بسم
الله الرحمن الرحيم
A. Penjelasan pertama:
Imam
Bukhari rahimahullah berkata:
بَابُ إِذَا نَوَى بِالنَّهَارِ
صَوْمًا
Bab: Jika berniat puasa di siang hari
Maksudnya,
apakah boleh hukumnya seseorang berniat puasa di siang hari, atau tidak boleh,
atau ada rincian dalam masalah ini?
Dalam
bab ini Imam Bukhari menyebutkan 5 atsar Sahabat -radhiyallahu ‘anhum- secara
mu’allaq (tanpa sanad) dan 1 hadits Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam secara muttashil
(sanad bersambung) dari Salamah bin Al-Akwa’ -radhiyallahu ‘anhu-,
yang menunjukkan bolehnya memulai niat puasa di siang hari.
Imam
Bukhari -rahimahullah- berkata:
وَقَالَتْ أُمَّ الدَّرْدَاءِ: كَانَ
أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُولُ: «عِنْدَكُمْ طَعَامٌ؟» فَإِنْ قُلْنَا: لاَ، قَالَ:
«فَإِنِّي صَائِمٌ يَوْمِي هَذَا». وَفَعَلَهُ أَبُو طَلْحَةَ، وَأَبُو
هُرَيْرَةَ، وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَحُذَيْفَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
“Dan Ummu Ad-Dardaa’ berkata: Abu Ad-Dardaa’ pernah bertanya: “Apakah
kalian punya makanan?” Jika kami menjawab: Tidak ada, ia berkata: “Maka saya
berpuasa pada hari ini”. Hal ini juga dilakukan oleh Abu Thalhah, Abu Hurairah,
Ibnu ‘Abbas, dan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhum.”
Atsar pertama: Dari Abu
Ad-Dardaa’ (‘Uwaimir bin Zayd Al-Anshariy) radhiyallahu ‘anhu.
Diriwayatkan
oleh Abdurrazzaq dalam “Al-Mushannaf” 4/272-273 no.7774-7776, Ibnu
Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya 2/292 no.9109, Sufyan bin Ya’qub
dalam “Al-Ma’rifah” 2/66, dan Al-Baihaqiy dalam “As-Sunan Al-Kubraa”
4/342 no.7919:
قَالَتْ أُمّ الدَّرْدَاءِ: كَانَ
أَبُو الدَّرْدَاءِ يَغْدُو أَحْيَانًا، فَيَجِيءُ فَيَسْأَلُ الْغَدَاءَ،
فَرُبَّمَا لَمْ يُوَافِقْهُ عِنْدَنَا، فَيَقُولُ: «إِنِّي إِذًا صَائِمٌ»
Ummu
Ad-Dardaa’ (Hujaimah) berkata: Abu Ad-Dardaa’ terkadang datang kemudian menanyakan makana
siang, dan terkadang ia tidak mendapatkan makanan pada kami, maka ia berkata:
“Kalau begitu aku berpuasa”.
Lafadz
riwayat Sufyan dan Al-Baihaqiy:
أَنَّ أَبَا الدَّرْدَاءِ كَانَ
يَجِيءُ بَعْدَمَا يُصْبِحُ، فَيَقُولُ: " أَعِنْدَكُمْ غَدَاءٌ؟ فَإِنْ لَمْ
يَجِدْهُ، قَالَ: " فَأَنَا إِذًا صَائِمٌ "
Abu
Ad-Dardaa’ kadang datang setelah subuh, kemudian bertanya: “Apakah kalian punya
makanan?” Maka jika ia tidak mendapatkna makanan, ia berkata: “Kalau begitu aku
berpuasa”.
Atsar kedua: Dari Abu Thalhah (Zayd bin Sahl Al-Anshariy)
radhiyallahu ‘anhu.
Diriwayatkan
oleh Abdurrazzaq dalam “Al-Mushannaf” 4/273 no.7777, dan Ibnu Abi
Syaibah dalam Mushannaf-nya 2/291 no.9107,
عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ أَبَا طَلْحَةَ
كَانَ يَأْتِي أَهْلَهُ فَيَقُولُ: «هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ غَدَاءٍ؟» فَإِنْ
قَالُوا: لَا، قَالَ: «فَإِنِّي صَائِمٌ» «وَإِنْ كَانَ عِنْدَهُمْ
أَفْطَرَ»
Dari
Anas; Bahwasanya Abu Thalhah pernah menemui istrinya dan bertanya: “Apakah
kalian punya makanan?” Jika mereka menjawab: Tidak ada, maka Abu Thalhah
berkata: “Maka saya puasa hari ini”. Dan jika mereka punya makanan maka ia
makan.
Atsar ketiga: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Diriwayatkan
oleh Abdurrazzaq dalam “Al-Mushannaf” 4/274 no.7781,
قال عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مِهْرَانَ:
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ، وَأَبَا طَلْحَةَ كَانَا يُصْبِحَانِ مُفْطِرَيْنِ،
فَيَقُولَانِ: «هَلْ مِنْ طَعَامٍ؟ فَيَجِدَانِهِ، أَوْ لَا يَجِدَانِهِ
فَيُتِمَّانِ ذَلِكَ الْيَوْمَ»
‘Ubaidullah
bin Mihran berkata: “Bahwasanya Abu Hurairah dan Abu Thalhah kadang berada di
pagi hari tanpa niat puasa, kemudian mereka bertanya: Apakah ada makanan? Maka
terkadang mereka dapat makanan, dan terkadang tidak mendapatkan maka keduanya
berpuasa pada hari itu.”
