Rabu, 18 September 2019

Penjelasan singkat kitab Ash-Shaum dari Sahih Bukhari; Bab (21) Jika berniat puasa di siang hari

بسم الله الرحمن الرحيم
A.    Penjelasan pertama:
Imam Bukhari rahimahullah berkata:
بَابُ إِذَا نَوَى بِالنَّهَارِ صَوْمًا
Bab: Jika berniat puasa di siang hari
Maksudnya, apakah boleh hukumnya seseorang berniat puasa di siang hari, atau tidak boleh, atau ada rincian dalam masalah ini?
Dalam bab ini Imam Bukhari menyebutkan 5 atsar Sahabat -radhiyallahu ‘anhum- secara mu’allaq (tanpa sanad) dan 1 hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam secara muttashil (sanad bersambung) dari Salamah bin Al-Akwa’ -radhiyallahu ‘anhu-, yang menunjukkan bolehnya memulai niat puasa di siang hari.
Imam Bukhari -rahimahullah- berkata:
وَقَالَتْ أُمَّ الدَّرْدَاءِ: كَانَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُولُ: «عِنْدَكُمْ طَعَامٌ؟» فَإِنْ قُلْنَا: لاَ، قَالَ: «فَإِنِّي صَائِمٌ يَوْمِي هَذَا». وَفَعَلَهُ أَبُو طَلْحَةَ، وَأَبُو هُرَيْرَةَ، وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَحُذَيْفَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
“Dan Ummu Ad-Dardaa’ berkata: Abu Ad-Dardaa’ pernah bertanya: “Apakah kalian punya makanan?” Jika kami menjawab: Tidak ada, ia berkata: “Maka saya berpuasa pada hari ini”. Hal ini juga dilakukan oleh Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, dan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhum.”
Takhrij lima atsar yang disebutkan oleh Imam Bukhari:
Atsar pertama: Dari Abu Ad-Dardaa’ (‘Uwaimir bin Zayd Al-Anshariy) radhiyallahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam “Al-Mushannaf” 4/272-273 no.7774-7776, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya 2/292 no.9109, Sufyan bin Ya’qub dalam “Al-Ma’rifah” 2/66, dan Al-Baihaqiy dalam “As-Sunan Al-Kubraa” 4/342 no.7919:
قَالَتْ أُمّ الدَّرْدَاءِ: كَانَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَغْدُو أَحْيَانًا، فَيَجِيءُ فَيَسْأَلُ الْغَدَاءَ، فَرُبَّمَا لَمْ يُوَافِقْهُ عِنْدَنَا، فَيَقُولُ: «إِنِّي إِذًا صَائِمٌ»
Ummu Ad-Dardaa’ (Hujaimah) berkata: Abu Ad-Dardaa’ terkadang datang kemudian menanyakan makana siang, dan terkadang ia tidak mendapatkan makanan pada kami, maka ia berkata: “Kalau begitu aku berpuasa”.
Lafadz riwayat Sufyan dan Al-Baihaqiy:
أَنَّ أَبَا الدَّرْدَاءِ كَانَ يَجِيءُ بَعْدَمَا يُصْبِحُ، فَيَقُولُ: " أَعِنْدَكُمْ غَدَاءٌ؟ فَإِنْ لَمْ يَجِدْهُ، قَالَ: " فَأَنَا إِذًا صَائِمٌ "
Abu Ad-Dardaa’ kadang datang setelah subuh, kemudian bertanya: “Apakah kalian punya makanan?” Maka jika ia tidak mendapatkna makanan, ia berkata: “Kalau begitu aku berpuasa”.
Atsar kedua: Dari Abu Thalhah (Zayd bin Sahl Al-Anshariy) radhiyallahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam “Al-Mushannaf” 4/273 no.7777, dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya 2/291 no.9107,
عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ أَبَا طَلْحَةَ كَانَ يَأْتِي أَهْلَهُ فَيَقُولُ: «هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ غَدَاءٍ؟» فَإِنْ قَالُوا: لَا، قَالَ: «فَإِنِّي صَائِمٌ» «وَإِنْ كَانَ عِنْدَهُمْ أَفْطَرَ»
Dari Anas; Bahwasanya Abu Thalhah pernah menemui istrinya dan bertanya: “Apakah kalian punya makanan?” Jika mereka menjawab: Tidak ada, maka Abu Thalhah berkata: “Maka saya puasa hari ini”. Dan jika mereka punya makanan maka ia makan.
Atsar ketiga: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam “Al-Mushannaf” 4/274 no.7781,
قال عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مِهْرَانَ: أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ، وَأَبَا طَلْحَةَ كَانَا يُصْبِحَانِ مُفْطِرَيْنِ، فَيَقُولَانِ: «هَلْ مِنْ طَعَامٍ؟ فَيَجِدَانِهِ، أَوْ لَا يَجِدَانِهِ فَيُتِمَّانِ ذَلِكَ الْيَوْمَ»
‘Ubaidullah bin Mihran berkata: “Bahwasanya Abu Hurairah dan Abu Thalhah kadang berada di pagi hari tanpa niat puasa, kemudian mereka bertanya: Apakah ada makanan? Maka terkadang mereka dapat makanan, dan terkadang tidak mendapatkan maka keduanya berpuasa pada hari itu.”
