Rabu, 29 Januari 2020

Penjelasan singkat kitab Ash-Shaum dari Sahih Bukhari; Bab (45) Jika berbuka puasa Ramadhan kemudian matahari muncul

بسم الله الرحمن الرحيم
A.    Penjelasan pertama.
Imam Bukhari rahimahullah berkata:
بَابُ إِذَا أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ
“Bab: Jika seseorang berbuka di bulan Ramadhan kemudian matahari muncul”
Dalam bab ini, imam Bukhari menjelaskan perbedaan ulama tentang hukum orang yang berbuka puasa di bulan Ramadhan karena menyangka telah masuk waktu berbuka tapi ternyata matahari belum tenggelam.
Imam Bukhari menyebutkan satu hadits dari Asma’ binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma dan perselisihan di dalamnya dari yang mewajibkan qadha’ atau tidak.
Imam Bukhari rahimahullah berkata:
1858 - حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ [محمد بن إبراهيم، أبو بكر الكوفي]، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ [حماد بن أسامة الكوفي]، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ [بن الزبير]، عَنْ فَاطِمَةَ [بنت المنذر بن الزبير، زوجة هشام بن عروة]، عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَتْ: «أَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ غَيْمٍ، ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ» قِيلَ لِهِشَامٍ: فَأُمِرُوا بِالقَضَاءِ؟ قَالَ: «لاَ بُدَّ مِنْ قَضَاءٍ»
1858 - Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Abu Syaibah [Muhammad bin Ibrahim, Abu Bakr Al-Kufiy], telah menceritakan kepada kami Abu Usamah [Hammad bin Usamah Al-Kufiy], dari Hisyam bin 'Urwah [bin Az-Zubair], dari Fathimah [binti Al-Mundzir bin Az-Zubair, istri Hisyam bin ‘Urwah], dari Asma' binti Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhuma berkata; “Kami pernah berbuka puasa pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika hari mendung, ternyata kemudian matahari tampak kembali”.
Ditanyakan kepada Hisyam: Apakah kemudian mereka diperintahkan mengqadha’?
Hisyam menjawab: "Harus dilaksanakan qadha'".
Ø  Imam Bukhari rahimahullah berkata:
وَقَالَ مَعْمَرٌ: سَمِعْتُ هِشَامًا: لاَ أَدْرِي أَقَضَوْا أَمْ لاَ!
Dan Ma'mar berkata: Aku mendengar Hisyam berkata: Aku tidak tahu apakah mereka kemudian mengqadha'nya atau tidak!".
Takhrij riwayat Ma’mar bin Rasyid rahimahullah:
Diriwayatkan oleh ‘Abdu bin Humaid rahimahullah dalam “Al-Muntakhab min Musnad” no.1574, ia berkata:
أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أنا مَعْمَرٌ قَالَ: سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ عُرْوَةَ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْمُنْذِرِ، عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ، قَالَتْ: " أَفْطَرْنَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ ذَاتَ يَوْمٍ، ثُمَّ بَدَتِ الشَّمْسُ، فَقَالَ: إِنْسَانٌ لِهِشَامٍ: أَقَضَوْا أَمْ لَا؟ قَالَ: لَا أَدْرِي "
Abdurrazaq memberitakan kepada kami, ia berkata: Ma’mar memberitakan kepada kami, ia berkata: Aku mendengar Hisyam bin ‘Urwah, dari Fathimah binti Al-Mundzir, dari Asma’ binti Abi Bakr, ia berkata: Kami berbuka di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suatu hari di bulan Ramadhan, kemudian Matahari muncul”.
Seseorang berkata kepada Hisyam: Apakah mereka mengqadha’ atau tidak?
Hisyam menjawab: Aku tidak tahu!
Penjelasan singkat hadits ini:
1.      Biografi Asma’ binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma.
Ibnunya bernama: Ummu Al-‘Uzza Qalilah atau Qutailah binti Abdil ‘Uzza, dan ia bersaudara kandung dengan Abdullah bin Abi Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhum.
Ia lahir 27 tahun sebelum hijrah dan 10 tahun sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diutus menjadi Nabi dan Rasul.
