Jumat, 18 Oktober 2019

Penjelasan singkat kitab Ash-Shaum dari Sahih Bukhari; Bab (28) Sabda Nabi “Jika seseorang dari kalian berwudhu maka hendaklah ia menghirup air dengan hidungnya”

بسم الله الرحمن الرحيم
A.    Penjelasan pertama:
Imam Bukhari rahimahullah berkata:
بَابُ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «إِذَا تَوَضَّأَ، فَلْيَسْتَنْشِقْ بِمَنْخِرِهِ المَاءَ» وَلَمْ يُمَيِّزْ بَيْنَ الصَّائِمِ وَغَيْرِهِ وَقَالَ الحَسَنُ: " لاَ بَأْسَ بِالسَّعُوطِ لِلصَّائِمِ، إِنْ لَمْ يَصِلْ إِلَى حَلْقِهِ، وَيَكْتَحِلُ ". وَقَالَ عَطَاءٌ: " إِنْ تَمَضْمَضَ، ثُمَّ أَفْرَغَ مَا فِي فِيهِ مِنَ المَاءِ لاَ يَضِيرُهُ إِنْ لَمْ يَزْدَرِدْ رِيقَهُ وَمَاذَا بَقِيَ فِي فِيهِ، وَلاَ يَمْضَغُ العِلْكَ، فَإِنِ ازْدَرَدَ رِيقَ العِلْكِ لاَ أَقُولُ إِنَّهُ يُفْطِرُ، وَلَكِنْ يُنْهَى عَنْهُ، فَإِنِ اسْتَنْثَرَ، فَدَخَلَ المَاءُ حَلْقَهُ لاَ بَأْسَ، لَمْ يَمْلِكْ "
Bab (28) Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Jika seseorang dari kalian berwudhu maka hendaklah ia menghirup air dengan hidungnya”, dan beliau tidak membedakan antara orang yang berpuasa dengan selainnya. Dan Al-Hasan berkata: “Tidak mengapa memakai su’uth (obat yang dipakai melalui hidung) jika tidak sampai ke tenggorokannya, dan tidak mengapa juga memakai celak”. Dan ‘Athaa’ berkata: Jika ia berkumur-kumur kemudian memuntahkan semua air yang ada dalam mulutnya maka tidak mengapa ia menelan ludahnya dan apa lagi yang tersisa di dalamnya? Dan jangan ia mengunyah sesuatu, jika ia menelan ludah yang ia kunyah maka aku tidak mengatakan puasanya batal akan tetapi hal itu dilarang. Jika ia beristinsyaq dan air masuk ke tenggorokannya maka tidak mengapa jika ia tidak mampu menahannya”.
Dalam bab ini, Imam Bukhari menyebutkan satu hadits tanpa sanad sebagai judul bab, dan dua atsar yang menunjukkan bolehnya seseorang yang berpuasa berkumur-kumur dan istinsyaq.
B.     Penjelasan kedua.
Hadits yang dijadikan oleh Imam Bukhari sebagai judul bab ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim -rahimahullah- dalam Shahih-nya.
Dari Hammam bin Munabbih, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
«إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَنْشِقْ بِمَنْخِرَيْهِ مِنَ الْمَاءِ ثُمَّ لِيَنْتَثِرْ»
"Jika seseorang dari kalian berwudhu maka hendaklah ia menghirup air dengan hidungnya kemudian hendaklah ia mengeluarkan air tersebut".
Penjelasan singkat hadits ini:
1.      Biografi Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu.
2.      Hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari rahimahullah tapi dengan lafadz yang berbeda.
Dari Abu Idris Al-Khaulaniy, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْثِرْ»
"Barangsiapa yang berwudhu maka hendaklah ia mengeluarkan air (yang telah ia hirup melalui hidungnya". [Shahih Bukhari]
3.      Imam Bukhari rahimahullah menjadikan hadits ini dalil bolehnya istinsyaq ketika berpuasa karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika memerintahkan istinsyah beliau tidak membedakan antara orang yang berpuasa dengan selainnya.
Akan tetapi yang dilarang bagi orang yang berpuasa adalah berlebihan ketika istinsyaq, karena dikhawatirkan akan masuk ke tengorokan.