Diriwayatkan juga oleh Abu Nu’aim dalam “Hilyatul Auliyaa’” 1/382, dan Al-Baihaqiy dalam “As-Sunan Al-Kubraa” 4/342 no.7918:
قَالَ سَعِيد بْن الْمُسَيِّبِ: رَأَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَطُوفُ بِالسُّوقِ ثُمَّ يَأْتِي أَهْلَهُ فَيَقُولُ: «هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ شَيْءٍ» فَإِنْ قَالُوا: لَا، قَالَ: «فَإِنِّي صَائِمٌ»
Sa’id bin Al-Musayyab berkata: Aku melihat Abu Hurairah berkeliling pasar kemudian ia menemui istrinya dan bertanya: Apakah kalian punya seseuatu untuk dimakan? Jika mereka menjawab: Tidak ada, maka Abu Hurairah berkata: “Maka saya berpuasa hari ini”.
Atsar keempat: Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam “Syarh Ma’aniy Al-Atsar” 2/56 no.3188,
عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ كَانَ يُصْبِحُ حَتَّى يُظْهِرَ، ثُمَّ يَقُولُ: " وَاللهِ لَقَدْ أَصْبَحْتُ وَمَا أُرِيدُ الصَّوْمَ، وَمَا أَكَلْتُ مِنْ طَعَامٍ وَلَا شَرَابٍ مُنْذُ الْيَوْمِ، وَلَأَصُومَنَّ يَوْمِي هَذَا " .
Dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas; Bahwasanya suatu hari ia berada di pagi hari sampai dzuhur, kemudian berkata: “Demi Allah, aku pernah berada waktu pagi dan aku tidak ingin puasa, dan aku belum makan dan minum sejak awal hari itu, maka saya berniat akan berpuasa pada hari itu”.
Atsar kelima: Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya 2/290 no.9091, Ath-Thahawiy dalam “Syarh Ma’aniy Al-Atsar” 2/56 no.3184, dan Ad-Daraquthniy dalam Sunan-nya 5/252-253 no.4272-4273:
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السلمي: «أَنَّ حُذَيْفَةَ بن اليمان -رضي الله عنه- بَدَا لَهُ فِي الصَّوْمِ بَعْدَ مَا زَالَتِ الشَّمْسُ فَصَامَ»
Dari Abu Abdirrahman As-Sulamiy: “Bahwasanya Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu baru mulai berniat puasa setelah matahari tergelincir maka ia menyempurnakan puasanya”.
Ada juga atsar yang semakna dari Sahabat yang lain:
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya 2/291-292 no.9108 dan 9110:
عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ مُعَاذٍ، أَنَّهُ كَانَ يَأْتِي أَهْلَهُ بَعْدَ الزَّوَالِ، فَيَقُولُ: «عِنْدَكُمْ غَدَاءٌ؟»، فَيَعْتَذِرُونَ إِلَيْهِ، فَيَقُولُ: «إِنِّي صَائِمٌ بَقِيَّةَ يَوْمِي»، فَيُقَالُ لَهُ: تَصُومُ آخِرَ النَّهَارِ؟، فَيَقُولُ: «مَنْ لَمْ يَصُمْ آخِرَهُ لَمْ يَصُمْ أَوَّلَهُ»
Dari Al-‘Alaa’ bin Al-Harits, dari Mu’adz; Bahwasanya ia menemui istrinya setelah matahari tergelincir dan bertanya: Apakah kalian punya makan siang? Lalu istrinya meminta maaf kepadanya karna tidak ada makanan, maka Mu’adz berkta: “Aku akan berpuasa pada sisa hariku ini”. Lalu ada yang bertanya kepadanya: Apakah kamu baru berniat puasa di akhir siang? Maka Mu’adz menjawab: “Siapa yang tidak berpuasa pada akhir harinya, maka ia tidak berpuasa pada awalnya”.
B.     Penjelasan ketujuh.
Adapun hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari -rahimahullah- dengan sanadnya dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
1824 - حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ [الضحاك بن مخلد النبيل البصري]، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي عُبَيْدٍ [أبو خالد الأسلمي مولى سلمة بن الأكوع]، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا يُنَادِي فِي النَّاسِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ «إِنَّ مَنْ أَكَلَ فَلْيُتِمَّ أَوْ فَلْيَصُمْ، وَمَنْ لَمْ يَأْكُلْ فَلاَ يَأْكُلْ»
Telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim [Adh-Dhahak bin Maklad An-Nabiil Al-Bashriy], dari Yazid bin Abu 'Ubaid [Abu Khalid mantan budak Salam bin Al-Akwa'], dari Salamah bin Al Akwa' radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengutus seseorang untuk menyeru manusia pada hari 'Asyura', bila ada seseorang yang sudah terlajur makan maka hendaklah ia meneruskan puasanya atau hendaklah ia berpuasa, dan barangsiapa yang belum makan maka hendaklah ia tidak makan (maksudnya teruskan berpuasa) ".
Penjelasan singkat hadits ini:       
1.      Biografi Salamah bin Al-Akwa’.
Namanya: Salamah bin ‘Amr bin Al-Akwa’ (Sinan) bin Abdillah Al-Aslamiy, Abu Muslim Al-Madaniy radhiyallahu ‘anhu. Wafat tahun 74 hijriyah di Madinah.
