Rabu, 18 Desember 2019

Penjelasan singkat kitab Ash-Shaum dari Sahih Bukhari; Bab (39) Kapan qadha’ Ramadhan ditunaikan?

بسم الله الرحمن الرحيم
A.    Penjelasan pertama.
Imam Bukhari rahimahullah berkata:

بَابٌ: مَتَى يُقْضَى قَضَاءُ رَمَضَانَ
“Bab: Kapan qadha’ Ramadhan ditunaikan?”
Dalam bab ini imam Bukhari rahimahullah menjelaskan bagaimana cara mengqadha puasa Ramadhan dengan menyebutkan beberapa atsar Sahabat dan Tabi’in.
Imam Bukhari rahimahullah berkata:
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: " لاَ بَأْسَ أَنْ يُفَرَّقَ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} [البقرة: 184] "، وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ المُسَيِّبِ فِي صَوْمِ العَشْرِ: «لاَ يَصْلُحُ حَتَّى يَبْدَأَ بِرَمَضَانَ»، وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ: " إِذَا فَرَّطَ حَتَّى جَاءَ رَمَضَانُ آخَرُ يَصُومُهُمَا "، وَلَمْ يَرَ عَلَيْهِ طَعَامًا، وَيُذْكَرُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مُرْسَلًا، وَابْنِ عَبَّاسٍ: " أَنَّهُ يُطْعِمُ "
“Dan Ibnu ‘Abbas berkata: “Tidak mengapa ia mengqadhanya secara terpisah karena firman Allah ta’aalaa {maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain} [Al-Baqarah: 184]”. Dan Sa’in bin Al-Musayyib berkata tentang puasa sepuluh awal Dzul Hijjah: “Tidak pantas sampai ia memulai dengan qadha puasa Ramadhan”. Dan Ibrahim berkata: “Jika ia melalaikan sampai tiba Ramadhan berikutnya maka ia wajib menunaikan puasa keduanya”, dan ia tidak melihat wajibnya memberi makan. Dan disebtukan dari Abu Hurairah secara mursal, dan Ibnu ‘Abbas: Ia wajib memberi makan”.
Imam Bukhari rahimahullah berkata:
وَلَمْ يَذْكُرِ اللَّهُ الإِطْعَامَ، إِنَّمَا قَالَ: {فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} [البقرة: 184]
Dan Allah tidak menyebutkan kewajiban memberi makan, Allah hanya menyebutkan: {maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain} [Al-Baqarah: 184]”.
Takhrij atsar di atas:
a)      Atsar Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Yang pertama:
Diriwayatkan oleh Abdurrazaq rahimahullah dalam “Al-Mushannaf” (4/243) no.7665, ia berkata:
أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: «صُمْ كَيْفَ شِئْتَ» قَالَ اللَّهُ: {فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} [البقرة: 184]
Ma’mar telah memberitakan kepada kami, dari Az-Zuhriy, dari ‘Ubaidillah bin Abdillah bin ‘Utbah, dari Ibnu ‘Abbas, (ketika ditanya tentang cara mengqadha’ puasa Ramadhan) ia berkata: “Berpuasalah dengan cara yang engkau mau”, Allah berfirman: {maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain} [Al-Baqarah: 184]”.
Ø  Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy rahimahullah dalam “As-Sunan Al-Kubra” (4/431) no.8239, melalui jalur Ibnu Al-Mubarak, dari Ma’mar, dengan lafadz:
" يَقْضِيهِ مُتَفَرِّقًا، فَإِنَّ اللهَ قَالَ: {فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} [البقرة: 184] "
“Ia boleh mengqadha’nya dengan cara terpisah, karena sesungguhnya Allah berfirman: {maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain} [Al-Baqarah: 184]”.
Ø  Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Hatim rahimahullah dalam Tafsirnya (1/306) no.1633, ia berkata:
حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ، ثنا أَبُو خَالِدٍ يَعْنِي الْأَحْمَرَ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي هِنْدَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: «إِنْ شَاءَ تَابَعَ، وَإِنْ شَاءَ فَرَّقَ ، لِأَنَّ اللَّهَ يَقُولُ: {فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} [البقرة: 184] »
Abu Sa’id Al-Asyaj menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Khalid yaitu Al-Ahmar menceritakan kepada kami, dari Daud bin Abi Hind, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Jika ia mau ia boleh berpuasa berurutan, dan jika ia mau ia boleh berpuasa secara terpisah, karena seseunguhnya Allah berfirman: {maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain} [Al-Baqarah: 184]”.
Yang kedua:
Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthniy rahimahullah dalam Sunan-nya (3/180) no.2347, ia berkata:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَمْدَوَيْهِ الْمَرْوَزِيُّ، ثنا مَحْمُودُ بْنُ آدَمَ، نا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: «مَنْ فَرَّطَ فِي صِيَامِ شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى يُدْرِكَهُ رَمَضَانُ آخَرُ فَلْيَصُمْ هَذَا الَّذِي أَدْرَكَهُ، ثُمَّ لِيَصُمْ مَا فَاتَهُ وَيُطْعِمُ مَعَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا»
