Rabu, 15 Januari 2020

Penjelasan singkat kitab Ash-Shaum dari Sahih Bukhari; Bab (41) Orang yang wafat dan meninggalkan hutang puasa

بسم الله الرحمن الرحيم
A.    Penjelasan pertama.
Imam Bukhari rahimahullah berkata:
بَابُ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَوْمٌ
“Bab: Orang yang wafat dan meninggalkan hutang puasa”
Dalam bab ini, imam Bukhari ingin menjelaskan tetang hukum orang yang wafat dan meninggalkan hutang puasa, apakah wajib bagi kerabatnya untuk menunaikanya atau tidak?
Dalam bab ini imam Bukhari menyebutkan satu atsar dari Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah, dan dua hadits dari Aisyah dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum.
Imam Bukhari rahimahullah berkata:
وَقَالَ الحَسَنُ: " إِنْ صَامَ عَنْهُ ثَلاَثُونَ رَجُلًا يَوْمًا وَاحِدًا جَازَ " .
Dan Al-Hasan berkata: “Jika tiga puluh orang berpuasa untuknya dalam satu hari maka itu boleh”.
Takhrij atsar Al-Hasan Al-Bashriy:
Diriwayatkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya “Tagliq At-Ta’liq” (3/189) melalui jalur imam Ad-Daraqutniy rahimahullah dalam kitabnya “Al-Mudabbaj”, ia berkata:
ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مخلد، ثَنَا مُحَمَّد بن هَارُون الفلاس، أَنا سعيد بن يَعْقُوب الطَّالقَانِي، أَنا عبد الله بن الْمُبَارك، ثَنَا سعيد بن عَامر، عَن أَشْعَث، عَن الْحسن؛ فِيمَن عَلَيْهِ صَوْم ثَلَاثِينَ يَوْمًا فَجمع لَهُ ثَلَاثِينَ رجلا فصاموا عَنهُ يَوْمًا وَاحِدًا، قَالَ: " أَجْزَأَ عَنهُ ".
Muhammad bin Makhlad menceritakan kepada kami, ia berkata: Muhammad bin Harun Al-Fallas menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa’id bin Ya’qub Ath-Thaliqaniy memberitahukan kepada kami, ia berkata: Abdullah bin Al-Mubarak memberitakan kepada kami, ia berkata: Sa’id bin ‘Amir menceritakan kepada kami, dari Asy’ats, dari Al-Hasan; Ia ditanya tentang seseorang yang memiliki hutang puasa tiga puluh hari, kemudian ia mengumpulkan tiga puluh orang kemudian masing-masing berpuasa untuknya sehari?
Al-Hasan menjawab: “Itu cukup baginya”.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari bahwa hal tersebut benar jika puasanya tidak disyaratkan untuk dibayar secara berurutan, jika puasanya disyaratkan berurutan maka itu tidak mecukupi karena puasa tersebut tidak berurutan. [Fathul Bariy 4/224]
B.     Penjelasan kedua.
Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, Imam Bukhari rahimahullah berkata:
1952 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ [يحيى بن عبد الله بن] خَالِدٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى بْنِ أَعْيَنَ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ عَمْرِو بْنِ الحَارِثِ [المصري]، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرٍ، أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ جَعْفَرٍ، حَدَّثَهُ عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ»
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin [Yahya bin Abdillah bin] Khalid, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Musa bin A'yan, telah menceritakan kepada kami bapakku, dari 'Amru bin Al-Harits [Al-Mishriy], dari 'Ubaidullah bin Abu Ja'far, bahwa Muhammad bin Ja'far menceritakan kepadanya, dari 'Urwah, dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa meninggal dunia dan memiliki hutang puasa maka (hendaklah) walinya berpuasa untuknya".
Imam Bukhari rahimahullah berkata:
تَابَعَهُ ابْنُ وَهْبٍ، عَنْ عَمْرٍو، وَرَوَاهُ يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ، عَنْ ابْنِ أَبِي جَعْفَرٍ
“Hadits ini dikuatkan pula oleh Ibnu Wahab, dari 'Amru. Dan Yahya bin Ayyub meriwayatkannya dari Ibnu Abu Ja'far.”
