Rabu, 13 Januari 2021

Kitab Ilmu bab 18; Kapan anak kecil boleh menerima hadits

 بسم الله الرحمن الرحيم

Imam Bukhari -rahimahullah- berkata:

بَابٌ: مَتَى يَصِحُّ سَمَاعُ الصَّغِيرِ؟

Bab: “Kapan anak kecil boleh menerima hadits”

Ulama berselisih tentang umur seseorang yang dibolehkan menerima hadits; Ada yang mengatakan sepuluh tahun, ada yang mengatakan dua puluh tahun, dan ada yang mengatakan tiga puluh tahun.

Ibnu Ma’in -rahimahullah- berpendapat bahwa usia yang dibolehkan untuk menerima hadits adalah minimal limabelas tahun, dengan dalil hadits Ibnu Umar ditolak ikut perang Uhud karena belum berumur limabelas tahun.

Dari Ibnu Umar radhiallahu'anhuma;

«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَرَضَهُ يَوْمَ أُحُدٍ، وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَلَمْ يُجِزْنِي ثُمَّ عَرَضَنِي يَوْمَ الخَنْدَقِ، وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَأَجَازَنِي» [صحيح البخاري ومسلم]

Bahwa Nabi pernah mendapatinya dalam barisan perang Uhud ketika berusia empat belas tahun, namun beliau tidak mengizinkannya, dan kemudian beliau kembali menemukannya dalam barisan perang Khandaq, ketika ia berusia lima belas tahun, beliau akhirnya mengizinkannya." [Shahih Bukhari dan Muslim]

Namun Jumhur ulama menilai pendapat ini kurang tepat karena situasi peperangan membutuhkan kekuatan fisik selain akal, berbeda dengan menuntut ilmu.

Pada bab ini, imam Bukhari -rahimahullah- ingin menjelaskan bahwa fase balig bukan syarat dalam menerima hadits. Selama ia sudah memahami dan menguasai apa yang ia dengar maka hadits yang ia terima boleh ia sampaikan ketika sudah balig.

Imam Bukhari menyebutkan dua hadits sebagai dalil, yaitu hadits Ibnu ‘Abbas dan hadits Mahmud bin Ar-Rabi’ radhiyallahu ‘anhum.

A.    Hadits Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Imam Bukhari -rahimahullah- berkata:

76 - حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: «أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلاَمَ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ، وَأَرْسَلْتُ الأَتَانَ تَرْتَعُ، فَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ، فَلَمْ يُنْكَرْ ذَلِكَ عَلَيَّ»

Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Abu Uwais, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Malik, dari Ibnu Syihab, dari 'Ubaidullah bin Abdullah bin 'Utbah, dari Abdullah bin 'Abbas berkata; Aku datang dengan menunggang keledai betina, yang saat itu aku hampir menginjak masa baligh, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang shalat di Mina dengan tidak menghadap dinding. Maka aku lewat di depan sebagian shaf kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk dalam shaf (ikut shalat berjama’ah) dan tidak ada orang yang menyalahkanku".

Penjelasan singkat hadits ini:

  1. Biografi Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Lihat: Keistimewaan Abdullah bin ‘Abbas

  1. Hukum shalat memakai sutra.

Dari Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

«إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا» [سنن أبي داود]

“Jika seorang dari kalian shalat maka shalatlah menghadap sutrah (memakai pembatas diletakkan beberapa jarak dari tempat sujud), dan hendaklah ia mendekat dari sutrah tersebut”. [Sunan Abi Daud]

Hadits ini nampaknya bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas:

Hadits Abi Sa’id menunjukkan kewajiban memakai surtara ketika shalat karena ada perintah, sedangkan ucapan Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat tanpa meghadap dinding, ini menunjukkan kalau saat itu beliau shalat tidak memakai sutrah.

Cara menyatukan makna keduanya:

a)      Mengalihkan lafadz perintah dari makna wajib ke makna mustahab (sunnah).

Bahwa hadits perintah memakai sutrah ketika shalat hukumnya hanya sunnah, dan hadits Ibnu Abbas menjadi pengalih makna wajib pada lafadz perintah dalam hadits Abu Sa’id menjadi makna sunnah.

b)      Menakwil salah satu makna hadits.