Muhammad bin Hamdawaih Al-Marwaziy menceritakan kepada kami, ia berkata: Mahmud bin Adam menceritakan kepada kami, ia berkata: Sufayan bin ‘Uyainah memberitakan kepada kami, dari Abi Ishaq, dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Barangsiapa yang melalaikan puasa Ramadhan sampai tiba Ramadhan berikutnya, maka hendaklah ia berpuasa di bulan Ramadhan yang telah tiba, kemudian ia berpuasa untuk yang telah lewat, dan memberi makan untuk setiap harinya satu orang miskin”.
Ø  Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy dalam “As-Sunan Al-Kubra” (4/422) no.8211, ia berkata:
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ الْحَافِظُ، ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثنا الْحَسَنُ بْنُ مُكْرَمٍ، ثنا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، ثنا شُعْبَةُ، عَنِ الْحَكَمِ، عَنْ مَيْمُونِ بْنِ مِهْرَانَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، فِي رَجُلٍ أَدْرَكَهُ رَمَضَانُ وَعَلَيْهِ رَمَضَانُ آخَرُ، قَالَ: " يَصُومُ هَذَا، وَيُطْعِمُ عَنْ ذَاكَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، وَيَقْضِيهِ "
Abu ‘Abdillah Al-Hafidz memberitahukan kepada kami, ia berkata: Abu Al-‘Abbas Muhammad bin Ya’qub menceritakan kepada kami, ia berkata: Al-Hasan bin Mukram menceritakan kepada kami, ia berkata: Yazin bin Harun menceritakan kepada kami, ia berkata: Syu’bah menceritakan kepada kami, dari Al-Hakam, dari Maemun bin Mihran, dari Ibnu ‘Abbas, tentang seorang yang didapati oleh bulan Ramadhan sedangkan ia mempunyai utang puasa Ramadhan sebelumnya, ia berkata: “Ia berpuasa untuk Ramadhan ini, dan memberi makan setiap harinya satu orang miskin untuk Ramadhan yang lalu, dan ia mengqadha’nya”.
b)     Atsar Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah rahimahullah dalam Mushannaf-nya (2/325) no.9519, ia berkata:
حَدَّثَنَا عَبْدَةُ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ ابْنِ الْمُسَيِّبِ، «أَنَّهُ كَانَ لَا يَرَى بَأْسًا أَنْ يُقْضَى رَمَضَانُ فِي الْعَشْرِ»
‘Abdah menceritakan kepada kami, dari Sa’id, dari Qatadah, dari Ibnu Al-Musayyib: Bahwasanya ia berpendapat tidak mengapa puasa Ramadhan diqadha’ pada sepuluh awal bulan Dzulhijjah.
c)      Atsar Ibrahim bin Yazid An-Nakha’iy rahimahullah.
Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur rahimahullah dalam Sunan-nya, sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya “Tagliq At-Ta’liq” (3/187):
قَالَ سعيد بن مَنْصُور: ثَنَا هشيم، ثَنَا يُونُس، عَن الْحسن (ح)، وَعَن مَنْصُور، عَن الْحَارِث الْعُكْلِيُّ، عَن إِبْرَاهِيم؛ أَنَّهُمَا كأنا يَقُولَانِ: " إِذا تتَابع عَلَيْهِ رمضانان، صامهما صياما "، قَالَ: " وَإِن صَحَّ بَينهمَا، فَلم يقْض الأول، فبئسما صنع، فليستغفر الله، وليصم ".
Sa’id bin Manshur berkata: Husyaim telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Yunus menceritakan kepada kami, dari Al-Hasan. (H) Dan dari Manshur, dari Al-Harits Al-‘Ukliy, dari Ibrahim; Bahwa sanya keduanya (Al-Hasan dan Ibrahim) berkata: Jika seseorang bertumpuk atasnya dua kewajiban puasa Ramadhan maka ia menunaikan kedua puasa tersebut. Ia berkata: Dan jika ia sehat di antara kedua puasa tersebut dan ia tidak menqadha’ yang pertama maka itu adalah seburuk-buruk perbuatan, maka hendaklah ia meminta ampunan kepada Allah dan menunaikan puasanya.
d)     Atsar Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam “Al-Mushannaf” (4/234) no.7620:
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: «مَنْ أَدْرَكَهُ رَمَضَانُ وَهُوَ مَرِيضٌ، ثُمَّ صَحَّ، فَلَمْ يَقْضِهِ حَتَّى أَدْرَكَهُ رَمَضَانُ آخَرُ صَامَ الَّذِي أَدْرَكَ، ثُمَّ صَامَ الْأَوَّلَ، وَأَطْعَمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ قَمْحٍ»
Dari Ma’mar, dari Abi Ishaq, dari Mujahid, dari Abi Hurairah, ia berkata: “Siapa yang didapati oleh bulan Ramadhan saat ia sedang sakit, kemudian ia sehat dan tidak mengqadha’nya sampai tiba Ramadhan berikutnya maka ia berpuasa untuk bulan yang tiba, kemudian ia berpuasa untuk Ramadhan yang pertama, dan memberi makan untuk setiap harinya seperdua sha’ dari gandum”.
Ø  Dan pada no.7621:
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ: أَخْبَرَنِي عَطَاءٌ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: «إِنَّ إِنْسَانًا مَرِضَ فِي رَمَضَانَ، ثُمَّ صَحَّ، فَلَمْ يَقْضِهِ حَتَّى أَدْرَكَهُ شَهْرُ رَمَضَانَ آخَرُ، فَلْيَصُمِ الَّذِي أَحْدَثَ ثُمَّ يَقْضِي الْآخَرَ، وَيُطْعِمُ مَعَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا»
Dari Ibnu Juraij, ia berkata: ‘Atha’ memberitakan kepadaku, dari Abu Hurairah, ia berkata: “Jika seseorang sakit di bulan Ramadhan, kemudian ia sehat dan tidak menqadhanya sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya, maka hendaklah ia berpuasa untuk yang baru kemudian menqadha’ yang telah lalu, dan memberi makan untuk setiap harinya seorang miskin”.
Atsar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, imam Bukhari rahimahullah berkata:

1849 - حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ [بن معاوية الجعفي أبو خيثمة]، حَدَّثَنَا يَحْيَى [بن سعيد الأنصاري]، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، تَقُولُ: «كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ»، قَالَ يَحْيَى: الشُّغْلُ مِنَ النَّبِيِّ أَوْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
1849 - Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus, telah menceritakan kepada kami Zuhair [bin Mu’awiyah Al-Ju’fiy, Abu Khaitsamah], telah menceritakan kepada kami Yahya [bin Sa’id Al-Anshariy], dari Abu Salamah berkata; Aku mendengar 'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: "Aku berhutang puasa Ramadhan dan aku tidak bisa mengqadha'nya kecuali pada bulan Sya'ban".
Yahya berkata: "Karena dia sibuk melayani Nabi shallallahu 'alaihi wasallam".
1.      Biografi Aisyah radhiyallahu 'anha.

2.      Cinta Aisyah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam perna bersabda kepadaku:
«إِنِّي لَأَعْلَمُ إِذَا كُنْتِ عَنِّي رَاضِيَةً، وَإِذَا كُنْتِ عَلَيَّ غَضْبَى»
"Sesungguhnya aku benar-benar tahu saat kamu ridha padaku dan saat kamu tidak ridha denganku."
Aisyah bertanya:
مِنْ أَيْنَ تَعْرِفُ ذَلِكَ؟
"Dari mana Anda mengetahui hal itu?"
Maka beliau pun menjawab:
" أَمَّا إِذَا كُنْتِ عَنِّي رَاضِيَةً، فَإِنَّكِ تَقُولِينَ: لاَ وَرَبِّ مُحَمَّدٍ، وَإِذَا كُنْتِ عَلَيَّ غَضْبَى، قُلْتِ: لاَ وَرَبِّ إِبْرَاهِيمَ "
"Jika kamu ridha terhadapku maka engkau berkata, 'Demi Rabb Muhammad.' Namun bila kamu sedang marah denganku, maka kamu berkata, 'Tidak. Demi Rabb Ibrahim.'"
Aku pun berkata:
أَجَلْ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا أَهْجُرُ إِلَّا اسْمَكَ
"Demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak meninggalkan kecuali namamu saja (sedangkan hatiku tetap mencintaimu)." [Shahih Bukhari dan Muslim]
3.      Kewajiban istri melayani suaminya.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
" لَا يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرِقِ رَأْسِهِ قُرْحَةٌ تَنْبَجِسُ بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ تَلْحَسُهُ مَا أَدَّتْ حَقَّهُ " [مسند أحمد: صحيح لغيره]
"Tidak dibenarkan bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia, seandainya dibenarkan bagi seorang manusia sujud kepada manusia maka aku perintahkan perempuan sujud kepada suaminya karena kebesaran hak suami kepadanya. Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seorang suami memiliki luka dari ujung kaki hingga ujung kepala yang mengalirkan nanah atau darah kemudian sang istri menciumnya hingga menjilatinya, maka hal itu belum memenuhi seluruh haknya kepadanya". [Musnad Ahmad: Sahih]
Ø  Abdullah bin Abu Aufa -radhiallahu 'anhu- berkata:
لَمَّا قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّامِ سَجَدَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَا هَذَا يَا مُعَاذُ؟» قَالَ: أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَقْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ نَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَلَا تَفْعَلُوا، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ»
"Tatkala Mu'adz datang dari Syam, ia bersujud kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam hingga beliau bersabda: "Apa-apaan ini ya Mu'adz!
Mu'adz menjawab, "Aku pernah mendatangi Syam, aku mendapatkan mereka sujud kepada para uskup dan komandan mereka. Maka, aku ingin melakukannya terhadapmu."
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian melakukannya, kalau saja aku diperbolehkan memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, niscaya aku akan perintahkan seorang isteri bersujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya, sungguh seorang isteri itu tidak dikatakan menunaikan hak Rabb-nya hingga ia menunaikan hak suaminya. Kalau saja suami memintanya untuk dilayani, sementara ia sedang berada di atas pelana kendaraan, maka ia tidak boleh menolaknya." [Sunan Ibnu Majah: Hasan Shahih]
Ø  Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:
«كُنْتُ أَغْسِلُ الجَنَابَةَ مِنْ ثَوْبِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَيَخْرُجُ إِلَى الصَّلاَةِ، وَإِنَّ بُقَعَ المَاءِ فِي ثَوْبِهِ» [صحيح البخاري ومسلم]
“Aku mencuci kain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari air mani, kemudian beliau keluar untuk shalat, sementara bekas cuciannya masih nampak basah”. [Shahih Bukhari dan Muslim]
Ø  Dalam riwayat lain:
«كُنْتُ أُرَجِّلُ رَأْسَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا حَائِضٌ» [صحيح البخاري ومسلم]
“Aku pernah menyisir rambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sementara saat itu aku sedang haid”. [Shahih Bukhari dan Muslim]
Ø  Dalam riwayat lain:
«كُنْتُ أُطَيِّبُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِحْرَامِهِ حِينَ يُحْرِمُ، وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ» [صحيح البخاري ومسلم]
“Aku pernah memakaikan wewangian kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk ihramnya saat beliau berihram, dan untuk tahallul-nya (melepaskan ihram) sebelum tawaf mengelilingi Ka’bah di Baitullah”. [Shahih Bukhari dan Muslim]
4.      Larangan bagi istri berpuasa ketika suaminya tidak berpuasa.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ [صحيح البخاري]
“Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa saat suaminya ada (tidak bepergian jauh) tanpa seizinnya”. [Sahih Bukhari]
5.      Haruskah mengqadha secara berurutan?
Imam Arba’ah (Abu Hanifah, Malik, Syafi’iy, dan Ahmad) membolehkan mengqadha’ puasa Ramadhan secara terpisah atau berurutan, seperti pendapat Ibnu ‘Abbas di atas, juga pendapat Abu Hurairah, dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:
«يُوَاتِرُهُ إِنْ شَاءَ»
“Ia boleh mengqadha’nya secara berurutan jika mau”. [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah: Shahih]
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata:
«إِنْ شِئْتَ فَاقْضِ رَمَضَانَ مُتَتَابِعًا، وَإِنْ شِئْتَ مُتَفَرِّقًا»
“Jika engkau mau maka qadha’lah puasa Ramadhan secara berurutan, dan jika engkau mau secara terpisah”. [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah: Shahih]
Ø  Akan tetapi mengqadha secara berurutan lebih baik.
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata tentang qadha’ puasa Ramadhan:
«يُتَابِعُ بَيْنَهُ»
“Hendaklah ia mengqadhanya secara berututan”. [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah: Shahih]
Ø  Adapun hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu’ dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
«مَنْ كَانَ عَلَيْهِ صَوْمٌ مِنْ رَمَضَانَ فَلْيَسْرُدْهُ وَلَا يَقْطَعْهُ»
“Barangsiapa yang mempunyai kewajiban qadha’ puasa Ramadhan maka hendaklah ia menunaikannya secara berurutan dan jangan memutuskannya”.
Hadits ini adalah hadits yang lemah. [Lihat kitab Al-Irwaa’ karya syekh Albaniy rahimahullah 4/95]
6.      Hukum menunda qadha sampai lewat Ramadhan berikutnya?
Boleh menunda qadha Ramadhan sekalipun tanpa ada alasan, akan tetapi menyegerakannya lebih baik. Allah subhanahu wata’aalaa berfirman:
{أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ} [المؤمنون: 57 - 61]
Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. [Al-Mu'minun:57 - 61]
Dan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha menunjukkan untuk tidak mengakhirkan qadha’ Ramadhan sampai lewat Ramadhan berikutnya.
Ø  Jika datang bulan Ramadhan berikutnya sebelum menunaikan qadha’ puasa Ramadhan sebelumnya tanpa udzur (alasan) maka ia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang tiba dan mengqadha yang lalu.
Namun ulama berselisih apakah ia wajib memberi makan untuk setiap harinya satu orang miskin atau tidak:
Pendapat pertama: Wajib memberi makan.
Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum, imam Malik, Syafi’iy dan Ahmad rahimahumullah.
Pendapat kedua: Tidak wajib memberi makan.
a.       Karena Allah subhanahu wata’aalaa hanya memerintahkan untuk mengqadha pada hari yang lain tanpa memerintahkan untuk memberi makan jika datang Ramadhan berikutnya sebelum ditunaikan.
b.       Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga tidak memerintahkan yang demikian.
