بسم الله الرحمن الرحيم
Imam
Bukhari -rahimahullah- berkata:
بَابٌ: مَتَى يَصِحُّ سَمَاعُ الصَّغِيرِ؟
Bab: “Kapan anak kecil boleh menerima
hadits”
Ulama berselisih tentang umur seseorang
yang dibolehkan menerima hadits; Ada yang mengatakan sepuluh tahun, ada yang
mengatakan dua puluh tahun, dan ada yang mengatakan tiga puluh tahun.
Ibnu Ma’in -rahimahullah- berpendapat bahwa usia yang dibolehkan
untuk menerima hadits adalah minimal limabelas tahun, dengan dalil hadits Ibnu
Umar ditolak ikut perang Uhud karena belum berumur limabelas tahun.
Dari Ibnu Umar radhiallahu'anhuma;
«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَرَضَهُ يَوْمَ أُحُدٍ، وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعَ
عَشْرَةَ سَنَةً، فَلَمْ يُجِزْنِي ثُمَّ عَرَضَنِي يَوْمَ الخَنْدَقِ، وَأَنَا
ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَأَجَازَنِي» [صحيح
البخاري ومسلم]
Bahwa Nabi ﷺ
pernah mendapatinya dalam barisan perang Uhud ketika berusia empat belas tahun,
namun beliau tidak mengizinkannya, dan kemudian beliau kembali menemukannya
dalam barisan perang Khandaq, ketika ia berusia lima belas tahun, beliau
akhirnya mengizinkannya." [Shahih Bukhari dan Muslim]
Namun Jumhur ulama menilai pendapat ini
kurang tepat karena situasi peperangan membutuhkan kekuatan fisik selain akal,
berbeda dengan menuntut ilmu.
Pada bab ini, imam Bukhari -rahimahullah- ingin menjelaskan
bahwa fase balig bukan syarat dalam menerima hadits. Selama ia sudah memahami
dan menguasai apa yang ia dengar maka hadits yang ia terima boleh ia sampaikan
ketika sudah balig.
Imam Bukhari menyebutkan dua hadits sebagai
dalil, yaitu hadits Ibnu ‘Abbas dan hadits Mahmud bin Ar-Rabi’ radhiyallahu
‘anhum.
A. Hadits
Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Imam
Bukhari -rahimahullah- berkata:
76 - حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي
أُوَيْسٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ:
«أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ
الِاحْتِلاَمَ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي
بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ،
وَأَرْسَلْتُ الأَتَانَ تَرْتَعُ، فَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ، فَلَمْ يُنْكَرْ
ذَلِكَ عَلَيَّ»
Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin
Abu Uwais, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Malik, dari Ibnu Syihab,
dari 'Ubaidullah bin Abdullah bin 'Utbah, dari Abdullah bin 'Abbas
berkata; Aku datang dengan menunggang keledai betina, yang saat itu aku hampir
menginjak masa baligh, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang
shalat di Mina dengan tidak menghadap dinding. Maka aku lewat di depan sebagian
shaf kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari makan sesukanya.
Lalu aku masuk dalam shaf (ikut shalat berjama’ah) dan tidak ada orang yang
menyalahkanku".
Penjelasan
singkat hadits ini:
- Biografi Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Lihat: Keistimewaan Abdullah bin ‘Abbas
- Hukum shalat memakai sutra.
Dari
Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
«إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ
فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا» [سنن أبي داود]
“Jika
seorang dari kalian shalat maka shalatlah menghadap sutrah (memakai pembatas
diletakkan beberapa jarak dari tempat sujud), dan hendaklah ia mendekat dari
sutrah tersebut”. [Sunan Abi Daud]
Hadits ini
nampaknya bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas:
Hadits Abi Sa’id menunjukkan kewajiban
memakai surtara ketika shalat karena ada perintah, sedangkan ucapan Ibnu Abbas
yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat tanpa
meghadap dinding, ini menunjukkan kalau saat itu beliau shalat tidak memakai
sutrah.
Cara menyatukan makna keduanya:
a)
Mengalihkan lafadz
perintah dari makna wajib ke makna mustahab (sunnah).
Bahwa hadits perintah memakai sutrah ketika
shalat hukumnya hanya sunnah, dan hadits Ibnu Abbas menjadi pengalih makna
wajib pada lafadz perintah dalam hadits Abu Sa’id menjadi makna sunnah.
b)
Menakwil salah satu
makna hadits.
Bahwa makna ucapan Ibnu Abbas: “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam shalat tidak meghadap dinding”, bukan berarti beliau
tidak memakai sutrah, karena sutra tidak harus dinding.
