بسم
الله الرحمن الرحيم
Defenisi ilmu hadits Ahkam
Ilmu hadits ahkam terdiri dari tiga kata
yaitu: Ilmu, hadits, dan ahkam.
a)
Defenisi ilmu
Ilmi adalah pengetahun atau pemahaman akan
sesuatu sesuai dengan hakikatnya.
Ilmu Daruriy adalah ilmu yang mesti
diketahui oleh setiap makluk yang tidak bisa ia ingkari tanpa membutuhkan
penelitian dan pembahasan.
Sedangkan ilmu muktasab adalah ilmu
yang didapatkan setelah penelitian dengan dalil-dalil yang ada.
b)
Defenisi hadits:
Hadits adalah segala yang bersumber dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, baik berupa ucapan, perbuatan,
pengakuan, atau sifat beliau dari bentuk ciptaan atau perilaku (akhlak).
Perkataan, perbuatan, dan persetujuan
sahabat Nabi dan tabi’in juga terkadang diistilahkan hadits, sama seperti khabar,
atsar, dan sunnah.
c)
Defenisi ahkam.
Ahkam bentuk jamak dari kata hukum yang
bermakna ketetapan, keputusan, atau ketentuan.
Ahli ushul mendefenisikan hukum yaitu: “Ketetapan
penentu syari’at yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (yang berhak diberi
hukum) baik itu dalam bentu perintah, atau pilihan, atau ketentuan”.
Hukum terbagi dua: Hukum taklifiy
dan hukum wadh’iy.
Hukum taklifi: Adalah ketetapan
penentu syari’at dalam bentuk perintah atau pilihan.
Hukum taklifi ada lima macam:
1.
Wajib: ketetapan
penentu syari’at dalam bentuk perintah melakukan sesuatu yang sifatnya lazim
(harus).
2.
Mustahab: ketetapan
penentu syari’at dalam bentuk perintah melakukan sesuatu yang sifatnya anjuran
(tidak mesti).
3.
Haram: ketetapan
penentu syari’at dalam bentuk perintah meninggalkan sesuatu yang sifatnya lazim
(harus).
4.
Makruh: ketetapan
penentu syari’at dalam bentuk perintah meninggalkan sesuatu yang sifatnya
anjuran (tidak mesti).
5.
Mubah: ketetapan
penentu syari’at dalam bentuk pilihan untuk melakukan atau meninggalkan.
Hukum Wad’iy: Adalah ketetapn
penentu syari’at dalam bentuk ketentuan.
Hukum wadh’iy ada beberapa macam:
1)
Sebab: Adalah
sesuatu yang dijadikan oleh penentu syari’at sebagai tanda adanya sesuatu
dengan mengikat keberadaanya dengan keberadaan sesuatu tersebut, dan jika ia tidak
ada maka sesuatu itu pun tidak ada. Seperti tenggelamnya matahari adalah sebab
wajibnya shalat magrib, jika matahari belum tenggelam maka shalat magrib tidak
ada.
2)
Syarat: Adalah suatu
yang keberadaannya menjadi penentu diterimanya sesuatu, jika ia tidak ada maka
sesuatu itu pun tidak diterima. Tapi jia ia ada maka tidak mesti sesuatu itu
ada. Seperti wudhu adalah syarat sahnya shalat, jika tidak ada wudhu maka
shalatnya tidak diterima, tapi jika ada wudhu maka shalat tidak mesti ada.
3)
Mani’: Adalah suatu
yang mencegah keberadaan sesuatu, dan jika ia tidak ada maka sesuatu itu tidak
mesti ada. contoh: Haid dan nifas adalah penghalang bagi perempuan untuk
mendirikan shalat sekalipun sebab dan syaratnya sudah terpenuhi. Dan jika haid
dan nifas tidak ada maka shalat tidak mesti ada.