Diriwayatkan
juga oleh Abu Nu’aim dalam “Hilyatul Auliyaa’” 1/382, dan Al-Baihaqiy
dalam “As-Sunan Al-Kubraa” 4/342 no.7918:
قَالَ سَعِيد بْن الْمُسَيِّبِ:
رَأَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَطُوفُ بِالسُّوقِ ثُمَّ يَأْتِي أَهْلَهُ فَيَقُولُ:
«هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ شَيْءٍ» فَإِنْ قَالُوا: لَا، قَالَ: «فَإِنِّي صَائِمٌ»
Sa’id
bin Al-Musayyab berkata: Aku melihat Abu Hurairah berkeliling pasar kemudian ia
menemui istrinya dan bertanya: Apakah kalian punya seseuatu untuk dimakan? Jika
mereka menjawab: Tidak ada, maka Abu Hurairah berkata: “Maka saya berpuasa hari
ini”.
Atsar keempat: Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Diriwayatkan
oleh Ath-Thahawiy dalam “Syarh Ma’aniy Al-Atsar” 2/56 no.3188,
عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّهُ كَانَ يُصْبِحُ حَتَّى يُظْهِرَ، ثُمَّ يَقُولُ: " وَاللهِ لَقَدْ
أَصْبَحْتُ وَمَا أُرِيدُ الصَّوْمَ، وَمَا أَكَلْتُ مِنْ طَعَامٍ وَلَا شَرَابٍ
مُنْذُ الْيَوْمِ، وَلَأَصُومَنَّ يَوْمِي هَذَا " .
Dari
‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas; Bahwasanya suatu hari ia berada di pagi hari
sampai dzuhur, kemudian berkata: “Demi Allah, aku pernah berada waktu
pagi dan aku tidak ingin puasa, dan aku belum makan dan minum sejak awal hari
itu, maka saya berniat akan berpuasa pada hari itu”.
Atsar kelima: Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya 2/290 no.9091, Ath-Thahawiy
dalam “Syarh Ma’aniy Al-Atsar” 2/56 no.3184, dan Ad-Daraquthniy dalam
Sunan-nya 5/252-253 no.4272-4273:
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السلمي:
«أَنَّ حُذَيْفَةَ بن اليمان -رضي الله عنه- بَدَا لَهُ فِي الصَّوْمِ بَعْدَ مَا
زَالَتِ الشَّمْسُ فَصَامَ»
Dari
Abu Abdirrahman As-Sulamiy: “Bahwasanya Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu
‘anhu baru mulai berniat puasa setelah matahari tergelincir maka ia
menyempurnakan puasanya”.
Ada juga atsar yang semakna dari Sahabat yang lain:
Dari
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu: Diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya 2/291-292 no.9108 dan 9110:
عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ
مُعَاذٍ، أَنَّهُ كَانَ يَأْتِي أَهْلَهُ بَعْدَ الزَّوَالِ، فَيَقُولُ:
«عِنْدَكُمْ غَدَاءٌ؟»، فَيَعْتَذِرُونَ إِلَيْهِ، فَيَقُولُ: «إِنِّي صَائِمٌ
بَقِيَّةَ يَوْمِي»، فَيُقَالُ لَهُ: تَصُومُ آخِرَ النَّهَارِ؟، فَيَقُولُ: «مَنْ
لَمْ يَصُمْ آخِرَهُ لَمْ يَصُمْ أَوَّلَهُ»
Dari
Al-‘Alaa’ bin Al-Harits, dari Mu’adz; Bahwasanya ia menemui istrinya setelah
matahari tergelincir dan bertanya: Apakah kalian punya makan siang? Lalu
istrinya meminta maaf kepadanya karna tidak ada makanan, maka Mu’adz berkta:
“Aku akan berpuasa pada sisa hariku ini”. Lalu ada yang bertanya kepadanya:
Apakah kamu baru berniat puasa di akhir siang? Maka Mu’adz menjawab: “Siapa
yang tidak berpuasa pada akhir harinya, maka ia tidak berpuasa pada awalnya”.
B.
Penjelasan
ketujuh.
Adapun
hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari -rahimahullah- dengan sanadnya
dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
1824 - حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ [الضحاك بن مخلد النبيل البصري]، عَنْ
يَزِيدَ بْنِ أَبِي عُبَيْدٍ [أبو خالد الأسلمي مولى سلمة بن الأكوع]، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا يُنَادِي
فِي النَّاسِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ «إِنَّ مَنْ أَكَلَ فَلْيُتِمَّ أَوْ فَلْيَصُمْ،
وَمَنْ لَمْ يَأْكُلْ فَلاَ يَأْكُلْ»
Telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim [Adh-Dhahak bin Maklad An-Nabiil Al-Bashriy],
dari Yazid bin Abu 'Ubaid [Abu Khalid mantan budak Salam bin Al-Akwa'], dari Salamah bin Al Akwa' radhiyallahu
'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengutus seseorang
untuk menyeru manusia pada hari 'Asyura', bila ada seseorang yang sudah
terlajur makan maka hendaklah ia meneruskan puasanya atau hendaklah ia
berpuasa, dan barangsiapa yang belum makan maka hendaklah ia tidak makan
(maksudnya teruskan berpuasa) ".
Penjelasan singkat
hadits ini:
1.
Biografi Salamah bin Al-Akwa’.
Namanya: Salamah bin ‘Amr bin Al-Akwa’
(Sinan) bin Abdillah Al-Aslamiy, Abu Muslim Al-Madaniy radhiyallahu ‘anhu.
Wafat tahun 74 hijriyah di Madinah.