Ø  Riwayat Abdullah bin Wahb, diriwayatkan secara lengkap oleh imam Muslim rahimahullah dalam “Ash-Shahih” 2/803 no.1147, ia berkata:
وحَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ، وَأَحْمَدُ بْنُ عِيسَى، قَالَا: حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرِ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ»
Ø  Sedangkan riwayat Yahya bin Ayyub, diriwayatkan secara lengkap oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullah dalam Shahih-nya 3/271 no.2052:
وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ، أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ، حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي جَعْفَرٍ، وَحَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ يَحْيَى بْنِ أَبَانَ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ ظَافِرٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرٍ وَهُوَ ابْنُ الزُّبَيْرِ , عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ»
Penjelasan singkat hadits ini:
1.      Biografi ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
2.      Perintah menunaikan hutang puasa untuk kerabat yang wafat.
Jumhur ulama berpendapat bahwa perintah ini bukan kewajiban hanya sebatas anjuran, bahkan ada yang mengkalim ini sebagai ijma’ (kesepakatan ulama).
Allah subhanahu wa ta'aalaa berfirman:
{أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (38) وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} [النجم: 38، 39]
(Yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. [An-Najm: 38-39]
Dan Wali si mayyit boleh memilih antara berpuasa atau memberi makan untuk setiap harinya.
Namun sebagian ahli dzahir memahami perintah dalam hadits ini sebagai suatu kewajiban. Wallahu a’lam!
C.     Penjelasan ketiga.
Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Imam Bukhari rahimahullah berkata:
1953 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ [صاعقة]، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ عَمْرٍو [الأزدي]، حَدَّثَنَا زَائِدَةُ [بن قدامة الثقفي]، عَنِ [سليمان بن مهران] الأَعْمَشِ، عَنْ مُسْلِمٍ البَطِينِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا؟ قَالَ: " نَعَمْ "، قَالَ: " فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى ".
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Abdurrahim [Sha’iqah], telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah bin 'Amru [Al-Azdiy], telah menceritakan kepada kami Za'idah [bin Qudamah Ats-Tsaqafiy], dari [Sulaiman bin Mihran] Al-A'masy, dari Muslim Al-Bathin, dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata; "Datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meningal dunia dan dia mempunyai kewajiban (hutang) puasa selama sebulan, apakah aku boleh menunaikannya?"
Beliau shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Ya", Beliau melanjutkan: "Hutang kepada Allah lebih berhaq untuk dibayar".
Kemudian imam Bukhari menyebutkan beberapa perselisihan riwayat hadits ini:
a.       Riwayat Mujahid dari Ibnu ‘Abbas.
Imam Bukhari rahimahullah berkata:
قَالَ سُلَيْمَانُ [الأعمش]: فَقَالَ الحَكَمُ [بن عتيبة]، وَسَلَمَةُ [بن كهيل]، - وَنَحْنُ جَمِيعًا جُلُوسٌ حِينَ حَدَّثَ مُسْلِمٌ [البطين] بِهَذَا الحَدِيثِ - قَالاَ: سَمِعْنَا مُجَاهِدًا، يَذْكُرُ هَذَا، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، ...
(Dengan sanad bersambung sebelumnya) Sulaiman [Al-A’masy] berkata: Al-Hakam [bin ‘Utaibah] dan Salamah [bin Khuhail] berkata, - dan kami sedang duduk bersama saat Muslim [Al-Bathin] menceritakan tentang hadits ini-, keduanya berkata; Kami mendengar Mujahid menyebutkan masalah ini dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma.
b.      Riwayat Sa'id bin Jubair, dan 'Atha', dan Mujahid, ketiganya dari Ibnu 'Abbas.
