Selasa, 31 Agustus 2021

Metode memahami hadits antara tekstual dan kontekstual

 بسم الله الرحمن الرحيم

1.     Hadits Nabi adalah wahyu dari Allah ‘azza wajalla.

Allah subhanahu wata’alaa berfirman:

{وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى} [النجم: 3 - 4]

Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). [An-Najm: 3 - 4]

Lihat: Sunnah Nabi adalah Wahyu

2.     Wahyu Allah ‘azza wajalla tidak akan mungkin bertentangan antara satu dengan yang lainnya.

Allah subhanahu wata’alaa berfirman:

{أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا} [النساء: 82]

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [An-Nisaa':82]

3.     Wajib memahami dan mengamalkan hadits secara utuh, tidak menerima sebagian dan menolak sebagian lainnya.

Allah subhanahu wata'ala berfirman:

{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ} [البقرة: 208]

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. [Al-Baqarah: 208]

{أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (85) أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآخِرَةِ فَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ} [البقرة: 85، 86]

Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian (yang lain)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan. Mereka itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat. Maka tidak akan diringankan azabnya dan mereka tidak akan ditolong. (Al-Baqarah: 85-86]

Ø  Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu 'anhuma; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar beberapa orang berselisih, kemudian bersabda:

" إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِهَذَا، ضَرَبُوا كِتَابَ اللهِ بَعْضَهُ بِبَعْضٍ، وَإِنَّمَا نَزَلَ كِتَابُ اللهِ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضًا، فَلَا تُكَذِّبُوا بَعْضَهُ بِبَعْضٍ، فَمَا عَلِمْتُمْ مِنْهُ فَقُولُوا، وَمَا جَهِلْتُمْ، فَكِلُوهُ إِلَى عَالِمِهِ " [مسند أحمد: صحيح]

"Sesungguhnya umat sebelum kalian binasa karena ini, mereka membenturkan kitab suci Allah antara sebagian ayatnya dengan sebagian yang lain, padahal sesungguhnya kitab suci Allah ini diturunkan untuk membenarkan sebagiannya dengan sebagian yang lain, maka janganlah kalian mendustakan sebagiannya dengan sebagian yang lain. Apa yang kalian ketahui darinya maka sampaikanlah, dan apa yang kalian tidak ketahui maka serahkanlah kepada orang yang mengetahuinya". [Musnad Ahmad: Sahih]

4.     Hadits; ada yang muhkam/qath’iy (maknanya pasti dan jelas) dan ada yang mutasyabih/dzaniy/mukhtalaful hadits (tidak pasti, samar dan dipeselisihkan).

Allah subhanahu wata'ala berfirman:

{هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ} [آل عمران: 7]

Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat (terang dan tegas maksudnya), itulah pokok-pokok isi Al-qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat (samar maksudnya). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan (mengikuti hawa nafsu), maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya, berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. [Ali 'Imran:7]

Ø  Dari Al-Miqdam bin Ma'dikarib radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

«أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ، وَمِثْلَهُ مَعَهُ» [سنن أبي داود: صحيح]

"Sesungguhnya aku diberi Al-Qur'an dan yang sepertinya (As-Sunnah)". [Sunan Abu Daud: Sahih]

5.     Hadits; ada yang tidak bisa dicerna oleh akal (tauqifiy) dan ada yang bisa (taufiqy/ijtihadiy).

'Umar radhiyallahu 'anhu mendatangi Hajar Al-Aswad lalu menciumnya kemudian berkata:

«إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ، لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ، وَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ»

“Sungguh aku mengetahui bahwa kamu hanyalah batu yang tidak bisa mendatangkan madharat (keburukan) maupun manfa'at. Namun kalau bukan karena aku telah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menciummu tentu aku tidak akan menciummu". [Shahih Bukhari dan Muslim]

Ø  Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata:

«لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ، وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ» [سنن أبي داود: صحيح]

“Seandainya agama (Islam) itu berdasarkan hasil pikiran, niscaya bagian bawah sepatu lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya, dan sungguh saya telah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengusap bagian atas kedua khufnya". [Sunan Abi Daud: Shahih]

6.     Pemahaman terkstual dan kontekstual di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma berkata:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنَا لَمَّا رَجَعَ مِنَ الأَحْزَابِ: «لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ» فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمُ العَصْرُ فِي الطَّرِيقِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لاَ نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّي، لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ، فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ [صحيح البخاري ومسلم]