Beberapa keistimewaan Salamah disebutkan dalam satu hadits:
Salamah radhiyallahu ‘anhu berkata: "Kami pernah ikut perang bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ke Hudaibiyah, pada saat itu kami berjumlah seratus empatbelas orang, dan kami hanya membawa lima puluh ekor kambing, sehingga air susu kambing sejumlah itu tidak cukup untuk kami minum. Setelah itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam duduk di dekat sumur sambil berdo'a atau meludahinya. Berkat do'a yang dibacakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada air susu kambing tersebut, maka kami semua dapat meminum air susu dengan sepuas-puasnya.
[1. Diminta berbaikat 3 kali]
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajak kami untuk berbai'at kepada beliau di bawah pohon. Aku berbaiat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada rombongan pertama. Kemudian beliau terus menerima pembaiatan dari para sahabat yang hadir pada saat itu. Ketika sampai pada rombongan yang berada di tengah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku:
«بَايِعْ يَا سَلَمَةُ»
"Barbaiatlah wahai Salamah."
Aku pun berkata kepada beliau, "Aku telah berbaiat kepada anda pada rombongan pertama wahai Rasulullah."
Namun beliau justru bersabda kepadaku: «وَأَيْضًا» "Berbaiatlah lagi waahi Salamah."
Aku akhirnya menuruti permintaan beliau.
Ketika beliau melihat aku tidak membawa senjata sama sekali, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberikan tameng atau perisai kepadaku. Selanjutnya beliau menerima pembaiatan lagi dari rombongan yang terakhir. Pada saat itu, beliau kembali bertanya kepada aku:
«أَلَا تُبَايِعُنِي يَا سَلَمَةُ؟»
"Mengapa kamu tidak ikut berbaiat kepadaku wahai Salamah?"
Aku menjawab, "Aku telah berbaiat kepadamu wahai Rasulullah, bahkan tadi aku telah berbaiat kepada anda hingga dua kali, yaitu pada rombongan pertama dan rombongan pertengahan."
Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: «وَأَيْضًا» "Berbaiatlah sekali lagi wahai Salamah!"
Akhirnya aku ikut berbaiat kepada beliau untuk yang ketiga kalinya.
Selesai berbaiat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepadaku:
«يَا سَلَمَةُ، أَيْنَ حَجَفَتُكَ - أَوْ دَرَقَتُكَ - الَّتِي أَعْطَيْتُكَ؟»
"Wahai Salamah, mana tameng atau perisai yang aku berikan kepadamu?"
Aku mencoba menjelaskan pertanyaan beliau, "Wahai Rasulullah, tadi aku bertemu dengan pamanku, Amir, ternyata dia juga tidak mempunyai senjata sama sekali, maka tameng itu aku berikan kepadanya."
Mendengar penjelasan itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tersenyum sambil bersabda:
" إِنَّكَ كَالَّذِي قَالَ الْأَوَّلُ: اللهُمَّ أَبْغِنِي حَبِيبًا هُوَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي "
"Sesungguhnya kamu seperti apa yang dikatakan oleh orang-orang dahulu, 'Ya Allah, ya Rabbku, berikanlah aku seorang kekasih yang lebih aku cintai daripada diriku sendiri'."
Beberapa hari kemudian, kaum Musyrikin mengajak kami berdamai dengan cara mengirim kurir terlebih dahulu. Setelah mengalami proses yang tidak begitu lama, akhirnya kami sepakat untuk berdamai.
[4. Mengorbankan segalanya demi hijrah]
Dahulu aku adalah pelayan Thalhah bin Ubaidillah, tugasku memberi minum kuda dan memandikannya. Sebagai imbalan dari pelayanannya tersebut, aku mendapatkan makan darinya. Aku memang bertekat untuk meninggalkan keluarga dan hartaku untuk berhijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya.
[5. Marah jika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dihina]
Ketika kesepakatan perjanjian damai antara kami dengan penduduk Makkah telah terjalin, hingga kami sudah bisa saling berbaur, maka suatu hari aku pergi menuju pepohonan untuk beristirahat di bawahnya. Pada saat berbaring di bawah pohon itulah, tiba-tiba datang empat orang Musyrikin dari peduduk kota Makkah yang tengah menggunjing Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hingga membuat aku geram terhadap mereka. Lalu aku pidah ke batang pohon lainnya sambil melihat mereka menggantungkan senjatanya dan setelah itu mereka tertidur. Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara orang yang menyeru dari dasar jurang, "Hai kaum Muhajirin, Ibnu Zunaim telah terbunuh."
Seketika itu juga aku cabut pedangku kemudian aku ikat keempat orang musyrikin yang tengah tidur tersebut, aku ambil senjata mereka. Setelah itu aku berkata kepada mereka, 'Demi dzat yang telah memuliakan wajah Muhammad, barangsiapa ada di antara kalian berani mengangkat kepalanya, maka akan kutebas lehernya.'
Akhirnya keempat orang kafir Qurasiy tersebut aku giring ke hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Pada saat yang bersamaan aku melihat Amir, paman aku. Ternyata dia juga tengah menggiring seorang laki-laki Quraisy yang bernama Mikraz untuk diajukan ke hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Lelaki Quraisy yang bernama Mikraz tersebut dibiarkan mengendarai seekor kuda yang ternyata diikuti sekitar tujuh puluh orang musyrikin dari anak buahnya. Sejenak Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memandangi mereka sambil bersabda:
«دَعُوهُمْ، يَكُنْ لَهُمْ بَدْءُ الْفُجُورِ، وَثِنَاهُ»
"Biarkanlah mereka, karena mereka akan menaggung kezalimannya dari awal sampai akhir."