Dari Laqith bin Shabirah radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
«بَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ، إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا» [سنن أبي داود: صحيح]
"Berlebihanlah dalam beristinsyaq, kecuali jika engkau sedang puasa". [Sunan Abi Dawud: Sahih]
4.      Manfaat istinsyaq:
Dari Abu Hurairah radiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
«إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَتَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْثِرْ ثَلاَثًا، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَبِيتُ عَلَى خَيْشُومِهِ» [صحيح البخاري ومسلم]
“Jika seorang dari kalian bagun dari tidurnya kemudian berwudhu maka hendaklah ia mengisap air dari hidungnya sebanyak tiga kali, karena sesungguhnya syaithan bermalam dalam pangkal hidungnya”. [Sahih Bukhari dan Muslim]
C.     Penjelasan ketiga.
Adapun atsar Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah:
a.       Tentang memakai su’uth (obat yang dipakai melalui hidung) ketika berpuasa.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
أما قَول الْحسن فَلم أره فِي السعوط إِنَّمَا رَأَيْته فِي الْمَضْمَضَة كَمَا تقدم
“Adapun perkataan Al-Hasan, maka aku tidak menemukannya tentang su’uth, aku hanya menemukan ucapannya tentang kumur-kumur sebagaimana terlah disebutkan” [Tagliq At-Ta’liq 3/168]
Justru sebaliknya ditemuakan ucapan Al-Hasan yang menunjukka bahwa ia memakruhkan pemakaian su’uth ketika berpuasa:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah rahimahullah dalam Mushannaf-nya 2/303 no.9264, ia berkata:
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنِ الْحُسَيْنِ، «أَنَّهُ كَرِهَ لِلصَّائِمِ أَنْ يَسْتَسْعِطَ»
Abu Usamah telah menceritakan kepada kami, dari Hisyam, dari Al-Hasan; “Bahwasanya ia memakruhkan bagi orang yang sedang berpuasa untuk mencium su’uth”.
b.      Tentang hukum berkumur dan memakai celak bagi orang yang berpuasa.
Telah disebutkan pada bab sebelumnya: Bab (25) Mandi bagi orang yang berpuasa
D.    Penjelasan keempat.
Adapun atsar ‘Athaa bin Abi Rabah rahimahullah:
1)      Tentang berkumur-kumur bagi orang yang berpuasa.
Diriwayatkan oleh Abdurrazaq rahimahullah dalam “Al-Mushannaf” (4/205) no.7503:
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ: قُلْتُ لِعَطَاءٍ تَمَضْمَضَ وَهُوَ صَائِمٌ، ثُمَّ أَفْرَغَ الْمَاءَ، أَيَضُرُّهُ أَنْ يَزْدَرِدَهُ؟ قَالَ: «لَا يَضُرُّهُ، وَمَاذَا بَقِيَ فِي فِيهِ؟»
Dari Ibnu Juraij, ia berkata: Aku bertanya kepada ‘Athaa: Seseorang berkumur-kumur di saat ia berpuasa, kemudian ia memuntahkan air dari mulutnya, apakah membatalkan puasanya jika ia menelan air liurnya?
‘Athaa’ menjawab: “Tidak mengapa, dan apa lagi yang masih tersisa dalam mulutnya?”
2)      Tentang mengunyah sesuatu ketika berpuasa.
Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam “Al-Mushannaf” (4/203) no.7498:
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ: قُلْتُ لِعَطَاءٍ: أَيَمْضُغُ الصَّائِمُ عِلْكًا؟ قَالَ: «لَا» قُلْتُ: إِنَّهُ يَنْفُثُ رِيقَ الْعِلْكِ، وَلَا يَزْدَرِدُهُ، وَلَا يَمُصُّهُ قَالَ: " فَإِنْ لَمْ يَزْدَرِدْ رِيقَهُ فَإِنَّهُ مَرْوَاةٌ لَهُ، فَإِنِ ازْدَرَدَ رِيقَهُ، وَهُوَ يَقُولُ: إِنَّهُ يُنْهَى عَنْ ذَلِكَ، فَقَدْ أَفْطَرَ "
Dari Ibnu Juraij, ia berkata: Aku bertanya kepada ‘Athaa’: Apakah orang yang berpuasa boleh mengunyah ‘ilk (benda yang biasa dikunyah)?
‘Athaa’ menjawab: Tidak boleh.
Aku bekata: Dia memuntahkan liurnya, tidak menelannya, dan tidak mengisapnya?
‘Athaa menjawab: Jika ia tidak menelan liurnya maka itu mengilangkan dahaganya. Dan jika ia menelang ludahnya dan mengetahui kalau hal itu dilarang, maka puasanya batal.
3)      Tentang istinsyaq bagi orang yang sedang berpuasa.
Wallahu a’lam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...