Minggu, 09 Desember 2012

Qadhaa' puasa sunnah




Ulama berselisih pendapat; Apakah orang yang membatalkan puasa sunnahnya sebelum magrib wajib menggantinya (qadhaa') di hari yang lain atau tidak?

Pendapat pertama: Wajib meng-qadhaa' puasa yang dibatalkan.

Dalilnya:

1.      Firman Allah subhanahu wata'aalaa:
{وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ} [محمد: 33]
Dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu. [Muhammad:33]
Mereka mengatakan: Membatalkan ibadah dengan sengaja hukumnya haram, dan wajib diganti.

2.      Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: Suatu hari aku dan Hafsah berpuasa kemudian didatangkan pada kami makanan yang menggiurkan kami, maka kami memakannya. Kemudian datang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu Hafsah mendahuluiku bertanya: Ya Rasulullah, tadi kami berdua puasa kemudian didatangkan pada kami makanan yang menggiurkan kami maka kami memakannya?
Rasulullah menjawab:
«اقْضِيَا يَوْمًا آخَرَ مَكَانَهُ» [لسنن الترمذي: ضعفه الألباني]
"Qadhaa'-lah di hari yang lain sebagai penggantinya". [Sunan At-Tirmidziy: Dilemahkan oleh syekh Al-Baniy]

3.      Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang kepada kami, lalu kami bertaka: Sesungguhnya kami punya makanan yang kami simpan untukmu!
Rasulullah berkata:
«قَرِّبُوهُ»
"Hidangkanlah!"
Kemudian Rasulullah memakannya, dan berkata:
«إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَرَدْتُ الصَّوْمَ وَلَكِنْ أَصُومُ يَوْمًا مَكَانَهُ» [السنن الكبرى للنسائي]
"Sesungguhnya tadi aku ingin puasa, akan tetapi aku akan berpuasa di hari lain sebagai penggantinya". [Sunan Al-Kubraa An-Nasa'i]

4.      Menyamakan salat sunnah dengan haji dan umrah sunnah yang jika batal harus diganti.
{وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ} [البقرة: 196]
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. [Al-Baqarah:196]

Pendapat kedua: Tidak wajib di-qadhaa'.

Dalilnya: 

1.      Dari Ummu Haani' radhiyallahu 'anha; Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam minum suatu minuman kemudian menyodorkan kepadanya untuk meminumnya, maka Ummu Haani' berkata: Sesungguhnya saya sedang puasa, akan tetapi saya tidak suka menolak sisa minummu.
Maka Rasulullah menjawab:
" إِنْ كَانَ قَضَاءً مِنْ رَمَضَانَ، فَاقْضِي يَوْمًا مَكَانَهُ، وَإِنْ كَانَ تَطَوُّعًا ، فَإِنْ شِئْتِ فَاقْضِي، وَإِنْ شِئْتِ فَلَا تَقْضِي " [مسند أحمد: حسنه الشيخ الألباني]
"Jika puasamu itu adalah sebagai pengganti dari puasa Ramadhan maka gantilah di hari yang lain, dan jika itu puasa sunnah maka jika kau mau maka gantilah dan jika tidak mau maka tidak perlu diganti". [Musnad Ahmad: Hasan]

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Ummu Haani':
«الصَّائِمُ المُتَطَوِّعُ أَمِينُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ» [سنن الترمذي: صححه الألباني]
"Orang yang berpuasa sunnah adalah amanah bagi dirinya sendiri, jika mau ia berpuasa dan jika mau ia tidak berpuasa". [Sunan Tirmidziy: Sahih] 