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memaafkan mereka, maka Allah menurunkan ayat:
 {وَهُوَ الَّذِي كَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ عَنْهُمْ بِبَطْنِ مَكَّةَ مِنْ بَعْدِ أَنْ أَظْفَرَكُمْ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرًا} [الفتح: 24]
'(Dan Dialah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Makkah setelah Allah memenangkan kamu atas mereka, dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan) ' (Qs. Al Fath: 24).
[6. Mendapatkan permohonan ampun dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam]
Setelah kejadian itu, kami kembali pulang bersama-sama ke kota Madinah dengan membawa kemenangan. Namun sebelumnya, kami berhenti di suatu tempat. Sedangkan jarak kami dengan Bani Lihyan saat itu hanya dipisahkan oleh gunung, menurut informasi yang aku ketahui, kaum Bani Lihyan juga termasuk dari orang-orang Musyrik. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan bahwa beliau akan memohonkan ampunan bagi seseorang yang sanggup mendaki gunung tersebut pada malam hari. Memang, gunung yang ada di hadapan mereka itu seakan-akan sedang menantang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat yang hadir saat itu.
Pada malam itu juga, aku berhasil mendaki gunung tersebut sebanyak dua atau tiga kali.
Akhirnya kami tiba di kota Madinah. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutus Rabah -pelayan beliau- untuk mengawal unta yang tengah membawa muatan yang cukup besar, lalu aku juga ikut menyertai Rabbah dengan menaiki kuda milik Thalhah. Keesokan harinya, aku mendengar informasi bahwa Abdurrahman Al Fazari hendak mencegat rombongan kami. Ternyata informasi itu benar, Abdurrahman dapat menawan unta Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam beserta muatannya. Bahkan kami dengar, dia berhasil membunuh orang yang mengendarai unta tersebut. Saat itu aku telah mengatakannya kepada Rabah, 'Wahai Rabbah, ambillah kuda ini dan serahkanlah kepada Thalhah bin Ubaidullah, jangan sampai lupa, beritahukan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa orang-orang Musyrikin telah menawan rombongan unta yang beliau utus.'
Setelah itu, aku naik ke atas bukit, sambil menghadap kota Madinah, aku berteriak dengan suara lantang, 'Wahai para penduduk! ' Sebanyak tiga kali berturut-turut. Kemudian aku turun dari atas bukit sambil terus melepaskan anak panah ke arah sasaran musuh, sementara itu untuk menghibur hati, aku bersenandung, 'Aku adalah putra Al Akwa', hari ini adalah hari kebinasaan! '
Dalam perjelanan mengejar musuh, aku bertemu seorang laki-laki dari kaum Musyrikin. Lalu aku mulai membidikkan anak panah ke arahnya. Tidak lama kemudian, aku berhasil menancapkan sebatang anak panah tepat mengenai bahunya, dari kejauhan aku katakan kepadanya: 'Rasakanlah anak panah itu, aku adalah putra Al Akwa', hari ini adalah hari kebinasaan'."
Salamah berkata, "Demi Allah, aku tetap terus melancarkan anak panah ke arah musuh. Tiba-tiba dari arah depan, aku melihat seorang musuh yang sedang menunggang kuda menuju ke arahku. Lalu aku bersembunyi di balik pohon yang rimbun. Begitu musuh yang menunggang kuda itu melintas, segera aku melepaskan anak panahku hingga berhasil melukainya. Tidak beberapa lama, datang lagi beberapa pasukan musuh. Namun seperti sebelumnya, aku langsung memanjat ke atas bukit. Dari atas bukit tersebut aku berupaya menahan laju mereka dengan cara melemparkan bebatuan ke arah mereka, dan ternyata cara tersebut berhasil. Mereka mundur secara teratur dan membiarkan aku terus mengejarnya. Karena merasa keberatan dengan beban yang mereka bawa, akhirnya mereka menjatuhkan sebagian besar perbekalan mereka dari unta Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang mereka ambil, agar lebih ringan dan dapat melarikan kendaraannya. Aku pun terus mengikuti laju mereka sambil melemparkan anak panah. Aku juga membuat jejak di jalan-jalan dengan bebatuan supaya dapat diketahui oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya, dari apa yang telah aku lakukan terhadap musuh-musuh tersebut. Dengan berhimpit-himpitan, pasukan kaum Musyrikin berusaha turun dari bukit dengan melewati jalan sempit yang ada di bukit. Untungnya, Fulan bin Badri Al Fazari telah siap menanti di bawah untuk membantu mereka. Kemudian mereka duduk sambil beristirahat karena kelelahan, sementara aku duduk di atas bukit. Dari atas bukit, aku mendengar Al Fazari bertanya kepada teman-temannya yang baru saja turun dari bukit, 'Ada apa ini? Apa yang telah terjadi pada kalian? '
Mereka menjawab, 'Kami telah mengalami kepayahan, demi Allah, tidaklah kami melalui akhir malam, melainkan kami selalu dihujani anak panah, sehingga kami membuang sebagian besar perbekalan kami.'