Bahwa makna ucapan Ibnu Abbas: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat tidak meghadap dinding”, bukan berarti beliau tidak memakai sutrah, karena sutra tidak harus dinding.

Penakwilan ini dibantah dengan lafadz lain hadits ini sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad -rahimahullah-, Ibnu Abbas berkata:

«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ» [مسند أحمد]

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di padang kosong, tidak ada sesuatupun di hadapannya”. [Musnad Ahmad]

Riwayat ini diperselishkan ulama, syekh Albaniy -rahimahullah- menghukuminya lemah dalam silsilah Adh-Dha’ifah 12/679 no.5814. Sedangkan syekh Syu’aib Al-Arnauth -rahimahullah- menghukuminya hasan, wallahu a’lam!

  1. Hukum lewat depan orang shalat.

Dari Abu Juhaim radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

«لَوْ يَعْلَمُ المَارُّ بَيْنَ يَدَيِ المُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ»

“Andai orang yang lewat di depan orang shalat mengetahui hukuman apa yang akan ia terima, maka ia berdiri selama empat puluh lebih baik baginya dari pada lewat di depan orang yang sedang shalat”

Abu An-Nadhr (rawi hadits ini) berkata: Aku tidak tahu, apakah beliau mengatakan empat puluh hari atau bulan atau tahun. [Sahih Bukhari dan Muslim]

Hadits ini juga nampaknya bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas:

Pada hadits Abu Juhaim mengandung larangan lewat di hadapan orang yang sedang shalat, sedangkan dalam hadits Ibnu Abbas ada sunnah taqrir (pegakuan) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan lewat di hadapan orang yang sedang shalat seperti yang dilakukan oleh Ibnu Abbas.

Cara menyatukan makna keduanya:

  1. Salah satu hadits ini ada yang umum dan ada yang khusus.

Hadits ini sifatnya umum melarang lewat di hadapan orang sedang shalat, baik itu shalat sendiri, jadi imam, atau sedang makmum.

Adapun hadits Ibnu Abbas sifatnya khusus, memberi pengkhususan membolehkan seseorang lewat depan makmun yang sedang shalat berjama’ah.

Adapun lewat depan orang yang sedang shalat sendiri atau sebagai imam, maka tetap tidak boleh sebagaimana ditunjukkan oleh keumuman hadits Abu Juhaim.

Ini adalah jawaban yang paling tepat.

  1. Adanya perbedaan situasi dari kedua hadits ini.

Hadits yang melarang hukumnya mutlak berlaku pada setiap kondisi, adapun hadits Ibnu Abbas adalah kondisi darurat yang membolehkan lewat depan orang shalat.

Akan tetapi pendapat ini dibantah, karena dalam hadits Ibnu Abbas tidak ada isyarat yang menunjukkan bahwa ia lewat depan makmum karena terpaksa.

Justru ucapan Ibnu Abbas bahwa tidak ada yang mengingkari perbuatannya menunjukkan bahwa ia melakukan itu dengan sengaja.

  1. Menakwil salah satu makna hadits.

Bahwa ketika Ibnu Abbas lewat depan shaf makmun, saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum takbiratul ihram (belum mulai shalat).

Namun jika kita memakai pemahaman ini maka kandungan hukum hadits Ibnu Abbas tidak terlihat jelas, karena lewat depan orang yang tidak shalat disepakati kebolehannya.

Sedangkan Ibnu Abbas menyampaikan hadits ini sebagai argumen yang mengandung muatan hukum pada satu masalah yang diperselisihkan.

  1. Jika keledai lewat depan orang shalat, apakah membatalkan shalatnya?

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

«يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْمَرْأَةُ وَالْحِمَارُ وَالْكَلْبُ، وَيَقِي ذَلِكَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ» [صحيح مسلم]

“Perempuan, keledai, dan anjing memutuskan shalat (jika lewat depan orang shalat)”. [Sahih Muslim]

Hadits ini juga nampaknya bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas:

Hadits Abu Hurairah menunjukkan bahwa jika keledai lewat di hadapan orang yang sedang shalat maka shalatnya batal, sedangkan dalam hadits Ibnu Abbas ia lewat di depan shaf mengendarai keledai dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan sahabatnya untuk mengulangi shalat.

