرُوا ذَلِكَ وَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَكَانَ مَنْ
أَطْعَمَ مِسْكِينًا كُلَّ يَوْمٍ تَرَكَ الصِّيَامَ مِمَنْ يُطِيقُهُ رَخَّصَ
لَهُمْ فِي ذَلِكَ وَنَسَخَهُ {وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ} [البقرة: 184] " قَالَ: فَأُمِرُوا بِالصِّيَامِ.
Abu
Abdillah Al-Hafidz memberitakan kepada kami, ia berkata: Abu Ahmad -yaitu
Al-Hafidz- memberitakan kepadaku, ia berkata: Al-Husain bin Muhammad bin ‘Ufair
menyampaikan, ia berkata: ‘Aliy -yaitu Ibnu Ar-Rabi’ Al-Anshariy- menceritakan
kepada kami, ia berkata: Abdullah bin Numair menceritakan kepada kami, dari
Al-A’masy, ia berkata: ‘Amr bin Murrah menceritakan kepada kami, ia berkata:
Abdurrahman bin Abi Laila menceritakan kepada kami, ia berkata: Beberpa sahabat
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Kewajiban puasa turun
dalam tiga kondisi; Orang-orang tiba di Madiah dan mereka tidak terbiasa
berpuasa maka mereka berpuasa tiga hari setiap sebulan, kemudian turun
kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan maka mereka merasa kebanyakan dan
memberatkan mereka, maka yang bisa memberi makan seorang miskin tiap hari ia
tidak berpuasa sekalipun mampu sebagai keringanan bagi mereka. Kemudian hukum
tersebut dihapuskan oleh ayat: {Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui} [Al-Baqarah: 184] Maka mereka diperintahkan untuk berpuasa”.
B. Penjelasan kedua.
Atsar
Abdullah bin Umar -radhiyallahu ‘anhuma-, Imam Bukhari rahimahullah berkata:
1848 - حَدَّثَنَا عَيَّاشٌ [بن الوليد
الرَّقَّامُ القطان]، حَدَّثَنَا عَبْدُ الأَعْلَى [بن عبد الأعلى]، حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ [بن عمر بن حفص العمري]، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا، قَرَأَ: {فِدْيَةُ طَعَامِ مَسَاكِينَ} قَالَ: «هِيَ
مَنْسُوخَةٌ»
1848 - Telah menceritakan kepada kami 'Ayyasy [bin
Al-Walid Ar-Raqqam Al-Qathan] telah menceritakan kepada kami 'Abdul A'laa [bin
'Abdul A'laa] telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah [bin ‘Umar bin Hafsh
Al-‘Umariy], dari Nafi', dari Ibnu 'Umar radhiyallahu
'anhuma bahwa dia membaca ayat {dendanya adalah memberi makan orang
miskin}, lalu ia berkata, bahwa ayat ini sudah dihapus.
Ø Atsar ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thabariy rahimahullah dalam
Tafsirnya (3/163), ia berkata:
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ الْمُثَنَّى،
قَالَ: ثنا عَبْدُ الْوَهَّابِ، قَالَ: ثنا عَبْدُ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ
ابْنِ عُمَرَ، قَالَ " نُسِخَتْ هَذِهِ الْآيَةُ يَعْنِي: {وَعَلَى الَّذِينَ
يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} [البقرة:
184] الَّتِي
بَعْدَهَا: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا
أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامِ أُخَرَ}
[البقرة: 185] "
Umar bin Al-Mutsanna menceritakan kepada
kami, ia berkata: Abdul Wahhab menceritakan kepada kami, ia berkata: Abdullah
menceritakan kepada kami, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, ia berkata: “Ayat
ini yaitu {Dan wajib bagi orang-orang yang bisa menjalankannya (namun mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin}
[Al-Baqarah: 184] telah dinasakh oleh ayat setelahnya: {Karena itu,
barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain} [Al-Baqarah:
185]”
Penjelasan singkat atsar ini:
1.
Biografi Abdullah bin
‘Umar radhiyallahu 'anhuma.
Lihat di sini: Penjelasan singkat kitab Ash-Shaum dari Sahih Bukhari; Bab (13) "Kita tidak bisa menulis dan menghitung"
2.
Biografi Salamah bin
Al-Akwa’ (Sinan) bin Abdillah Al-Aslamiy, Abu Muslim Al-Madaniy radhiyallahu
‘anhu.