Lalu Al Fazari memerintahkan empat orang dari mereka untuk menghadapiku, akhirnya keempat orang tersebut bergegas naik ke atas bukit untuk menghadapiku. Ketika jarak antara aku dengan mereka sudah semakin dekat, hingga memungkinkan mereka mendengar suara aku, maka aku berseru, "Hai kalian berempat, apakah kalian mengenalku? '
Mereka menjawab, 'Tidak, kami tidak mengenalmu, siapa sebenarnya kamu? '
Aku menjawab, 'Aku adalah Salamah bin Al Akwa', demi dzat yang memuliakan wajah Muhammad, aku tidak akan membiarkan kalian hidup, mungkin begitu pula dengan kalian yang tidak mungkin membiarkan aku hidup.'
Lalu aku mendengar salah seorang dari keempat orang tersebut menjawab seperti yang aku katakan. Belum sampai aku pindah tempat, tiba-tiba aku melihat beberapa orang sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang tengah mengendarai kuda keluar dari balik semak-semak pepohonan menuju arah tempat aku berada."
Salamah berkata, "Pertama kali yang aku lihat adalah Akhram Al-Asdiy, disusul oleh Abu Qatadah Al-Anshariy. Setelah itu, muncullah Miqdad bin Al-Aswad Al-Kindiy."
Salamah melanjutkan, "Lalu aku memegang tali kekang kuda milik Akhram, ternyata mereka bergegas hendak maju membantu aku, segera aku berkata, "Wahai Akhram, hati-hatilah terhadap mereka, jangan sampai mereka melukai atau mencelakaimu, hingga datang bala bantuan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat yang lain."
Dia menjawab, "Wahai Salamah, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Allah dan hari Kiamat, serta kamu yakin bahwa surga dan neraka itu sesuatu yang benar, maka janganlah kamu menghalangiku untuk memperoleh syahid."
Salamah berkata, "Kemudian aku membiarkannya maju untuk bertempur satu lawan satu, lalu Abdurrahman maju ke hadapan menghadapi Akhram, pada awalnya dia dapat melukai kuda Abdurrahman, namun akhirnya Abdurrahman dapat menikam Akhram hingga dia gugur. Abdurrahman lantas menaiki kudanya. Setelah itu, majulah Abu Qatadah -prajurit penunggang kuda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam- menghadapi Abdurrahman. Lalu Abu Qatadah dapat menikam Abdurrahman dan membunuhnya, demi Dzat Yang memuliakan wajah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, aku terus membuntuti mereka dengan berjalan kaki hingga tak kulihat satupun sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan tidak juga debunya. Menjelang matahari terbenam, mereka menuju ke jalan di bukit yang terdapat mata airnya bernama Dzu Qarad, untuk mereka minum karena kehausan."
Salamah berkata, "Kemudian mereka melihatku berlari membuntuti mereka, kuhalangi mereka dari telaga itu sehingga mereka tak bisa meneguk setetes air. Lantas mereka meninggalkan tempat tersebut dengan bersusah payah menyusuri lereng-lereng bukit."
Salamah melanjutkan, "Lalu aku berlari dan menjumpai seseorang dari mereka, lantas kutusuk dengan anak panah tepat mengenai ujung tulang bahu. Lalu kukatakan dengan nada mengejek, 'Coba kau cabut anak panah yang kutusukkan, aku adalah putra Al Akwa', hari ini adalah hari kebinasaan.'
Sang musuh berujar, 'Pagi yang sial, betulkah kamu Akwa'? '
Aku menjawab, 'Betul hai musuh Allah, akulah Akwa' yang pagi dini membawa kesialan bagimu.'
Akwa' meneruskan, "Musuh mencelakai dua ekor kudanya di lereng gunung. Kugiring keduanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Amir menyusulku dengan membawa geriba kulit berkantung dua, satu berisi susu campuran, dan satunya berisi air murni. Aku berwudhu dan minum, lantas kutemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang beliau tengah berada di sumber air yang kuhalangi musuh meminumnya. Ternyata Rasulullah telah mengambil seluruh unta dan segala yang kuselamatkan dari pasukan musyrik, juga tombak dan kain burdah. Saat itu, Bilal telah menyembelih seekor unta dari beberapa unta yang aku selamatkan dari orang Musyrik, kemudian dia mengambil hatinya dan punuknya dan membakarnya, setelah itu ia mempersembahkannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam."
Salamah melanjutkan, 'Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, biarkanlah aku memilih seratus orang dari pasukan musuh, kemudian aku mengikuti mereka hingga tidak ada lagi yang menginformasikan posisi kita melainkan aku tebas batang lehernya'."
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tersenyum sehingga gigi geraham beliau terlihat jelas siang hari itu. Kemudian beliau bertanya:
«يَا سَلَمَةُ، أَتُرَاكَ كُنْتَ فَاعِلًا؟»
"Wahai Salamah, apakah kamu telah siap dengan apa yang akan kamu lakukan itu?"
Aku menjawab, "Tentu, demi Dzat Yang telah memuliakan anda."
Selanjutnya beliau bersabda:
«إِنَّهُمُ الْآنَ لَيُقْرَوْنَ فِي أَرْضِ غَطَفَانَ»
"Ketahuilah wahai Salamah, sesungguhnya mereka sekarang sedang berada di wilayah kekuasaan orang-orang Ghathafan."