Imam Bukhari rahimahullah berkata:
وَيُذْكَرُ عَنْ أَبِي خَالِدٍ [الأحمر]، حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، عَنِ الحَكَمِ، وَمُسْلِمٍ البَطِينِ، وَسَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، وَعَطَاءٍ، وَمُجَاهِدٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ: قَالَتِ امْرَأَةٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أُخْتِي مَاتَتْ،
Dan disebutkan pula dari Abu Khalid [Al-Ahmar], telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Al-Hakam, dan Muslim Al-Bathin, dan Salamah bin Kuhail, dari Sa'id bin Jubair, dan 'Atha', dan Mujahid, dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma; seorang wanita berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Sesungguhnya saudara perempuanku telah meninggal dunia".
Ø Diriwayatkan secara bersambung oleh imam Muslim dalam “Ash-Shahih” 2/804 no.1148, ia berkata:
وحَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ، حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، وَالْحَكَمِ بْنِ عُتَيْبَةَ، وَمُسْلِمٍ الْبَطِينِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، وَمُجَاهِدٍ، وَعَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذَا الْحَدِيثِ
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyajj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Salamah bin Kuhail, dan Al-Hakam bin ‘Utaibah, dan Muslim Al-Bathin, dari Sa'id bin Jubair, dan Mujahid, dan Atha`, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan hadits ini (riwayat Zaidah bin Qudamah di atas).
c.       Riwayat Sa'id bin Jubair, dari Ibnu 'Abbas.
Imam Bukhari rahimahullah berkata:
وَقَالَ يَحْيَى [بن سعيد]، وَأَبُو مُعَاوِيَةَ: حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، عَنْ مُسْلِمٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ: قَالَتِ امْرَأَةٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ، ...
Dan Yahya dan Abu Mu'awiyah berkata: Telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Muslim, dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma; Seorang wanita berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Sesungguhnya ibuku telah meningal dunia, … ".
Ø Diriwayatkan secara bersambung oleh Abu Daud rahimahullah dalam “As-Sunan” 3/237 no.3310, ia berkata:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، قَالَ: سَمِعْتُ الْأَعْمَشَ، (ح) وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ الْمَعْنَى، عَنْ مُسْلِمٍ الْبَطِينِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: إِنَّهُ كَانَ عَلَى أُمِّهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا، فَقَالَ: «لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ؟» قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: «فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى»
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, ia berkata; Saya mendengar Al-A'masy (Hadits). Dan telah diriwayatkan dari jalur yang lain: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-'Ala`, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy secara makna, dari Muslim Al-Bathin, dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu Abbas bahwa seorang wanita telah datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata; Sesungguhnya ibunya memiliki tanggungan puasa satu bulan. Apakah boleh saya menunaikan puasa tersebut untuknya?
Kemudian beliau berkata: "Seandainya ibumu memiliki tanggungan hutang apakah engkau akan menunaikannya?"
Ia berkata; Ya.
Beliau berkata: "Maka hutang Allah lebih berhak untuk ditunaikan."
d.      Riwayat Sa'id bin Jubair, dari Ibnu 'Abbas.
Imam Bukhari rahimahullah berkata:
وَقَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ [بن عمرو الرقي]: عَنْ زَيْدِ بْنِ أَبِي أُنَيْسَةَ، عَنِ الحَكَمِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ: قَالَتِ امْرَأَةٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ، ...
Dan 'Ubaidullah berkata; Dari Zaid bin Abi Unaisah, dari Al-Hakam, dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu 'Abbas; Seorang wanita berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam; "Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan dia mempunyai tanggungan puasa nadzar, … ."
Ø Diriwayatkan secara bersambung oleh imam Muslim dalam “Ash-Shahih” 2/804 no.1148, ia berkata:
وحَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ، وَابْنُ أَبِي خَلَفٍ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ جَمِيعًا عَنْ زَكَرِيَّا بْنِ عَدِيٍّ، - قَالَ عَبْدٌ: حَدَّثَنِي زَكَرِيَّا بْنُ عَدِيٍّ -، أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَبِي أُنَيْسَةَ، حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ عُتَيْبَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ، أَفَأَصُومُ عَنْهَا؟ قَالَ: «أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِيهِ، أَكَانَ يُؤَدِّي ذَلِكِ عَنْهَا؟» قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: «فَصُومِي عَنْ أُمِّكِ»
Dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur, dan Ibnu Abu Khalaf, dan Abdu bin Humaid semuanya dari Zakariya bin Adiy -Abdu berkata: Telah menceritakan kepadaku Zakariya bin Adiy-, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ubaidullah bin Amru, dari Zaid bin Abu Unaisah, telah menceritakan kepada kami Al-Hakam bin Utaibah, dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata; Seorang wanita mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan beliau masih memiliki hutang puasa Nadzar, bolehkah aku membayarnya?"