2.      Adapun firman Allah subhanahu wata'ala yang melarang merusak amalan saleh, maka yang dimaksud adalah amalan wajib atau membatalkan pahala amalan dengan riya' atau dengan murtad.
3.      Sedangkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha yang pertama, maka hadits tersebut tidak sahih. Imam Tirmidziy rahimahullah berkata: Aku bertanya kepada Muhammad (Imam Bukhari rahimahullah) tentang hadits ini, dan ia menjawab: Hadits ini tidak sahih. ['Illa At-Tirmidziy Al-Kabiir]
4.      Begitupula dengan hadits yang kedua, Imam An-Nasa'i rahimahullah mengatakan: "Lafadz hadits ini salah".
Lafadz hadits yang sahih tidak menyebutkan ingin menggantinya di hari yang lain, sebagaimana dalam riwayat lain, Aisyah "ummul mu'minin" radhiyallahu 'anha berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepadaku pada suatu hari:
«يَا عَائِشَةُ، هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟»
"Ya Aisyah, apakah engkau punya sesuatu untuk dimakan?"
Aku menjawab: Ya Rasulullah kita tidak memiliki sesuatu!
Rasulullah berkata:
 «فَإِنِّي صَائِمٌ»
"Kalau begitu saya puasa hari ini".
Kemudian Rasulullah keluar ruamh lalu kami dihadiahi, maka setelah Rasulullah kembali, aku berkata: Ya Rasulullah kita dihadiahi suatu makan dan aku menyisahkannya untukmu!
Rasulullah bertanya:
«مَا هُوَ؟»
"Apa itu?"
Aku menjawab: "Hais" (makanan terbuat dari kurma dan tepung)!
Rasulullah berkata:
 «هَاتِيهِ»
"Bawa ke sini!"
Kemudian Rasulullah memakannya, dan berkata:
«قَدْ كُنْتُ أَصْبَحْتُ صَائِمًا» [صحيح مسلم]
"Tadi paginya aku telah berniat untuk puasa". [Sahih Muslim]
Dalam hadits ini tidak disebutkan bahwa Rasullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengganti puasa tersebut di hari yang lain.

5.      Masalah ini tidak bisa disamakan (qiyas) dengan haji dan umrah, karena salat atau puasa yang batal tidak boleh dilanjutkan. Sedangkan haji sekalipun batal tetap harus dilaksanakan dan harus diganti pada tahun berikutnya.
Wallahu a'lam!

Ulama juga berselisih tentang hukum mengqadhaa' (mengganti) puasa sunnah yang terlewatkan di hari yang lain.

Pendapat pertama: Disunnahkan mengqadhaa' puasa sunnah yang terlewatkan seperti disunnahkannya meng-qadhaa' salat sunnah.

Ibnu Hajar Al-Makkiy Asy-Syafi'iy (974H) rahimahullah berkata:
لَوْ فَاتَهُ رَمَضَانُ فَصَامَ عَنْهُ شَوَّالًا سُنَّ لَهُ صَوْمُ سِتٍّ مِنْ الْقِعْدَةِ ؛ لِأَنَّ مَنْ فَاتَهُ صَوْمٌ رَاتِبٌ يُسَنُّ لَهُ قَضَاؤُهُ [تحفة المحتاج في شرح المنهاج لابن حجر الهيتمي 3/457]
"Kalau ia terlewatkan puasa Ramadhan lalu ia menunaikannya di bulan Syawal (sepenuhnya) maka disunnatkan baginya menjalankan puasa enam hari di bulan Dzul qa'dah karena barangsiapa yang terlewatkan puasa sunnah yang rutin maka disunnahkan baginya mengqadhaa'-nya". [Tuhfatul Muhtaaj syarh Al-Minhaaj]

Syamsuddin Ar-Ramliy Asy-Syafi'iy (1004H) rahimahullah mengatakan:
أَمَّا مَنْ فَاتَهُ وَلَهُ عَادَةٌ بِصِيَامِهِ كَالِاثْنَيْنِ فَلَا يُسَنُّ لَهُ قَضَاؤُهُ لِفَقْدِ الْعِلَّةِ الْمَذْكُورَةِ عَلَى مَا أَفْتَى بِهِ الْوَالِدُ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى - لَكِنَّهُ مُعَارَضٌ بِمَا مَرَّ مِنْ إفْتَائِهِ بِقَضَاءِ سِتٍّ مِنْ الْقَعْدَةِ عَنْ سِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ مُعَلِّلًا لَهُ بِأَنَّهُ يُسْتَحَبُّ قَضَاءُ الصَّوْمِ الرَّاتِبِ وَهَذَا هُوَ الْأَوْجَهُ [نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج]
"Adapun orang yang terlewatkan oleh puasa yang sering ia jalankan seperti hari senin, maka tidak disunnahkan untuk mengqadhaa'-nya karena alasannya disyari'atkannya sudah lewat. Ini sesuai yang difatwakan oleh bapakku –rahimahullahu ta'aalaa-, akan tetapi bertentangan dengan apa yang telah lewat dari fatwahnya yang membolehkan qadhaa' puasa enam hari di bulan Dzul qa'dah setelah lewat bulan Syawal dengan alasan karena disunnahkan meng-qadhaa' puasa sunnah yang rutin. Dan pendapat ini adalah yang paling tepat". [Nihayatul Muhtaaj ilaa syarh Al-Minhaaj]

