بسم
الله الرحمن الرحيم
Imam
Bukhari rahimahullah berkata:
بَابُ المُجَامِعِ فِي رَمَضَانَ، هَلْ
يُطْعِمُ أَهْلَهُ مِنَ الكَفَّارَةِ إِذَا كَانُوا مَحَاوِيجَ
“Bab: Orang bersetubuh di (siang
hari) bulan Ramadhan, apakah boleh memberi makan keluarganya dari kaffarah jika
mereka membutuhkan?”
Dalam bab ini, Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan
kembali hadits yang telah ia riwayatkan pada bab sebelumnya dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata:
1835 - حَدَّثَنَا عُثْمَانُ [بن محمد
بن إبراهيم بن عثمان العبسي مولاهم ، أبو الحسن] بْنُ أَبِي شَيْبَةَ [الكوفي]،
حَدَّثَنَا جَرِيرٌ [بن عبد الحميد بن قرط الضبي]، عَنْ مَنْصُورٍ [بن المعتمر بن
عبد الله بن ربيعة]، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ،
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِنَّ الآخَرَ وَقَعَ عَلَى
امْرَأَتِهِ فِي رَمَضَانَ، فَقَالَ: «أَتَجِدُ مَا تُحَرِّرُ رَقَبَةً؟» قَالَ:
لاَ، قَالَ: «فَتَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟»، قَالَ:
لاَ، قَالَ: «أَفَتَجِدُ مَا تُطْعِمُ بِهِ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟» قَالَ: لاَ،
قَالَ: فَأُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهِ
تَمْرٌ، - وَهُوَ الزَّبِيلُ -، قَالَ: «أَطْعِمْ هَذَا عَنْكَ» قَالَ: عَلَى
أَحْوَجَ مِنَّا، مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ مِنَّا، قَالَ:
«فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ»
1835 - Telah
menceritakan kepada kami 'Utsman [bin Muhammad bin Ibrahim bin ‘Utsman
Al-‘Absiy maula mereka, Abu Al-Hasan] bin Abu Syaibah [Al-Kufiy], telah
menceritakan kepada kami Jarir [bin Abdil Humaid bin Qurth Adh-Dhabbiy], dari Manshur
[bin Al-Mu’tamir bin Abdillah bin Rabi’ah], dari Az-Zuhriy, dari Humaid bin
'Abdurrahman, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu (berkata):
"Datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
lalu berkata: "Ada seseorang yang berhubungan dengan isterinya pada siang
hari Ramadhan".
Beliau
bertanya: "Apakah kamu memiliki budak untuk kamu bebaskan?"
Orang
itu menjawab: "Tidak".
Lalu
Beliau bertanya lagi: "Apakah kamu sanggup bila harus berpuasa selama dua
bulan berturut-turut?"
Orang
itu menjawab: "Tidak".
Lalu
Beliau bertanya lagi: "Apakah kamu memiliki makanan untuk diberikan kepada
enam puluh orang miskin?"
Orang
itu menjawab: "Tidak".
Kemudian
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam diberikan satu keranjang berisi kurma,
keranjang besar yang biasa untuk menampung sampah, lalu Beliau berkata:
"Berilah makan orang lain dengan kurma ini".
Orang
itu berkata: "Apakah ada orang yang lebih membutuhkan dari kami? Tidak ada
keluarga yang tinggal diantara dua perbatasan yang lebih membutuhkan bantuan
daripada kami".
Maka
Beliau berkata: "Kalau begitu berilah makan keluargamu dengan kurma
ini".
Penjelasan singkat
hadits ini:
1.
Biografi
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Lihat
di sini: Abu Hurairah dan keistimewaannya
2.
Boleh
menyerahkan kaffarah kepada keluarganya jika membutuhkan.
Dari
Abu Sa'id Al-Khudriy radhiyallahu 'anhu; Zaenab istri Ibnu Mas'ud
berkata: Wahai Nabi Allah, sesungguhnya hari ini engkau memerintahkan untuk
bersedekah, dan aku memiliki perhiasan, dan aku ini menyedekahkannya, lalu
Ibnu Mas'ud menyangka bahwa ia
dan anaknya lebih berhak untuk aku bersedekah kepada mereka?