Beliau menjawab: "Bagaimana menurutmu, jika ibumu memiliki hutang, lalu kamu membayarnya, apakah hal itu dapat melunasi hutangnya?"
Wanita itu menjawab, "Ya."
Beliau bersabda: "Kalau begitu, berpuasalah untuknya."
e.       Riwayat ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas.
Imam Bukhari rahimahullah berkata:
وَقَالَ أَبُو حَرِيزٍ [عبد الله بن الحسين]: حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ: قَالَتِ امْرَأَةٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَاتَتْ أُمِّي وَعَلَيْهَا صَوْمُ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا ...
Dan Abu Hariz [Abdullah bin Al-Husain] berkata: Telah menceritakan kepada kami 'Ikrimah, dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma: Seorang wanita berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; "Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan dia memiliki hutang puasa selama lima belas hari, … ".
Ø Diriwayatkan secara bersambung oleh Ibnu Khuzaiman dalam “Shahih-nya” 3/271 no.2053, ia berkata:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى الصَّنْعَانِيُّ، حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى الْفُضَيْلِ بْنِ مَيْسَرَةَ، عَنْ أَبِي حَرِيزٍ فِي الْمَرْأَةِ مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمٌ، قَالَ: حَدَّثَنِي عِكْرِمَةُ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: أَتَتِ امْرَأَةٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، قَالَ: «أَرَأَيْتِ لَوْ أَنَّ أُمَّكِ مَاتَتْ وَعَلَيْهَا دَيْنٌ، أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ؟» قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: «اقْضِي دَيْنَ أُمِّكِ»، وَالْمَرْأَةُ مِنْ خَثْعَمَ.
Muhammad bin Abdil A’laa Ash-Shan’aniy menceritakan kepada kami, ia berkata: Al-Mu’tamir menceritakan kepada kami, ia berkata: Aku membacakan hadits kepada Al-Fadhl bin Maisarah, dari Abi Hariz tentang perempuan yang mati dan memiliki hutang puasa, ia berkata: ‘Ikrimah menceritakan kepadaku, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Seorang wanita datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah wafat dan memiliki hutang puasa lima belas hari.
Beliau menjawab: “Apa pendapatmu jika ibumu wafat dan memiliki hutang (kepada manusia), apakah engkau akan melunasinya?”
Wanita itu menjawab: Iya.
Nabi bersabda: “Lunasilah hutang ibu mu (kepada Allah)”.
Dan wanita tersebut dari kabilah Khats’am.
Penjelasan singkat hadits ini:
1)      Biografi Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
2)      Hukum menunaikan hutang puasa orang lain.
Ada dua kemungkinan dalam hal ini:
a.      Kemungkinan pertama: Seorang yang memiliki utang puasa dan belum sempat menunaikannya sebelum wafat.
Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini:
Pendapat pertama: Jumhur ulama berpendapat bahwa walinya tidak wajib membayarnya, tidak dengan berpuasa atau memberi makan.
Dalilnya; Hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
«وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»
"Dan jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian maka kerjakanlah sesuai dengan kemampuan kalian". [Shahih Bukhari dan Muslim]
Pendapat kedua: Thawus dan Qatadah -rahimahumallah- berpendapat bahwa walinya memberi makan orang miskin untuk setiap harinya, seperti orang tua yang tidak mampu lagi berpuasa.
b.      Kemungkinan kedua: Seorang yang memiliki utang puasa dan punya kesempatan menunaikannya tapi ia tidak tunaikan sampai wafat.
Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini:
Pendapat pertama: Boleh seseorang menunaikan hutang puasa orang yang sudah wafat.
Ini adalah pendapat ulama hadits, dan pendapat terdahulu dari Imam Syafi’iy. Mereka mengamalkan keumuman hadits Aisyah, Ibnu ‘Abbas, dan Buraidah radhiyallahu 'anhum.
Buraidah radhiyallahu 'anhu berkata; Ketika saya sedang duduk di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba datanglah seorang wanita dan berkata: "Aku pernah memberikan seorang budak wanita kepada ibuku, dan kini ibuku telah meninggal. Bagaimana dengan hal itu?"
Beliau menjawab,
«وَجَبَ أَجْرُكِ، وَرَدَّهَا عَلَيْكِ الْمِيرَاثُ»
"Kamu telah mendapatkan pahala atas pemberianmu itu, dan sekarang pemberianmu itu telah kembali kepadamu sebagai pusaka."
Wanita itu bertanya lagi: "Wahai Rasulullah, ibuku punya hutang puasa satu bulan, bolehkah saya membayar puasanya?"
Beliau menjawab:
«صُومِي عَنْهَا»
"Ya, bayarlah puasanya itu."
Wanita itu berkata lagi: "Ibuku juga belum menunaikan haji, bolehkah aku yang menghajikannya?"
Beliau menjawab:
«حُجِّي عَنْهَا»
"Ya, hajikanlah ia." [Shahih Muslim]
Pendapat kedua: Tidak boleh seseorang berpuasa untuk orang yang sudah wafat, cukup menggantikannya dengan memberi makan orang miskin untuk setiap harinya.
Ini adalah pendapat imam Syafi’iy yang terbaru, Malik, dan Abu Hanifah. Dalil mereka:
1.       Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy rahimahullah dalam Al-Jami’ (3/87) no.718, ia berkata:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْثَرُ بْنُ القَاسِمِ، عَنْ أَشْعَثَ، عَنْ مُحَمَّدٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعَمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا»
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami 'Abtsar bin Al Qasim dari Asy'ats dari Muhammad dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Barang siapa yang meninggal dan masih memiliki tanggungan puasa hendaknya ia memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya sebagai gantinya".
Abu 'Isa At-Tirmidziy berkata:
«حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ لَا نَعْرِفُهُ مَرْفُوعًا إِلَّا مِنْ هَذَا الوَجْهِ، وَالصَّحِيحُ عَنْ ابْنِ عُمَرَ مَوْقُوفٌ قَوْلُهُ»
“Kami tidak mengetahui hadits Ibnu Umar ini diriwayatkan secara marfu' (dari Nabi) kecuali melalui sanad ini, dan yang benar adalah hadits ini mauquf sampai kepada Ibnu Umar.”
2.       Bahwa hadits Aisyah dan Ibnu ‘Abbas lemah karena bertentangan dengan ucapan mereka radhiyallahu ‘anhum sendiri.
a.       Adapun ucapan Aisyah radhiyallahu ‘anha;
Disebutkan oleh Al-Baihaqiy rahimahullah dalam “As-Sunan Al-Kubra” 4/429:
عَنْ عُمَارَةَ بْنِ عُمَيْرٍ عَنِ امْرَأَةٍ عَنْ عَائِشَةَ فِي امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَعَلَيْهَا الصَّوْمُ، قَالَتْ: يُطْعَمُ عَنْهَا.
Dari ‘Umarah bin ‘Umair, dari seorang wanita, dari Aisyah; Ia ditanya tentang seorang wanita yang memiliki hutang puasa.
Aisyah menjawab: “Ia membayarnya dengan memberi makan”.
Ø  Dalam riwayat lain, Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
" لَا تَصُومُوا عَنْ مَوْتَاكُمْ، وَأَطْعِمُوا عَنْهُمْ " .
"Jangan kalian berpuasa untuk orang wafat dari kalian, akan tetapi berilah makan untuk (melunasi hutang puasa) mereka”.