Penakwilan ini dibantah dengan lafadz lain
hadits ini sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad -rahimahullah-, Ibnu Abbas berkata:
«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ» [مسند أحمد]
“Bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di padang kosong, tidak
ada sesuatupun di hadapannya”. [Musnad Ahmad]
Riwayat
ini diperselishkan ulama, syekh Albaniy -rahimahullah- menghukuminya
lemah dalam silsilah Adh-Dha’ifah 12/679
no.5814. Sedangkan syekh Syu’aib Al-Arnauth -rahimahullah- menghukuminya
hasan, wallahu a’lam!
- Hukum lewat depan orang shalat.
Dari
Abu Juhaim radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«لَوْ يَعْلَمُ المَارُّ بَيْنَ
يَدَيِ المُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ
مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ»
“Andai orang yang lewat di depan orang shalat
mengetahui hukuman apa yang akan ia terima, maka ia berdiri selama empat puluh
lebih baik baginya dari pada lewat di depan orang yang sedang shalat”
Abu An-Nadhr (rawi hadits ini) berkata: Aku tidak
tahu, apakah beliau mengatakan empat puluh hari atau bulan atau tahun. [Sahih
Bukhari dan Muslim]
Hadits ini juga
nampaknya bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas:
Pada hadits Abu Juhaim mengandung larangan
lewat di hadapan orang yang sedang shalat, sedangkan dalam hadits Ibnu Abbas
ada sunnah taqrir (pegakuan) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam membolehkan lewat di hadapan orang yang sedang shalat seperti yang
dilakukan oleh Ibnu Abbas.
Cara menyatukan makna keduanya:
- Salah
satu hadits ini ada yang umum dan ada yang khusus.
Hadits ini sifatnya umum melarang lewat di
hadapan orang sedang shalat, baik itu shalat sendiri, jadi imam, atau sedang
makmum.
Adapun hadits Ibnu Abbas sifatnya khusus,
memberi pengkhususan membolehkan seseorang lewat depan makmun yang sedang
shalat berjama’ah.
Adapun lewat depan orang yang sedang shalat
sendiri atau sebagai imam, maka tetap tidak boleh sebagaimana ditunjukkan oleh
keumuman hadits Abu Juhaim.
Ini adalah jawaban yang paling tepat.
- Adanya
perbedaan situasi dari kedua hadits ini.
Hadits yang melarang hukumnya mutlak
berlaku pada setiap kondisi, adapun hadits Ibnu Abbas adalah kondisi darurat
yang membolehkan lewat depan orang shalat.
Akan tetapi pendapat ini dibantah, karena
dalam hadits Ibnu Abbas tidak ada isyarat yang menunjukkan bahwa ia lewat depan
makmum karena terpaksa.
Justru ucapan Ibnu Abbas bahwa tidak ada
yang mengingkari perbuatannya menunjukkan bahwa ia melakukan itu dengan
sengaja.
- Menakwil
salah satu makna hadits.
Bahwa ketika Ibnu Abbas lewat depan shaf
makmun, saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum takbiratul
ihram (belum mulai shalat).
Namun jika kita memakai pemahaman ini maka
kandungan hukum hadits Ibnu Abbas tidak terlihat jelas, karena lewat depan
orang yang tidak shalat disepakati kebolehannya.
Sedangkan Ibnu Abbas menyampaikan hadits
ini sebagai argumen yang mengandung muatan hukum pada satu masalah yang
diperselisihkan.
- Jika keledai lewat depan orang shalat, apakah
membatalkan shalatnya?
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْمَرْأَةُ
وَالْحِمَارُ وَالْكَلْبُ، وَيَقِي ذَلِكَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ» [صحيح مسلم]
“Perempuan, keledai, dan anjing memutuskan shalat (jika lewat
depan orang shalat)”. [Sahih Muslim]
Hadits ini juga
nampaknya bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas:
Hadits Abu Hurairah menunjukkan bahwa jika
keledai lewat di hadapan orang yang sedang shalat maka shalatnya batal,
sedangkan dalam hadits Ibnu Abbas ia lewat di depan shaf mengendarai keledai
dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan
sahabatnya untuk mengulangi shalat.
Dalam menyikapi pertentangan kedua haidts
ini ulama memakai beberapa metode:
1)
Berusaha memadukan makna kedua hadits tersebut, dengan
cara:
a.
Salah satunya ada
yang sifatnya umum dan yang lain sifatnya khusus.
Hadits Abu Hurairah sifatnya umum jika
keledai lewat di hadapan orang yang sedang shalat maka shalatnya batal, baik
itu ketika shalat sendiri, menjadi imam, atau sedang makmum.