Abu Al-Mu'thiy Al-Jawiy Asy-Syafi'iy (1316H) rahimahullah berkata:
تفوت بفوات شوال ويسن قضاؤها [نهاية الزين في إرشاد المبتدئين 1/192]
"Puasa enam hari di bulan Syawal berlalu dengan berlalunya bulan Syawal, dan disunnahkan meng-qadhaa'-nya". [Nihayah Az-Zain] 

Lihat Fatawa Asy-Syabakah Al-Islamiyah 11/16443 "يندب قضاء الأيام البيض لمن اعتاد صيامها" tanggal 26 Rabiul Awwal 1425H, dan 11/17667 "قضاء صوم يوم عاشوراء" tanggal 16 Muharram 1427H, dan 11/18179 "هل يشرع قضاء ما فات من صيام الست من شوال" tanggal 20 Dzul qa'dah 1430H, dan 11/18254 "يستحب القضاء لمن فاته الست من شوال" tanggal 11 Dzul qa'dah 1425H.

Pendapat kedua: Tidak disunnahkan mengqadhaa' puasa sunnah yang telah lewat, karena tidak ada nash yang mengajurkannya.

Al-Buhutiy Al-Hanbaliy (1051H) rahimahullah mengatakan:
لا تحصل الفضيلة بصيامها في غير شوال لظاهر الأخبار. انتهى. [كشاف القناع عن الاقناع 2/338]
Tidak mendapatkan keutamaan puasa enam hari di bulan Syawal bagi yang menjalankannya di luar bulan Syawal sesuai dengan makna dzahir dari hadits-hadits (keutamaan puasa enam hari di bulan Syawal). [Kasysyaaf Al-Qanaa' 'an Al-Iqnaa']

Syekh Ibnu Baz (1420H) rahimahullah mengatakan:
لا يشرع قضاؤها بعد انسلاخ شوال ؛ لأنها سنة فات محلها سواء تركت لعذر أو لغير عذر [مجموع فتاوى ابن باز 15/389]
Tidak disyari'atkan mengqadhaa' puasa enam hari Syawal setelah lewat bulan Syawal karena hukumnya hanya sunnah yang sudah lewat waktunya, sama halnya jika ia tinggalkan karena ada halangan atau karena tidak ada halangan. [Majmu' Fatawa Ibnu Baz]

Syekh Abdul 'Aziz Ar-Rajihiy mengatakan:
لا يشرع قضاء اليوم العاشر [فتاوى الشيخ عبد العزيز الراجحي]
"Tidak disyari'atkan mengqadhaa' puasa di hari kesepuluh bulan Muharram (hari 'Asyura')". [Fatawa Asy-Syekh Abdul Aziz Ar-Rajihiy]

Pendapat ketiga: Boleh di-qadhaa' jika tidak berpuasa karena ada halangan.

Syekh Abdurrahman As-Sa'diy (1376H) rahimahullah mengatakan:
أما إن كان له عذر من مرض أو حيض أو نفاس أو نحو ذلك من الأعذار التي بسببها أخر صيام قضائه أو أخر صيام الست ، فلا شك في إدراك الأجر الخاص ، وقد نصوا على ذلك .
وأما إذا لم يكن له عذر أصلا ، بل أخر صيامها إلى ذي القعدة أو غيره ، فظاهر النص يدل على أنه لا يدرك الفضل الخاص ، وأنه سنة في وقت فات محله ، كما إذا فاته صيام عشر ذي الحجة أو غيرها حتى فات وقتها ، فقد زال ذلك المعنى الخاص ، وبقي الصيام المطلق [الفتاوى السعدية ص246]
"Jika ia punya halangan seperti sakit, haid, nifas, atau semisalnya yang menyebabkan ia terlambat mengqadhaa' puasa Ramadhan atau terlambat menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal, maka tidak ada keraguan kalau ia telah mendapatkan pahala khusus, dan masalah ini telah ditetapkan oleh para ulama.
Adapun jika ia tidak punya halangan sama sekali, bahkan ia melambatkannya sampai masuk bulan Dzul qa'dah atau selainnnya, maka secara dzahir nash menunjukkan kalau ia tidak mendapatkan keutamaan khusus, dan puasa itu hukumnya sunnah pada waktunya dan telah lewat. Seperti halnya jika ia terlewatkan puasa sepuluh hari Dzul hijjah atau selainnya sampai lewat waktunya maka keutamaan khususnya telah hilang, dan yang masih tersisa hanya puasa muthlak (umum)". [Al-Fatawa As-Sa'diyah] 

