Sabtu, 29 Februari 2020

Pengantar ilmu hadits Ahkam

بسم الله الرحمن الرحيم
Defenisi ilmu hadits Ahkam
Ilmu hadits ahkam terdiri dari tiga kata yaitu: Ilmu, hadits, dan ahkam.
a)      Defenisi ilmu
Ilmi adalah pengetahun atau pemahaman akan sesuatu sesuai dengan hakikatnya.
Ilmu terbagi dua: Ilmu daruriy dan muktasab.
Ilmu Daruriy adalah ilmu yang mesti diketahui oleh setiap makluk yang tidak bisa ia ingkari tanpa membutuhkan penelitian dan pembahasan.
Sedangkan ilmu muktasab adalah ilmu yang didapatkan setelah penelitian dengan dalil-dalil yang ada.
b)     Defenisi hadits:
Hadits adalah segala yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, baik berupa ucapan, perbuatan, pengakuan, atau sifat beliau dari bentuk ciptaan atau perilaku (akhlak).
Perkataan, perbuatan, dan persetujuan sahabat Nabi dan tabi’in juga terkadang diistilahkan hadits, sama seperti khabar, atsar, dan sunnah.
c)      Defenisi ahkam.
Ahkam bentuk jamak dari kata hukum yang bermakna ketetapan, keputusan, atau ketentuan.
Ahli ushul mendefenisikan hukum yaitu: “Ketetapan penentu syari’at yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (yang berhak diberi hukum) baik itu dalam bentu perintah, atau pilihan, atau ketentuan”.
Hukum terbagi dua: Hukum taklifiy dan hukum wadh’iy.
Hukum taklifi: Adalah ketetapan penentu syari’at dalam bentuk perintah atau pilihan.
Hukum taklifi ada lima macam:
1.       Wajib: ketetapan penentu syari’at dalam bentuk perintah melakukan sesuatu yang sifatnya lazim (harus).
2.       Mustahab: ketetapan penentu syari’at dalam bentuk perintah melakukan sesuatu yang sifatnya anjuran (tidak mesti).
3.       Haram: ketetapan penentu syari’at dalam bentuk perintah meninggalkan sesuatu yang sifatnya lazim (harus).
4.       Makruh: ketetapan penentu syari’at dalam bentuk perintah meninggalkan sesuatu yang sifatnya anjuran (tidak mesti).
5.       Mubah: ketetapan penentu syari’at dalam bentuk pilihan untuk melakukan atau meninggalkan.
Hukum Wad’iy: Adalah ketetapn penentu syari’at dalam bentuk ketentuan.
Hukum wadh’iy ada beberapa macam:
1)      Sebab: Adalah sesuatu yang dijadikan oleh penentu syari’at sebagai tanda adanya sesuatu dengan mengikat keberadaanya dengan keberadaan sesuatu tersebut, dan jika ia tidak ada maka sesuatu itu pun tidak ada. Seperti tenggelamnya matahari adalah sebab wajibnya shalat magrib, jika matahari belum tenggelam maka shalat magrib tidak ada.
2)      Syarat: Adalah suatu yang keberadaannya menjadi penentu diterimanya sesuatu, jika ia tidak ada maka sesuatu itu pun tidak diterima. Tapi jia ia ada maka tidak mesti sesuatu itu ada. Seperti wudhu adalah syarat sahnya shalat, jika tidak ada wudhu maka shalatnya tidak diterima, tapi jika ada wudhu maka shalat tidak mesti ada.
3)      Mani’: Adalah suatu yang mencegah keberadaan sesuatu, dan jika ia tidak ada maka sesuatu itu tidak mesti ada. contoh: Haid dan nifas adalah penghalang bagi perempuan untuk mendirikan shalat sekalipun sebab dan syaratnya sudah terpenuhi. Dan jika haid dan nifas tidak ada maka shalat tidak mesti ada.
4)      Rukhsah: Adalah keringanan dalam menjalankan hukum asal dari penentu syari’at. Seperti keringanan shalat sambil duduk bagi yang tidak mampu shalat sambil berdiri.
5)      Azimah: Adalah ketetapan asal suatu hukum yang mesti dilakukan, kecuali jika mendapatkan rukhshah.
6)      Shahih: Ketetapan akan diterimanya suatu amalan karena telah terpenuhi sebab, syarat, dan tidak ada pencegah.
7)      Bathil: Ketetapan akan tidak diterimanya suatu amalan karena tidak terpenuhi sebab, atau syarat, atau ada pencegah.
d)     Defenisi hadits hukum.
