بسم الله الرحمن الرحيم
Diantara akhlak yang mesti dimiliki seorang
ulama dan penuntut ilmu dari beberapa ucapan ulama salaf:
1.
Menuntut ilmu yang
bermanfaat.
Abu Ad-Darda` radhiyallaahu 'anhu berkata:
«لَا تَكُونُ عَالِمًا
حَتَّى تَكُونَ مُتَعَلِّمًا، وَلَا تَكُونُ بِالْعِلْمِ عَالِمًا حَتَّى تَكُونَ
بِهِ عَامِلًا، وَكَفَى بِكَ إِثْمًا أَنْ لَا تَزَالَ مُخَاصِمًا، وَكَفَى بِكَ
إِثْمًا أَنْ لَا تَزَالَ مُمَارِيًا، وَكَفَى بِكَ كَاذِبًا أَنْ لَا تَزَالَ
مُحَدِّثًا فِي غَيْرِ ذَاتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ»
"Kamu tidak akan menjadi seorang ulama
hingga kamu menjadi sorang penuntut ilmu (lebih dahulu), dan dengan ilmu pun
kamu tidak akan menjadi seorang ulama hingga kamu mengamalkannya, kamu dianggap
berdosa jika kamu bersikap membantah, kamu dianggap berdosa jika kamu suka
berdebat (hanya untuk menang), serta kamu dianggap sebagai pendusta jika kamu
bercerita selain Dzat Allah ‘azza wajalla (tidak berdasarkan dalil)".
[Sunan Ad-Darimiy: Hasan]
Ø Abdul A'la At-Taimiy
-rahimahullah- (w.140H) berkata:
«مَنْ أُوتِيَ مِنَ
الْعِلْمِ مَا لَا يُبْكِيهِ، لَخَلِيقٌ أَنْ لَا يَكُونَ أُوتِيَ عِلْمًا
يَنْفَعُهُ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى نَعَتَ الْعُلَمَاءَ ثُمَّ قَرَأَ: {إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى
عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا (107) وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ
رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا (108) وَيَخِرُّونَ
لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا} [الإسراء: 107 - 109]»
“Barangsiapa yang dianugerahi ilmu dan ilmunya
tidak membuatnya menangis kepada Allah, berarti ia mendapatkan ilmu yang tidak
bermanfaat, karena Allah telah mensifati para ulama, kemudian ia membaca (firman
Allah yang artinya): {Sesungguhnya
orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Quran dibacakan
kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud. Dan mereka
berkata: "Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti
dipenuhi". Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis
dan mereka bertambah khusyu'} [Al-Israa': 107-109] ". [Sunan
Ad-Darimiy: Sanadnya bagus]
Ø Imam Asy-Syafi'iy -rahimahullah-
(204H) berkata:
«لَيْسَ الْعِلْمُ مَا
حُفِظَ، الْعِلْمُ مَا نَفَعَ»
“Ilmu bukanlah yang dihafal (diketahui),
tapi ilmu adalah yang bermanfaat (diamalkan).” [Manaqib Asy-Syafi’iy karya
Al-Baihaqiy]
2.
Mengamalkan ilmu.
Amir Asy-Sya'biy -rahimahullah- (103H) berkata:
«إِنَّا لَسْنَا
بِالفُقَهَاءِ، وَلَكِنَّا سَمِعنَا الحَدِيْثَ فَرَوَيْنَاهُ، وَلَكِنَّ
الفُقَهَاءَ مَنْ إِذَا عَلِمَ، عَمِلَ»
“Kami
bukanlah seorang ulama, kami hanya mendengarkan hadits dan meriwayatkannya,
akan tetapi ulama itu adalah orang yang jika ia mengetahui sesuatu maka ia
mengamalkannya”. [Al-Muttafiq wal Muftariq karya Al-Khathib]
Ø
Ibrahim bin Ahmad Al-Khawwash -rahimahullah- (w.291H) berkata:
«لَيْسَ الْعِلْمُ بِكَثْرَةِ
الرِّوَايَةِ، إِنَّمَا الْعَالِمُ مَنِ اتَّبَعَ الْعِلْمَ وَاسْتَعْمَلَهُ،
وَاقْتَدَى بِالسُّنَنِ، وَإِنْ كَانَ قَلِيلَ الْعِلْمِ»
“Ilmu itu bukanlah dari banyaknya periwayatan, akan
tetapi orang yang berilmu adalah orang yang mengikuti ilmu dan mengamalkannya,
mengikuti Sunnah, sekalipun ilmu yang dimilikinya sedikit”. [Syu’abul Iman
karya Al-Baihaqiy]
Ø Al-Khathiib Al-Bagdadiy -rahimahullah-
(463H) berkata:
«إِنَّ الْعِلْمَ شَجَرَةٌ وَالْعَمَلَ ثَمَرَةٌ ،
وَلَيْسَ يُعَدُّ عَالِمًا مَنْ لَمْ يَكُنْ بِعِلْمِهِ عَامِلًا»
“Sesungguhnya ilmu itu ibarat
pohon sedangkan amalan adalah buah. Dan seorang tidak dianggap berilmu selama
ia tidak mengamalkan ilmunya”. [Iqtidhaa' Al-'Ilmi Al-'Amal karya Al-Khathib]
Lihat: Mengamalkan ilmu yang dimiliki
3.