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada kami ketika beliau kembali dari perang Ahzab (Syawal 5H): "Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian shalat 'Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah." Lalu tibalah waktu shalat ketika mereka masih di jalan, sebagian dari mereka berkata, 'Kami tidak akan shalat kecuali telah sampai tujuan', dan sebagian lain berkata, 'Bahkan kami akan melaksanakan shalat, sebab beliau tidaklah bermaksud demikian'. Maka kejadian tersebut diceritakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan beliau tidak mencela seorang pun dari mereka." [Shahih Bukhari]

Ø  Dalam riwayat lain;

نَادَى فِينَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ انْصَرَفَ عَنِ الْأَحْزَابِ «أَنْ لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الظُّهْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ»، فَتَخَوَّفَ نَاسٌ فَوْتَ الْوَقْتِ، فَصَلَّوْا دُونَ بَنِي قُرَيْظَةَ، وَقَالَ آخَرُونَ: لَا نُصَلِّي إِلَّا حَيْثُ أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَإِنْ فَاتَنَا الْوَقْتُ، قَالَ: فَمَا عَنَّفَ وَاحِدًا مِنَ الْفَرِيقَيْنِ [صحيح مسلم]

"Ketika kami telah kembali dari perang Ahzab, Rasulullah berseru kepada kami, "Hendaklah tidak ada seorangpun yang melaksanakan shalat Zuhur kecuali jika ia telah sampai di tempat Bani Quraizhah." Lalu sebagian sahabat ada yang khawatir akan habisnya waktu shalat, sehingga mereka melaksanakannya sebelum memasuki daerah Bani Quraizhah. Sedangkan yang lainnya berkata, "Kami tidak akan melaksanakan shalat kecuali pada tempat yang telah Rasulullah pesankan untuk kami, meskipun waktu shalat telah habis." Abdullah berkata, "Dan ternyata beliau tidak mencela salah satu dari kedua kelompok tersebut." [Shahih Muslim]

Faidah:

1)      Sahabat yang memahami perintah Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- ini secara tekstual, menjadikannya sebagai pengkhusus bagi ayat yang menunjukkan wajibnya melakukan shalat pada waktunya.

Allah subhanahu wata'aalaa berfirman:

{إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا} [النساء: 103]

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. [An-Nisaa':103]

2)      Sedangkan sahabat yang memahminya secara kontekstual, melirik maksud dan tujuan perintah tersebut (yaitu bersegera), sehingga mendahulukan keumuman ayat perintah shalat tepat waktu.

3)      Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menentukan siapa yang benar dalam masalah ini, apakah sahabat yang memahami perintah secera tekstual atau yang kontekstual, dan pastinya ada dari keduanya yang diinginkan oleh beliau ketika memerintahkan.

4)      Ini menunjukkan bahwa kedua metode ini mesti dipadukan dalam memahami hadits, dalam artian bahwa ada hadits-hadits yang mesti dipahami secara tekstual dan ada yang dipahami secara kontekstual.

5)      Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menentukan sikap mana yang paling tepat dari keduanya, untuk menjaga perasaan sahabatnya yang sudah berijtihad, yang mana keduanya berhak mendapatkan pahala, sebagaimana dalam hadits 'Amr bin Al-'Ash radhiyallahu 'anhuma; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

«إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ» [صحيح البخاري ومسلم]

Jika seorang hakim menetapkan suatu hukum dan ia telah berusaha dengan baik kemudian ia menetapkan yang benar maka ia mendapat dua pahala, dan jika ia menetapkan hukum dan ia telah berusaha dengan baik kemudian ia menetapkan yang salah maka ia mendapat satu pahala". [Sahih Bukhari dan Muslim]

6)      Hadits ini juga menunjukkan pentingnya sikap toleran dalam menyikapi masalah-masalah ijtihadiyah yang berdasarkan argument-argumen yang disepakati.

7.     Hukum asal setiap hadits mesti dipahami secara tekstual sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah kontekstualnya.

Allah subhanahu wata'ala berfirman:

{فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ} [المائدة: 13]

Karena mereka melanggar janjinya, kami kutuki mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya*, dan mereka lupa sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya. [Al-Maidah:13]

*Maksudnya: Merobah arti kata-kata, tempat atau menambah dan mengurangi.