Adapun hadits Ibnu Abbas sifatnya khusus,
memberi pengkhususan apabila keledai lewat depan makmun yang sedang shalat
berjama’ah maka shalatnya tidak batal. Dan jika keledai lewat depan orang yang
sedang shalat sendiri atau sebagai imam, maka shalatnya batal.
Atau jika keledainya lewat di tengah antara
orang yang shalat dengan sutrahnya maka shalatnya batal, sedangkan jika lewat
di atas sutrah maka tidak membatalkan shalat. Dan sutrah makmun adalah
sutrahnya imam, maka jika ia lewat depan makmun tidak membatalkan shalat.
Atau jika lewat di hadapan orang yang
shalat yang tidak memakai sutrah maka shalatnya tidak batal. Sebagaimana dalam
riwayat lain, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
جِئْتُ أَنَا وَالْفَضْلُ عَلَى أَتَانٍ،
فَمَرَرْنَا بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَةَ
وَهُوَ يُصَلِّي الْمَكْتُوبَةَ، لَيْسَ شَيْءٌ يَسْتُرُهُ، يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ
[صحيح ابن خزيمة]
Aku datang bersama Al-Fadhl mengendarai himar betina,
lalu kami lewat di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di
Arafah sementara beliau shalat wajib, tidak ada sesuatu yang menjadi sutrahnya
(pembatas) yang menghalangi antara kami dan beliau. [Sahih Ibnu Khuzaimah]
Akan tetapi riwayat ini dilemahkan
Ibnu Khuzaimah -rahimahullah-
sendiri
dan syekh Albaniy dalam kitabnya Silsilah Adh-Dha’ifah 12/682.
b.
Adanya perbedaan
situasi dari kedua hadits ini.
Hadits yang menunjukkan batalnya shalat
jika keledai lewat depan orang shalat hukumnya mutlak berlaku pada setiap
kondisi, adapun hadits Ibnu Abbas adalah kondisi darurat maka tidak
membatalkan.
Akan tetapi pendapat ini dibantah, karena
dalam hadits Ibnu Abbas tidak ada isyarat yang menunjukkan bahwa ia lewat
bersama keledainya di depan makmum karena terpaksa.
Justru ucapan Ibnu Abbas bahwa tidak ada
yang mengingkari perbuatannya menunjukkan bahwa ia melakukanitu dengan sengaja.
c.
Menakwil salah satu
maksud hadits.
Bahwa ketika Ibnu Abbas lewat bersama himarnya
depan shaf makmun, saat itu Rasulullah belum takbiratul ihram (belum
mulai shalat).
Namun jika kita memakai pemahaman ini maka
kandungan hukum hadits Ibnu Abbas tidak terlihat jelas, karena lewat depan
orang yang tidak shalat disepakati kebolehannya.
Sedangkan Ibnu Abbas menyampaikan hadits
ini sebagai argumen yang mengandung muatan hukum atas suatu yang
diperselisihkan.
Atau makna shalat terputus adalah hilangnya
kekhusyu’an dalam shalat, bukan berarti shalatnya batal.
2)
Salah satu hadits ini ada yang telah di-nasakh (dihapus
hukumnya)
Ada juga ulama yang berpendapat bahwa
hadits Abu Hurairah sudah dinasakh dengan hadits:
لَا يَقْطَعُ صَلَاةَ الْمَرْءِ شَيْءٌ
وَادْرَءُوا مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Tidak
ada yang membatalkan shalat seseorang suatu apa pun, dan cegahlah apa yang
ingin lewat dihadapan kalian (saat shalat) sesuai kemampuan kalian”
Imam
An-Nawawiy rahimahullah membantah pendapat ini, dengan alasan:
a)
Tidak boleh menghukumi “mansukh”
(terhapus hukumnya) pada salah satu hadits yang secara dzahir bertentangan jika
masih bisa diserasikan maknya antara keduanya.
b)
Untuk menghukumi salah satunya ada yang mansukh
maka harus diketahui waktu hadits tersebut diucapkan agar bisa menghukumi mana
hadits yang terdahulu dan dinasakh oleh hadits yang belakangan. Adapun kedua
hadits dalam masalah ini maka tidak ada bukti yang menunjukkan mana yang
terdahulu dan mana yang belakangan diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
c)
Hadits yang dijadikan penasakh ini derajatnya lemah.
Lihat: Syarh Sahih Muslim karya Imam An-Nawawiy 4/227.
3) Mentarjih salah satu hadits tersebut.
Imam Syafi’iy rahimahullah melemahkan hadits Abu Hurairah ini. [Ikhtilaaful
Hadits 8/624]
Lihat: Mempertemukan makna hadits Ibnu ‘Abbas lewat depan shaf dengan beberapa hadits lainnya
B. Hadits
Mahmud bin Ar-Rabii’ radhiyallahu ‘anhu.