4)
Rukhsah: Adalah
keringanan dalam menjalankan hukum asal dari penentu syari’at. Seperti
keringanan shalat sambil duduk bagi yang tidak mampu shalat sambil berdiri.
5)
‘Azimah: Adalah
ketetapan asal suatu hukum yang mesti dilakukan, kecuali jika mendapatkan
rukhshah.
6)
Shahih: Ketetapan
akan diterimanya suatu amalan karena telah terpenuhi sebab, syarat, dan tidak
ada pencegah.
7)
Bathil: Ketetapan
akan tidak diterimanya suatu amalan karena tidak terpenuhi sebab, atau syarat,
atau ada pencegah.
d) Defenisi
hadits hukum.
Ada beberapa defenisi hadits hukum yang
disebutkan oleh ulama, diantaranya:
Ø Hadits hukum adalah:
" الأحاديث النبوية
المتعلقة بالأحكام الشرعية العملية "
“Hadits-hadits
Nabawiy yang berkaitan dengan hukum-hukum syar’iy secara amaliya (amalan
dzahir)”
Ø Atau:
" الأحاديث النبوية
الصحيحة والحسنة التي يمكن بصحيح النظر فيها الوصول إلى حكم شرعي عملي
"
“Hadits-hadits Nabawiy yang shahih atau
hasan, yang memungkinkan dengan penelitian yang benar untuk mengantar kepada
satu hukum syar’iy secara amaliy”
Ø Atau:
ما ورد عن النبى صلى الله عليه وسلم من
قول أو فعل أو تقرير يتضمن خطابًا شرعيًا يفهم منه طلب الفعل، أو الكف عنه، أو جعل
شيء سببًا أو شرطًا لشيء أو مانعًا منه. ".
“Sesuatu yang dinukil dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam berupa ucapan, perbuatan, pengakuan yang mengandung ketetapan
syar’iy, yang dipahami darinya berupa perintah mengerjakan, atau meninggalkan,
atau menjadikan sesuatu sebagai sebab sesuatu, atau syarat untuk sesuatu, atau
mencegah dari sesuatu”.
e)
Defenisi Ilmu hadits
ahkam:
Ilmu hadits ahkam adalah:
علم يبحث في أحاديث الأحكام وجمعها
ودلالتها على المسائل الفقهية نصا، أو استنباطا، أو إشارة، أو إيماء بدلالة السياق،
أو السباق، أو اللحاق، مرتبة على الأبواب الفقهية.
“Ilmu yang membahas tentang
hadits-hadits hukum, baik dari sisi penyusunannya atau pendalilanya terhadap
masalah-masalah fiqhi secara nash[1],
istinbath (hukum yang tidak tercantum), isyarah[2],
atau petunjuk dengan dalil bentuk teksnya, atau kalimat sebelum atau setelahnya,
dan disusun sesuai dengan urutan bab-bab fiqhi”.
Atau: “Ilmu pengetahuan yang mempelajari
bagaimana mengumpulkan atau memahami hadits-hadits Nabawiy yang berkaitan dengan hukum-hukum syar’iy secara
amaliya (amalan dzahir)”.
Keutamaan mempelajari ilmu hadits ahkam
Diantaranya:
1.
Keistimewaan suatu ilmu
dilihat dari keistimewaan bahasannya, dan ilmu hadits ahkam bahasannya adalah hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang merupakan sumber hukum kedua setelah
Al-Qur’an.
2.
Seorang ahli fiqhi tidak
akan mungkin bisa mengengeluarkan hukum yang tepat dari berbagai jenis dalil
(Al-Qur’an, ijma’, kias, dll) kecuali menguasai hadits-hadits hukum.
3.
Melatih kemampuan dalam
mengeluarkan (istinbat) hukum dari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam.
4.
Mengeratkan hubungan antara
peneliti hukum dengan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
sehingga memperkuat pengagungan terhadap kedudukan Nabi shallallahu ‘alaih
wasallam sebagai Rasul dalam menyampaikan hukum-hukum Allah subhanahu wata'aalaa.