Beberapa keistimewaan Salamah
disebutkan dalam satu hadits:
Salamah radhiyallahu ‘anhu berkata:
"Kami pernah ikut perang bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam ke Hudaibiyah, pada saat itu kami berjumlah seratus empatbelas
orang, dan kami hanya membawa lima puluh ekor kambing, sehingga air susu
kambing sejumlah itu tidak cukup untuk kami minum. Setelah itu, Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam duduk di dekat sumur sambil berdo'a atau meludahinya.
Berkat do'a yang dibacakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
kepada air susu kambing tersebut, maka kami semua dapat meminum air susu dengan
sepuas-puasnya.
[1. Diminta berbaikat 3 kali]
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
mengajak kami untuk berbai'at kepada beliau di bawah pohon. Aku berbaiat
kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada rombongan pertama.
Kemudian beliau terus menerima pembaiatan dari para sahabat yang hadir pada
saat itu. Ketika sampai pada rombongan yang berada di tengah, Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda kepadaku:
«بَايِعْ يَا سَلَمَةُ»
"Barbaiatlah wahai Salamah."
Aku pun berkata kepada beliau, "Aku
telah berbaiat kepada anda pada rombongan pertama wahai Rasulullah."
Namun beliau justru bersabda kepadaku: «وَأَيْضًا» "Berbaiatlah lagi waahi Salamah."
Aku akhirnya menuruti permintaan beliau.
Ketika beliau melihat aku tidak membawa
senjata sama sekali, maka Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam memberikan tameng atau perisai kepadaku.
Selanjutnya beliau menerima pembaiatan lagi dari rombongan yang terakhir. Pada
saat itu, beliau kembali bertanya kepada aku:
«أَلَا تُبَايِعُنِي يَا
سَلَمَةُ؟»
"Mengapa kamu tidak ikut berbaiat
kepadaku wahai Salamah?"
Aku menjawab, "Aku telah berbaiat
kepadamu wahai Rasulullah, bahkan tadi aku telah berbaiat kepada anda hingga
dua kali, yaitu pada rombongan pertama dan rombongan pertengahan."
Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: «وَأَيْضًا» "Berbaiatlah sekali lagi wahai Salamah!"
Akhirnya aku ikut berbaiat kepada beliau
untuk yang ketiga kalinya.
Selesai berbaiat, Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bertanya kepadaku:
«يَا سَلَمَةُ، أَيْنَ
حَجَفَتُكَ - أَوْ دَرَقَتُكَ - الَّتِي أَعْطَيْتُكَ؟»
"Wahai Salamah, mana tameng atau
perisai yang aku berikan kepadamu?"
Aku mencoba menjelaskan pertanyaan beliau,
"Wahai Rasulullah, tadi aku bertemu dengan pamanku, Amir, ternyata dia
juga tidak mempunyai senjata sama sekali, maka tameng itu aku berikan
kepadanya."
Mendengar penjelasan itu, Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam tersenyum sambil bersabda:
" إِنَّكَ كَالَّذِي
قَالَ الْأَوَّلُ: اللهُمَّ أَبْغِنِي حَبِيبًا هُوَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي
"
"Sesungguhnya kamu seperti apa yang
dikatakan oleh orang-orang dahulu, 'Ya Allah, ya Rabbku, berikanlah aku seorang
kekasih yang lebih aku cintai daripada diriku sendiri'."
Beberapa hari kemudian, kaum Musyrikin
mengajak kami berdamai dengan cara mengirim kurir terlebih dahulu. Setelah
mengalami proses yang tidak begitu lama, akhirnya kami sepakat untuk berdamai.
[4. Mengorbankan segalanya demi hijrah]
Dahulu aku adalah pelayan Thalhah bin
Ubaidillah, tugasku memberi minum kuda dan memandikannya. Sebagai imbalan dari
pelayanannya tersebut, aku mendapatkan makan darinya. Aku memang bertekat untuk
meninggalkan keluarga dan hartaku untuk berhijrah di jalan Allah dan
Rasul-Nya.
[5. Marah jika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dihina]
Ketika kesepakatan perjanjian damai antara
kami dengan penduduk Makkah telah terjalin, hingga kami sudah bisa saling berbaur,
maka suatu hari aku pergi menuju pepohonan untuk beristirahat di bawahnya. Pada
saat berbaring di bawah pohon itulah, tiba-tiba datang empat orang Musyrikin
dari peduduk kota Makkah yang tengah menggunjing Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam hingga membuat aku geram terhadap mereka. Lalu aku
pidah ke batang pohon lainnya sambil melihat mereka menggantungkan senjatanya
dan setelah itu mereka tertidur. Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara
orang yang menyeru dari dasar jurang, "Hai kaum Muhajirin, Ibnu Zunaim
telah terbunuh."
Seketika itu juga aku cabut pedangku
kemudian aku ikat keempat orang musyrikin yang tengah tidur tersebut, aku ambil
senjata mereka. Setelah itu aku berkata kepada mereka, 'Demi dzat yang telah
memuliakan wajah Muhammad, barangsiapa ada di antara kalian berani mengangkat
kepalanya, maka akan kutebas lehernya.'
Akhirnya keempat orang kafir Qurasiy
tersebut aku giring ke hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Pada saat yang bersamaan aku melihat Amir, paman aku. Ternyata dia juga tengah
menggiring seorang laki-laki Quraisy yang bernama Mikraz untuk diajukan ke
hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Lelaki Quraisy yang
bernama Mikraz tersebut dibiarkan mengendarai seekor kuda yang ternyata diikuti
sekitar tujuh puluh orang musyrikin dari anak buahnya. Sejenak Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam memandangi mereka sambil bersabda:
«دَعُوهُمْ، يَكُنْ
لَهُمْ بَدْءُ الْفُجُورِ، وَثِنَاهُ»
"Biarkanlah mereka, karena mereka akan
menaggung kezalimannya dari awal sampai akhir."
