بسم الله الرحمن الرحيم
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (354H) dalam kitabnya “Al-Majruuhiin”
2/194, Ath-Thabaraniy (360H) dalam kitabnya “Al-Mu’jam Al-Ausath” 8/150
no.8235, dan Abu Nu’aim (430H) dalam kitabnya “Hilyatul Auliyaa’” 8/245:
عن يُوسُف
بْن أَسْبَاطٍ قال: حدثنا عَائِذُ
بْنُ شُرَيْحٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا الَّذِي يُعْطِي مِنْ سَعَةٍ بِأَعْظَمَ
أَجْرًا مِنَ الَّذِي يَقْبَلُ إِذَا كَانَ مُحْتَاجًا»
Dari Yusuf bin Asbaath, ia berkata: ‘Aaidz bin Syuraih menceritakan kepada kami dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda: “Tidaklah
yang memberi dalam kondisi berkecukupan (kaya) lebih besar pahalanya dari yang
menerima jika ia membutukan”.
Sanad hadits ini lemah karena dua sebab:
1.
Yusuf
bin Asbaath bin Waashil Asy-Syaibaniy Al-Kuufiy[1]
(195H); Periwayatan haditsnya cukup bagus) tapi ia banyak
melakukan kesalahan.
Ibnu Ma’in dan
Al-‘Ijliy menganggapnya tsiqah.
Abu Hatim mengatakan:
Ia banyak melakukan kesalahan dan ia seorang yang saleh, periwayatan haditsnya
tidak bisa dijadikan hujjah.
Ibnu ‘Adiy berkata:
Ia termasuk orang yang jujur, hanya saja sejak bukunya tiada ia meriwayatkan
hadits dari hafalannya sehingga banyak melakukan kesalahan dan lupa, tapi ia
tidak sengaja berbohong.
2.
‘Aaidz
bin Syuraih, Abu Al-Khaliij Al-Hadhramiy[2];
Periwayatan haditsnya dilemahkan oleh Abu Hatim, Ibu Hibban, Adz-Dzahabiy, dan
yang lainnya.
Akan tetapi ada
sanad lain yang mendukung hadits ini dan bisa mengangkatnya dari derajat lemah
ke derajat hadits hasan li gairih.
Sebagaimana
diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam kitabnya “Al-Mu’jam Al-Kabiir”
12/423 no.13560:
عن مصعب
بن سعيد أبي خيثمة ثنا موسى بن أعين ثنا أبو شهاب الحناط عن فطر عن مجاهد عن ابن عمر
قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " ما المعطي من سعة بأفضل من الآخذ
إذا كان محتاجا "
Dari Mush’ab
bin Sa’id Abu Khaitsamah: Musa bin A’yun menceritakan kepada kami: Abu
Syihaab Al-Hannath menceritakan kepada kami, dari Fithr, dari Mujahid, dari
Ibnu Umar berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah
orang yang memberi dalam kondisi berkecukupan (kaya) lebih baik daripada orang
yang menerima jika ia membutuhkan”.
Al-Haitsamiy mengatakan: Dalam
sanadnya ada Mus’ab bin Sa’id[3],
ia perawiy yang lemah. [Majma’ Az-Zawaid 3/101 no.4561]
Dilemahkan juga oleh Ibnu ‘Adiy.
Sedangkan Abu Hatim dan Adz-Dzahabiy
mengatakan: Ia shaduuq (periwayatan haditsnya cukup bagus).
Hadits ini menunjukkan bahwa orang
yang memberi tidak selamanya lebih baik dan lebih banyak pahalanya daripada
orang yang menerima atau meminta dalam keadaan membutuhkan.
Orang yang menerima karena ia seorang
yang lemah tidak bisa mencari nafkah dan ia takut membinasakan dirinya atau
membuat keluarganya yang wajib ia nafkahi terabaikan, maka dengan demikian ia
mendapat pahala atas apa yang ia terima atau bahkan ketika ia meminta. Sedangkan
pahala orang yang memberi tidak bisa menyamai atau menandinginya karena ia
memberi dalam kondisi berkecukupan dan yang ia miliki lebih banyak dari yang ia
beri.
Bahkan terkadang meminta itu hukumnya
wajib jika dalam kondisi yang sangat darurat, maka dengan demikian pahalanya
bertambah melebihi pahala yang memberi.
Atau yang dimaksud dari hadits ini
adalah orang yang menerima dengan maksud untuk meluangkan dirinya untuk membela
agama seperti penuntut ilmu dan ulama, maka dengan demikian posisinya sama dengan
orang yang memberi juga untuk membela agamanya. [Lihat Faidhul Qadiir karya
Al-Munaawiy 5/405-406]
Wallahu a’lam!
Lihat juga: Meminta, Memberi, dan Menerima
Keutamaan ilmu dan ulama
Terjemah "Draft Penulisan Tesis"
[1] Lihat biografi Yusuf bin Asbath dalam kitab: Taariikh Ibnu Ma'in riwayat Ad-Daarimiy
hal.228, At-Taarikh Al-Kabiir karya Al-Bukhariy 8/385, Ats-Tsiqaat karya
Al-‘Ijliy 2/374, Adh-Dhu'afaa' Al-Kabiir karya Al-'Uqaily 4/454, Al-Jarh wa
At-Ta'diil karya Ibnu Abi Hatim 9/218, Ats-Tsiqaat karya Ibnu Hibban 7/638,
Al-Kaamil karya Ibnu 'Adiy 7/157, Adh-Dhu'afaa' karya Ibnu Al-Jauziy 3/219,
Miizaan Al-I'tidaal karya Adz-Dzahabiy 7/292, Lisaan Al-Miizaan karya Ibnu
Hajar 8/548.
[2] Lihat biografi ‘Aaidz bin Syuraih dalam kitab: Al-Jarh wa At-Ta'diil 7/16, Al-Majruhiin karya Ibnu Hibban 2/193, Al-Mugniy fii Adh-Dhu'afaa'
karya Adz-Dzahabiy 1/462, Miizaan Al-I'tidaal 4/23, Lisaan
Al-Miizaan 4/383.
[3] Lihat biografi Mus’ab bin Sa’id dalam kitab: Al-Jarh wa At-Ta'diil 8/309, Ats-Tsiqaat karya Ibnu Hibban 9/175, Al-Kaamil 6/364,
Al-Mugniy fii Adh-Dhu'afaa' 2/302, Miizaan Al-I'tidaal 6/435, Lisaan Al-Miizaan
8/75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...