Perbedaan mempelajari hukum melalui ilmu fiqhi
dan ilmu hadits ahkam:
a)
Ilmu fiqhi hanya fokus pada
pembahasan seputar hukum, sedangkan ilmu hadits ahkam terkadang meluas sampai
kepembahasan shahih tidaknya suatu hadits, sejarah perawi hadits terkhusus
sahabat Nabi yang menerima hadits langsung dari beliau, terkadang juga membahas
sejarah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kajian Bahasa, ushul fiqi,
kaedah ushul, dan ilmu-ilmu lainnya yang tercantum atau tersirat dari hadits
yang dikaji.
b)
Ilmu fiqhi lebih meluas
dalam menkaji suatu pembahasan hukum, sedangkan ilmu hadits ahkam hanya
mengkaji hukum yang berkaitan erat dengan kandungan hadits.
Kitab-kitab hadits ahkam
Kitab hadits ahkam ada dua jenis: Kitab
bersanad dan kitab tidak bersanad.
Yang pertama, Kitab yang bersanad ada dua jenis:
Kitab khusus hadits ahkam dan kitab yang bercampur dengan jenis hadits lain.
A.
Kitab khusus
hadits ahkam:
Ada beberapa jenis buku dalam kategori ini,
diantaranya:
1. Al-Muwatha'
Kitab yang mengumpulkan hadits-hadits hukum
dan disusun dengan urutan bab fiqhi, baik itu hadits yang bersumber dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam (marfuu’), sahabat radhiyallahu ‘anhum (mauquuf),
dan tabi’in rahimahumullah (maqthu’). Bahkan pendapat muallif
akan satu hukum fiqhi juga terkadang dicantumkan di dalammya. Diantara ulama'
yang menyusun al-muwatha':
Ø
Imam Malik bin Anas (w.179
H), dikatakan bahwa beliaulah yang paling pertama menyusun kitab kumpulan
hadits-hadits ahkam.
Ø
Ibnu Abi Dzi'b Muhammad bin
Abdurrahman Al-Madany (w.185 H)
Ø
Abu Muhammad Abdullah bin
Muhamma Al-Marwazy (w.293 H)
2.
As-Sunan
Kitab yang mengumpulkan hadits-hadits hukum
dan disusun dengan urutan bab fiqhi, tapi hanya khusus hadits marfuu' yang
bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara ulama' yang
menyusun as-sunnan :
Ø
Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy'ats
As-Sijistany (w.275 H)
Ø
An-Nasai Abu Abdirrahman
Ahmad bin Syu'aib bin Ali (w.303 H)
Ø
Ibnu Majah Abu Abdillah
Muhammad bin Yazid Al-Qazwaeny (w.273 H)
B. Kitab bercampur dengan jenis hadits lain.
Ada beberapa jenis buku dalam kategori ini,
diantaranya:
1) Al-Mushannaf
Adalah buku yang menyusun hadits-hadits
sesuai dengan urutan fiqhiyah (kitab dan bab), di dalamnya terdapat hadits marfu'
(dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam), mauquf (dari
sahabat), dan maqthu' (dari tabi'in dan setelahnya) yang berhubungan
dengan masalah fiqh. Dan diantara buku al-mushannaf yang ada, terdapat
juga hadits-hadits yang membahas tentang sejarah. Diantara ulama yang menyusun al-mushannaf:
Ø
Abu Bakr bin Abi Syaebah (w.235
H).