Beberapa keistimewaan Salamah disebutkan
dalam satu hadits: (1) Diminta oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
untuk membai’at beliau sebanyak 3 kali, (2) Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam memberinya perisai, (3) Mementingkan orang lain dari dirinya
sendiri, (4) Mengorbankan segalanya demi hijrah, (5) Marah jika Nabi shallallahu
'alaihi wasallam dihina, (6) Mendapatkan permohonan ampun dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, (7) Bersifat pemberani, (8) Pernah dibonceng oleh Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, (9) Larinya cepat.
Lihat di sini: Penjelasan singkat kitab Ash-Shaum dari Sahih Bukhari; Bab (21) Jika berniat puasa di siang hari
3. Awal
puasa Ramadhan diwajibkan, seseorang boleh memilih antara berpuasa atau memberi
makan.
4. Keringanan
dalam ibadah puasa.
5.
Syari’at Islam datang
bukan untuk memberatkan.
Allah subhanahu wa ta'aalaa
berfirman:
{يُرِيدُ
اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ} [البقرة: 185]
Allah menghendaki kemudahan bagimu
(dengan syari'at-Nya), dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
[Al-Baqarah:185]
{مَا
يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ
لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ} [المائدة: 6]
Allah tidak hendak menyulitkan kamu
(dengan syari'at-Nya), tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. [Al-Maaidah:6]
Lihat: Keistimewaan Umat Islam
6.
Allah menetapkan dan
menghapus hukum sesuai kehendak-Nya.
Allah subhanahu wa ta'aalaa
berfirman:
{مَا
نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ
تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ} [البقرة: 106]
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau
Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik
daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? [Al-Baqarah: 106]
7.
Hikmah adanya nasakh
(penghapusan humum) dalam syari’at.
Diantaranya:
a)
Menampakkan beberapa sifat Allah yang mulia, seperti
sifat Maha Mengetahui, sifat Maha Kuasa, sifat Maha Hakiim (penuh hikmah dalam
tindakan), dan sifat Rahmah (kasih sayang).
Allah subhanahu wa ta'aalaa
berfirman:
{يَمْحُو
اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ} [الرعد: 39]
Allah menghapuskan apa yang Dia
kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat
Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh). [Ar-Ra'ad:39]
b)
Menampakkan nikmat Allah kepada hambaNya.
'Aisyah radhiyallahu
‘anha berkata:
" إِنَّمَا نَزَلَ أَوَّلَ مَا نَزَلَ مِنْهُ
سُورَةٌ مِنَ المُفَصَّلِ، فِيهَا ذِكْرُ الجَنَّةِ وَالنَّارِ، حَتَّى إِذَا
ثَابَ النَّاسُ إِلَى الإِسْلاَمِ نَزَلَ الحَلاَلُ وَالحَرَامُ، وَلَوْ نَزَلَ
أَوَّلَ شَيْءٍ: لاَ تَشْرَبُوا الخَمْرَ، لَقَالُوا: لاَ نَدَعُ الخَمْرَ
أَبَدًا، وَلَوْ نَزَلَ: لاَ تَزْنُوا، لَقَالُوا: لاَ نَدَعُ الزِّنَا أَبَدًا
" [صحيح البخاري]
"Sesungguhnya
yang paling pertama turun adalah surah al-Mufashal (dari surah qaaf sampai
an-naas), di dalamnya menyebutkan tentang surga dan neraka, sampai pada saat
orang-orang sudah masuk Islam, turunlah ayat yang berkaitan dengan halal dan
haram. Kalau saja ayat yang paling pertama turun mengatakan "Jangan minum
khamar!", mereka akan mengatakan "Kami tidak akan meninggalkan khamar
selama-lamnya!". Dan kalau saja ayat yang paling pertama turun mengatkan
"Jangan kalian berzina!", mereka akan mengatakan "Kami tidak
akan meninggalkan perzinaan selamanya!"". [Shahih Bukhari]
c)
Sebagai ujian untuk menampakkan mana yang beriman dan
mana yang tidak beriman.
Allah subhanahu wa ta'aalaa
berfirman:
{وَإِذَا بَدَّلْنَا
آيَةً مَكَانَ آيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ
مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ} [النحل:
101]
Dan apabila kami letakkan suatu ayat di
tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa
yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang
mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
[An-Nahl:101]
8.
Ulama berselisih
pendapat tentang ayat ini, apakah sudah dinasakh atau masih tetap berlaku?
Beberapa sahabat Nabi, seperti Ibnu Umar,
Salamah bin Al-Akwa’ dan yang lainnya -radhiyallahu ‘anhum- berpendapat
bahwa ayat 184 surah Al-Baqarah sudah dinasakh.