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam memaafkan mereka, maka Allah menurunkan ayat:
{وَهُوَ الَّذِي كَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ
وَأَيْدِيَكُمْ عَنْهُمْ بِبَطْنِ مَكَّةَ مِنْ بَعْدِ أَنْ أَظْفَرَكُمْ
عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرًا}
[الفتح: 24]
'(Dan Dialah yang menahan tangan mereka
dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka
di tengah kota Makkah setelah Allah memenangkan kamu atas mereka, dan Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan) ' (Qs. Al Fath: 24).
[6. Mendapatkan permohonan ampun dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam]
Setelah kejadian itu, kami kembali pulang
bersama-sama ke kota Madinah dengan membawa kemenangan. Namun sebelumnya, kami
berhenti di suatu tempat. Sedangkan jarak kami dengan Bani Lihyan saat itu
hanya dipisahkan oleh gunung, menurut informasi yang aku ketahui, kaum Bani
Lihyan juga termasuk dari orang-orang Musyrik. Kemudian Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam menyatakan bahwa beliau akan memohonkan ampunan bagi
seseorang yang sanggup mendaki gunung tersebut pada malam hari. Memang,
gunung yang ada di hadapan mereka itu seakan-akan sedang menantang Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam dan para sahabat yang hadir saat itu.
Pada malam itu juga, aku berhasil mendaki
gunung tersebut sebanyak dua atau tiga kali.
Akhirnya kami tiba di kota Madinah. Lalu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutus Rabah -pelayan beliau-
untuk mengawal unta yang tengah membawa muatan yang cukup besar, lalu aku juga
ikut menyertai Rabbah dengan menaiki kuda milik Thalhah. Keesokan harinya, aku
mendengar informasi bahwa Abdurrahman Al Fazari hendak mencegat rombongan kami.
Ternyata informasi itu benar, Abdurrahman dapat menawan unta Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam beserta muatannya. Bahkan kami dengar, dia berhasil
membunuh orang yang mengendarai unta tersebut. Saat itu aku telah
mengatakannya kepada Rabah, 'Wahai Rabbah, ambillah kuda ini dan serahkanlah
kepada Thalhah bin Ubaidullah, jangan sampai lupa, beritahukan kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bahwa orang-orang Musyrikin telah menawan
rombongan unta yang beliau utus.'
Setelah itu, aku naik ke atas bukit, sambil
menghadap kota Madinah, aku berteriak dengan suara lantang, 'Wahai para
penduduk! ' Sebanyak tiga kali berturut-turut. Kemudian aku turun dari atas
bukit sambil terus melepaskan anak panah ke arah sasaran musuh, sementara itu
untuk menghibur hati, aku bersenandung, 'Aku adalah putra Al Akwa', hari ini
adalah hari kebinasaan! '
Dalam perjelanan mengejar musuh, aku
bertemu seorang laki-laki dari kaum Musyrikin. Lalu aku mulai membidikkan anak
panah ke arahnya. Tidak lama kemudian, aku berhasil menancapkan sebatang anak
panah tepat mengenai bahunya, dari kejauhan aku katakan kepadanya: 'Rasakanlah
anak panah itu, aku adalah putra Al Akwa', hari ini adalah hari
kebinasaan'."
Salamah berkata, "Demi Allah, aku
tetap terus melancarkan anak panah ke arah musuh. Tiba-tiba dari arah depan,
aku melihat seorang musuh yang sedang menunggang kuda menuju ke arahku. Lalu
aku bersembunyi di balik pohon yang rimbun. Begitu musuh yang menunggang kuda
itu melintas, segera aku melepaskan anak panahku hingga berhasil melukainya.
Tidak beberapa lama, datang lagi beberapa pasukan musuh. Namun seperti
sebelumnya, aku langsung memanjat ke atas bukit. Dari atas bukit tersebut aku
berupaya menahan laju mereka dengan cara melemparkan bebatuan ke arah mereka,
dan ternyata cara tersebut berhasil. Mereka mundur secara teratur dan
membiarkan aku terus mengejarnya. Karena merasa keberatan dengan beban yang
mereka bawa, akhirnya mereka menjatuhkan sebagian besar perbekalan mereka dari
unta Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang mereka ambil, agar
lebih ringan dan dapat melarikan kendaraannya. Aku pun terus mengikuti laju
mereka sambil melemparkan anak panah. Aku juga membuat jejak di jalan-jalan
dengan bebatuan supaya dapat diketahui oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam dan para sahabatnya, dari apa yang telah aku lakukan terhadap
musuh-musuh tersebut. Dengan berhimpit-himpitan, pasukan kaum Musyrikin
berusaha turun dari bukit dengan melewati jalan sempit yang ada di bukit.
Untungnya, Fulan bin Badri Al Fazari telah siap menanti di bawah untuk membantu
mereka. Kemudian mereka duduk sambil beristirahat karena kelelahan, sementara
aku duduk di atas bukit. Dari atas bukit, aku mendengar Al Fazari bertanya
kepada teman-temannya yang baru saja turun dari bukit, 'Ada apa ini? Apa yang
telah terjadi pada kalian? '
Mereka menjawab, 'Kami telah mengalami
kepayahan, demi Allah, tidaklah kami melalui akhir malam, melainkan kami selalu
dihujani anak panah, sehingga kami membuang sebagian besar perbekalan kami.'
