Selasa, 07 Juli 2020

Penjelasan singkat kitab Ash-Shaum dari Sahih Bukhari; Bab (65) Puasa hari Idul Fitri

بسم الله الرحمن الرحيم
Imam Bukhari rahimahullah berkata:
بَابُ صَوْمِ يَوْمِ الفِطْرِ
“Bab: Puasa hari Idul Fitri”
Dalam bab ini imam Bukhari menjelaskan tentang larangan berpuasa pada hari Raya Idul Fitri, dengan meriwayatkan 2 hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari ‘Umar bin Khathab dan Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhuma.
A.    Hadits pertama: Hadits ‘Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu.
Imam Bukhari rahimahullah berkata:

1889 - حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ [الزهري]، عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ مَوْلَى ابْنِ أَزْهَرَ، قَالَ: شَهِدْتُ العِيدَ مَعَ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ: " هَذَانِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِهِمَا: يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ، وَاليَوْمُ الآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ "
1889 - Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf, telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab [Az-Zuhriy], dari Abu 'Ubaid maula Ibnu Azhar berkata; Aku mengikuti shalat 'Ied (Adha) bersama 'Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu lalu dia berkata: "Inilah dua hari yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang puasa padanya, yaitu pada hari saat kalian berbuka dari puasa kalian ('Iedul Fitri) dan hari lainnya adalah hari ketika kalian memakan hewan qurban kalian ('Iedul Adhha) ".
قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: " قَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ: مَنْ قَالَ: مَوْلَى ابْنِ أَزْهَرَ، فَقَدْ أَصَابَ، وَمَنْ قَالَ: مَوْلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَدْ أَصَابَ "
Abu 'Abdullah [Al-Bukhariy] berkata; Ibnu 'Uyainah berkata; Siapa yang berkata bahwa Abu 'Ubaid adalah maula Ibnu Azhar berarti dia telah berkata benar dan siapa yang berkata bahwa dia adalah maula 'Abdurrahman bin 'Auf, maka dia juga telah berkata benar.
Penjelasan singkat hadits ini:
1.      Biografi ‘Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu.
2.      Biografi Abu ‘Ubaid maulaa Ibnu Azhar rahimahullah.
Namanya: Sa’ad bin ‘Ubaid Az-Zuhriy. Ia adalah maulaa (dimerdekakan oleh) Abdurrahman bin Azhar bin ‘Abdi ‘Auf, dan sebagian mengatakan ia maulaa Abdurrahman bin ‘Auf bin ‘Abdi ‘Auf.
Ibnu ‘Uyainan dan selainnya berpendapat bahwa kedua anggapan ini benar, alasannya mungkin karena keduanya berserikat dalam pembebasan Abu ‘Ubaid. Atau salah satu dari keduanya adalah yang maulaa secara hakiki dan yang lain maulaa secara majaz.
Maulaa secara hakiki jika ia yang memiliki dan memerdekakannya, sedangkan maulaa secara majas kemungkinan karena sering bersamanya, atau karena selalu melayaninya, atau karena ia yang memanfaatkannya, atau kepemilikannya telah berpindah dari yang satu ke yang lainnya.
Dan Az-Zubair bin Bakkar menyebutkan bahwa maulla secara hakiki adalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf, sedangkan Ibnu Azhar hanya maulaa secara majaz karena setelah Abdurrahman bin ‘Auf wafat, Abu ‘Ubaid pindah ke Ibnu Azhar.
Abu ‘Ubaid ini seorang yang tsiqah, dan ahli fiqhi di Madinah dari kalangan pembesar Tabi’in. Wafat tahun 98 hijriyah.
3.      Larangan berpuasa pada dua hari Raya, Idul Fitri dan Idul Adhaa, hukumnya haram.
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata:
" يُنْهَى عَنْ صِيَامَيْنِ: الفِطْرِ وَالنَّحْرِ "
"Telah dilarang berpuasa pada dua hari: Hari Raya 'Iedul Fitri dan 'Iedul 'Adha". [Shahih Bukhari]

4.      Hikmah larangan berpuasa pada dua hari Raya.
Larangan puasa pada hari Idul Fitri untuk memutuskan kewajiban puasa Ramadhan dengan puasa sunnah setelahnya.
Sedangkan larangan puasa pada hari Idul Adha untuk memakan sembelihan kurban.
Dari 'Uqbah bin 'Amir radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
«يَوْمُ عَرَفَةَ، وَيَوْمُ النَّحْرِ، وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلَامِ، وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ» [سنن أبي داود: صحيح]