Ia istri dari Az-Zubair bin Al-‘Awwam, termasuk wanita yang terdahulu masuk Islam, hijrah ke Madina saat mengandung Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhum.
Ia dijuluki dengan “Dzata An-Nithaqain”.
Ketika para penduduk Syam menjuluki Ibnu Az-Zubair dengan panggilan, "Wahai Ibnu Dzata An-Nithaaqain."
Maka Asma' pun berkata padanya:
«يَا بُنَيَّ إِنَّهُمْ يُعَيِّرُونَكَ بِالنِّطَاقَيْنِ، هَلْ تَدْرِي مَا كَانَ النِّطَاقَانِ؟ إِنَّمَا كَانَ نِطَاقِي شَقَقْتُهُ نِصْفَيْنِ، فَأَوْكَيْتُ قِرْبَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَحَدِهِمَا، وَجَعَلْتُ فِي سُفْرَتِهِ آخَرَ»
"Wahai anakku, sesungguhnya mereka menjulukimu dengan An-Nithaaqain. Apakah kamu apakah itu An-Nithaaqain. Demikian itu hanyalah karena, ikat pinggangku yang telah aku sobek menjadi dua. Lalu aku mengikat geriba (bejana air minum) Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan salah satu darinya, sedangkan yang satu lagi aku letakkan untuk mengikat makanannya."
Di kemudian hari, jika ada orang yang memberinya julukan buruk dengan panggilan 'An-Nithaqaini', ia jawab: ' Hei, demi Allah, itu adalah panggilan yang jelas-jelas tercela." [Shahih Bukhari]
Mendahulukan cintanya kepada Alllah dari cintanya kepada ibunya
Asma` binti Abu Bakr radhiyallahu 'anhuma berkata;
أَتَتْنِي أُمِّي رَاغِبَةً، فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: آصِلُهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ»
"Ibuku datang pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menemuiku dalam keadaan membenci Islam (musyrik), lalu saya bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; "Apakah saya boleh berhubungan dengannya?"
Beliau menjawab: "Ya."
Ibnu 'Uyainah lalu berkata; "Kemudian Allah ta'ala menurunkan ayat:
{لاَ يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ} [الممتحنة: 8] [صحيح البخاري  ومسلم]
Allah tidak melarang kalian dari orang-orang yang tidak memerangi agama kalian. (Al-Mumtahanah: 8) [Shahih Bukhari dan Muslim]
Asma’ binti Abi Bakr -radhiyallahu ‘anhuma- wafat tahun 73 atau 74 hijriyah di Mekkah dengan umur 100 tahun, sahabat Nabi yang terakhir wafat dari kalangan Muhajirin.
2.      Hukum orang yang berbuka karena menyangka waktu berbuka telah tiba, tapi ternyata matahari belum tenggelam.
Ulama berselisih pendapat dalam hal ini:
Pendapat pertama: Wajib mengqadha’ di hari yang lain.
Ini adalah madzhab jumhur ulama, dengan dalil riwayat pertama dari Hisyam bin 'Urwah rahimahullah.
Pendapat kedua: Tidak ada qadha’.