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam menjawab:
«صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ، زَوْجُكِ
وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ» [صحيح
البخاري]
"Betul kata Ibnu Mas'ud, suami dan anakmu
lebih berhak untuk kau bersedekah kepada mereka". [Sahih Bukhari]
Ø Dari Jabir radhiyallahu
'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
«ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ
عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ
شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا
وَهَكَذَا» [صحيح مسلم]
"Mulailah pada dirimu, maka bersedekahlah
kepadanya, dan jika ada lebihnya maka kepada keluargamu, dan jika ada lebihnya
setelah keluargamu maka kepada kerabatmu, dan jika ada lebihnya setelah
kerabatmu maka kepada yang ini dan yang ini (orang yang ada di depanmu, di
kanan dan kirimu)". [Sahih Muslim]
3.
Jika
membayar kaffarah dengan memberi makan enam puluh fakir miskin, apakah
boleh kepada satu orang sebanyak enam puluh kali, atau harus enam puluh orang?
Jumhur
ulama mewajibkan pembagian makanan kepada masing-masing enam puluh orang.
Pendapat
lain, membolehkan kepada seorang fakir miskin dengan syarat tidak boleh
diberikan sakaligus, kecuali jika tidak ada orang lain yang berhak selain dia.
4.
Apakah
istri juga wajib membayar kaffarah?
Ulama
berselisih pendapat dalam hal ini:
Pendapat pertama: Istri tidak wajib
membayar kaffarah.
Alasannya:
a)
Kaffarah adalah kewajiban dari harta dan yang wajib menunaikannya hanya
suami.
b)
Dalam hadits ini Nabi shallallahu 'alaihi wasallam hanya
memerintahkan sang suami membayar kaffarah dan tidak memerintahkan kepada
istrinya.
Ini
adalah pendapat yang shahih dari madzhab Syafi’iy, dan salah satu pendapat Imam
Ahmad.
Pendapat keuda: Istri juga wajib membayar kaffarah.
Alasannya:
a.
Istri ikut melakukan pelanggaran di bulan Ramadhan.
b.
Adapun Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak menyebutkannya
dalam hadits ini karena sang istri tidak datang mengakui perbuatannya.
Atau
mungkin sang istri waktu itu tidak sedang berpuasa karena ada udzur (alasan)
syar’i.
Atau
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sudah mengetahui kondisi sang istri
yang tidak mampu sama seperti suaminya.
Ini
adalah pendapat jumhur ulama; Abu Hanifah, Malik, salah satu pendapat Imam
Syafi’iy, dan riwayat paling shahih dari imam Ahmad.
Pendapat
ketiga: Kaffarah cukup satu
untuk berdua, kecuali puasa dua bulan berturut-turut maka keduanya harus
menjalankannya.
Ini
adalah madzham imam Al-Auza’iy.
5. Jika istri dipaksa oleh suaminya, maka ia hanya wajib
mengqadha’ dan tidak membayar kaffarah.
Abu Dzar Al-Ghifariy -radhiyallahu 'anhu- berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
Abu Dzar Al-Ghifariy -radhiyallahu 'anhu- berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
"Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya." [Sunan Ibnu Majah: Shahih]
6. Jika ia berhubungan suami istri lebih dari sekali dalam
satu hari maka kaffarah cukup sekali.
Tapi
jika ia lakukan setiap hari maka kaffarah wajib dibayar untuk setiap harinya.
7.
Jika
berhubungan suami istri di siang hari bulan Ramadhan karena lupa.
Puasanya
tidak batal, dan wajib melanjutkannya. Ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri
dan Mujahid -rahimahumallah- sebagaimana disebutkan pada bab sebelumnya: Bab (26) Orang yang berpuasa jika makan atau minum karena lupa
8.
Jika
berhubungan suami istri di siang hari bulan Ramadhan karena tidak tahu.
Dengan
rincian:
a.
Tidak tahu keharamannya.
Bagi
orang yang tidak tahu kalau menggauli istri saat berpuasa di bulan Ramadhan
adalah haram maka ia tidak berdosa dan tidak wajib kaffarah.
Dengan
syarat ia tidak tinggal di daerah yang mayoritas Muslim dan pemahaman agama
yang kuat.
Allah subhanahu wata'aalaa berfirman:
{وَمَا كُنَّا
مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا} [الإسراء:
15]
Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. [Al-Israa': 15]
{رُّسُلًا
مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ
بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا} [النساء:
165]
(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah
sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. [An-Nisaa': 165]
{وَمَا كَانَ
اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُمْ مَا
يَتَّقُونَ} [التوبة: 115]
Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah
memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang
harus mereka jauhi. [At-Taubah:115]
b.
Tidak tahu waktu haramnya.