“Hari 'Arafah, hari kurban, dan hari-hari tasyriq adalah hari raya umat Islam, hari itu adalah hari untuk makan dan minum”. [Sunan Abu Daud: Sahih]
B.     Hadits kedua: Hadits Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu.
Imam Bukhari rahimahullah berkata:
1890 - حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ [بن خالد]، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ يَحْيَى [بن عمارة المازني]، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: «نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الفِطْرِ وَالنَّحْرِ، وَعَنِ الصَّمَّاءِ، وَأَنْ يَحْتَبِيَ الرَّجُلُ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، وَعَنْ صَلاَةٍ بَعْدَ الصُّبْحِ وَالعَصْرِ»
1890 - Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il, telah menceritakan kepada kami Wuhaib [bin Khalid], telah menceritakan kepada kami 'Amru bin Yahya [bin ‘Umarah Al-Maziniy], dari bapaknya, dari Abu Sa'id radhiyallahu 'anhu berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang berpuasa pada hari Raya 'Iedul Fitri dan 'Iedul 'Adhha, dan juga melarang berpakaian dengan cara ash-shamma’ (berselimut sehingga seluruh bagian badannya tertutup), dan juga melarang seseorang duduk dengan cara ihtiba’ (mengangkat kedua lututnya dan melilitkan kain ke pundaknya) sementara ia hanya memakai selembar kain, dan melarang pula shalat setelah Subuh dan 'Ashar".
Penjelasan singkat hadits ini:
1)      Biografi Abu Sa’id Al-Khudriy, Sa’ad bin Malik bin Sinan radhiyallahu ‘anhu.
2)      Larangan berpuasa pada dua hari Raya, Idul Fitri dan Idul Adhaa.
3)      Larangan berpakaian dengan cara Ash-Shamma’.
Isytimal shamma’ artinya berpakaian dengan melilit kain pada seluruh tubuh sampaI sulit bergerak dan tidak bisa mengeluarkan tangan. Atau melilitkan kain pada salah satu bahunya sehingga sebagian auratnya terbuka.
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata:
«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لِبْسَتَيْنِ، أَنْ يَحْتَبِيَ الرَّجُلُ مُفْضِيًا بِفَرْجِهِ إِلَى السَّمَاءِ، وَيَلْبَسُ ثَوْبَهُ وَأَحَدُ جَانِبَيْهِ خَارِجٌ وَيُلْقِي ثَوْبَهُ عَلَى عَاتِقِهِ» [سنن أبي داود: صحيح]
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang dua cara berpakaian; seorang laki-laki berihtiba (duduk di atas bokong dan mendekap kedua lutut menempel dada) dengan membiarkan auratnya (kemaluan) menghadap ke langit. Dan memakai pakaian dengan satu sisi dibiarkan terbuka, lalu menyelempangkan bajunya ke pundak." [Sunan Abi Daud: Shahih]
4)      Larangan duduk ihtiba’ dengan satu pakaian.
Ihtiba’ adalah duduk dengan melilitan kain (sarung) pada punggung dan betis. Duduk seperti ini dilarang apabila tidak ada yang menutupi auratnya dari atas, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat lain:
Abu Sa'id Al Khudriy radhiyallahu 'anhu berkata:
«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ اشْتِمَالِ الصَّمَّاءِ، وَأَنْ يَحْتَبِيَ الرَّجُلُ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، لَيْسَ عَلَى فَرْجِهِ مِنْهُ شَيْءٌ» [صحيح البخاري]
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang seseorang mengenakan pakaian shama` (berselimut sehingga seluruh bagian badannya tertutup) dan melarang seseorang duduk ihtiba` dengan selembar kain dan tidak ada yang menutupi bagian kemaluannya."  [Shahih Bukhari]
Ø  Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:
" أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ عَنْ لِبْسَتَيْنِ وَعَنْ صَلاَتَيْنِ: نَهَى عَنِ الصَّلاَةِ بَعْدَ الفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، وَبَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، وَعَنِ اشْتِمَالِ الصَّمَّاءِ، وَعَنْ الِاحْتِبَاءِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، يُفْضِي بِفَرْجِهِ إِلَى السَّمَاءِ " [صحيح البخاري]
“Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang dari dua macam jual beli, dua cara berpakaian dan dua shalat. Beliau melarang shalat setelah Subuh sampai terbit matahari dan setelah 'Ashar sampai matahari terbenam. Melarang dari pakaian shama` dan duduk ihtiba` dengan satu kain sehingga menghadapkan kemaluannya ke langit." [Shahih Bukhari]
Ø  Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu 'anhuma:
«أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَأْكُلَ الرَّجُلُ بِشِمَالِهِ، أَوْ يَمْشِيَ فِي نَعْلٍ وَاحِدَةٍ، وَأَنْ يَشْتَمِلَ الصَّمَّاءَ، وَأَنْ يَحْتَبِيَ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ كَاشِفًا عَنْ فَرْجِهِ» [صحيح مسلم]
“Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang makan dengan tangan kiri, berjalan dengan sandal sebelah, berpakaian dengan menyelimuti seluruh tubuh (tanpa tangan dan tanpa baju dalam), dan duduk mencangkung (duduk dengan meninggikan lutut ke dada) dengan pakaian selapis sehingga auratnya kelihatan." [Shahih Muslim]
Ø  Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:
" نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لِبْسَتَيْنِ: اشْتِمَالِ الصَّمَّاءِ، وَالِاحْتِبَاءِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، وَأَنْتَ مُفْضٍ فَرْجَكَ " [سنن ابن ماجه: صحيح]
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang dua cara berpakaian; shama` dan ikhtiba` dengan satu kain seraya menampakkan kemaluannya ke langit." [Sunan Ibnu Majah: Shahih]
5)      Larangan shalat setelah shalat Subuh sampai matahari terbit, dan setelah shalat Ashar sampai matahari tenggelam.
Sebagaimana dalam riwayat yang lain:
«لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ»
“Tidak ada shalat setelah shalat subuh sampai matahari terbit, dan tidak ada shalat setelah shalat Ashar sampai matahari tenggelam”. [Sahih Bukhari dan Muslim]
Ø  Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata:
«أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، وَعَنِ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ»
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang shalat setelah Ashar sampai matahari tenggelam, dan shalat setelah Subuh sampai matahari terbit”. [Sahih Bukhari dan Muslim]
Ø  Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata: Telah menyaksikan bersamaku beberapa orang yang terpercaya dan yang paling terpercaya di antara mereka menurutku adalah Umar:
«أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَشْرُقَ الشَّمْسُ، وَبَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ»
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang shalat setelah Subuh sampai Motahari terbit, dan shalat setelah Ashar sampai matahari tenggelam”. [Sahih Bukhari dan Muslim]
6)      Larangan shalat setelah shalat Ashar khusus jika langit sudah mulai berwarna kuning, adapun jika langit masih terang maka tidak dilarangan.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata:
«أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْعَصْرِ، إِلَّا وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ»
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang shalat setelah Ashar kecuali jika matahari masih tinggi”. [Sunan Abu Daud: Sahih]
Dalam riwayat lain:
«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْعَصْرِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ الشَّمْسُ بَيْضَاءَ نَقِيَّةً مُرْتَفِعَةً»
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang shalat setelah shalat Ashar kecuali jika matahari masih bersinar terang dan tinggi”. [Sunan An-Nasaiy: Sahih]
Lihat: Hukum shalat sunnah setelah Ashar
7)      Hikmah larangan shalat setelah shalat Subuh dan Ashar.
‘Amru bin ‘Abasah As-Sulamiy radhiyallahu 'anhu berkata: Wahai Nabi Allah, beritahukanlan kepadaku apa yang Allah ajarkan kepadamu dan aku tidak ketahui, beritahukan kepadaku tentang shalat!
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«صَلِّ صَلَاةَ الصُّبْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ، ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ، فَإِنَّ حِينَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ، فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ، فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ» [صحيح مسلم]
“Shalatlat subuhlah, kemudian jangan shalat hingga matahari terbit dan meninggi, karena matahari terbit di antara dua tanduk setan, dan pada saat itu orang-orang kafir sujud menyembah matahari. Kemudian, jika matahari sudah meninggi, maka shalatlah, karena shalat pada waktu itu disaksikan dan dihadiri (oleh para malaikat) hingga bayangan sepanjang tombak. Kemudian jangan shalat, karena pada waktu itu api neraka sedang dinyalakan hingga bayangan kembali muncul. Dan apabila bayangan sudah kembali maka shalatlah kamu, karena shalat pada waktu itu disaksikan dan dihadiri (oleh para malaikat) hingga engkau mendirikan shalat ashar. Kemudian jangan shalat sampai matahari terbenam, karena matahari terbenam di antara dua tanduk setan dan pada waktu itulah orang-orang kafir beribadah." [Shahih Muslim]