Syekh Utsaimin (1421H) rahimahullah mengatakan:
لو فرض أن القضاء استوعب جميع شوال، مثل أن تكون امرأة نفساء ولم تصم يوماً من رمضان، ثم شرعت في قضاء الصوم في شوال ولم تنته إلا بعد دخول شهر ذي القعدة فإنها تصوم الأيام الستة، ويكون لها أجر من صامها في شوال، لأن تأخيرها هنا للضرورة وهو متعذر، فصار لها الأجر [مجموع فتاوى ورسائل العثيمين (20/ 19)]
Jika seandainya seseorang mengqadhaa' puasa Ramadhan di bulan Syawal seluruhnya, seperti seorang wanita yang nifas dan tidak puasa sehari pun di bulan Ramadhan, kemudian ia mengqadhaa'-nya di bulan Syawal dan tidak tunai sampai masuk bulan Dzul qa'dah. Maka ia boleh melanjutkannya dengan puasa enam hari dan ia mendapat pahala puasa Syawal sebab ia terlambat karena terpaksa dan puasa sunnah di bulan syawal tidak memungkinkan, maka ia mendapatkan pahala. [Majmu' Fatawa Syeh Ibnu Utsaimin]

Beliau juga mengatakan:
إذا قدرنا أن الإنسان كان عليه صوم رمضان كاملاً إما بسفر أو مرض أو بنفاس, وصام شهر شوال وانتهى شوال كله قضاءً فإنه يصوم الأيام الستة في ذي القعدة؛ لأنه إذا كان رمضان وهو فرض يقضى بعد فواته, فكذلك النافلة, ولأن صوم الست من شوال تابعة لرمضان, أما لو تهاون في القضاء ومضت أيام يتمكن فيها من القضاء ثم لم يقضِ عليه من رمضان إلا في آخر شوال ثم أراد أن يتبعه بست من شوال فهذا لا يجزئه؛ لأنه أخرج العبادة عن وقتها بدون عذر [لقاء الباب المفتوح]
Jika kita andaikan seorang yang punya utang puasa Ramadhan sebulan penuh karena musafir, sakit, atau nifas. Kemudian ia menggantinya di bulan Syawal sebulan penuh, maka ia menjalankan puasa sunnah enam hari syawal di bulan Dzul qa'dah. Karena jika puasa Ramadhan yang hukumnya wajib bisa diganti setelah lewat maka puasa sunnahpun demikian, dan juga karena puasa enam hari syawal adalah mengikut puasa Ramadhan.
Akan tetapi jika ia melalaikan qadhaa' Ramadhan kemudian berakhir setelah habis bulan Syawal dan ingin menjalankan puasa enam Syawal di bulan Dzul qa'dah maka ini tidak boleh karena mengeluarkan waktu ibadah pada waktunya tanpa halangan. [Liqaa' Al-Baab Al-Maftuuh]

Lihat website "Al-Islam su'al wa jawaab" dibawah asuhan syekh Muhammad Shalih Al-Munajid hafidzahullah "هل يبدأ بالست من شوال قبل القضاء إذا كان باقي الأيام لا يكفي", dan "حكم قضاء ستة شوال في ذي القعدة".