Ada beberapa defenisi hadits hukum yang disebutkan oleh ulama, diantaranya:
Ø  Hadits hukum adalah:
" الأحاديث النبوية المتعلقة بالأحكام الشرعية العملية "
“Hadits-hadits Nabawiy yang berkaitan dengan hukum-hukum syar’iy secara amaliya (amalan dzahir)”
Ø  Atau:
" الأحاديث النبوية الصحيحة والحسنة التي يمكن بصحيح النظر فيها الوصول إلى حكم شرعي عملي "
“Hadits-hadits Nabawiy yang shahih atau hasan, yang memungkinkan dengan penelitian yang benar untuk mengantar kepada satu hukum syar’iy secara amaliy”
Ø  Atau:
ما ورد عن النبى صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير يتضمن خطابًا شرعيًا يفهم منه طلب الفعل، أو الكف عنه، أو جعل شيء سببًا أو شرطًا لشيء أو مانعًا منه. ".
“Sesuatu yang dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa ucapan, perbuatan, pengakuan yang mengandung ketetapan syar’iy, yang dipahami darinya berupa perintah mengerjakan, atau meninggalkan, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab sesuatu, atau syarat untuk sesuatu, atau mencegah dari sesuatu”.
e)      Defenisi Ilmu hadits ahkam:
Ilmu hadits ahkam adalah:
علم يبحث في أحاديث الأحكام وجمعها ودلالتها على المسائل الفقهية نصا، أو استنباطا، أو إشارة، أو إيماء بدلالة السياق، أو السباق، أو اللحاق، مرتبة على الأبواب الفقهية.
“Ilmu yang membahas tentang hadits-hadits hukum, baik dari sisi penyusunannya atau pendalilanya terhadap masalah-masalah fiqhi secara nash[1], istinbath (hukum yang tidak tercantum), isyarah[2], atau petunjuk dengan dalil bentuk teksnya, atau kalimat sebelum atau setelahnya, dan disusun sesuai dengan urutan bab-bab fiqhi”.
Atau: “Ilmu pengetahuan yang mempelajari bagaimana mengumpulkan atau memahami hadits-hadits Nabawiy yang berkaitan dengan hukum-hukum syar’iy secara amaliya (amalan dzahir)”.
Keutamaan mempelajari ilmu hadits ahkam
Diantaranya:
1.       Keistimewaan suatu ilmu dilihat dari keistimewaan bahasannya, dan ilmu hadits ahkam bahasannya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
2.       Seorang ahli fiqhi tidak akan mungkin bisa mengengeluarkan hukum yang tepat dari berbagai jenis dalil (Al-Qur’an, ijma’, kias, dll) kecuali menguasai hadits-hadits hukum.
3.       Melatih kemampuan dalam mengeluarkan (istinbat) hukum dari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
4.       Mengeratkan hubungan antara peneliti hukum dengan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga memperkuat pengagungan terhadap kedudukan Nabi shallallahu ‘alaih wasallam sebagai Rasul dalam menyampaikan hukum-hukum Allah subhanahu wata'aalaa.
Perbedaan mempelajari hukum melalui ilmu fiqhi dan ilmu hadits ahkam:
a)       Ilmu fiqhi hanya fokus pada pembahasan seputar hukum, sedangkan ilmu hadits ahkam terkadang meluas sampai kepembahasan shahih tidaknya suatu hadits, sejarah perawi hadits terkhusus sahabat Nabi yang menerima hadits langsung dari beliau, terkadang juga membahas sejarah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kajian Bahasa, ushul fiqi, kaedah ushul, dan ilmu-ilmu lainnya yang tercantum atau tersirat dari hadits yang dikaji.
b)      Ilmu fiqhi lebih meluas dalam menkaji suatu pembahasan hukum, sedangkan ilmu hadits ahkam hanya mengkaji hukum yang berkaitan erat dengan kandungan hadits.
Kitab-kitab hadits ahkam
Kitab hadits ahkam ada dua jenis: Kitab bersanad dan kitab tidak bersanad.
Yang pertama, Kitab yang bersanad ada dua jenis: Kitab khusus hadits ahkam dan kitab yang bercampur dengan jenis hadits lain.