Ø  Diriwayatkan dengan sanad lengkap oleh Ath-Thahawiy rahimahullah dalam kitabnya “Syarh Musykil Al-Atsar” 6/178, ia berkata:
حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ الْفَرَجِ قَالَ: حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ عَدِيٍّ الْكُوفِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبِيدَةُ بْنُ حُمَيْدٍ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ رُفَيْعٍ، عَنْ عَمْرَةَ ابْنَةِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، فَقُلْتُ لَهَا: إِنَّ أُمِّيَ تُوُفِّيَتْ وَعَلَيْهَا رَمَضَانُ، أَيَصْلُحُ أَنْ أَقْضِيَ عَنْهَا؟ فَقَالَتْ: " لَا، وَلَكِنْ تَصَدَّقِي عَنْهَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ عَلَى مِسْكِينٍ، خَيْرٌ مِنْ صِيَامِكِ عَنْهَا "
Rauh bin Al-Faraj menceritakan kepada kami, ia berkata: Yusuf bin ‘Adiy Al-Kufiy menceritakan kepada kami, ia berkata: ‘Abdah bin ‘Humaid menceritakan kepada kami, dari Abdul ‘Aziz bin Rufai’, dari ‘Amrah binti Abdirrahman, ia berkata: Aku bertanya kepada Aisyah, aku berkata kepadanya: Sesungguhnya ibuku wafat dan memiliki hutang puasa Ramadhan, apakah bisa aku menggantikan untuknya?
Aisyah menjawab: “Tidak, akan tetapi bersedekahlah untuknya sebagai pengganti dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya, itu lebih baik daripada engkau berpuasa untuknya”.
Ibnu At-Turkman rahimahullah berkata: “Sanadnya shahih” [Al-Jauhar An-Naqiy 4/257]
b.      Adapun ucapan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
Diriwayatkan oleh Abdurrazaq rahimahullah dalam “Al-Mushanaf” 4/240 no.7650:
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ الْأَنْصَارِيِّ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ رَجُلٍ مَاتَ، وَعَلَيْهِ رَمَضَانُ، وَعَلَيْهِ نَذْرُ صِيَامِ شَهْرٍ آخَرَ قَالَ: «يُطْعَمُ عَنْهُ سِتُّونَ مِسْكِينًا»
Dari Ma’mar, dari Yahya bin Abi Katsir, dari Muhammad bin Abdirrahman bin Tsauban Al-Anshariy, dari Ibnu ‘Abbas, tentang seseorang yang mati dan memiliki hutang puasa Ramadhan, dan hutang nadzar puasa di bulan lain. Ibnu Abbas berkata: “Ia memberi makan enam pulah orang miskin”.
Pendapat ini dibantah, dengan argument:
1)      Hadits Ibnu Umar marfuu’ lemah, yang shahih hanya mauquf dari ucapan Ibnu Umar saja.
2)      Imam Al-Baihaqiy dan Al-Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa ucapan Aisyah dan Ibnu ‘Abbas lemah, tidak bisa dipertentangkan dengan hadits yang shahih.
3)      Ucapan Aisyah dan Ibnu ‘Abbas tidak bertentangan dengan hadits yang mereka riwayatkan, karena seseorang boleh memilih untuk membayar hutang puasa orang yang telah wafat dengan berpuasa atau memberi makan.
4)      Kalaupun dianggap bertentangan maka, hadits yang mereka riwayatkan lebih diutamakan dari pada pendapat mereka.
Pendapat ketiga: Tidak boleh kecuali puasa nadzar, adapun puasa Ramadhan maka diganti dengan memberi makan.
Ini adalah pendapat Al-Laits, Ahmad, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid. Mereka memahami bahwa keumuman hadits Aisyah telah dikhususkan oleh hadits Ibnu ‘Abbas.
Dan puasa nadzar bukan kewajiban dari Allah, tapi hamba sendiri yang mewajibkan pada dirinya, maka jika tidak ditunaikan akan menjadi hutang yang harus dibayar oleh walinya.
3)      Wali yang berhak membayarkan hutang puasa adalah semua kerabatnya.
