بسم
الله الرحمن الرحيم
Imam Bukhari rahimahullah berkata:
بَابُ صَوْمِ
يَوْمِ الفِطْرِ
“Bab: Puasa hari Idul Fitri”
Dalam bab ini imam Bukhari menjelaskan
tentang larangan berpuasa pada hari Raya Idul Fitri, dengan meriwayatkan 2
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari ‘Umar bin Khathab
dan Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhuma.
Imam Bukhari rahimahullah
berkata:
1889 - حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ
شِهَابٍ [الزهري]، عَنْ
أَبِي عُبَيْدٍ مَوْلَى ابْنِ
أَزْهَرَ، قَالَ: شَهِدْتُ العِيدَ مَعَ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، فَقَالَ: " هَذَانِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِهِمَا: يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ،
وَاليَوْمُ الآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ "
1889 - Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah
bin Yusuf, telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab [Az-Zuhriy],
dari Abu 'Ubaid maula Ibnu Azhar berkata; Aku mengikuti shalat 'Ied (Adha) bersama
'Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu lalu dia berkata:
"Inilah dua hari yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang
puasa padanya, yaitu pada hari saat kalian berbuka dari puasa kalian ('Iedul
Fitri) dan hari lainnya adalah hari ketika kalian memakan hewan qurban kalian
('Iedul Adhha) ".
قَالَ
أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: " قَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ: مَنْ قَالَ: مَوْلَى ابْنِ
أَزْهَرَ، فَقَدْ أَصَابَ، وَمَنْ قَالَ: مَوْلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ
فَقَدْ أَصَابَ "
Abu 'Abdullah [Al-Bukhariy] berkata; Ibnu
'Uyainah berkata; Siapa yang berkata bahwa Abu 'Ubaid adalah maula Ibnu Azhar
berarti dia telah berkata benar dan siapa yang berkata bahwa dia adalah maula
'Abdurrahman bin 'Auf, maka dia juga telah berkata benar.
Penjelasan
singkat hadits ini:
1.
Biografi
‘Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu.
Lihat di sini: Keistimewaan Umar bin Khathab
2.
Biografi
Abu ‘Ubaid maulaa Ibnu Azhar rahimahullah.
Namanya: Sa’ad bin ‘Ubaid Az-Zuhriy. Ia adalah
maulaa (dimerdekakan oleh) Abdurrahman bin Azhar bin ‘Abdi ‘Auf, dan sebagian
mengatakan ia maulaa Abdurrahman bin ‘Auf bin ‘Abdi ‘Auf.
Ibnu ‘Uyainan dan selainnya berpendapat bahwa kedua
anggapan ini benar, alasannya mungkin karena keduanya berserikat dalam
pembebasan Abu ‘Ubaid. Atau salah satu dari keduanya adalah yang maulaa secara
hakiki dan yang lain maulaa secara majaz.
Maulaa secara hakiki jika ia yang memiliki dan
memerdekakannya, sedangkan maulaa secara majas kemungkinan karena sering
bersamanya, atau karena selalu melayaninya, atau karena ia yang
memanfaatkannya, atau kepemilikannya telah berpindah dari yang satu ke yang
lainnya.
Dan Az-Zubair bin Bakkar menyebutkan bahwa
maulla secara hakiki adalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf, sedangkan Ibnu Azhar hanya
maulaa secara majaz karena setelah Abdurrahman bin ‘Auf wafat, Abu ‘Ubaid
pindah ke Ibnu Azhar.
Abu ‘Ubaid ini seorang yang tsiqah, dan ahli
fiqhi di Madinah dari kalangan pembesar Tabi’in. Wafat tahun 98 hijriyah.
3.
Larangan
berpuasa pada dua hari Raya, Idul Fitri dan Idul Adhaa, hukumnya haram.
Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu berkata:
"
يُنْهَى عَنْ صِيَامَيْنِ: الفِطْرِ وَالنَّحْرِ "
"Telah dilarang berpuasa pada dua hari:
Hari Raya 'Iedul Fitri dan 'Iedul 'Adha". [Shahih Bukhari]
4.
Hikmah
larangan berpuasa pada dua hari Raya.