Sedikit bicara banyak
beramal.
Abdurrahman Al-Auza'iy -rahimahullah- (157H) berkata:
«إِنَّ الْمُؤْمِنَ
يَقُولُ قَلِيلًا وَيَعْمَلُ كَثِيرًا، وَإِنَّ الْمُنَافِقَ يَقُولُ كَثِيرًا وَيَعْمَلُ
قَلِيلًا»
“Orang beriman sedikit bicara banyak
beramal, sedangkan orang munafiq banyak bicara sedikit beramal.” [Hilyatul
Auliyaa’ karya Abu Nu’aim]
4.
Tidak suka berdebat.
Abdurrahman Al-Auza'iy -rahimahullah- berkata:
«إذا أراد الله بقوم شراً
فتح عليهم باب الجدل، ومنعهم العمل، وكذلك العكس بالعكس، وإذا أراد بقوم خيراً فتح
لهم باب العمل، وأغلق عنهم باب الجدل»
“Jika Allah menghendaki pada suatu kaum keburukan maka Allah
membukakan kepada mereka pintu jidal (suka berdebat) dan menahan mereka
dari beramal. Demikian pula sebaliknya, jika Allah menghendaki pada suatu kaum
kebaikan maka Allah membukakan bagi mereka pintu amal (banyak beribadah) dan
menutup bagi mereka pintu jidal.”
[Min a’laam As-Salaf karya Ahmad Farid]
Lihat: Adab berselisih pendapat
5.
Wara' dan penyantun.
Imam Asy-Syafi'iy -rahimahullah- berkata:
«زِينَةُ الْعِلْمِ
الْوَرَعُ وَالْحِلْمُ»
“Hiasan
ilmu adalah sifat wara’ (berhati-hati) dan sifat hilm
(penyantun).” [Al-Madkhal ila As-Sunan
Al-Kubra karya Al-Baihaqiy]
6.
Zuhud
dan banyak
beribadah.
Al-Hasan
Al-Bashriy -rahimahullah- (110H) berkata:
«إِنَّمَا الْفَقِيهُ
الزَّاهِدُ فِي الدُّنْيَا، الرَّاغِبُ فِي الْآخِرَةِ، الْبَصِيرُ بِأَمْرِ
دِينِهِ، الْمُدَاوِمُ عَلَى عِبَادَةِ رَبِّهِ»
“Seorang
faqih (ahli agama) itu hanya orang yang zuhud dalam dunia, dan mengharapkan
kebaikan akhirat, pandai dalam urusan agamanya, dan senantiasa beribadah kepada
Rabb-nya.” [Sunan Ad-Darimiy: Shahih]
7. Jauh dari fitnah.
Al-Hasan
Al-Bashriy -rahimahullah- berkata:
«إِنَّ هَذِهِ
الْفِتْنَةَ إِذَا أَقْبَلَتْ عَرَفَهَا كُلُّ عَالِمٍ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ
عَرَفَهَا كُلُّ جَاهِلٍ»
“Fitnah
(godaan) ini, jika akan terjadi maka semua ulama mengetahuinya, dan jika sudah
berlalu maka semua orang bodoh juga bisa mengetahuinya”. [Ath-Thabaqat karya Ibnu Sa’ad]
Lihat: Motifasi hijrah di zaman fitnah
8. Tidak pemalu (dalam kebaikan) dan tidak sombong.
Mujahid -rahimahullah-
(w.101H) berkata:
«لاَ
يَتَعَلَّمُ العِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِرٌ»
“Seorang pemalu (sehingga tidak mau belajar) tidak akan bisa menuntut ilmu dan tidak pula
seorang yang angkuh”. [Shahih Bukhari: Mu’allaq]
Ø
Yahya bin Abi Katsir -rahimahullah- (w.132H) berkata:
«ما علمَ
مُستَحي ولا مُتكبرٌ قطُّ»
“Tidak
akan berilmu orang yang pemalu (sehingga tidak mau belajar)
dan tidak juga seorang yang angkuh/sombong (merasa sudah pintar)” [Ma’mu’ fiihi
mushannafaat Ibnu Al-Hamamiy]
Lihat: Kenapa harus malu?