Ø  Hadits Nabi shallallahu ‘alalih wasallam, beliau bersabda:

«يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلْفٍ عُدُولُهُ، يَنْفُونَ عَنْهُ تَحْرِيفَ الْغَالِينَ، وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ، وَتَأْوِيلَ الْجَاهِلِينَ»

Ilmu ini (hadits/agama) akan senantiasa diemban (dijaga) di setiap generasi oleh orang-orang yang terpercaya, mereka menolak pelenyelewengan makna orang-orang yang berlebihan (konteksutalis), pemalsuan orang-orrang yang merusak, dan penakwilan orang yang bodoh (tanpa dalil)”.

Hadits ini derajatnya shahih atau hasan degan seluruh jalur sanadnya yang saling menguatkan

8.     Contoh pemahaman tekstual dari sahabat Nabi –radhiyallahu ‘anhum-.

Dari Abdullah bin Mas'ud radiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

«اسْتَحْيُوا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الحَيَاءِ»

"Malulah kalian kepada Allah dengan sebanar-benarnya malu".

Para sahabat menjawab: "Sesungguhnya kami telah merasa malu, alhamdulullillah!"

Rasulullah berkata:

«لَيْسَ ذَاكَ، وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنَ اللَّهِ حَقَّ الحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى، وَالبَطْنَ وَمَا حَوَى، وَلْتَذْكُرِ المَوْتَ وَالبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الحَيَاءِ» [سنن الترمذي: حسنه الألباني]

"Bukan itu yang saya maksud, akan tetapi rasa malu kepada Allah yang sebenar-benarnya adalah menjaga kepala dan semua anggota badan yang ada padanya dari segala maksiat, menjaga perut dan isinya dari yang haram, mengingat mati dan kepunahan, siapa yang menginginkan akhirat ia meninggalkan gemerlap dunia. Barang siapa yang melakukan hal tersebut berarti ia telah merasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya". [Sunan Tirmidzi: Hasan]

Ø  Dari Aisyah radiyallahu 'anha; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

«مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ، أَحَبَّ اللهُ لِقَاءَهُ، وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللهِ، كَرِهَ اللهُ لِقَاءَهُ»

“Barangsiapa yang mencintai pertemua dengan Allah maka Allah akan mencintai pertemuan dengannya, dan barangsiapa yang membenci pertemuan dengan Allah maka Allah akan membenci pertemuan dengannya”.

Aisyah bertanya: Wahai Nabi Allah, apakah yang dimaksud adalah rasa benci pada kematian? Padahal kami semua benci dengan kematian!

Rasulullah menjawab:

«لَيْسَ كَذَلِكِ، وَلَكِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا بُشِّرَ بِرَحْمَةِ اللهِ وَرِضْوَانِهِ وَجَنَّتِهِ، أَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ، فَأَحَبَّ اللهُ لِقَاءَهُ، وَإِنَّ الْكَافِرَ إِذَا بُشِّرَ بِعَذَابِ اللهِ وَسَخَطِهِ، كَرِهَ لِقَاءَ اللهِ، وَكَرِهَ اللهُ لِقَاءَهُ» [صحيح مسلم]

“Bukan yang demikian, akan tetapi seorang mukmin jika diberi berita gembira akan rahmat Allah, ridha, dan surga-Nya maka ia mencintai pertemuan dengan Allah. Sedangkan orang kafir jika diberi berita tentang siksaan Allah dan murka-Nya maka ia membenci pertemuan dengan Allah dan Allah pun membenci pertemuan dengannya”. [Sahih Muslim]

Ø  Dari Aisyah radhiyallahu 'anha; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

«لَيْسَ أَحَدٌ يُحَاسَبُ إِلَّا هَلَكَ»

"Tidak ada seorang pun yang dihisab (diperiksa amalannya) pada hari kiamat kecuali akan binasa"

Aisyah bertanya: Ya Rasulullah, semoga Allah menjadikan aku sebagai pembelamu, bukankah Allah 'azza wa jalla telah berfirman:

{فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا} [الانشقاق: 8]

Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah. [Al-Insyiqaaq: 7-8]

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

«ذَاكَ العَرْضُ يُعْرَضُونَ وَمَنْ نُوقِشَ الحِسَابَ هَلَكَ» [صحيح البخاري ومسلم]

Itu hanyalah sebatas pemaparan (tentang amalannya) yang diperlihatkan pada mereka, akan tetapi barangsiapa yang membantah perhitungan tersebut maka ia akan binasa" [Sahih Bukhari dan Muslim]

9.     Bahaya pemahaman tekstual tanpa melirik dalil lain.

Jabir radhiyallahu 'anhu berkata: Suatu hari kami dalam perjalanan jauh, dan seorang laki-laki dari kami ditimpa batu yang melukainya di bagian kepala. Di malam harinya ia bermimpi (junub) lalu bertanya kepada sahabatnya: Apakah kalian mendapatkan rukhsah (keringanan) bagiku untuk bertayammum?