Imam
Bukhari -rahimahullah- berkata:
77 - حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ
[البَيْكَنْدِيّ]، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو مُسْهِرٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ
بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنِي الزُّبَيْدِيُّ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ مَحْمُودِ بْنِ
الرَّبِيعِ، قَالَ: «عَقَلْتُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَجَّةً مَجَّهَا فِي وَجْهِي وَأَنَا ابْنُ خَمْسِ سِنِينَ مِنْ دَلْوٍ»
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin
Yusuf [Al-Baikandiy], ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Mushir, ia
berkata: Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Harb, ia berkata: Telah
menceritakan kepadaku Az-Zubaidiy, dari Az-Zuhriy, dari Mahmud bin Ar-Rabbi',
ia berkata, "Aku mengingat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
saat Beliau menyemburkan air dari mulut Beliau ke wajahku, saat itu aku baru
berumur lima tahun, dari sebuah timba sumur".
Penjelasan
singkat hadits ini:
1) Biografi
Mahmud bin Ar-Rabii’ Al-Anshariy, Abu Nu’aim Al-Madaniy radhiyallahu ‘anhu.
Beliau lahir tahun 6 hijriyah, dan wafat
tahun 99 hijriyah dengan umur 93 tahun.
Ia seorang sahabiy karena pernah malihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
akan tetepi dalam periwayatan hadits sebagian ulama mangkategorikannya sebagai
tabi’iy senior.
2) Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam menyemburkan air kepada Mahmud bin
Ar-Rabii’ sebagai gurauan atau untuk memberi berkah kepadanya.
Anas bin Malik radhiallahu'anhu
berkata:
إِنْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُخَالِطُنَا، حَتَّى يَقُولَ لِأَخٍ لِي صَغِيرٍ: «يَا
أَبَا عُمَيْرٍ، مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ» [صحيح
البخاري ومسلم]
"Nabi ﷺ
biasa bergaul dengan kami, hingga beliau bersabda kepada saudaraku yang kecil,
"Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh Nughair (nama burung)?"
[Shahih Bukhari dan Muslim]
3) Hadits
ini menunjukkan bolehnya anak kecil yang belum balig menukil hadits yang ia
dengar dan menyampaikannya ketika sudah balig.
'Abdullah biin Az-Zubair radhiallahu'anhuma
berkata;
كُنْتُ يَوْمَ الأَحْزَابِ جُعِلْتُ
أَنَا وَعُمَرُ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ فِي النِّسَاءِ، فَنَظَرْتُ فَإِذَا أَنَا
بِالزُّبَيْرِ، عَلَى فَرَسِهِ، يَخْتَلِفُ إِلَى بَنِي قُرَيْظَةَ مَرَّتَيْنِ
أَوْ ثَلاَثًا، فَلَمَّا رَجَعْتُ قُلْتُ: يَا أَبَتِ رَأَيْتُكَ تَخْتَلِفُ؟
قَالَ: أَوَهَلْ رَأَيْتَنِي يَا بُنَيَّ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَنْ يَأْتِ بَنِي قُرَيْظَةَ
فَيَأْتِينِي بِخَبَرِهِمْ». فَانْطَلَقْتُ، فَلَمَّا رَجَعْتُ جَمَعَ لِي رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَوَيْهِ فَقَالَ: «فِدَاكَ أَبِي
وَأُمِّي» [صحيح البخاري]
Pada hari perang Ahzab, aku dan 'Umar bin
Abu Salamah berada dekat dengan kaum wanita lalu aku melihat-lihat ternyata aku
dapatkan Zubair berada di atas kudanya bolak-balik menuju Bani Quraizhah dua
atau tiga kali. Setelah kembali aku bertanya, "Wahai ayahku, aku melihatmu
berbolak-balik". Dia bertanya, "Apakah benar kamu melihatku, wahai
anakku?" Aku jawab, "Ya benar". Dia berkata, "Karena
sebelumnya Rasulullah ﷺ bersabda, "Siapa yang dapat mendatangi Bani Quraizhah lalu
membawa kabar mereka kepadaku?". Maka aku berangkat dan tatkala aku
kembali, aku dapati Rasulullah ﷺ menyertakan kedua
orangtua beliau sebagai tebusan bagiku dengan sabdanya, "Tebusanmu adalah
bapak dan ibuku". [Shahih Bukhari]
Wallahu a’lam!
Lihat juga: Kitab Ilmu bab 17; Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Ya Allah, ajarkanlah dia Al-Kitab"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...