9.
Selalu tahu diri.
Al-Fudhail
bin 'Iyadh -rahimahullah- (187H) berkata:
«يَا
مِسْكِيْنُ! أَنْتَ مُسِيءٌ وَتَرَى أَنَّكَ مُحْسِنٌ، وَأَنْتَ جَاهِلٌ وَتَرَى
أَنَّكَ عَالِمٌ، وَتَبْخَلُ وَترَى أَنَّكَ كَرِيْمٌ، وَأَحْمَقُ وَتَرَى أَنَّك
عَاقِلٌ، أَجَلُكَ قَصِيْرٌ، وَأَمَلُكَ طَوِيْلٌ»
“Wahai
si malang, engkau merusak tapi merasa dirimu telah berbuat baik, engkau bodoh
tapi merasa dirimu pintar, engkau kikir tapi merasa dirimu dermawan, engakau
dungu tapi merasa dirimu cerdas. Umurmu singkat sedangakan angan-anganmu
panjang”. [Tarikh Dimasyq karya
Ibnu ‘Asakir]
Ø Abdullah bin Al-Mu'taz -rahimahullah- berkata:
«الْمُتَوَاضِعُ فِي طِلابِ الْعِلْمِ أَكْثَرُهُمْ عِلْمًا، كَمَا
أَنَّ الْمَكَانَ الْمُنْخَفِضَ أَكْثَرُ الْبِقَاعِ مَاءً»
"Orang
tawadhu' di antara penuntut ilmu adalah orang yang paling banyak ilmunyaa,
sebagaimana tempat yang rendah lebih banyak menampung air". [Al-Jaami'
liakhlaqirrawi]
10. Takut
kepada Allah 'azza wajalla.
Ibnu
Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- berkata:
«لَيْسَ
الْعِلْمُ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ وَلَكِنَّ الْعِلْمَ الْخَشْيَةُ»
“Ilmu itu bukan dari banyaknya riwayat (hadits),
akan tetapi ilmu itu adalah sifat khasyah (senantiasa takut dan tunduk kepada
Allah)” [Az-Zuhd karya Imam Ahmad]
Ø Masruuq bin Al-Ajda' (62H) rahimahullah berkata:
«بحسب امرئ من العلم أن يخشى الله، وبحسب
امرئ من الجهل أن يعجب بعلمه»
"Cukuplah seorang itu dikatakan berilmu
apabila dia takut kepada Allah, dan cukuplah seorang itu dikatakan bodoh
apabila dia bangga dengan ilmunya" [Akhlaq Al-'Ulama' karya Al-Ajurriy]
Ø
Mujahid -rahimahullah- berkata:
«إِنَّمَا الْعَالِمُ مَنْ خَشِيَ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ»
“Ulama itu hanya orang
yang takut kepada Allah ‘azza wajalla” [Tafsir Al-Qurthubiy]
Ø Malik bun Migwal -rahimahullah-
berkata; "Seorang laki-laki berkata kepada Asy-Sya'biy; “Wahai
orang alim, berikanlah untukku fatwa!”
Asy-Sya'biy -rahimahullah- menjawab:
«الْعَالِمُ مَنْ يَخَافُ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ»
“Yang disebut orang alim itu adalah orang
yang takut kepada Allah". [Sunan Ad-Darimiy: Shahih]
Ø
Yahya bin Abi Katsir -rahimahullah- berkata:
«الْعَالِمُ مَنْ يَخْشَى اللهَ عَزَّ
وَجَلَّ»
“Orang berilmu itu adalah orang yang takut
kepada Allah ‘azza wajalla” [Hilyatul Auliyaa’ karya Abu Nu’aim]
Ø
Al-Fudhail bin 'Iyadh -rahimahullah- berkata:
«أَعْلَمُ
النَّاسِ بِاللهِ أَخْوَفُهُمْ لَهُ»
“Manusia
yang paling mengenal Allah adalah yang paling takut kepadaNya” [Hilyatul
Auliya’ karya Abu Nu’aim]
Ø Ar-Rabi’
bin Anas -rahimahullah- berkata:
«من لم يخش الله، فليس بعالم»
“Siapa yang tidak takut kepada Allah, maka ia
bukan ulama” [Majmu’ Rasail Ibnu Rajab]
Lihat: Sifat Khasyah; Takut karena pengagungan hanya untuk Allah
11. Meninggalkan maksiat.
Harim
bin Hayyan -rahimahullah-
(w.46H) berkata:
«إِيَّاكُمْ
وَالْعَالِمَ الْفَاسِقَ»
"Hendaklah
kalian berhati-hati terhadap ulama fasik.