Salamah berkata, "Lalu datanglah seorang laki-laki dari Ghathafan seraya berkata, "Si fulan telah menyembelih unta untuk mereka, ketika mereka menguliti hewan tersebut, tiba-tiba mereka melihat debu mengepul, hingga mereka lari terbirit-birit."
Keesokan harinya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
«كَانَ خَيْرَ فُرْسَانِنَا الْيَوْمَ أَبُو قَتَادَةَ، وَخَيْرَ رَجَّالَتِنَا سَلَمَةُ»
"Sebaik-baik prajurit penunggang kuda saat ini adalah Abu Qatadah, sedangkan sebaik-baik prajurit pejalan kaki adalah Salamah."
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberikan dua bagian kepadaku, yaitu; Bagian untuk pasukan berkuda dan bagian untuk pejalan kaki, dan beliau menggabungkannya untukku menjadi satu.
[8. Pernah dibonceng oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam]
Kemudian kami kembali ke Madinah dan aku membonceng di belakang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan menaiki Adzba`."
[9. Larinya cepat]
Salamah berkata, "Ketika kami berada di tengah jalan, -Salamah berkata- ada seorang sahabat Anshar yang mengajak kami untuk lomba lari cepat. Lalu sahabat Anshar itu berkata, 'Tidakkah ada orang yang mau berlomba lari menuju Madinah? '
Dan ia mengulanginya sampai beberapa kali. Setelah aku mendengar perkataannya, aku berkata, 'Apakah kamu hendak memuliakan orang yang mulia, ataukah hendak memperoleh wibawa di hadapan orang yang terpandang? '
Dia menjawab, "Tidak, namun untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam."
Salamah melanjutkan, "Aku berkata, "Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku, biarkanlah aku melayani tantangan lomba lari laki-laki itu!"
Beliau menjawab: «إِنْ شِئْتَ» "Silahkan jika kamu mau."
Salamah berkata, "Ayo mulai."
Lalu aku berlari dengan kakiku, memang aku sengaja membiarkan dia hingga ia mendaki satu atau dua bukit, sebab aku khawatir akan kehabisan tenaga, kemudian aku berlari melewati jejaknya dan aku masih membiarkan dia mendaki satu atau dua bukit. Kemudian aku pacu lagi lariku sekencang-kencangnya sehingga aku dapat menjumpainya. Kemudian aku menepuk di antara pundaknya."
Salamah melanjutkan, "Aku berkata, 'Demi Allah, kamu telah didahului'."
Iya berkata; Aku kira demikian.
Salamah berkata- "Aku telah mendahuluinya ke Madinah." [Shahih Muslim]
2.      Siapakah sahabat yang diutus oleh Nabi dalam hadits ini?
Dari Asma' bin Haritsah Al-Aslamiy radiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutusnya kepada kaumnya, Rasulullah bersabda:
" مُرْ قَوْمَكَ بِصِيَامِ هَذَا الْيَوْمِ "
"Perintahkan kaummu untuk menjalankan puasa pada hari ini (Asyura')!"
Asma' berkata: Bagaimana jika aku mendapati mereka telah makan?
Rasulullah menjawab:
" فَلْيُتِمُّوا آخِرَ يَوْمِهِمْ " [مسند أحمد: صحيح]
"Perintahkan mereka menyempurnakan puasa sampai akhir harinya". [Musnad Ahmad: Sahih]
3.      Hari ‘Asyuraa’, sepuluh Muharram.
Ibnu Abbas radiyallahu 'anhuma berkata: Sesungguhnya ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiba di Madinah mendapati mereka berpuasa pada suatu hari yaitu hari Asyura', mereka berkata: Ini adalah hari yang agung, hari dimana Allah menyelamatkan Nabi Musa, dan menenggelamkan Fir'aun dan pengikutnya, maka Nabi Musa berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur kepada Allah.
Maka Rasulullah bersabda:
«أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ» [صحيح البخاري ومسلم]
"Aku lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka!"
Maka Rasulullah pun berpuasa pada hari itu dan memerintahkan untuk berpuasa. [Sahih Bukhari dan Muslim]
4.      Hukum puasa ‘Asyuraa’.
Ulama berselisih pendapat tentang hukum puasa ‘Asyuraa’:
Pendapat pertama: Awalnya puasa Asyura' hukumnya wajib kemudian di-nasakh menjadi sunnah.
Jabir bin Samurah radiyallahu 'anhu berkata:
«كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا بِصِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، وَيَحُثُّنَا عَلَيْهِ، وَيَتَعَاهَدُنَا عِنْدَهُ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ، لَمْ يَأْمُرْنَا، وَلَمْ يَنْهَنَا وَلَمْ يَتَعَاهَدْنَا عِنْدَهُ» [صحيح مسلم]
“Dulunya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kami untuk berpuasa di hari Asyura', menganjurkannya pada kami, dan menanyakannya ketika kami berada di sisinya, kemudian ketika puasa Ramadan diwajibkan, ia tidak memerintahkan kami berpuasa di hari Asyura', dan tidak melarang kami melaksanakannya, dan tidak menanyakannya ketika kami berada di sisinya”. [Sahih Muslim]
Qais bin Sa'ad bin Ubadah radiyallahu 'anhu berkata:
" أَمَرَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَصُومَ عَاشُورَاءَ قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ صِيَامُ رَمَضَانَ، فَلَمَّا نَزَلَ صِيَامُ رَمَضَانَ لَمْ يَأْمُرْنَا، وَلَمْ يَنْهَنَا وَنَحْنُ نَفْعَلُهُ " [مسند أحمد: صحيح]
“Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kami untuk berpuasa di hari Asyura' sebelum turun kewajiban puasa Ramadan, kemudian ketika kewajiban puasa Ramadan turun, Rasulullah tidak memerintahkan kami berpuasa dan tidak melarang kami, dan kami tetap melakukannya”. [Musnad Ahmad: Sahih]
Pendapat kedua: Sejak awal sampai sekarang, puasa Asyurah hanya sunnah dan bukan wajib.
