Sabtu, 02 November 2019

Penjelasan singkat kitab Ash-Shaum dari Sahih Bukhari; Bab (31) Orang bersetubuh di (siang hari) bulan Ramadhan, apakah boleh memberi makan keluarganya dari kaffarah jika mereka membutuhkan?

بسم الله الرحمن الرحيم
Imam Bukhari rahimahullah berkata:
بَابُ المُجَامِعِ فِي رَمَضَانَ، هَلْ يُطْعِمُ أَهْلَهُ مِنَ الكَفَّارَةِ إِذَا كَانُوا مَحَاوِيجَ
“Bab: Orang bersetubuh di (siang hari) bulan Ramadhan, apakah boleh memberi makan keluarganya dari kaffarah jika mereka membutuhkan?”
Dalam bab ini, Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan kembali hadits yang telah ia riwayatkan pada bab sebelumnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata:
1835 - حَدَّثَنَا عُثْمَانُ [بن محمد بن إبراهيم بن عثمان العبسي مولاهم ، أبو الحسن] بْنُ أَبِي شَيْبَةَ [الكوفي]، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ [بن عبد الحميد بن قرط الضبي]، عَنْ مَنْصُورٍ [بن المعتمر بن عبد الله بن ربيعة]، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِنَّ الآخَرَ وَقَعَ عَلَى امْرَأَتِهِ فِي رَمَضَانَ، فَقَالَ: «أَتَجِدُ مَا تُحَرِّرُ رَقَبَةً؟» قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَتَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟»، قَالَ: لاَ، قَالَ: «أَفَتَجِدُ مَا تُطْعِمُ بِهِ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟» قَالَ: لاَ، قَالَ: فَأُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ، - وَهُوَ الزَّبِيلُ -، قَالَ: «أَطْعِمْ هَذَا عَنْكَ» قَالَ: عَلَى أَحْوَجَ مِنَّا، مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ مِنَّا، قَالَ: «فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ»
1835 - Telah menceritakan kepada kami 'Utsman [bin Muhammad bin Ibrahim bin ‘Utsman Al-‘Absiy maula mereka, Abu Al-Hasan] bin Abu Syaibah [Al-Kufiy], telah menceritakan kepada kami Jarir [bin Abdil Humaid bin Qurth Adh-Dhabbiy], dari Manshur [bin Al-Mu’tamir bin Abdillah bin Rabi’ah], dari Az-Zuhriy, dari Humaid bin 'Abdurrahman, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu (berkata): "Datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: "Ada seseorang yang berhubungan dengan isterinya pada siang hari Ramadhan".
Beliau bertanya: "Apakah kamu memiliki budak untuk kamu bebaskan?"
Orang itu menjawab: "Tidak".
Lalu Beliau bertanya lagi: "Apakah kamu sanggup bila harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut?"
Orang itu menjawab: "Tidak".
Lalu Beliau bertanya lagi: "Apakah kamu memiliki makanan untuk diberikan kepada enam puluh orang miskin?"
Orang itu menjawab: "Tidak".
Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam diberikan satu keranjang berisi kurma, keranjang besar yang biasa untuk menampung sampah, lalu Beliau berkata: "Berilah makan orang lain dengan kurma ini".
Orang itu berkata: "Apakah ada orang yang lebih membutuhkan dari kami? Tidak ada keluarga yang tinggal diantara dua perbatasan yang lebih membutuhkan bantuan daripada kami".
Maka Beliau berkata: "Kalau begitu berilah makan keluargamu dengan kurma ini".
Penjelasan singkat hadits ini:
1.      Biografi Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
2.      Boleh menyerahkan kaffarah kepada keluarganya jika membutuhkan.
Dari Abu Sa'id Al-Khudriy radhiyallahu 'anhu; Zaenab istri Ibnu Mas'ud berkata: Wahai Nabi Allah, sesungguhnya hari ini engkau memerintahkan untuk bersedekah, dan aku memiliki perhiasan, dan aku ini menyedekahkannya, lalu Ibnu Mas'ud menyangka bahwa ia dan anaknya lebih berhak untuk aku bersedekah kepada mereka?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab:
«صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ، زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ» [صحيح البخاري]
"Betul kata Ibnu Mas'ud, suami dan anakmu lebih berhak untuk kau bersedekah kepada mereka". [Sahih Bukhari]
Ø  Dari Jabir radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
«ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا» [صحيح مسلم]
"Mulailah pada dirimu, maka bersedekahlah kepadanya, dan jika ada lebihnya maka kepada keluargamu, dan jika ada lebihnya setelah keluargamu maka kepada kerabatmu, dan jika ada lebihnya setelah kerabatmu maka kepada yang ini dan yang ini (orang yang ada di depanmu, di kanan dan kirimu)". [Sahih Muslim]
3.      Jika membayar kaffarah dengan memberi makan enam puluh fakir miskin, apakah boleh kepada satu orang sebanyak enam puluh kali, atau harus enam puluh orang?
Jumhur ulama mewajibkan pembagian makanan kepada masing-masing enam puluh orang.
Pendapat lain, membolehkan kepada seorang fakir miskin dengan syarat tidak boleh diberikan sakaligus, kecuali jika tidak ada orang lain yang berhak selain dia.
4.      Apakah istri juga wajib membayar kaffarah?
Ulama berselisih pendapat dalam hal ini:
Pendapat pertama: Istri tidak wajib membayar kaffarah.
Alasannya:
a)       Kaffarah adalah kewajiban dari harta dan yang wajib menunaikannya hanya suami.
b)      Dalam hadits ini Nabi shallallahu 'alaihi wasallam hanya memerintahkan sang suami membayar kaffarah dan tidak memerintahkan kepada istrinya.
Ini adalah pendapat yang shahih dari madzhab Syafi’iy, dan salah satu pendapat Imam Ahmad.
Pendapat keuda: Istri juga wajib membayar kaffarah.
Alasannya:
a.       Istri ikut melakukan pelanggaran di bulan Ramadhan.
b.       Adapun Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak menyebutkannya dalam hadits ini karena sang istri tidak datang mengakui perbuatannya.
Atau mungkin sang istri waktu itu tidak sedang berpuasa karena ada udzur (alasan) syar’i.
Atau Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sudah mengetahui kondisi sang istri yang tidak mampu sama seperti suaminya.
Ini adalah pendapat jumhur ulama; Abu Hanifah, Malik, salah satu pendapat Imam Syafi’iy, dan riwayat paling shahih dari imam Ahmad.
Pendapat ketiga: Kaffarah cukup satu untuk berdua, kecuali puasa dua bulan berturut-turut maka keduanya harus menjalankannya.
Ini adalah madzham imam Al-Auza’iy.
5.      Jika istri dipaksa oleh suaminya, maka ia hanya wajib mengqadha’ dan tidak membayar kaffarah.
Abu Dzar Al-Ghifariy -radhiyallahu 'anhu- berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
"Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya." [Sunan Ibnu Majah: Shahih]
6.      Jika ia berhubungan suami istri lebih dari sekali dalam satu hari maka kaffarah cukup sekali.
Tapi jika ia lakukan setiap hari maka kaffarah wajib dibayar untuk setiap harinya.
7.      Jika berhubungan suami istri di siang hari bulan Ramadhan karena lupa.
Puasanya tidak batal, dan wajib melanjutkannya. Ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri dan Mujahid -rahimahumallah- sebagaimana disebutkan pada bab sebelumnya: Bab (26) Orang yang berpuasa jika makan atau minum karena lupa
8.      Jika berhubungan suami istri di siang hari bulan Ramadhan karena tidak tahu.
Dengan rincian:
a.       Tidak tahu keharamannya.
Bagi orang yang tidak tahu kalau menggauli istri saat berpuasa di bulan Ramadhan adalah haram maka ia tidak berdosa dan tidak wajib kaffarah.
Dengan syarat ia tidak tinggal di daerah yang mayoritas Muslim dan pemahaman agama yang kuat.
Allah subhanahu wata'aalaa berfirman:
{وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا} [الإسراء: 15]
Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. [Al-Israa': 15]
{رُّسُلًا مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا} [النساء: 165]
(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [An-Nisaa': 165]
{وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُمْ مَا يَتَّقُونَ} [التوبة: 115]
Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. [At-Taubah:115]
b.      Tidak tahu waktu haramnya.