Larangan puasa pada hari Idul Fitri untuk
memutuskan kewajiban puasa Ramadhan dengan puasa sunnah setelahnya.
Sedangkan larangan puasa pada hari Idul
Adha untuk memakan sembelihan kurban.
Dari 'Uqbah
bin 'Amir radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda:
«يَوْمُ عَرَفَةَ، وَيَوْمُ النَّحْرِ،
وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلَامِ، وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ
وَشُرْبٍ» [سنن أبي داود: صحيح]
“Hari
'Arafah, hari kurban, dan hari-hari tasyriq adalah hari raya umat Islam, hari
itu adalah hari untuk makan dan minum”. [Sunan Abu Daud: Sahih]
Lihat:
Puasa yang dilarang
B. Hadits
kedua:
Hadits Abu Sa’id
Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu.
Imam
Bukhari rahimahullah berkata:
1890 -
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ [بن خالد]، حَدَّثَنَا
عَمْرُو بْنُ يَحْيَى [بن عمارة المازني]، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: «نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الفِطْرِ وَالنَّحْرِ، وَعَنِ الصَّمَّاءِ، وَأَنْ يَحْتَبِيَ
الرَّجُلُ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، وَعَنْ صَلاَةٍ بَعْدَ الصُّبْحِ وَالعَصْرِ»
1890 - Telah
menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il, telah menceritakan kepada kami
Wuhaib [bin Khalid], telah menceritakan kepada kami 'Amru bin Yahya [bin
‘Umarah Al-Maziniy], dari bapaknya, dari Abu Sa'id radhiyallahu 'anhu
berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang berpuasa pada hari
Raya 'Iedul Fitri dan 'Iedul 'Adhha, dan juga melarang berpakaian dengan cara
ash-shamma’ (berselimut sehingga seluruh bagian badannya tertutup), dan juga
melarang seseorang duduk dengan cara ihtiba’ (mengangkat kedua lututnya dan
melilitkan kain ke pundaknya) sementara ia hanya memakai selembar kain, dan
melarang pula shalat setelah Subuh dan 'Ashar".
Penjelasan singkat
hadits ini:
1) Biografi Abu
Sa’id Al-Khudriy, Sa’ad bin Malik bin Sinan radhiyallahu ‘anhu.
Lihat
di sini: https://umar-arrahimy.blogspot.com/
2) Larangan
berpuasa pada dua hari Raya, Idul Fitri dan Idul Adhaa.
3) Larangan
berpakaian dengan cara Ash-Shamma’.
Isytimal
shamma’ artinya berpakaian
dengan melilit kain pada seluruh tubuh sampaI sulit bergerak dan tidak bisa
mengeluarkan tangan. Atau melilitkan kain pada salah satu bahunya sehingga
sebagian auratnya terbuka.
Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata:
«نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لِبْسَتَيْنِ، أَنْ
يَحْتَبِيَ الرَّجُلُ مُفْضِيًا بِفَرْجِهِ إِلَى السَّمَاءِ، وَيَلْبَسُ ثَوْبَهُ
وَأَحَدُ جَانِبَيْهِ خَارِجٌ وَيُلْقِي ثَوْبَهُ عَلَى عَاتِقِهِ» [سنن أبي داود: صحيح]
"Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam melarang dua cara berpakaian; seorang
laki-laki berihtiba (duduk di atas bokong dan mendekap kedua lutut menempel
dada) dengan membiarkan auratnya (kemaluan) menghadap ke langit. Dan memakai
pakaian dengan satu sisi dibiarkan terbuka, lalu menyelempangkan bajunya ke
pundak." [Sunan Abi Daud: Shahih]
4) Larangan duduk
ihtiba’ dengan satu pakaian.