Dari Mu'awiyah bin Abu Sufyan radiyallahu 'anhuma; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
«هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ، وَلَمْ يَكْتُبِ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، وَأَنَا صَائِمٌ، فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَصُومَ فَلْيَصُمْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُفْطِرَ فَلْيُفْطِرْ» [صحيح البخاري ومسلم]
"Ini adalah hari Asyura', dan Allah tidak mewajibkan bagi kalian untuk berpuasa pada hari ini, akan tetapi saya berpuasa, maka barangsiapa yang suka dari kalian untuk berpuasa maka hendaklah ia berpuasa, dan barangsiapa yang suka tidak berpuasa maka tidak perlu ia berpuasa". [Sahih Bukhari dan Muslim]
Pendapat ketiga: Awalnya puasa Asyura disunnahkan, kemudian tidak lagi.
Al-Asy'ats mendatangi Abdullah bin Mas'ud radiyallahu 'anhu yang sedang makan, kemudian Al-Asy'ats bertanya: Bukankah hari ini adalah hari Asyura'?
Ibnu Mas'ud menjawab:
«كَانَ يُصَامُ قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ رَمَضَانُ، فَلَمَّا نَزَلَ رَمَضَانُ تُرِكَ فَادْنُ فَكُلْ» [صحيح البخاري ومسلم]
“Dulu orang berpuasa di hari Asyura' sebelum diturunkan kewajiban puasa Ramadan, kemudian ketika kewajiban puasa Ramadan turun, puasa Asyura' ditinggalkan, maka mendekatlah dan makan bersamaku”. [Sahih Bukhari dan Muslim]
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:
«صَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَاشُورَاءَ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تُرِكَ»
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berpuasa Asyuraa' dan beliau memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu, dan ketika diwajibkan puasa Ramadhan maka puasa Asyuraa' ditinggalkan.
Nafi’ berkata: Dan Abdullah bin Umar setelah itu tidak mejalankan puasa Asyura' kecuali jika bertepatan dengan puasa rutinnya. [Shaih Bukahri dan Muslim]
Pendapat yang terkuat adalah pendapat pertama dengan alasan:
a)       Ada perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
b)      Bahkan anak kecil di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dilatih untuk berpuasa.
Ar-Rubayyi' binti Mu'awwidz radiyallahu 'anha berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutus sahabatnya pada pagi hari Asyura' ke kampung-kampung Al-Anshar menyampaikan sabdanya:
«مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا، فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ، وَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا، فَليَصُمْ» [صحيح البخاري ومسلم]
"Barangsiapa yang bangun di pagi hari tidak dalam keadaan puasa maka hendaklah ia menyempurnakan sisa harinya dengan puasa, dan barangsiapa yang sudah berpuasa maka hendaklah ia melanjutkan puasanya".
Ar-Rubayyi' berkata: Maka kami berpuasa setelah itu dan kami mendidik anak-anak kami berpuasa, dan menyediakan untuk mereka suatu mainan, maka jika seorang dari mereka menangis minta makan maka kami beri ia mainan tersebut sampai datang waktu berbuka puasa. [Sahih Bukhari dan Muslim]
c)       Adapun hadits Mu’awiyah, maka itu setelah turun kewajiban puasa Ramadhan.
d)      Adapun hadits Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar, maka yang ditinggalkan adalah kewajibannya bukan anjuran puasanya.
Aisyah radiyallahu 'anha berkata:
«كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ، فَلَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ صَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ» [صحيح البخاري ومسلم]
Dulu hari Asyura' adalah hari dimana kaum Quraisy berpuasa pada masa Jahiliyah, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga berpuasa pada hari tersebut. Maka ketika Rasulullah tiba di Madinah ia tetap menjalankannya dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa. Dan ketika puasa Ramadan diwajibkan, Rasulullah meninggalkannya (tidak wajib lagi), barangsiapa yang ingin berpuasa maka ia boleh berpuasa, dan barangsiapa yang ingin meninggalkannya maka ia boleh meninggalkannnya. [Sahih Bukhari dan Muslim]
Dan di akhir hidupnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bercita-cita ingin puasa pada hari kesembilan Muharram.
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata: Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa Asyura' beliau memerintahkan sahabatnya untuk berpuasa, lalu mereka bertanya: Ya Rasulullah, hari Asyura' adalah hari yang dimuliakan oleh Yahudi dan Nashrani? Maka Rasulullah menjawab:
«فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ» [صحيح مسلم]
"Jika datang tahun depan insyaallah maka kita akan berpuasa juga di hari ke sembilan".