Sedangkan Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu
‘anhuma- berpendapat bahwa ayat ini masih berlaku, akan tetapi khusus bagi
orang yang sudah tua atau sejenisnya.
‘Atha’ rahimahullah mendengar Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu
‘anhuma- membaca:
{وَعَلَى الَّذِينَ
يُطَوَّقُونَهُ} فَلاَ يُطِيقُونَهُ {فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ}
"Dan bagi orang-orang yang berat
menjalankannya kemudian tidak mampu maka wajib membayar fidyah yaitu memberi
makan orang miskin"
Ibnu
Abbas berkata:
«لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ
هُوَ الشَّيْخُ الكَبِيرُ، وَالمَرْأَةُ الكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ
يَصُومَا، فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا» [صحيح البخاري]
Ayat ini tidak dimanshukh, namun ayat ini
hanya untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu
menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang
miskin.' [Shahih Bukhari]
Ø Dalam riwayat lain, Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-
berkata:
«أُثْبِتَتْ لِلْحُبْلَى
وَالْمُرْضِعِ»
“Ayat
ini (Al-Baqarah: 184) tetap
bagi wanita hamil dan menyusui”. [Sunan Abi Daud: Shahih]
9.
Hukum
puasa bagi orang yang sudah tua (jompo), dan orang sakit yang tidak ada harapan
sembuh.
Ulama sepakat bahwa orang tua yang jompo
dan tidak mampu berpuasa boleh untuk tidak berpuasa Ramadhan dan mereka tidak
wajib mengqadha’.
Namun kemudian berselisih, apakah wajib
membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya atau
tidak.
Jumhur ulama berpendapat wajib membayar
fidyah, dengan dalil penafsiran Ibnu Abbas -radhiyallahu
‘anhuma-.
Sedangkan imam Malik berpendapat bahwa
tidak wajib fidyah, akan tetapi dianjurkan.
Orang sakit yang tidak ada harapan sembuh
hukumnya sama seperti orang tua jompo.
10.
Hukum
puasa bagi wanita hamil dan menyusui.
Tidak
ada perselisihan bolehnya tidak puasa bagi wanita hamil jika khawatir akan
janinnya dan yang menyusui khawatir terhadap bayinya kekurangan air susu.
Dari Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu-; Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ المُسَافِرِ
الصَّوْمَ، وَشَطْرَ الصَّلَاةِ، وَعَنِ الحَامِلِ أَوِ المُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ
الصِّيَامَ [سنن الترمذي: صححه الشيخ الألباني]
“Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak mewajibkan puasa atas
musafir dan memberi keringanan separoh shalat untuknya, dan juga memberi
keringan bagi wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa". [Sunan
Tirmidziy: Shahih]
Akan tetapi yang diperselisihkan ulama adalah apa yang
wajib dilakukan oleh mereka jika meninggalkan puasa?
Pendapat pertama: Keduanya wajib
mengqadha’ puasa dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ia
tinggalkan.
Ini adalah pendapat imam Malik, Syafi’iy, dan Ahmad rahimahumullah.
Dan menurut madzhab Syafi’iy dan Hambaliy: Jika keudanya meninggalkan puasa
karena khawatir atas diri mereka maka cukup mengqadaha’ puasa saja.
Pendapat kedua: Keduanya hanya wajib
mengqhada’.
Ini adalah madzhab Al-Auza’iy, Ats-Tsauriy, Abu
Hanifah dan pengikutnya, Abu Tsaur, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah.
Alasannya; Karena dalam hadits Anas, wanita hamil dan
menyusui diikutkan pada orang yang bepergian jauh jika tidak berpuasa maka
wajib mengqadah’ saja.
Pendapat ini dibantah dengan alasan:
a.
Bahwa kewajiban mengqadha’ bagi orang yang
musafir disebutkan dalam dalil lain (Al-Baqarah: 184 dan 185), sedangkan wanita
hamil dan menyusui tidak ada perintah mengqadaha’ dari dalil lain.
b.
Dan orang yang bepergian jauh jika mengqashar
shalatnya tidak diperintahkan untuk mengulangi shalatnya setelah kembali. Maka
demikian pula wanita hamil dan menyusui tidak diperintahkan untuk mengqadha’.
Pendapat ketiga: Keduanya wajib
memberi makan saja dan tidak mengqadha’.
Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu Umar -radhiyallahu
‘anhum-,
dan madzhab Ishaq bin Rahawaih. Dan dipilih oleh syekh Albaniy rahimahumullah.
Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- berkata:
رُخِّصَ
لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْعَجُوزِ الْكَبِيرَةِ فِي ذَلِكَ وَهُمَا يُطِيقَانِ
الصَّوْمَ أَنْ يُفْطِرَا إِنْ شَاءَا أَوْ يُطْعِمَا كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِمَا ثُمَّ نُسِخَ ذَلِكَ فِي هَذِهِ الْآيَةِ {فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} [البقرة: 185] وَثَبَتَ
لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْعَجُوزِ الْكَبِيرَةِ إِذَا كَانَا لَا يُطِيقَانِ
الصَّوْمَ وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ إِذَا خَافَتَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا
كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا [المنتقى لابن
الجارود: صحيح]
“Diberi keringanan bagi kakek tua dan nenek tua dalam ayat itu
sekalipun mereka mampu berpuasa untuk meninggalkan puasa jika keduanya mau dan
keduanya memberi makan satu orang miskin untuk setiap harinya dan tidak ada
qadha bagi keduanya, kemudian ayat itu dinasakh pada ayat ini {Karena
itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu} [Al-Baqarah: 185] dan hukumnya tetap bagi
kakek tua dan nenek tua jika tidak mampu berpuasa, begitu pula bagi wanita
hamil dan menyusui jika keduanya khawatir maka keduanya berbuka dan memberi
makan satu orang miskin untuk setiap hainya”. [Al-Muntaqa karya Ibnul Jaruud:
Shahih]
Ø
Dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu
‘anhuma-,
bahwasanya ia memerintahkan budaknya yang sedang hamil untuk meninggalkan puasa
di bulan Ramadhan seraya berkata:
«أَنْتِ
بِمَنْزِلَةِ الْكَبِيرِ لَا يُطِيقُ الصِّيَامَ، فَأَفْطِرِي، وَأَطْعِمِي عَنْ
كُلِّ يَوْمٍ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ حِنْطَةٍ» [مصنف عبد الرزاق الصنعاني: إسناده صحيح]
“Engkau seperti orang tua yang tidak mampu berpuasa,
maka berbukalah dan berilah makan untuk setiap harinya seperdua sha’ dari
gandum”. [Mushannaf Abdurrazaq: Sanadnya shahih]
Ø
Nafi’ rahimahullah berkata:
«كَانَتْ
بِنْتٌ لِابْنِ عُمَرَ تَحْتَ رَجُلٍ مِنْ قُرَيْشٍ وَكَانَتْ حَامِلًا
فَأَصَابَهَا عَطَشٌ فِي رَمَضَانَ , فَأَمَرَهَا ابْنُ عُمَرَ أَنْ تُفْطِرَ
وَتُطْعِمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا» [سنن الدارقطني: إسناده صحيح]
“Putri Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhuma- dinikahi oleh
seorang lelaki Quraisy, dan ia sedang hamil dan merasa kehausan di bulan
Ramadhan, maka Ibnu Umar memerintahkannya untuk berbuka dan memberi makan
seorang miskin untuk setiap harinya”. [Sunan Ad-Daraquthniy: Sanadnya shahih]
Pendapat keempat: Wajib qadha bagi
wanita hamil, sedangkan wanita menyusui wajib qadha’ dan memberi makan.
Ini adalah madzab Malik rahimahullah, dan salah
satu pendapat dalam madzhab Syafi’iyah.
Pendapat kelima: Keduanya tidak wajib
qadha dan tidak wajib memberi makan.
Ini adalah madzhab Ibnu Hazm rahimahullah,
dengan alasan: Jika Allah menggugurkan kewajiban puasa bagi mereka maka
mewajibkan qadha’ bagi mereka adalah syri’at yang tidak diizinkan oleh Allah
ta’aalaaa, sedangkan Allah tidak mewajibkan qadha’ keduali kepada orang yang
sakit, musafir, haid, nifas, dan sengaja muntah. Adapun mewajibkan mereka
memberi makan, maka tidak boleh seseorang mewajibkan denda kepada seseorang
tanpa adalah dalil nash ataupun ijma’.
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat ketiga, karena pendapat
dua Sahabat Nabi dan tidak ditemukan pendapat lain yang menyelisihi dari
kalangan Sahabat. Dan penafsiran Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- terhadap
ayat dikategorikan hadits mauquf yang memiliki derajat marfu’ dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam.
Wallahu a’lam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...