Ø
Abu Bakr Abdurrazzaq bin
Hammam (w.211 H)
Ø
Baqi' bin Makhlad (w.276 H)
Ø
Abu Sufyan Waki' bin
Al-Jarrah (w.196 H)
2)
Al-Jami'
Adalah buku yang mengumpulan semua jenis
hadits marfu', baik itu tentang aqidah, fiqhi, tafsir, sejarah, adab,
zuhud dan sebagainya. Di antara ulama yang menyusun al-jami':
Ø
Imam Al-Bukhary Abu
Abdillah Muhammad bin Ismail (w.256 H), judul kitabnya: “Al-Jami’
Al-Musnad Ash-Shahih Al-Mukhtashar min umuri Rasulillah shallallahu ‘alaihi
wasallam wa sunanihi wa ayyamihi”, atau lebih dikenal dengan nama “Shahih
Al-Bukhariy”.
Ø
Imam Muslim bin Hajjaj
An-Naesabury (w.261 H), judul kitabnya: “Al-Musnad Ash-Shahih
Al-Mukhtashar binaqlil ‘adli ‘anil ‘adli ilaa Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam”,
atau lebih dikenal dengan nama “Shahih Muslim”.
Ø
Imam At-Tirmidziy Abu Isa
Muhammad bin Isa bin Surah (279 H), judul kitabnya: “Al-Jami’ Al-Kabir”,
atau yang lebih terkenal dengan nama “Sunan At-Tirmidziy”.
Lihat: Mengenal Turats Hadist
Yang kedua, Kitab hadits hukum yang tidak bersanad
ada beberapa macam:
a)
Khusus
hadits-hadits hukum dari kitab shahih Bukhari dan Muslim.
Diantaranya:
1. Kitab ‘Umdatul Ahkam karya Abdul Ganiy bin Abdil
Wahid Al-Maqdisy (w. 600H).
Beliau mengumpulan sekitar 407 hadits hukum
dari shahih Bukhari dan Muslim. Diantara yang mensyarah kitab ‘Umdatul Ahkam:
Ø
Ihkamul Ahkam
karya Muhammad bin ‘Ali Ibnu Daqiiq Al-‘Ied (w. 702H).
Ø Al-‘Uddah hasyiah
‘ala Ihkamil Ahkam karya
Muhammad bin Isma’il Al-Amiir Ash-Shan’aniy (w.1182H)
Ø Taisirul Anaam karya Abdullah bin Abdirrahman Aali Bassaam.
2.
Kitab Al-Bulgah bin Ahaditsil Ahkam karya Ibnu Al-Mulaqqin
(w.804H).
Beliau
mengumpulkan 508 hadits hukum yang disepakati oleh imam Bukhari dan Muslim,
disusun sesuai dengan susunan bab kita Al-Minhaj karya imam An-Nawawiy.
b)
Khusus
hadits-hadits hukum dalam madzhab tertentu.
Diantaranya: Kitab Al-Muntaqaa fiil Ahkam
Asy-Syar’iyah karya Abdussalam bin Abdillah Ibnu Taimiyah Al-Harraniy
(w.652H).
Beliau mengumpulkan hadits-hadits hukum
yang dipakai dalam madzhab Hambaliy. Diantara yang mensyarah kitab ini: Nailul
Authar karya Muhammad bin Ali Asy-Syaukaniy (w.1250H)
c)
Kitab hadis
hukum secara umum.
Diantaranya:
1.
Kitab Al-Ahkam Al-Kubra, Al-Ahkam Al-Wustha, dan
Al-Ahkam Ash-Shugra karya ‘Abdul Haq Al-Isybiliy (w.581H).
2.
Khulashatul Ahkam karya imam An-Nawawiy (w.676H). Kitab ini
tidak sempurna, hanya sampai pada kitab zakat.
3.
Al-Imam fii Ahaditsil Ahkam karya Ibnu Daqiq Al-‘Ied, kemudian beliau ringkas dalam kitabnya Al-Ilmam
fii Ahaditsil Ahkam, beliau mengumpulkan 1632 hadits hukum.
4.
Bulugul Maram min
Adillatil Ahkam karya Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalaniy (w.852H).