Seperti
orang yang masih berhubungan suami istri di waktu sahur dan tidak tahu kalau
waktu fajar sudah masuk, atau menggauli istrinya karena menyangka matahari
sudah tenggelam.
Ulama
berselisih, apakah puasanya batal atau tidak. Jumhur mengatakan batal dan wajib
mengganti di hari lain.
Adapun
kaffarah, maka Jumhur ulama mengatakan tidak ada kaffarah baginya.
Pendapat
lain tidak membatalkan puasanya dan tidak dikenakan kaffarah, karena ini adalah
kesalahan yang tidak disengaja.
Allah subhanahu wata’aalaa berfirman:
{رَبَّنَا
لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا} " قَالَ: نَعَمْ "
(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum
kami jika kami lupa atau kami tersalah". [Al-Baqarah: 286]
Allah berfirman: "Iya aku kabulkan". [Shahih Muslim]
Dari Abi Dzar Al-Gifariy radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ
قَدْ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ، وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا
عَلَيْهِ» [سنن ابن ماجه: صحيح]
"Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku
sesuatu yang dilakukan karena salah (tidak sengaja), lupa, dan sesuatu yang
dipaksakan kepadanya". [Sunan Ibnu Majah: Sahih]
c.
Tidak tahu kaffarahnya.
Jika
ia tahu keharamannya dan tahu waktu diharamkanya, tapi tidak tahu hukumannya apa,
maka ia tetap berdosa dan wajib membayar kaffarah setelah mengetahuinya.
Sebagaimana yang terjadi pada sahabat dalam hadits ini.
Lihat:
Keutamaan menuntut ilmu
9.
Orang
yang tidak puasa di bulan Ramadhan karena ada udzur seperti musafir atau sakit,
boleh menggauli istrinya.
Tapi
tidak boleh sengaja bepergian jauh untuk bisa berhubungan suami istri. Jika ia
melakukannya maka wajib kaffarah.
10. Orang yang berpuasa wajib di luar Ramadhan, jika
membatalkan puasanya dengan jimak, maka ia hanya wajib menggantinya di hari
lain dan tidak wajib membayar kaffarah.
11. Apakah orang yang sengaja meninggalkan puasa Ramadhan
selain jimak, wajib membayar kaffarah dan menggantinya di hari lain?
Ulama
berselisih pendapat dalam hal ini:
Pendapat pertama: Wajib kaffarah dan
menggantinya dengan puasa di hari lain.
Alasanya:
Dikiaskan dengan orang yang sengaja menggauli istrinya di bulan Ramadhan.
Ini
adalah pendapat kebanyakan ulama seperti Ibnu Mubarak, Ats-Tsauriy, Ishaq bin
Rahawaih, Abu Hanifah.
Pendapat kedua: Hanya wajib menggantinya dengan puasa di
hari lain.
Alasannya:
a)
Ada perbedaan antara membatalkan puasa karena jimak dengan selainnya.
b)
Karena puasa adalah hak Allah jika tidak dilakukan maka akan menjadi
utang, dan utang Allah lebih berhak untuk ditunaikan.
Ibnu
Abbas radhiyallahu
'anhuma berkata: Seorang
laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan
bertanya: Ya Rasulullah, Sesungguhnya ibuku meninggal dan memiliki utang puasa
sebulan, apakah boleh aku menunaikan untuknya?
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
نَعَمْ ، فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ
أَنْ يُقْضَى [صحيح البخاري ومسلم]
"Iya, utang kepada Allah lebih berhak ditunaikan".
[Sahih Bukhari dan Muslim]
Ini adalah madzha Syafi’iy dan Ahmad.
Pendapat ketiga: Tidak ada kaffarah dan tidak bisa menggantinya
di hari lain.
Alasannya:
Karena puasa punya waktu yang telah ditentukan, dan tidak boleh melakukannya di
hari lain kecuali ada alasan syar’i.
Yang
mesti dilakukan adalah bertaubat dan memperbanyak puasa sunnah untuk menutupi
kesalahannya.
Ini
adalah madzhab Ibnu Mas’ud, yang dikuatkan oleh Ibnu Hazm rahimahullah.
12.
Hadits
ini mengandung banyak faidah.
Ibnu
Hajar rahimahullah berkata: Aku mendapati sebagian ulama
belakangan ini dari guruku membahasa hadits ini dalam dua jilid, ia
mengumpulkan di dalamnya seribu faidah lebih. [Fathul Bari 4/203]
Wallahu
a’lam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...