c.       Adapun ucapan Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum maka bisa dipahami sebagai anjuran semata bukan kewajiban.
Ini adalah pendapat Ibrahim An-Nakha’iy, madzhab Abu Hanifah dan Ibnu Hazm rahimahumullah. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Imam Bukhari -rahimahullah- dalam bab ini.
7.      Bolehkah berpuasa sunnah sebelum mengqadha’ puasa Ramadhan?
Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini:
Pendapat Pertama: Boleh berpuasa sunnah sebelum mengqadha puasa wajib.
Dengan alasan:
1)      Allah subhanahu wata’aalaa memerintahkan untuk mengqadha pada hari yang lain tanpa memberikan syarat.
2)      Dan nampak dari hadits Aisyah -radhiyallahu ‘anha- bahwa ia berpuasa sunnah sepengetahuan Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- sebelum menunaikan qadha’ Ramadhannya di bulan Sya’ban.
3)      Puasa sunnah terkadang waktunya sempit, sedangkan qadha’ wajib waktunya longgar, maka yang waktunya sempit didahulukan dari yang waktunya longgar.
Ini adalah pendapat madzhab Al-Hanafiyah, dan salah satu riwayat dari imam Ahmad.
Pendapat kedua: Sebaiknya mendahulukan qadha puasa wajib.
Dari Al-Aswad bin Qais -rahimahullah-;
«أَنَّ عُمَرَ كَانَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُقْضَى رَمَضَانُ فِي الْعَشْرِ»
Bahwasanya ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- menganjurkan untuk mengqadha’ puasa Ramadhan di sepuluh awal Dzulhijjah”. [Mushannaf Abdurrazaq]
Ini adalah pendapat Sa’id bin Musayyab, madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan yang dikuatkan oleh imam Bukhari rahimahumullah.
Pendapat ketiga: Tidak boleh puasa sunnah sebelum megqadha puasa wajib.
Dengan alasan:
a.       Mendahulukan yang wajib lebih penting dari pada sunnah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah subhanahu wata'ala berfirman (dalam sebuah hadits qudsiy):
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ [صحيح البخاري ومسلم]
"Dan tidak ada ibadah yang dipersembahkan hamba-Ku yang paling Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibakan kepadanya, dan tidaklah hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah sampai Aku mencintainya". [Bukhari dan Muslim]
b.       Kematian kapan saja bisa menjemput dan seseorang akan dituntut dengan ibadah wajibnya tidak dengan ibadah sunnahnya.
c.       Aisyah radhiyallahu ‘anha mengundur qadha’ puasa wajibnya demi melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka meninggalkan puasa sunnah lebih utama.
d.       Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata tentang orang yang ingin berpuasa sunnah sebelum menqadha’ puasa wajibnya:
«لَا بَلْ حَتَّى تُؤَدِّيَ الْحَقَّ»
“Tidak boleh, sampai ia menunaikan kewajibannya”. [Mushannaf ‘Abdurrazaq]
e.        ‘Utsman bin Mauhib -rahimahullah- berkata: Aku mendengar Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- ditanya oleh seseorang yang mengatakan: Aku memiliki kewajiban qadha’ puasa Ramadhan, apakah boleh aku berpuasa sunnah sepuluh awal Dzulhijjah (sebelum mengqadha’)?
Abu Hurairah menjawab:
«لَا، وَلِمَ؟ ابْدَأْ بِحَقِّ اللَّهِ، ثُمَّ تَطَوَّعْ بَعْدَمَا شِئْتَ»
“Tidak boleh, dan untuk apa (engkau berpuasa sunnah)? Mulailah dengan hak Allah (yang wajib), kemudian berpuasa sunnahlah setelah itu sesukamu”. [Mushannaf Abdurrazaq]
Ini adalah madzab imam Ahmad rahimahullah.
8.      Bolehkah qadha’ puasa Ramadhan digabung dengan niat puasa sunnah tertentu?
Ulama berselisih dalam masalah ini:
Pendapat pertama: Boleh.
Seperti mengqadha’ puasa Ramadhan di sepuluh awal Dzulhijjah, maka ia mendapat pahala puasa wajib dan sunnah.
Sama seperti shalat tahiyatul masjid ditutupi dengan shalat fardhu.
Ini adalah pendapat Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu, dan Sa’id bin Al-Musayyab rahimahullah.
Pendapat kedua: Tidak boleh.
Karena puasa sunnah dan wajib adalah dua ibadah yang berbeda dan membutuhkan niat yang berbeda.
Pendapat ketiga: Sebaiknya memisahkan puasa wajib dengan sunnah.
Karena pahala yang didapatkan berbeda jika dua puasa digabungkan dalam satu niat dengan puasa masing-masing.
Wallahu a’lam!