Lalu Al Fazari memerintahkan empat orang
dari mereka untuk menghadapiku, akhirnya keempat orang tersebut bergegas naik
ke atas bukit untuk menghadapiku. Ketika jarak antara aku dengan mereka sudah
semakin dekat, hingga memungkinkan mereka mendengar suara aku, maka aku
berseru, "Hai kalian berempat, apakah kalian mengenalku? '
Mereka menjawab, 'Tidak, kami tidak
mengenalmu, siapa sebenarnya kamu? '
Aku menjawab, 'Aku adalah Salamah bin Al
Akwa', demi dzat yang memuliakan wajah Muhammad, aku tidak akan membiarkan
kalian hidup, mungkin begitu pula dengan kalian yang tidak mungkin membiarkan
aku hidup.'
Lalu aku mendengar salah seorang dari
keempat orang tersebut menjawab seperti yang aku katakan. Belum sampai aku
pindah tempat, tiba-tiba aku melihat beberapa orang sahabat Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam yang tengah mengendarai kuda keluar dari balik semak-semak
pepohonan menuju arah tempat aku berada."
Salamah berkata, "Pertama kali yang
aku lihat adalah Akhram Al-Asdiy, disusul oleh Abu Qatadah Al-Anshariy. Setelah
itu, muncullah Miqdad bin Al-Aswad Al-Kindiy."
Salamah melanjutkan, "Lalu aku
memegang tali kekang kuda milik Akhram, ternyata mereka bergegas hendak maju
membantu aku, segera aku berkata, "Wahai Akhram, hati-hatilah terhadap
mereka, jangan sampai mereka melukai atau mencelakaimu, hingga datang bala bantuan
dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat yang
lain."
Dia menjawab, "Wahai Salamah, jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Allah dan hari Kiamat, serta kamu
yakin bahwa surga dan neraka itu sesuatu yang benar, maka janganlah kamu
menghalangiku untuk memperoleh syahid."
Salamah berkata, "Kemudian aku
membiarkannya maju untuk bertempur satu lawan satu, lalu Abdurrahman maju ke
hadapan menghadapi Akhram, pada awalnya dia dapat melukai kuda Abdurrahman,
namun akhirnya Abdurrahman dapat menikam Akhram hingga dia gugur. Abdurrahman
lantas menaiki kudanya. Setelah itu, majulah Abu Qatadah -prajurit penunggang
kuda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam- menghadapi Abdurrahman.
Lalu Abu Qatadah dapat menikam Abdurrahman dan membunuhnya, demi Dzat Yang
memuliakan wajah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, aku terus
membuntuti mereka dengan berjalan kaki hingga tak kulihat satupun sahabat
Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan tidak juga debunya. Menjelang
matahari terbenam, mereka menuju ke jalan di bukit yang terdapat mata airnya
bernama Dzu Qarad, untuk mereka minum karena kehausan."
Salamah berkata, "Kemudian mereka
melihatku berlari membuntuti mereka, kuhalangi mereka dari telaga itu sehingga
mereka tak bisa meneguk setetes air. Lantas mereka meninggalkan tempat tersebut
dengan bersusah payah menyusuri lereng-lereng bukit."
Salamah melanjutkan, "Lalu aku berlari
dan menjumpai seseorang dari mereka, lantas kutusuk dengan anak panah tepat
mengenai ujung tulang bahu. Lalu kukatakan dengan nada mengejek, 'Coba kau
cabut anak panah yang kutusukkan, aku adalah putra Al Akwa', hari ini adalah
hari kebinasaan.'
Sang musuh berujar, 'Pagi yang sial,
betulkah kamu Akwa'? '
Aku menjawab, 'Betul hai musuh Allah,
akulah Akwa' yang pagi dini membawa kesialan bagimu.'
Akwa' meneruskan, "Musuh mencelakai
dua ekor kudanya di lereng gunung. Kugiring keduanya kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam. Amir menyusulku dengan membawa geriba kulit berkantung
dua, satu berisi susu campuran, dan satunya berisi air murni. Aku berwudhu dan
minum, lantas kutemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang
beliau tengah berada di sumber air yang kuhalangi musuh meminumnya. Ternyata
Rasulullah telah mengambil seluruh unta dan segala yang kuselamatkan dari
pasukan musyrik, juga tombak dan kain burdah. Saat itu, Bilal telah menyembelih
seekor unta dari beberapa unta yang aku selamatkan dari orang Musyrik, kemudian
dia mengambil hatinya dan punuknya dan membakarnya, setelah itu ia
mempersembahkannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam."
Salamah melanjutkan, 'Aku berkata, 'Wahai
Rasulullah, biarkanlah aku memilih seratus orang dari pasukan musuh, kemudian
aku mengikuti mereka hingga tidak ada lagi yang menginformasikan posisi kita
melainkan aku tebas batang lehernya'."
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam tersenyum sehingga gigi geraham beliau terlihat jelas siang hari itu.
Kemudian beliau bertanya:
«يَا سَلَمَةُ، أَتُرَاكَ
كُنْتَ فَاعِلًا؟»
"Wahai Salamah, apakah kamu telah siap
dengan apa yang akan kamu lakukan itu?"
Aku menjawab, "Tentu, demi Dzat Yang
telah memuliakan anda."
Selanjutnya beliau bersabda:
«إِنَّهُمُ الْآنَ لَيُقْرَوْنَ
فِي أَرْضِ غَطَفَانَ»
"Ketahuilah wahai Salamah, sesungguhnya
mereka sekarang sedang berada di wilayah kekuasaan orang-orang Ghathafan."
Salamah berkata, "Lalu datanglah
seorang laki-laki dari Ghathafan seraya berkata, "Si fulan telah
menyembelih unta untuk mereka, ketika mereka menguliti hewan tersebut, tiba-tiba
mereka melihat debu mengepul, hingga mereka lari terbirit-birit."