Pernyataan
ini sampai ke telinga Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu 'anhu, kontan ia
langsung menulis surat kepada Harim bin Hayyan, dengan setengah mengingatkan,
Umar bertanya: 'Apa yang kamu maksud seorang ulama yang fasik? '
Harim membalas surat dengan mengatakan:
«يَا أَمِيرَ
الْمُؤْمِنِينَ وَاللَّهِ مَا أَرَدْتُ بِهِ إِلَّا الْخَيْرَ، يَكُونُ إِمَامٌ
يَتَكَلَّمُ بِالْعِلْمِ، وَيَعْمَلُ بِالْفِسْقِ، فَيُشَبِّهُ عَلَى النَّاسِ،
فَيَضِلُّوا»
'Wahai
amirul mu`minin, aku tidak menginginkan dengan hal itu kecuali kebaikan semata,
yang kumaksud adalah imam berbicara dengan ilmu tetapi beramal dengan
kefasikan, (sikapnya yang demikian membuat) menipu di depan manusia, hingga
mereka menjadi sesat' ". [Sunan Ad-Darimiy: Shahih]
Ø Amir Asy-Sya'biy -rahimahullah-
berkata:
«اتَّقُوا الْفَاجِرَ مِنَ الْعُلَمَاءِ،
وَالْجَاهِلَ مِنَ الْمُتَعَبِّدِينَ؛ فَإِنَّهُمَا آفَةٌ لِكُلِّ مَفْتُونٍ»
“Hindarilah
pelaku maksiat dari kalangan ulama, dan orang bodoh dari kalangan ahli ibadah;
Karena keduanya adalah sebab dari semua orang yang terkena fitnah (musibah
dalam agama)”. [Sy’abul Iman karya Al-Baihaqiy]
Lihat: Akibat maksiat
12. Semangat yang kuat.
Yahya
bin Abi Katsir -rahimahullah- berkata:
«لَا يَأْتِي
الْعِلْمُ بِرَاحَةِ الْجَسَدِ»
“Ilmu
tidak akan datang dengan tubuh yang santai”. [Hilyatul Auliya’ karya Abu
Nu’aim]
Ø
Ayyub bin ‘Utbah -rahimahullah-
(w.160H) berkata:
«لا
يَسْتَقِيمُ طَلَبُ الْعِلْمِ بِرَاحَةِ الْجَسَدِ»
“Tidak benar cara menuntut ilmu dengan tubuh yang santai”.
[Al-Masyayikh Al-Bagdadiyah karya Abu Thahir As-Silafiy]
13. Memilih ilmu yang paling baik dan utama.
Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma berkata:
«الْعِلْمُ أَكْثَرُ مِنْ أَنْ يُحْصَى،
فَخُذُوا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ أَحْسَنَهُ»
“Ilmu
itu lebih banyak daripada yang terhitung, maka ambillah dari setiap bidang ilmu
yang terbaik darinya”. [Jami’ Bayanul ‘Ilmi wa Fadhlihi karya Al-Qurthubiy]
Ø Amir Asy-Sya'biy -rahimahullah-
berkata:
«العلم أكثر من أن يُحصى فخذ
من كل شيء أحسنه»
“Ilmu
itu lebih banyak daripada yang terhitung, maka ambillah dari setiap bidang ilmu
yang terbaik darinya”. [Tarikh Dimasyq karya Ibnu ‘Asakir]
14. Memilih
guru yang baik.
Muhammad bin Sirin -rahimahullah- (110H) berkata:
«إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ
دِينٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ»
“Ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari
siapa kalian mengambil agama kalian”.
[Muqaddimah shahih Muslim]
15. Sifat yang tenang.
Imam
Malik -rahimahullah- (179H) berkata:
«إن حقاً على طالب
العلم أن يكون له وقار وسكينة وخشية، وأن يكون متبعاً لأثر من مضى قبله»
“Sesungguhnya wajib bagi setiap penuntut ilmu
untuk memiliki sifat wibawa, tenang, dan tunduk, dan hendaknya ia selalu
mengikuti jalan orang-orang yang telah terdahulu sebelumnya”. [Min A’laam As-Salaf karya Ahmad Farid]
Wallahu a’lam!
Lihat
juga: Mutiara Salaf - Nasehat Ibrahim bin Adham; Sepuluh penyebab hati mati - Kisah Yahya Al-Laitsiy dan gajah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...