Dalam menyikapi pertentangan kedua haidts ini ulama memakai beberapa metode:

1)      Berusaha memadukan makna kedua hadits tersebut, dengan cara:

a.       Salah satunya ada yang sifatnya umum dan yang lain sifatnya khusus.

Hadits Abu Hurairah sifatnya umum jika keledai lewat di hadapan orang yang sedang shalat maka shalatnya batal, baik itu ketika shalat sendiri, menjadi imam, atau sedang makmum.

Adapun hadits Ibnu Abbas sifatnya khusus, memberi pengkhususan apabila keledai lewat depan makmun yang sedang shalat berjama’ah maka shalatnya tidak batal. Dan jika keledai lewat depan orang yang sedang shalat sendiri atau sebagai imam, maka shalatnya batal.

Atau jika keledainya lewat di tengah antara orang yang shalat dengan sutrahnya maka shalatnya batal, sedangkan jika lewat di atas sutrah maka tidak membatalkan shalat. Dan sutrah makmun adalah sutrahnya imam, maka jika ia lewat depan makmun tidak membatalkan shalat.

Atau jika lewat di hadapan orang yang shalat yang tidak memakai sutrah maka shalatnya tidak batal. Sebagaimana dalam riwayat lain, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

جِئْتُ أَنَا وَالْفَضْلُ عَلَى أَتَانٍ، فَمَرَرْنَا بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَةَ وَهُوَ يُصَلِّي الْمَكْتُوبَةَ، لَيْسَ شَيْءٌ يَسْتُرُهُ، يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ [صحيح ابن خزيمة]

Aku datang bersama Al-Fadhl mengendarai himar betina, lalu kami lewat di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Arafah sementara beliau shalat wajib, tidak ada sesuatu yang menjadi sutrahnya (pembatas) yang menghalangi antara kami dan beliau. [Sahih Ibnu Khuzaimah]

Akan tetapi riwayat ini dilemahkan Ibnu Khuzaimah -rahimahullah- sendiri dan syekh Albaniy dalam kitabnya Silsilah Adh-Dha’ifah 12/682.

b.      Adanya perbedaan situasi dari kedua hadits ini.

Hadits yang menunjukkan batalnya shalat jika keledai lewat depan orang shalat hukumnya mutlak berlaku pada setiap kondisi, adapun hadits Ibnu Abbas adalah kondisi darurat maka tidak membatalkan.

Akan tetapi pendapat ini dibantah, karena dalam hadits Ibnu Abbas tidak ada isyarat yang menunjukkan bahwa ia lewat bersama keledainya di depan makmum karena terpaksa.

Justru ucapan Ibnu Abbas bahwa tidak ada yang mengingkari perbuatannya menunjukkan bahwa ia melakukanitu dengan sengaja.

c.       Menakwil salah satu maksud hadits.

Bahwa ketika Ibnu Abbas lewat bersama himarnya depan shaf makmun, saat itu Rasulullah belum takbiratul ihram (belum mulai shalat).

Namun jika kita memakai pemahaman ini maka kandungan hukum hadits Ibnu Abbas tidak terlihat jelas, karena lewat depan orang yang tidak shalat disepakati kebolehannya.

Sedangkan Ibnu Abbas menyampaikan hadits ini sebagai argumen yang mengandung muatan hukum atas suatu yang diperselisihkan.

Atau makna shalat terputus adalah hilangnya kekhusyu’an dalam shalat, bukan berarti shalatnya batal.

2)      Salah satu hadits ini ada yang telah di-nasakh (dihapus hukumnya)

Ada juga ulama yang berpendapat bahwa hadits Abu Hurairah sudah dinasakh dengan hadits:

لَا يَقْطَعُ صَلَاةَ الْمَرْءِ شَيْءٌ وَادْرَءُوا مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Tidak ada yang membatalkan shalat seseorang suatu apa pun, dan cegahlah apa yang ingin lewat dihadapan kalian (saat shalat) sesuai kemampuan kalian”

Imam An-Nawawiy rahimahullah membantah pendapat ini, dengan alasan:

a)       Tidak boleh menghukumi “mansukh” (terhapus hukumnya) pada salah satu hadits yang secara dzahir bertentangan jika masih bisa diserasikan maknya antara keduanya.

b)      Untuk menghukumi salah satunya ada yang mansukh maka harus diketahui waktu hadits tersebut diucapkan agar bisa menghukumi mana hadits yang terdahulu dan dinasakh oleh hadits yang belakangan. Adapun kedua hadits dalam masalah ini maka tidak ada bukti yang menunjukkan mana yang terdahulu dan mana yang belakangan diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

c)       Hadits yang dijadikan penasakh ini derajatnya lemah.