Keesokan harinya Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
«كَانَ خَيْرَ
فُرْسَانِنَا الْيَوْمَ أَبُو قَتَادَةَ، وَخَيْرَ رَجَّالَتِنَا سَلَمَةُ»
"Sebaik-baik prajurit penunggang
kuda saat ini adalah Abu Qatadah, sedangkan sebaik-baik prajurit pejalan kaki
adalah Salamah."
Kemudian Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam memberikan dua bagian kepadaku, yaitu; Bagian untuk
pasukan berkuda dan bagian untuk pejalan kaki, dan beliau menggabungkannya
untukku menjadi satu.
[8. Pernah dibonceng oleh Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam]
Kemudian kami kembali ke Madinah dan aku
membonceng di belakang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
dengan menaiki Adzba`."
[9. Larinya cepat]
Salamah berkata, "Ketika kami berada
di tengah jalan, -Salamah berkata- ada seorang sahabat Anshar yang mengajak
kami untuk lomba lari cepat. Lalu sahabat Anshar itu berkata, 'Tidakkah ada
orang yang mau berlomba lari menuju Madinah? '
Dan ia mengulanginya sampai beberapa kali.
Setelah aku mendengar perkataannya, aku berkata, 'Apakah kamu hendak memuliakan
orang yang mulia, ataukah hendak memperoleh wibawa di hadapan orang yang
terpandang? '
Dia menjawab, "Tidak, namun untuk
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam."
Salamah melanjutkan, "Aku berkata,
"Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku, biarkanlah aku melayani tantangan
lomba lari laki-laki itu!"
Beliau menjawab: «إِنْ شِئْتَ» "Silahkan jika kamu mau."
Salamah berkata, "Ayo mulai."
Lalu aku berlari dengan kakiku, memang aku
sengaja membiarkan dia hingga ia mendaki satu atau dua bukit, sebab aku
khawatir akan kehabisan tenaga, kemudian aku berlari melewati jejaknya dan aku
masih membiarkan dia mendaki satu atau dua bukit. Kemudian aku pacu lagi lariku
sekencang-kencangnya sehingga aku dapat menjumpainya. Kemudian aku menepuk di
antara pundaknya."
Salamah melanjutkan, "Aku berkata,
'Demi Allah, kamu telah didahului'."
Iya berkata; Aku kira demikian.
Salamah berkata- "Aku telah
mendahuluinya ke Madinah." [Shahih Muslim]
2.
Siapakah sahabat yang diutus oleh Nabi dalam hadits ini?
Dari Asma' bin Haritsah Al-Aslamiy radiyallahu
'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutusnya kepada
kaumnya, Rasulullah bersabda:
"
مُرْ قَوْمَكَ بِصِيَامِ هَذَا الْيَوْمِ "
"Perintahkan kaummu untuk menjalankan puasa pada hari
ini (Asyura')!"
Asma' berkata: Bagaimana jika aku mendapati mereka
telah makan?
Rasulullah menjawab:
"
فَلْيُتِمُّوا آخِرَ يَوْمِهِمْ " [مسند أحمد: صحيح]
"Perintahkan mereka menyempurnakan puasa sampai akhir
harinya". [Musnad Ahmad: Sahih]
3.
Hari ‘Asyuraa’, sepuluh Muharram.
Ibnu Abbas radiyallahu 'anhuma berkata:
Sesungguhnya ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiba di
Madinah mendapati mereka berpuasa pada suatu hari yaitu hari Asyura', mereka
berkata: Ini adalah hari yang agung, hari dimana Allah menyelamatkan Nabi Musa,
dan menenggelamkan Fir'aun dan pengikutnya, maka Nabi Musa berpuasa pada hari itu
sebagai rasa syukur kepada Allah.
Maka Rasulullah bersabda:
«أَنَا
أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ» [صحيح البخاري ومسلم]
"Aku lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka!"
Maka Rasulullah pun berpuasa pada hari itu dan
memerintahkan untuk berpuasa. [Sahih Bukhari dan Muslim]
4.
Hukum puasa ‘Asyuraa’.
Ulama berselisih pendapat tentang hukum
puasa ‘Asyuraa’:
Pendapat pertama: Awalnya puasa Asyura' hukumnya wajib kemudian di-nasakh
menjadi sunnah.
Jabir bin Samurah radiyallahu 'anhu berkata:
«كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا بِصِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، وَيَحُثُّنَا عَلَيْهِ،
وَيَتَعَاهَدُنَا عِنْدَهُ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ، لَمْ يَأْمُرْنَا، وَلَمْ يَنْهَنَا
وَلَمْ يَتَعَاهَدْنَا عِنْدَهُ» [صحيح مسلم]
“Dulunya Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam memerintahkan kami untuk berpuasa di hari Asyura',
menganjurkannya pada kami, dan menanyakannya ketika kami berada di sisinya,
kemudian ketika puasa Ramadan diwajibkan, ia tidak memerintahkan kami berpuasa
di hari Asyura', dan tidak melarang kami melaksanakannya, dan tidak
menanyakannya ketika kami berada di sisinya”. [Sahih Muslim]
Qais bin Sa'ad bin Ubadah radiyallahu 'anhu berkata:
" أَمَرَنَا النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَصُومَ عَاشُورَاءَ قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ صِيَامُ رَمَضَانَ،
فَلَمَّا نَزَلَ صِيَامُ رَمَضَانَ لَمْ يَأْمُرْنَا، وَلَمْ يَنْهَنَا وَنَحْنُ نَفْعَلُهُ
" [مسند أحمد: صحيح]
“Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam memerintahkan kami untuk berpuasa di hari Asyura' sebelum
turun kewajiban puasa Ramadan, kemudian ketika kewajiban puasa Ramadan turun,
Rasulullah tidak memerintahkan kami berpuasa dan tidak melarang kami, dan kami
tetap melakukannya”. [Musnad Ahmad: Sahih]
Pendapat kedua: Sejak awal sampai
sekarang, puasa Asyurah hanya sunnah dan bukan wajib.