Mereka menjawab: Kami tidak mendapatkan rukhsah bagimu di saat engkau mampu mempergunakan air.

Maka ia mandi dan akhirnya mati. Setelah kami kembali bertemu dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan diceritakan kepadanya tentang kajadian tersebut, maka Rasulullah bersabda:

«قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ» [سنن أبي داود: حسنه الألباني]

Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka, tidakkah mereka bertanya jika mereka tidak tahu? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah dengan bertanya". [Sunan Abi Daud: Hasan]

10.Bahaya pemahaman kontekstual yang berlebihan.

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyampaikan khutbah kepada kami seraya bersabda:

" أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ الْحَجَّ فَحُجُّوا "، فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّه؟ ِ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلَاثًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ "، ثُمَّ قَال: " ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوهُ "

"Wahai sekalian manusia, Allah telah mewajibkan atas kalian untuk menunaikan ibadah haji. Karena itu, tunaikanlah ibadah haji." Kemudian seorang laki-laki (Al-Aqra' bin Habis At-Tamimiy) bertanya, "Apakah setiap tahun ya Rasulullah?" beliau terdiam beberapa saat, hingga laki-laki itu mengulanginya hingga tiga kali. Maka beliau pun bersabda: "Sekiranya aku menjawab, 'Ya' niscaya akan menjadi kewajiban setiap tahun dan kalian tidak akan sanggup melaksanakannya. Karena itu, biarkanlah apa adanya masalah yang kutinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya orang-orang yang sebelum kamu mendapat celaka karena mereka banyak tanya dan suka mendebat para Nabi mereka. karena itu, bila kuperintahkan mengerjakan sesuatu, laksanakanlah sebisa-bisanya, dan apabila kularang kalian mengerjakan sesuatu, maka hentikanlah segera." [Shahih Muslim]

11.Bagaimana menghindari pemahaman tekstual yang kaku.

Diantaranya:

a)      Memadukan pemahaman hadits dengan kandungan Al-Qur'an, seluruh versi riwayat satu hadits, dan hadits yang semakna dalam setiap permasalahan.

Contoh: Pemahaman Khawarij vs Murji’ah tentang pelaku dosa besar, Qadariyah vs Jabariah dalam masalah takdir, dan Syi’ah vs Nawashib dalam bersikap kepada ahli Bait.

Memadukan hadits yang menunjukkan bahwa wabah adalah rahmat dan ketetapan Allah dengan hadits perintah menghindar dari wabah.

Memadukan hadits yang menunjukkan keutamaan shalat berjama’ah di mesjid, merapatkan shaf, dan larangan menutup mulut dan hidung ketika shalat, dengan hadits yang melarang kita membahayakan diri dan orang lain.

Lihat: Mempertemukan makna hadits Ibnu ‘Abbas lewat depan shaf dengan beberapa hadits lainnya

b)     Memeriksa sebab wurud dan sebab irad hadits.

Dituturkan kepada Aisyah - radhiyallahu 'anha- bahwa Ibnu Umar -radhiyallahu 'anhuma- berkata:

«إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ الْحَيِّ»

"Sesungguhnya mayit itu benar-benar akan disiksa lantaran tangisan mereka yang masih hidup."

Maka Aisyah pun berkata:

يَغْفِرُ اللهُ لِأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَمَا إِنَّهُ لَمْ يَكْذِبْ، وَلَكِنَّهُ نَسِيَ أَوْ أَخْطَأَ، إِنَّمَا مَرَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى يَهُودِيَّةٍ يُبْكَى عَلَيْهَا، فَقَالَ: «إِنَّهُمْ لَيَبْكُونَ عَلَيْهَا، وَإِنَّهَا لَتُعَذَّبُ فِي قَبْرِهَا»

Semoga Allah mengampuni Abu Abdurrahman, sesungguhnya ia tidaklah berdusta, namun ia telah lupa atau salah. Peristiwa sebenarnya adalah; suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melewati jenazah wanita Yahudi dan ditangisi, maka beliau pun bersabda: 'Mereka benar-benar menangisinya, dan mayit itu benar-benar akan disiksa di dalam kuburnya.'" [Shahih Muslim]

c)      Membedakan makna hakiki dan makna majaziy.