A.      Kitab khusus hadits ahkam:
Ada beberapa jenis buku dalam kategori ini, diantaranya:
1.       Al-Muwatha'
Kitab yang mengumpulkan hadits-hadits hukum dan disusun dengan urutan bab fiqhi, baik itu hadits yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (marfuu’), sahabat radhiyallahu ‘anhum (mauquuf), dan tabi’in rahimahumullah (maqthu’). Bahkan pendapat muallif akan satu hukum fiqhi juga terkadang dicantumkan di dalammya. Diantara ulama' yang menyusun al-muwatha':
Ø  Imam Malik bin Anas (w.179 H), dikatakan bahwa beliaulah yang paling pertama menyusun kitab kumpulan hadits-hadits ahkam.
Ø  Ibnu Abi Dzi'b Muhammad bin Abdurrahman Al-Madany (w.185 H)
Ø  Abu Muhammad Abdullah bin Muhamma Al-Marwazy (w.293 H)
2.       As-Sunan
Kitab yang mengumpulkan hadits-hadits hukum dan disusun dengan urutan bab fiqhi, tapi hanya khusus hadits marfuu' yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara ulama' yang menyusun as-sunnan :
Ø  Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy'ats As-Sijistany (w.275 H)
Ø  An-Nasai Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu'aib bin Ali (w.303 H)
Ø  Ibnu Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwaeny (w.273 H)
B.      Kitab bercampur dengan jenis hadits lain.
Ada beberapa jenis buku dalam kategori ini, diantaranya:
1)      Al-Mushannaf
Adalah buku yang menyusun hadits-hadits sesuai dengan urutan fiqhiyah (kitab dan bab), di dalamnya terdapat hadits marfu' (dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam), mauquf (dari sahabat), dan maqthu' (dari tabi'in dan setelahnya) yang berhubungan dengan masalah fiqh. Dan diantara buku al-mushannaf yang ada, terdapat juga hadits-hadits yang membahas tentang sejarah. Diantara ulama yang menyusun al-mushannaf:
Ø  Abu Bakr bin Abi Syaebah (w.235 H).
Ø  Abu Bakr Abdurrazzaq bin Hammam (w.211 H)
Ø  Baqi' bin Makhlad (w.276 H)
Ø  Abu Sufyan Waki' bin Al-Jarrah (w.196 H)
2)      Al-Jami'
Adalah buku yang mengumpulan semua jenis hadits marfu', baik itu tentang aqidah, fiqhi, tafsir, sejarah, adab, zuhud dan sebagainya. Di antara ulama yang menyusun al-jami':
Ø  Imam Al-Bukhary Abu Abdillah Muhammad bin Ismail (w.256 H), judul kitabnya: Al-Jami’ Al-Musnad Ash-Shahih Al-Mukhtashar min umuri Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam wa sunanihi wa ayyamihi, atau lebih dikenal dengan nama “Shahih Al-Bukhariy”.
Ø  Imam Muslim bin Hajjaj An-Naesabury (w.261 H), judul kitabnya: Al-Musnad Ash-Shahih Al-Mukhtashar binaqlil ‘adli ‘anil ‘adli ilaa Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, atau lebih dikenal dengan nama “Shahih Muslim”.
Ø  Imam At-Tirmidziy Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah (279 H), judul kitabnya: “Al-Jami’ Al-Kabir”, atau yang lebih terkenal dengan nama “Sunan At-Tirmidziy”.
Yang kedua, Kitab hadits hukum yang tidak bersanad ada beberapa macam:
a)      Khusus hadits-hadits hukum dari kitab shahih Bukhari dan Muslim.
Diantaranya:
1.       Kitab ‘Umdatul Ahkam karya Abdul Ganiy bin Abdil Wahid Al-Maqdisy (w. 600H).
Beliau mengumpulan sekitar 407 hadits hukum dari shahih Bukhari dan Muslim. Diantara yang mensyarah kitab ‘Umdatul Ahkam:
Ø  Ihkamul Ahkam karya Muhammad bin ‘Ali Ibnu Daqiiq Al-‘Ied (w. 702H).
Ø  Al-‘Uddah hasyiah ‘ala Ihkamil Ahkam karya Muhammad bin Isma’il Al-Amiir Ash-Shan’aniy (w.1182H)
Ø  Taisirul Anaam karya Abdullah bin Abdirrahman Aali Bassaam.
2.       Kitab Al-Bulgah bin Ahaditsil Ahkam karya Ibnu Al-Mulaqqin (w.804H).
Beliau mengumpulkan 508 hadits hukum yang disepakati oleh imam Bukhari dan Muslim, disusun sesuai dengan susunan bab kita Al-Minhaj karya imam An-Nawawiy.
b)      Khusus hadits-hadits hukum dalam madzhab tertentu.
Diantaranya:  Kitab Al-Muntaqaa fiil Ahkam Asy-Syar’iyah karya Abdussalam bin Abdillah Ibnu Taimiyah Al-Harraniy (w.652H).