Ada yang berpendapat bahwa hanya ahli warisnya saja, dan ada yang berpendapat bahwa hanya ahli waris yang ‘ashabah (tidak punya bagian tertentu, tapi hanya menerima sisa dari harta warisan).
Al-Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa pendapat pertama yang paling kuat, dan pendapat kedua mendekati. Sedangkan pendapat ketiga tertolak oleh hadits Ibnu ‘Abbas dan Buraidah.
4)      Apakah pembayaran hutang puasa khusus bagi wali saja?
Ulama berselisih dalam masalah ini:
Pendapat pertama: Ini khusus bagi walinya saja.
Karena hukum asal ibadah yang dilakukan oleh anggota tubuh tidak bisa diwakilkan, kecuali yang ada dalilnya maka dikhususkan atas apa yang disebutkan oleh dalil tersebut.
Pendapat kedua: Jika walinya menunjuk orang untuk menggantikan puasa hutang perwaliannya maka itu boleh.
Hukumnya sama seperti penunaian ibadah haji dan umrah.
Pendapat ketiga: Siapapun boleh membayarkan hutang puasa orang lain.
Adapun penyebutan wali dalam hadits ini hanya karena biasanya mereka yang membayarkannya, bukan sebagai pengkhususan.
Dan dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyamakan antara utang puasa dengan utang uang kepada manusia yang bisa ditunaikan oleh siapa pun.
Ini adalah pendapat yang nampaknya dipilih oleh Imam Bukhari dalam bab ini, dan juga dikuatkan oleh Abu Ath-Thayyib Ath-Thabariy rahimahumallah.
5)      Hutang kepada Allah lebih berhak ditunaikan.
Allah subhanahu wata'aalaa berfirman:
{وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ} [البقرة: 165]
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. [Al-Baqarah: 165]
6)      Sabda Nabi “ فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى “ ini dijadikan dalil oleh jumhur ulama dalam mewajibkan mengganti puasa dan shalat yang ditinggalkan secara sengaja (tanpa udzur) atau tidak.
Untuk masalah puasa sudah dibahas perselisihan ulama dalam hal ini. Lihat penjelasannya pada bab 31.
Ø  Sedangkan masalah shalat, sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa alasan syar’iy (udzur) maka ia tidak berhak menggantinya setelah waktunya habis.
Dengan alasan:
Waktu shalat telah ditentukan, tidak boleh didahului atau dilewatkan tanpa ada alasan syar’I, Allah subhanahu wata'aalaa berfirman:
{إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا} [النساء: 103]
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. [An-Nisaa':103]
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ نَسِيَ صَلَاةً، أَوْ نَامَ عَنْهَا، فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا» [صحيح مسلم]
"Barangsiapa yang lupa suatu shalat, atau ketiduran darinya, maka penggantinya adalah mendirikannya ketika ia mengingatnya". [Sahih Muslim]
7)      Wajib menunaikan nadzar.
Allah subhanahu wata'aalaa berfirman:
{وَلْيُوفُوا نُذُورَهُم} [الحج: 29]
Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka. [Al-Hajj: 29]
Ø  Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
«مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ»
"Barangsiapa bernadzar untuk menaati Allah, hendaknya ia menaati-Nya, dan barangsiapa bernadzar untuk bermaksiat kepadaNya, maka janganlah ia perturutkan untuk bermaksiat kepadaNya." [Shahih Bukhari]
8)      Nadzar hukumnya makruh
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
«لَا تَنْذِرُوا، فَإِنَّ النَّذْرَ لَا يُغْنِي مِنَ الْقَدَرِ شَيْئًا، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ» [صحيح البخاري ومسلم]
"Janganlah kalian bernadzar, karena nadzar sedikitpun tidak akan merubah takdir, hanyasanya) nadzar itu untuk mengeluarkan sesuatu dari orang bakhil."
Kecuali nadzar setelah mendapatkan nikmat
Allah subhanahu wata'aalaa berfirman:
{إِذْ قَالَتِ امْرَأَتُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ} [آل عمران: 35]
(Ingatlah) ketika isteri 'Imran berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui". [Ali 'Imran:35]
Wallahu a’lam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...