1 komentar:

  1. Alhamdulillah saya bertemu blog sangat bermutu tinggi seperti ini.....di mana padat dengan hadist-hadist sohih di sertai sanad dan tulisan arab nya cocok menjadi standart rujukan mumpuni...saya sangat puas mereguk ilmu yang sangat padat di blog ini semua di bahas sangat rinci

    Pak ustad.....mohon juga di bahas fiqih perbudakan....walau perbudakan sudah hapus dan hukum nya tidak di pakai lagi kini mohon pada pak ustad membahas hadist2 mengenai perbudakan sebab untuk melurus kan sesat paham mengenai perbiudakan di masa lampau dan untuk menjadi rujukan blog saya pak ustad ustuk menjawab pertanyaan2 manusia modern mengenai perbudakan...kalu berkenan mohon mampir baca2 blog saya pak ustad di

    https://bincangislam.wordpress.com/

    Saya ingin bertanya pak ustad.....pernah kah Rasul sepanjang hidup nya membeli dan menjual budak?sumber yang saya ketahui hanya pada peristiwa Quraizah.....dan mengapa Rasul menjual mereka saya sudah jawab sedikit di sini

    https://bincangislam.wordpress.com/2019/12/11/islam-tidak-membebas-kan-perbudakan-secara-spontan/

    Dan saya mau juga kepastian 100 persen apakah budak wanita dapat di gauli tampa akad nikah atau dengan akad nikah?walau demikian saya melihat ada aspek logisengapa budak wanita dapat di gauli tampa akad nikah sudah saya bahas di sin....tapi saya butuh dalil-dalil lebih lanjut

    https://bincangislam.wordpress.com/2019/12/15/menyetubuhi-budak-wanita-zina-apa-itu-realistis/

    BalasHapus

Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...