Ihtiba’ adalah duduk dengan
melilitan kain (sarung) pada punggung dan betis. Duduk seperti ini dilarang apabila tidak ada yang menutupi auratnya
dari atas, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat lain:
Abu Sa'id Al Khudriy radhiyallahu 'anhu berkata:
«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ اشْتِمَالِ الصَّمَّاءِ، وَأَنْ يَحْتَبِيَ
الرَّجُلُ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، لَيْسَ عَلَى فَرْجِهِ مِنْهُ شَيْءٌ» [صحيح البخاري]
"Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam melarang seseorang mengenakan pakaian shama` (berselimut sehingga
seluruh bagian badannya tertutup) dan melarang seseorang duduk ihtiba` dengan
selembar kain dan tidak ada yang menutupi bagian kemaluannya." [Shahih Bukhari]
Ø
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:
"
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ عَنْ
لِبْسَتَيْنِ وَعَنْ صَلاَتَيْنِ: نَهَى عَنِ الصَّلاَةِ بَعْدَ الفَجْرِ حَتَّى
تَطْلُعَ الشَّمْسُ، وَبَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، وَعَنِ
اشْتِمَالِ الصَّمَّاءِ، وَعَنْ الِاحْتِبَاءِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، يُفْضِي
بِفَرْجِهِ إِلَى السَّمَاءِ " [صحيح البخاري]
“Bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang dari dua macam jual
beli, dua cara berpakaian dan dua shalat. Beliau melarang shalat setelah Subuh
sampai terbit matahari dan setelah 'Ashar sampai matahari terbenam. Melarang
dari pakaian shama` dan duduk ihtiba` dengan satu kain sehingga menghadapkan
kemaluannya ke langit." [Shahih Bukhari]
Ø
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu 'anhuma:
«أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَأْكُلَ الرَّجُلُ
بِشِمَالِهِ، أَوْ يَمْشِيَ فِي نَعْلٍ وَاحِدَةٍ، وَأَنْ يَشْتَمِلَ الصَّمَّاءَ،
وَأَنْ يَحْتَبِيَ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ كَاشِفًا عَنْ فَرْجِهِ» [صحيح مسلم]
“Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang
makan dengan tangan kiri, berjalan dengan sandal sebelah, berpakaian dengan
menyelimuti seluruh tubuh (tanpa tangan dan tanpa baju dalam), dan duduk
mencangkung (duduk dengan meninggikan lutut ke dada) dengan pakaian selapis
sehingga auratnya kelihatan." [Shahih Muslim]
Ø
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:
"
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لِبْسَتَيْنِ:
اشْتِمَالِ الصَّمَّاءِ، وَالِاحْتِبَاءِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، وَأَنْتَ مُفْضٍ
فَرْجَكَ " [سنن ابن ماجه:
صحيح]
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
telah melarang dua cara berpakaian; shama` dan ikhtiba` dengan satu kain seraya
menampakkan kemaluannya ke langit." [Sunan Ibnu Majah: Shahih]
5) Larangan
shalat setelah shalat Subuh sampai matahari terbit, dan setelah shalat Ashar
sampai matahari tenggelam.
Sebagaimana
dalam riwayat yang lain:
«لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ
حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ»
“Tidak
ada shalat setelah shalat subuh sampai matahari terbit, dan tidak ada shalat
setelah shalat Ashar sampai matahari tenggelam”. [Sahih Bukhari dan Muslim]
Ø Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu berkata:
«أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الصَّلَاةِ
بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، وَعَنِ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى
تَطْلُعَ الشَّمْسُ»
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
melarang shalat setelah Ashar sampai matahari tenggelam, dan shalat setelah
Subuh sampai matahari terbit”. [Sahih Bukhari dan Muslim]
Ø Ibnu Abbas radhiyallahu
'anhuma, beliau berkata: Telah menyaksikan bersamaku beberapa orang yang
terpercaya dan yang paling terpercaya di antara mereka menurutku adalah Umar:
«أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الصَّلاَةِ
بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَشْرُقَ الشَّمْسُ، وَبَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ»
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
melarang shalat setelah Subuh sampai Motahari terbit, dan shalat setelah Ashar
sampai matahari tenggelam”. [Sahih Bukhari dan Muslim]
6) Larangan
shalat setelah shalat Ashar khusus jika langit sudah mulai
berwarna kuning, adapun jika langit masih terang maka tidak dilarangan.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata:
«أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الصَّلَاةِ
بَعْدَ الْعَصْرِ، إِلَّا وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ»
“Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam melarang shalat setelah Ashar kecuali jika matahari masih tinggi”.