Beliau mengumpulkan hadits-hadits hukum
yang dipakai dalam madzhab Syafi’iy. Diantara
yang mensyarah kitab Bulugul Maram:
Ø
Al-Badrut Tamam
karya Al-Husain bin Muhammad Al-Magribiy (w.1119H).
Ø
Subulussalam
karya Muhammad bin Isma’il Ash-Shan’aniy, beliau meringkas kitab Al-Badrut
Tamam.
Ø
Taudhihul Ahkam
karya Abdullah bin Abdirrahman Aali
Bassaam.
Lihat: http://www.dwrah.com/
d)
Kitab takhrij
hadits-hadits hukum.
Kitab
ini mengumpulkan hadits-hadits hukum kemudian meneliti sanad dan matannya untuk
dihukumi keshahihannya. Diantaranya:
1)
Talkhis Al-Habir oleh Ibnu Hajar Al-'Asqalany (852H), beliau mentakhrij hadits-hadits
yang disebutkan dalam kitab Asy-Syarh Al-Kabir karangan Ar-Rafi'iy
(623H) yang mensyarah Al-Wajiz buku fiqh mazhab Syafi'i karangan Imam
Abu Hamid Muhammad Al-Gazaliy (505H).
2)
Nashbu Ar-Rayah oleh Az-Zaila'iy (762H), beliau mentakhrij
hadits-hadits yang disebutkan dalam kitab Al-Hidayah buku fiqhi mazhab
Hanafy karangan Abu Al-Hasan Ali Al-Marginany (593H).
3)
Irwa' Al-Galiil oleh Syekh Muhammad Nasiruddin Al-Albany
(1420H), beliau mentakhrij hadits-hadits yang disebutkan dalam kitab Manar
As-Sabil karangan Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhauyan (1353H) yang
menyarah kitab Dalil Al-Thalib li Nailil Mathalib buku fiqhi mazhab
Hanbaly karangan Mar'iy bin Yusuf Al-Karmy Al-Hanbaly (1033H).
Lihat:
Ilmu takhrij hadits
Wallahu a’lam!
Lihat
juga: Bagaimana memahami makna kata yang gariib (aneh) dalam matan hadits? - Kumpulan syarah Sahih Bukhari - Kumpulan syarah kitab hadits induk
[1])
Ibaratun-nash: Adalah makna yang dipahami dari teks secara langsung.
Ibaratun-nash terbagi menjadi 2:
a)
makna yang langsung
dipahami yang merupakan inti dari pembahasan teks.
b)
makna yang langsung
dipahami, tapi makna yang dikandung hanya sebagai tambahan dari makna inti.
Contoh 1: QS. al-Baqarah
ayat 275: وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: “Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Makna ayat ini dari
‘ibaratun-nash:
·
Jual beli dan riba itu
beda; ini adalah makna inti dari ayat karena diturunkan untuk membantah
anggapan bahwa riba dan jual beli itu sama.
·
Jual beli halal dan riba
itu haram; makna ini hanya tambahan dari tujuan utama ayat ini turun.
[2])
Isyaratun-nash: Yaitu, makna yang tidak dipahami secara langsung dari
teks, akan tetapi makna yang tersirat.
Contoh 1: QS. al-Baqarah
ayat 233: وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: “Dan ibu-ibu
hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin
menyusui secara sempurna, dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian
mereka dengan cara yang patut”
Isyaratun-nash dari ayat
ini menunjukkan bahwa: Tidak ada yang bersekutu dengan suami untuk memberikan nafkah kepada
istrinya. Hak nasab anak tidak boleh diberikan kecuali kepada bapak. Ketika si
bapak membutuhkan uang, kemudian bapak mengambil uang anaknya, maka itu adalah
hak si bapak karena anak itu adalah milik bapaknya (anak dan hartanya milik
orang tua). Hak memeliahara anak adalah suami.
Ini dipahami dari isyara
huruf jar (له)
yang menunjukkan kepemilikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...