Beliau mengumpulkan hadits-hadits hukum yang dipakai dalam madzhab Hambaliy. Diantara yang mensyarah kitab ini: Nailul Authar karya Muhammad bin Ali Asy-Syaukaniy (w.1250H)
c)       Kitab hadis hukum secara umum.
Diantaranya:
1.       Kitab Al-Ahkam Al-Kubra, Al-Ahkam Al-Wustha, dan Al-Ahkam Ash-Shugra karya ‘Abdul Haq Al-Isybiliy (w.581H).
2.       Khulashatul Ahkam karya imam An-Nawawiy (w.676H). Kitab ini tidak sempurna, hanya sampai pada kitab zakat.
3.       Al-Imam fii Ahaditsil Ahkam karya Ibnu Daqiq Al-‘Ied, kemudian beliau ringkas dalam kitabnya Al-Ilmam fii Ahaditsil Ahkam, beliau mengumpulkan 1632 hadits hukum.
4.       Bulugul Maram min Adillatil Ahkam karya Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalaniy (w.852H).
Beliau mengumpulkan hadits-hadits hukum yang dipakai dalam madzhab Syafi’iy. Diantara yang mensyarah kitab Bulugul Maram:
Ø  Al-Badrut Tamam karya Al-Husain bin Muhammad Al-Magribiy (w.1119H).
Ø  Subulussalam karya Muhammad bin Isma’il Ash-Shan’aniy, beliau meringkas kitab Al-Badrut Tamam.
Ø  Taudhihul Ahkam karya Abdullah bin Abdirrahman Aali Bassaam.
d)      Kitab takhrij hadits-hadits hukum.
Kitab ini mengumpulkan hadits-hadits hukum kemudian meneliti sanad dan matannya untuk dihukumi keshahihannya. Diantaranya:
1)      Talkhis Al-Habir oleh Ibnu Hajar Al-'Asqalany (852H), beliau mentakhrij hadits-hadits yang disebutkan dalam kitab Asy-Syarh Al-Kabir karangan Ar-Rafi'iy (623H) yang mensyarah Al-Wajiz buku fiqh mazhab Syafi'i karangan Imam Abu Hamid Muhammad Al-Gazaliy (505H).
2)      Nashbu Ar-Rayah oleh Az-Zaila'iy (762H), beliau mentakhrij hadits-hadits yang disebutkan dalam kitab Al-Hidayah buku fiqhi mazhab Hanafy karangan Abu Al-Hasan Ali Al-Marginany (593H).
3)      Irwa' Al-Galiil oleh Syekh Muhammad Nasiruddin Al-Albany (1420H), beliau mentakhrij hadits-hadits yang disebutkan dalam kitab Manar As-Sabil karangan Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhauyan (1353H) yang menyarah kitab Dalil Al-Thalib li Nailil Mathalib buku fiqhi mazhab Hanbaly karangan Mar'iy bin Yusuf Al-Karmy Al-Hanbaly (1033H).
Wallahu a’lam!



[1]) Ibaratun-nash: Adalah makna yang dipahami dari teks secara langsung. Ibaratun-nash terbagi menjadi 2:
a)       makna yang langsung dipahami yang merupakan inti dari pembahasan teks.
b)       makna yang langsung dipahami, tapi makna yang dikandung hanya sebagai tambahan dari makna inti.
Contoh 1: QS. al-Baqarah ayat 275: وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Makna ayat ini dari ‘ibaratun-nash:
·         Jual beli dan riba itu beda; ini adalah makna inti dari ayat karena diturunkan untuk membantah anggapan bahwa riba dan jual beli itu sama.
·         Jual beli halal dan riba itu haram; makna ini hanya tambahan dari tujuan utama ayat ini turun.
[2]) Isyaratun-nash: Yaitu, makna yang tidak dipahami secara langsung dari teks, akan tetapi makna yang tersirat.
Contoh 1: QS. al-Baqarah ayat 233: وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna, dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut”
Isyaratun-nash dari ayat ini menunjukkan bahwa: Tidak ada yang bersekutu dengan suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya. Hak nasab anak tidak boleh diberikan kecuali kepada bapak. Ketika si bapak membutuhkan uang, kemudian bapak mengambil uang anaknya, maka itu adalah hak si bapak karena anak itu adalah milik bapaknya (anak dan hartanya milik orang tua). Hak memeliahara anak adalah suami.
Ini dipahami dari isyara huruf jar (له) yang menunjukkan kepemilikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...