Dari Mu'awiyah bin Abu Sufyan radiyallahu
'anhuma; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
«هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ، وَلَمْ
يَكْتُبِ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، وَأَنَا صَائِمٌ، فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ
يَصُومَ فَلْيَصُمْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُفْطِرَ فَلْيُفْطِرْ» [صحيح البخاري ومسلم]
"Ini adalah hari
Asyura', dan Allah tidak mewajibkan bagi kalian untuk berpuasa pada hari
ini, akan tetapi saya berpuasa, maka barangsiapa yang suka dari kalian untuk
berpuasa maka hendaklah ia berpuasa, dan barangsiapa yang suka tidak berpuasa
maka tidak perlu ia berpuasa". [Sahih Bukhari dan Muslim]
Pendapat ketiga: Awalnya puasa Asyura disunnahkan, kemudian tidak lagi.
Al-Asy'ats mendatangi Abdullah bin Mas'ud
radiyallahu 'anhu yang sedang makan, kemudian Al-Asy'ats bertanya:
Bukankah hari ini adalah hari Asyura'?
Ibnu Mas'ud menjawab:
«كَانَ يُصَامُ قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ
رَمَضَانُ، فَلَمَّا نَزَلَ رَمَضَانُ تُرِكَ فَادْنُ فَكُلْ» [صحيح البخاري ومسلم]
“Dulu orang berpuasa di hari
Asyura' sebelum diturunkan kewajiban puasa Ramadan, kemudian ketika kewajiban
puasa Ramadan turun, puasa Asyura' ditinggalkan, maka mendekatlah dan makan
bersamaku”. [Sahih Bukhari dan Muslim]
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:
«صَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَاشُورَاءَ،
وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تُرِكَ»
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
berpuasa Asyuraa' dan beliau memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu, dan
ketika diwajibkan puasa Ramadhan maka puasa Asyuraa' ditinggalkan.
Nafi’ berkata: Dan Abdullah bin Umar setelah itu
tidak mejalankan puasa Asyura' kecuali jika bertepatan dengan puasa rutinnya.
[Shaih Bukahri dan Muslim]
Pendapat yang terkuat adalah pendapat pertama dengan alasan:
a)
Ada perintah dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam.
b)
Bahkan anak kecil di masa
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dilatih untuk berpuasa.
Ar-Rubayyi' binti Mu'awwidz radiyallahu 'anha berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mengutus sahabatnya pada pagi hari Asyura' ke kampung-kampung
Al-Anshar menyampaikan sabdanya:
«مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا، فَلْيُتِمَّ
بَقِيَّةَ يَوْمِهِ، وَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا، فَليَصُمْ» [صحيح البخاري ومسلم]
"Barangsiapa yang
bangun di pagi hari tidak dalam keadaan puasa maka hendaklah ia menyempurnakan
sisa harinya dengan puasa, dan barangsiapa yang sudah berpuasa maka hendaklah
ia melanjutkan puasanya".
Ar-Rubayyi' berkata: Maka kami berpuasa setelah
itu dan kami mendidik anak-anak kami berpuasa, dan menyediakan untuk
mereka suatu mainan, maka jika seorang dari mereka menangis minta makan maka
kami beri ia mainan tersebut sampai datang waktu berbuka puasa. [Sahih Bukhari
dan Muslim]
c)
Adapun hadits Mu’awiyah,
maka itu setelah turun kewajiban puasa Ramadhan.
d)
Adapun hadits Ibnu Mas’ud
dan Ibnu Umar, maka yang ditinggalkan adalah kewajibannya bukan anjuran
puasanya.
Aisyah radiyallahu 'anha berkata:
«كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ
قُرَيْشٌ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَصُومُهُ، فَلَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ صَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا فُرِضَ
رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ»
[صحيح البخاري ومسلم]
Dulu hari Asyura' adalah hari dimana kaum
Quraisy berpuasa pada masa Jahiliyah, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam juga berpuasa pada hari tersebut. Maka ketika Rasulullah tiba di
Madinah ia tetap menjalankannya dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa. Dan
ketika puasa Ramadan diwajibkan, Rasulullah meninggalkannya (tidak wajib lagi),
barangsiapa yang ingin berpuasa maka ia boleh berpuasa, dan barangsiapa yang ingin
meninggalkannya maka ia boleh meninggalkannnya. [Sahih Bukhari dan Muslim]
Dan di akhir hidupnya, Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bercita-cita ingin puasa pada hari kesembilan Muharram.
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata: Ketika
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa Asyura' beliau
memerintahkan sahabatnya untuk berpuasa, lalu mereka bertanya: Ya Rasulullah,
hari Asyura' adalah hari yang dimuliakan oleh Yahudi dan Nashrani? Maka
Rasulullah menjawab:
«فَإِذَا
كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ» [صحيح مسلم]
"Jika datang tahun depan insyaallah maka kita akan
berpuasa juga di hari ke sembilan".
Ibnu 'Abbas berkata: Tapi belum datang hari 'Asyura'
tahun depannya sampai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat.
[Sahih Muslim]
5.