8)      Larangan shalat setelah shalat Subuh dan Ashar ada pengecualiannya:
Diantarnya:
a.      Shalat sunnah yang dilakukan karena suatu sebab, sepeti shalat tahiyatul masjid.
Dari Abu Qatadah radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ»
“Jika seseorang dari kalian masuk mesjid maka salatlah dua raka’at sebelum duduk”. [Sahih Bukhari dan Muslim]
Hadits ini umum bagi orang yang masuk mesjid sekalipun pada waktu-waktu yang dilarang seperti sebelum matahari terbit atau tenggelam.
Begitu pula dengan shalat sunnah setelah wudhu, shalat jenazah, shalat gerhana matahari, bisa dilakukan kapan saja.
b.      Mengqadha shalat yang tertinggal karena lupa atau ketiduran, maka ia harus menunaikannya ketika ia bangun atau teringat sekalipun pada waktu terlarang.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلَاةِ، أَوْ غَفَلَ عَنْهَا، فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا»
“Jika kalian meninggalkan shalat karena ketiduran atau lupa, maka tunaikanlah ketika ia ingat”. [Sahih Muslim]
c.       Menemani seseorang yang shalat sendiri karena tertinggal jama’ah.
Abu Sa 'id Al-Khudriy radhiyallahu 'anhu berkata: Seorang laki-laki masuk masjid sedang Rasulullah dan para sahabatnya telah melakukan shalat, maka Rasulullah pun bersabda:
«مَنْ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ؟»
"Barangsiapa ingin bersedekah kepada orang ini hendaklah ia shalat bersamanya"
Lalu berdirilah seorang laki-laki dan shalat bersamanya. [Musnad Ahmad: Shahih]
Wallahu a’lam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...