Abu Hurairah berkata; Rasulullah bersabda:

" إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي، قَالَ: يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ؟ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ، قَالَ: أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلَانًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ؟ يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي، قَالَ: يَا رَبِّ وَكَيْفَ أُطْعِمُكَ؟ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ، قَالَ: أَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِي فُلَانٌ، فَلَمْ تُطْعِمْهُ؟ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي، يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَسْقَيْتُكَ، فَلَمْ تَسْقِنِي، قَالَ: يَا رَبِّ كَيْفَ أَسْقِيكَ؟ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ، قَالَ: اسْتَسْقَاكَ عَبْدِي فُلَانٌ فَلَمْ تَسْقِهِ، أَمَا إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي " [صحيح مسلم]

Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla berkata pada hari kiamat: Hai anak Adam! Aku sakit, mengapa kamu tidak menjenguk-Ku?" Jawab anak Adam, "Wahai Rabb-ku, bagaimana mengunjungi Engkau, padahal Engkau Tuhan semesta alam?" Allah Ta'ala berfirman, "Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sakit, mengapa kamu tidak mengunjunginya? Apakah kamu tidak tahu, seandainya kamu kunjungi dia kamu akan mendapati-Ku di sisinya?" "Hai, anak Adam! Aku minta makan kepadamu, mengapa kamu tidak memberi-Ku makan?" Jawab anak Adam, "Wahai Rabb-ku, Bagaimana mungkin aku memberi engkau makan, padahal Engkau Tuhan semesta alam?" Allah Ta'ala berfirman, "Apakah kamu tidak tahu, bahwa hamba-Ku si Fulan minta makan kepadamu tetapi kamu tidak memberinya makan. Apakah kamu tidak tahu seandainya kamu memberinya makan niscaya engkau mendapatkannya di sisi-Ku?" "Hai, anak Adam! Aku minta minum kepadamu, mengapa kamu tidak memberi-Ku minum?" Jawab anak Adam, "Wahai Tuhanku, bagaimana mungkin aku memberi Engkau minum, padahal Engkau Tuhan semesta alam?" Allah Ta'ala menjawab, "Hamba-Ku si Fulan minta minum kepadamu, tetapi kamu tidak memberinya minum. Ketahuilah, seandainya kamu memberinya minum, niscaya kamu mendapatkannya di sisi-Ku." [Shahih Muslim]

d)     Tidak menerapkan istilah kontemporer yang maknanya baru pada hadits.

Dari Abu Sa'id Al-Khudriy radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

«الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَأَنْ يَسْتَنَّ وَأَنْ يَمَسَّ طِيبًا إِنْ وَجَدَ» [صحيح البخاري ومسلم]

"Mandi di hari Jum'at adalah wajib bagi semua yang sudah balig, sikat gigi, dan memakai parfum kalau ada". [Sahih Bukhari dan Muslim]

Lihat: Mandi Jum'at; Wajib atau sunnah?

12.Bagaimana menghindari pemahaman kontekstual secara berlebihan.

Diantaranya:

a.      Memahami dan membedakan hadits yang masuk kategori tauqifiy dan taufiqiy (ijtihadiy).

b.      Mengetahui hadits-hadits yang sifatnya muhkam/qath’iy dan mutasyabih/dzanniy/mukhtalaful hadits.

c.       Membedakan antara makna syar'iy, 'urfiy, dan lugawiy.

d.      Memahami kaidah: العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب.

e.      Memahami kaedah-kaedah umum-khusus dan muthlaq-muqayyad.

f.        Mengetahui masalah-masalah ijmak (kesepakatan ulama).

g.      Membedakan antara ta’wil dan tahrif.

Wallahu a’lam!

Lihat juga: Pengantar ilmu hadits Ahkam - Bagaimana memahami makna kata yang gariib (aneh) dalam matan hadits? - Kedudukan As-Sunnah dalam penetapan hukum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...