Keutamaan puasa Asyuraa’.
Dari Abu Qatadah radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ،
أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ [صحيح مسلم]
"Puasa di hari Asyura', aku berharap
kepada Allah akan menghapuskan dosa setahun sebelumnya". [Sahih Muslim]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ، بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ
الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ، بَعْدَ الْفَرِيضَةِ، صَلَاةُ اللَّيْلِ [صحيح مسلم]
"Puasa yang paling afdhal
setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah bulan Muharram, dan shalat
yang paling afdhal setelah shalat wajib adalah shalat malam". [Sahih
Muslim]
Nb: Pada bab terakhir (bab 69)
kitab tentang puasa, Imam Bukhari menyebutkan bab khusus tentang puasa ‘Asyuraa’.
6.
Bolehkah memulai niat puasa di siang hari?
Pendapat
jumhur ulama: Puasa sunnah, boleh ditetapkan
niatnya setelah terbit fajar, dangan dalil hadits Aisyah radhiyallahu
‘anha ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepadaku
pada suatu hari dan bertanya:
«هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟»
“Apakah
kalian punya sesuatu (yang bisa aku makan)?”
Kami menjawab:
Tidak ada.
Rasulullah
bersabda:
«فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ»
“Jika
demikian maka kau berpuasa”
Kemudian
beliau mendatangi kami di hari yang lain, maka kami berkata: Wahai Rasulullah,
telah dihadiahkan untuk kami “Hais” (sejenis makanan dari kurma)!
Maka
Rasulullah bersabda:
«أَرِينِيهِ، فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا»
“Perlihatkanlah
kepadaku, sungguh aku bangun pagi dalam keadaan puasa”.
Kemudian
beliau makan. [Sahih Muslim]
Sedangkan niat puasa wajib
harus ditetapkan sebelum terbit fajar shadiq, dengan dalil hadits Hafshah
radhiyallahu ‘anha istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ،
فَلَا صِيَامَ لَهُ»
“Barangsiapa
yang tidak meniatkan puasa sebelum fajar, maka tidak ada (tidak sah) puasa
untuknya”. [Sunan Abi Dawud: Sahih]
7.
Hadits ini adalah salah satu hadits “Tsulatsiyat”
imam Bukhari.
Tsulatsiyat adalah hadits yang
diriwayatkan dengan sanad yang jumlah perawi antara pemilik sanad dengan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tiga
orang.
Tsulatsiyat adalah sanad tertinggi
yang dimiliki Imam Bukhari -rahimahullah- dalam kitab Shahih-nya, beliau meriwayatkan 22 hadits dengan
sanad tsulatsiy, melalui 5 jalur, dari 3 Sahabat:
a.
Dari Makkiy bin Ibrahim,
dari Yazid bin Abi ‘Ubaid, dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu 'anhu; Sebanyak 11 hadits.
b.
Dari Abu ‘Ashim Adh-Dhahhak
bin Makhlad, dari Yazid bin Abi ‘Ubaid, dari Salamah radhiyallahu 'anhu; Sebanyak 6 hadits.
c.
Dari Muhammad bin Abdillah
Al-Anshariy, dari Humaid, dari Anas radhiyallahu 'anhu; Sebanyak 3 hadits.
d.
Dari Khallad bin Yahya, dari
‘Isa bin Thahman, dari Anas radhiyallahu 'anhu; Sebanyak 1 hadits.
e.
Dari ‘Isham bin Khalid,
dari Hariiz bin ‘Utsman, dari Abdullah bin Busr radhiyallahu 'anhu; Sebanyak 1 hadits.
Lihat kitab: “Tsulatsiyat Al-Imam
Al-Bukhari min Al-Jami’ Ash-Shahih”, disusun oleh syekh DR. ‘Ashim bin Abdillah
Al-Qaryutiy.
8.
Keutamaan sanad ‘Aly (tertinggi) di kalangan ahli hadits.
Sanad “‘Aliy” adalah sanad yang
jumlah perawi antar pemilik sanad dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
lebih sedikit. Sedangkan sanad “Naazil” adalah sanad yang jumlah perawi
antar pemilik sanad dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
lebih banyak.
Sanad ‘Aliy lebih kuat dibandingkan dengan
sanad Nazil, karena semakin sedikit perantara maka kemungkinan kekeliruan dalam
periwayatan semakin sedikit, terkhusus jika semua perawinya tsiqah kuat
hafalannya.
Akan tetapi jika sanad ‘Aliy diriwayatkan
oleh perawi yang dha’if, maka sanad Nazil dengan perawi yang tsiqah lebih baik.
Imam ‘Ali bin Al-Madiniy berkata: «النُّزُولُ شُؤْمٌ», “Meriwayatkan hadits
dengan sanad Nazil adalah celaan”. [Al-Jami’ liakhlaq Ar-Rawiy karya Al-Khathib
1/123]
Ketika Imam ‘Ali bin Al-Madiniy sakit di
akhir hayatnya, ia ditanya: “Apa yang engkau dambakan?” Ia menjawab: " بَيت خَال وَسَنَد عَال ", “Rumah yang
tenang dan sanad yang tinggi (Aliy)”.
Imam Ahmad ketika ditanya tentang seorang
yang mencari sanad ‘Aliy, beliau menjawab:
«طَلَبُ الْإِسْنَادِ
الْعَالِي سُنَّةٌ عَمَّنْ سَلَفَ»
“Mencari
sanad yang tinggi (Aliy) adalah sunnah (kebiasaan) ulama salaf”. [Al-Jami’
liakhlaq Ar-Rawiy karya Al-Khathib 1/123]
Wallahu a’lam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...