Seperti orang yang masih berhubungan suami istri di waktu sahur dan tidak tahu kalau waktu fajar sudah masuk, atau menggauli istrinya karena menyangka matahari sudah tenggelam.
Ulama berselisih, apakah puasanya batal atau tidak. Jumhur mengatakan batal dan wajib mengganti di hari lain.
Adapun kaffarah, maka Jumhur ulama mengatakan tidak ada kaffarah baginya.
Pendapat lain tidak membatalkan puasanya dan tidak dikenakan kaffarah, karena ini adalah kesalahan yang tidak disengaja.

Allah subhanahu wata’aalaa berfirman:
{رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا} " قَالَ: نَعَمْ "
(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah". [Al-Baqarah: 286]
Allah berfirman: "Iya aku kabulkan". [Shahih Muslim]
Dari Abi Dzar Al-Gifariy radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ قَدْ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ، وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ» [سنن ابن ماجه: صحيح]
"Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah (tidak sengaja), lupa, dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya". [Sunan Ibnu Majah: Sahih]
c.       Tidak tahu kaffarahnya.
Jika ia tahu keharamannya dan tahu waktu diharamkanya, tapi tidak tahu hukumannya apa, maka ia tetap berdosa dan wajib membayar kaffarah setelah mengetahuinya. Sebagaimana yang terjadi pada sahabat dalam hadits ini.
9.      Orang yang tidak puasa di bulan Ramadhan karena ada udzur seperti musafir atau sakit, boleh menggauli istrinya.
Tapi tidak boleh sengaja bepergian jauh untuk bisa berhubungan suami istri. Jika ia melakukannya maka wajib kaffarah.
10.  Orang yang berpuasa wajib di luar Ramadhan, jika membatalkan puasanya dengan jimak, maka ia hanya wajib menggantinya di hari lain dan tidak wajib membayar kaffarah.
11.  Apakah orang yang sengaja meninggalkan puasa Ramadhan selain jimak, wajib membayar kaffarah dan menggantinya di hari lain?
Ulama berselisih pendapat dalam hal ini:
Pendapat pertama: Wajib kaffarah dan menggantinya dengan puasa di hari lain.
Alasanya: Dikiaskan dengan orang yang sengaja menggauli istrinya di bulan Ramadhan.
Ini adalah pendapat kebanyakan ulama seperti Ibnu Mubarak, Ats-Tsauriy, Ishaq bin Rahawaih, Abu Hanifah.
Pendapat kedua: Hanya wajib menggantinya dengan puasa di hari lain.
Alasannya:
a)       Ada perbedaan antara membatalkan puasa karena jimak dengan selainnya.
b)      Karena puasa adalah hak Allah jika tidak dilakukan maka akan menjadi utang, dan utang Allah lebih berhak untuk ditunaikan.
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan bertanya: Ya Rasulullah, Sesungguhnya ibuku meninggal dan memiliki utang puasa sebulan, apakah boleh aku menunaikan untuknya?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
نَعَمْ ، فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى [صحيح البخاري ومسلم]
"Iya, utang kepada Allah lebih berhak ditunaikan". [Sahih Bukhari dan Muslim]
 Ini adalah madzha Syafi’iy dan Ahmad.
Pendapat ketiga: Tidak ada kaffarah dan tidak bisa menggantinya di hari lain.
Alasannya: Karena puasa punya waktu yang telah ditentukan, dan tidak boleh melakukannya di hari lain kecuali ada alasan syar’i.
Yang mesti dilakukan adalah bertaubat dan memperbanyak puasa sunnah untuk menutupi kesalahannya.
Ini adalah madzhab Ibnu Mas’ud, yang dikuatkan oleh Ibnu Hazm rahimahullah.
12.  Hadits ini mengandung banyak faidah.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: Aku mendapati sebagian ulama belakangan ini dari guruku membahasa hadits ini dalam dua jilid, ia mengumpulkan di dalamnya seribu faidah lebih. [Fathul Bari 4/203]
Wallahu a’lam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...