Ibnu 'Abbas berkata: Tapi belum datang hari 'Asyura' tahun depannya sampai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat. [Sahih Muslim]
5.      Keutamaan puasa Asyuraa’.
Dari Abu Qatadah radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ [صحيح مسلم]
"Puasa di hari Asyura', aku berharap kepada Allah akan menghapuskan dosa setahun sebelumnya". [Sahih Muslim]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ، بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ، بَعْدَ الْفَرِيضَةِ، صَلَاةُ اللَّيْلِ [صحيح مسلم]
"Puasa yang paling afdhal setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah bulan Muharram, dan shalat yang paling afdhal setelah shalat wajib adalah shalat malam". [Sahih Muslim]
Nb: Pada bab terakhir (bab 69) kitab tentang puasa, Imam Bukhari menyebutkan bab khusus tentang puasa ‘Asyuraa’.
6.      Bolehkah memulai niat puasa di siang hari?
Pendapat jumhur ulama: Puasa sunnah, boleh ditetapkan niatnya setelah terbit fajar, dangan dalil hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepadaku pada suatu hari dan bertanya:
«هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟»
“Apakah kalian punya sesuatu (yang bisa aku makan)?”
Kami menjawab: Tidak ada.
Rasulullah bersabda:
«فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ»
“Jika demikian maka kau berpuasa”
Kemudian beliau mendatangi kami di hari yang lain, maka kami berkata: Wahai Rasulullah, telah dihadiahkan untuk kami “Hais” (sejenis makanan dari kurma)!
Maka Rasulullah bersabda:
«أَرِينِيهِ، فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا»
“Perlihatkanlah kepadaku, sungguh aku bangun pagi dalam keadaan puasa”.
Kemudian beliau makan. [Sahih Muslim]
Sedangkan niat puasa wajib harus ditetapkan sebelum terbit fajar shadiq, dengan dalil hadits Hafshah radhiyallahu ‘anha istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ»
“Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa sebelum fajar, maka tidak ada (tidak sah) puasa untuknya”. [Sunan Abi Dawud: Sahih]
7.      Hadits ini adalah salah satu hadits “Tsulatsiyat” imam Bukhari.
Tsulatsiyat adalah hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang jumlah perawi antara pemilik sanad dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tiga orang.
Tsulatsiyat adalah sanad tertinggi yang dimiliki Imam Bukhari -rahimahullah- dalam kitab Shahih-nya, beliau meriwayatkan 22 hadits dengan sanad tsulatsiy, melalui 5 jalur, dari 3 Sahabat:
a.       Dari Makkiy bin Ibrahim, dari Yazid bin Abi ‘Ubaid, dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu 'anhu; Sebanyak 11 hadits.
b.       Dari Abu ‘Ashim Adh-Dhahhak bin Makhlad, dari Yazid bin Abi ‘Ubaid, dari Salamah radhiyallahu 'anhu; Sebanyak 6 hadits.
c.       Dari Muhammad bin Abdillah Al-Anshariy, dari Humaid, dari Anas radhiyallahu 'anhu; Sebanyak 3 hadits.
d.       Dari Khallad bin Yahya, dari ‘Isa bin Thahman, dari Anas radhiyallahu 'anhu; Sebanyak 1 hadits.
e.       Dari ‘Isham bin Khalid, dari Hariiz bin ‘Utsman, dari Abdullah bin Busr radhiyallahu 'anhu; Sebanyak 1 hadits.
Lihat kitab: “Tsulatsiyat Al-Imam Al-Bukhari min Al-Jami’ Ash-Shahih”, disusun oleh syekh DR. ‘Ashim bin Abdillah Al-Qaryutiy.
8.      Keutamaan sanad ‘Aly (tertinggi) di kalangan ahli hadits.
Sanad “‘Aliy” adalah sanad yang jumlah perawi antar pemilik sanad dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sedikit. Sedangkan sanad “Naazil” adalah sanad yang jumlah perawi antar pemilik sanad dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih banyak.
Sanad ‘Aliy lebih kuat dibandingkan dengan sanad Nazil, karena semakin sedikit perantara maka kemungkinan kekeliruan dalam periwayatan semakin sedikit, terkhusus jika semua perawinya tsiqah kuat hafalannya.
Akan tetapi jika sanad ‘Aliy diriwayatkan oleh perawi yang dha’if, maka sanad Nazil dengan perawi yang tsiqah lebih baik.
Imam ‘Ali bin Al-Madiniy berkata: «النُّزُولُ شُؤْمٌ», “Meriwayatkan hadits dengan sanad Nazil adalah celaan”. [Al-Jami’ liakhlaq Ar-Rawiy karya Al-Khathib 1/123]
Ketika Imam ‘Ali bin Al-Madiniy sakit di akhir hayatnya, ia ditanya: “Apa yang engkau dambakan?” Ia menjawab: " بَيت خَال وَسَنَد عَال ", “Rumah yang tenang dan sanad yang tinggi (Aliy)”.
Imam Ahmad ketika ditanya tentang seorang yang mencari sanad ‘Aliy, beliau menjawab:
«طَلَبُ الْإِسْنَادِ الْعَالِي سُنَّةٌ عَمَّنْ سَلَفَ»
“Mencari sanad yang tinggi (Aliy) adalah sunnah (kebiasaan) ulama salaf”. [Al-Jami’ liakhlaq Ar-Rawiy karya Al-Khathib 1/123]
Wallahu a’lam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...