[Sunan Abu Daud: Sahih]
Dalam riwayat lain:
«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلَاةِ
بَعْدَ الْعَصْرِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ الشَّمْسُ بَيْضَاءَ نَقِيَّةً مُرْتَفِعَةً»
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam melarang shalat
setelah shalat Ashar kecuali jika matahari masih bersinar terang dan tinggi”.
[Sunan An-Nasaiy: Sahih]
Lihat: Hukum shalat sunnah setelah Ashar
Lihat: Hukum shalat sunnah setelah Ashar
7) Hikmah
larangan shalat setelah shalat Subuh dan Ashar.
‘Amru
bin ‘Abasah As-Sulamiy radhiyallahu
'anhu berkata: Wahai Nabi Allah, beritahukanlan kepadaku apa yang Allah
ajarkan kepadamu dan aku tidak ketahui, beritahukan kepadaku tentang shalat!
Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«صَلِّ صَلَاةَ
الصُّبْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى
تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ،
وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ، ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ
مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ
عَنِ الصَّلَاةِ، فَإِنَّ حِينَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ، فَإِذَا أَقْبَلَ
الْفَيْءُ فَصَلِّ، فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى تُصَلِّيَ
الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا
تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ» [صحيح مسلم]
“Shalatlat subuhlah, kemudian jangan shalat
hingga matahari terbit dan meninggi, karena matahari terbit di antara dua
tanduk setan, dan pada saat itu orang-orang kafir sujud menyembah matahari.
Kemudian, jika matahari sudah meninggi, maka shalatlah, karena shalat pada
waktu itu disaksikan dan dihadiri (oleh para malaikat) hingga bayangan
sepanjang tombak. Kemudian jangan shalat, karena pada waktu itu api neraka
sedang dinyalakan hingga bayangan kembali muncul. Dan apabila bayangan sudah
kembali maka shalatlah kamu, karena shalat pada waktu itu disaksikan dan
dihadiri (oleh para malaikat) hingga engkau mendirikan shalat ashar. Kemudian
jangan shalat sampai matahari terbenam, karena matahari terbenam di antara dua
tanduk setan dan pada waktu itulah orang-orang kafir beribadah." [Shahih
Muslim]
8) Larangan shalat setelah shalat Subuh dan Ashar ada pengecualiannya:
Diantarnya:
a. Shalat sunnah yang dilakukan karena
suatu sebab, sepeti shalat
tahiyatul masjid.
Dari Abu Qatadah radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ
أَنْ يَجْلِسَ»
“Jika seseorang dari kalian masuk mesjid maka salatlah dua raka’at
sebelum duduk”. [Sahih Bukhari dan Muslim]
Hadits ini umum bagi orang yang masuk mesjid sekalipun pada waktu-waktu
yang dilarang seperti sebelum matahari terbit atau tenggelam.
Begitu pula dengan shalat sunnah setelah wudhu, shalat jenazah, shalat
gerhana matahari, bisa dilakukan kapan saja.
b. Mengqadha shalat yang tertinggal
karena lupa atau ketiduran, maka ia harus menunaikannya ketika ia bangun atau
teringat sekalipun pada waktu terlarang.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلَاةِ،
أَوْ غَفَلَ عَنْهَا، فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا»
“Jika kalian meninggalkan shalat
karena ketiduran atau lupa, maka tunaikanlah ketika ia ingat”. [Sahih Muslim]
c. Menemani
seseorang yang shalat sendiri karena tertinggal jama’ah.
Abu Sa 'id Al-Khudriy radhiyallahu 'anhu berkata: Seorang laki-laki masuk masjid
sedang Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya telah melakukan shalat, maka Rasulullah ﷺ pun bersabda:
«مَنْ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ؟»
"Barangsiapa ingin bersedekah kepada orang ini hendaklah ia shalat
bersamanya"
Lalu berdirilah seorang laki-laki dan shalat bersamanya. [Musnad Ahmad:
Shahih]
Lihat: Shalat Tahiyatul Masjid
Wallahu a’lam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...