Namun sepertinya hukum ini khusus bagi puasa Syawal menurut syekh Ibnu Utsaimin atau beliau telah merujuk fatwanya, karena di kesempatan yang lain beliau berkata:
النوافل نوعان: نوع له سبب، ونوع لا سبب له. فالذي له سبب يفوت بفوات السبب ولا يُقضي، مثال ذلك: تحية المسجد، لو جاء الرجل وجلس ثم طال جلوسه ثم أراد أني يأتي بتحية المسجد، لم تكن تحية للمسجد، لأنها صلاة ذات سبب، مربوطة بسبب، فإذا فات فاتت المشروعية
ومثل ذلك فيما يظهر يوم عرفة ويوم عاشوراء، فإذا أخر الإنسان صوم يوم عرفة ويوم عاشوراء بلا عذر فلا شك أنه لا يقضي ولا ينتفع به لو قضاه، أي لا ينتفع به على أنه يوم عرفة ويوم عاشوراء.
وأما إذا مر على الإنسان وهو معذور كالمرأة الحائض والنفساء أو المريض، فالظاهر أيضاً أنه لا يقضي، لأن هذا خص بيوم معين يفوت حكمه بفوات هذا اليوم. [مجموع فتاوى ورسائل العثيمين (20/43)]
"Amalan sunnah itu ada dua: Ada yang punya sebab dan ada yang tidak punya sebab. Adapun amalan sunnah yang punya sebab, maka hukumnya telah hilang jika sebabnya hilang dan tidak bisa diganti. Seperti contohnya salat "tahiyatul masjid", kalau seseorang datang ke mesjid kemudian duduk dalam waktu yang lama kemudian ingin mendirikan salat "tahiyatul masjid" maka salat itu bukan lagi "tahiyatul masjid" karena salat tersebut punya sebab dan terikat oleh sebab. Maka jika sebabnya sudah lewat maka anjurannya pun juga lewat.
Dan contoh yang sama secara dzahir adalah puasa hari Arafah dan Asyura'. Maka jika seseorang tidak menunaikannya tanpa halangan maka tidak ada keraguan kalau ia tidak boleh mengqadhaa'-nya dan tidak bermanfaat jika ia mengqadhaa'-nya, dalam artian ia tidak mendapatkan fadhilah puasa Arafah atau Asyuraa'.
Adapun jika seseorang terlewatkan puasa tersebeut karena ada halangan seperti seorang perempuan datang haid atau nifas, atau seorang yang sakit. Maka yang nampak juga ia tidak boleh mengqadhaa'-nya karena puasa ini khusus pada hari tertentu, hukumnya telah lewat dengan lewatnya hari tersebut". [Majmu' Fatawa Syeh Ibnu Utsaimin]

Beliau juga pernah ditanya tentang seorang wanita yang haid pada hari kesembilan Dzul hijjah (hari Arafah), apakah ia boleh mengqadhaa'-nya di hari yang lain?
Syekh menjawab:
لا تصومه قضاءً لأن هذا اليوم يوم معين مخصوص فإذا فات وقته فقد سنيته فلو صامت لم يحصل لها أجر صيام ذلك اليوم.
وربما يقال إنه يحصل لها لأنها تركته بعذرٍ كما لو تركت صيام رمضان بعذرٍ فإنها تقضيه لكن في هذا نظر لأن قضاء رمضان واجب لا بد من فعله أما هذه سنة فات محلها والسنة إذا فات محلها سقطت [فتاوى نور على الدرب لابن عثيمين]
"Jangan puasa untuk mengqadhaa'-nya karena hari tersebut adalah hari yang khusus, jika sudah lewat maka sunnah puasanya juga lewat. Maka jika ia berpuasa di hari lain, ia tidak mendapatkan pahala khusus puasa pada hari tersebut.
Dan bisa saja dikatakan bahwa ia juga dapat pahala sebab meninggalkannya karena ada halangan, sebagaimana jika seseorang meninggalkan puasa Ramadhan karena ada halangan maka ia menggantinya di hari yang lain.
Akan tetapi argumen ini lemah karena mengganti puasa Ramadhan hukumnya wajib harus dilakukan, sedangkan ini hanya sunnah yang sudah lewat waktunya. Dan suatu yang sunnah jika sudah lewat waktunya maka anjurannya sudah gugur". [Fatawa Nuur 'alaa Ad-Darb]

Wallahu a'lam!

2 komentar:

  1. Alhamdulillah...., dapat ilmu penting di sini, terkait puasa sunnah itu perlu diqadha atau tidak. Makasih banyak ya....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih kembali mas, semoga kita bisa sama-sama saling memberi manfaat ...

      Hapus

Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...