Dengan dalil:
1)      Firman Allah subahanahu wata’aalaa:
{وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا} [الأحزاب: 5]
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.  [Al-Ahzab: 5]
2)      Firman Allah subahanahu wata’aalaa:
{رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا} [البقرة: 286] " قَالَ: نَعَمْ "
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah". [Al-Baqarah:286]
Allah subhanahu wa ta'aalaa berfirman: Iya aku kabulkan! [Shahih Muslim]
3)      Dari Abi Dzar Al-Gifariy radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ قَدْ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ، وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ» [سنن ابن ماجه: صحيح]
"Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah (tidak sengaja), lupa, dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya". [Sunan Ibnu Majah: Sahih]
4)      Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma; Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ، وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ» [سنن ابن ماجه: صحيح]
"Sesungguhnya Allah menggugurkan (catatan dosa) dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah (tidak sengaja), lupa, dan suatu yang dipaksakan kepadanya". [Sunan Ibnu Majah: Sahih]
5)      Hadits 'Adi bin Hatim radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
لَمَّا نَزَلَتْ: {حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الخَيْطِ الأَسْوَدِ} [البقرة: (187)] عَمَدْتُ إِلَى عِقَالٍ أَسْوَدَ، وَإِلَى عِقَالٍ أَبْيَضَ، فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ وِسَادَتِي، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ فِي اللَّيْلِ، فَلاَ يَسْتَبِينُ لِي، فَغَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرْتُ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ: «إِنَّمَا ذَلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ»
Ketika turun (QS Al Baqarah ayat 187) {" ... hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam"}, maka aku mengambil benang hitam dan benang putih lalu aku letakkan di bawah bantalku untuk aku lihat pada sebagian malam namun tidak tampak olehku. Maka di pagi harinya aku menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu aku ceritakan hal tadi. Maka Beliau bersabda: "Sesungguhnya yang dimaksud dengan ayat itu adalah gelapnya malam dan terangnya siang". [Shahih Bukhari]
6)      Hadits Sahl bin Sa'ad radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
" أُنْزِلَتْ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الأَبْيَضُ، مِنَ الخَيْطِ الأَسْوَدِ} [البقرة: (187)] وَلَمْ يَنْزِلْ {مِنَ الفَجْرِ} [البقرة: (187)]، فَكَانَ رِجَالٌ إِذَا أَرَادُوا الصَّوْمَ رَبَطَ أَحَدُهُمْ فِي رِجْلِهِ الخَيْطَ الأَبْيَضَ وَالخَيْطَ الأَسْوَدَ، وَلَمْ يَزَلْ يَأْكُلُ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ رُؤْيَتُهُمَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ بَعْدُ: {مِنَ الفَجْرِ} [البقرة: (187)] فَعَلِمُوا أَنَّهُ إِنَّمَا يَعْنِي اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
Ketika turun ayat {"Dan makan minumlah kalian hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam"} dan belum diturunkan ayat lanjutannya yaitu {"dari fajar"}, ada diantara orang-orang apabila hendak shaum seseorang dari mereka mengikat seutas benang putih dan benang hitam pada kakinya yang dia senantiasa meneruskan makannya hingga jelas terlihat perbedaan benang-benang itu. Maka Allah Ta'ala kemudian menurunkan ayat lanjutannya {"dari fajar"}. Dari situ mereka mengetahui bahwa yang dimaksud (dengan benang hitam dan putih) adalah malam dan siang". [Shahih Bukhari]
Lihat penjelasan hadits ‘Adiy bin Hatim dan Sahl bin Sa’ad di sini: https://umar-arrahimy.blogspot.com/
Pada hadits ‘Adiy bin Hatim dan Sahl bin Sa’ad tidak disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka mengqadha’ puasanya karena melakukan kekeliruan yaitu makan setelah masuk waktu fajar.
Demikian pula dengan hadits Asma’ binti Abi Bakr tidak ada perintah mengqadha’ puasa mereka. Adapun pendapat Hisyam maka itu adalah ijtihadnya sendiri sebagaimana dalam riwayat Ma’mar. Seandainya ada perintah mengqadha’ maka hal itu pasti akan dinukil dengan jelas.
Ø  Ini hukum bagi orang yang menyangka masuk waktu berbuka kemudian nampak kekeliruannya. Adapun orang yang ragu, maka:
Jika ia ragu masuknya waktu fajar dan makan, kemudian terbukti bahwa sudah fajar maka puasanya shahih. Karena hukum asal waktu malam masih ada sampai jelas masuk waktu fajar.
Dan jika ia ragu masuknya waktu berbuka dan makan, kemudian terbukti bahwa matahari belum tenggelam maka puasanya batal dan wajib qadha’. Karena hukum asal waktu siang masih ada sampai jelas masuk waktu magrib.
3.      Boleh mengamalkan perintah sesuai dengan dzahirnya, dan jika terjadi kekeliruan maka hal itu dimaafkan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
«وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»
"Dan jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian maka kerjakanlah sesuai dengan kemampuan kalian". [Shahih Bukhari dan Muslim]
Wallahu a’lam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...