Lihat: Syarh Sahih Muslim karya Imam An-Nawawiy 4/227.

3)      Mentarjih salah satu hadits tersebut.

Imam Syafi’iy rahimahullah melemahkan hadits Abu Hurairah ini. [Ikhtilaaful Hadits 8/624]

Lihat: Mempertemukan makna hadits Ibnu ‘Abbas lewat depan shaf dengan beberapa hadits lainnya

B.     Hadits Mahmud bin Ar-Rabii’ radhiyallahu ‘anhu.

Imam Bukhari -rahimahullah- berkata:

77 - حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ [البَيْكَنْدِيّ]، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو مُسْهِرٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنِي الزُّبَيْدِيُّ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ مَحْمُودِ بْنِ الرَّبِيعِ، قَالَ: «عَقَلْتُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَجَّةً مَجَّهَا فِي وَجْهِي وَأَنَا ابْنُ خَمْسِ سِنِينَ مِنْ دَلْوٍ»

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Yusuf [Al-Baikandiy], ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Mushir, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Harb, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Az-Zubaidiy, dari Az-Zuhriy, dari Mahmud bin Ar-Rabbi', ia berkata, "Aku mengingat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, saat Beliau menyemburkan air dari mulut Beliau ke wajahku, saat itu aku baru berumur lima tahun, dari sebuah timba sumur".

Penjelasan singkat hadits ini:

1)      Biografi Mahmud bin Ar-Rabii’ Al-Anshariy, Abu Nu’aim Al-Madaniy radhiyallahu ‘anhu.

Beliau lahir tahun 6 hijriyah, dan wafat tahun 99 hijriyah dengan umur 93 tahun. Ia seorang sahabiy karena pernah malihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan tetepi dalam periwayatan hadits sebagian ulama mangkategorikannya sebagai tabi’iy senior.

2)      Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyemburkan air kepada Mahmud bin Ar-Rabii’ sebagai gurauan atau untuk memberi berkah kepadanya.

Anas bin Malik radhiallahu'anhu berkata:

إِنْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُخَالِطُنَا، حَتَّى يَقُولَ لِأَخٍ لِي صَغِيرٍ: «يَا أَبَا عُمَيْرٍ، مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ» [صحيح البخاري ومسلم]

"Nabi biasa bergaul dengan kami, hingga beliau bersabda kepada saudaraku yang kecil, "Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh Nughair (nama burung)?" [Shahih Bukhari dan Muslim]

3)      Hadits ini menunjukkan bolehnya anak kecil yang belum balig menukil hadits yang ia dengar dan menyampaikannya ketika sudah balig.

'Abdullah biin Az-Zubair radhiallahu'anhuma berkata;

كُنْتُ يَوْمَ الأَحْزَابِ جُعِلْتُ أَنَا وَعُمَرُ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ فِي النِّسَاءِ، فَنَظَرْتُ فَإِذَا أَنَا بِالزُّبَيْرِ، عَلَى فَرَسِهِ، يَخْتَلِفُ إِلَى بَنِي قُرَيْظَةَ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا، فَلَمَّا رَجَعْتُ قُلْتُ: يَا أَبَتِ رَأَيْتُكَ تَخْتَلِفُ؟ قَالَ: أَوَهَلْ رَأَيْتَنِي يَا بُنَيَّ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَنْ يَأْتِ بَنِي قُرَيْظَةَ فَيَأْتِينِي بِخَبَرِهِمْ». فَانْطَلَقْتُ، فَلَمَّا رَجَعْتُ جَمَعَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَوَيْهِ فَقَالَ: «فِدَاكَ أَبِي وَأُمِّي» [صحيح البخاري]

Pada hari perang Ahzab, aku dan 'Umar bin Abu Salamah berada dekat dengan kaum wanita lalu aku melihat-lihat ternyata aku dapatkan Zubair berada di atas kudanya bolak-balik menuju Bani Quraizhah dua atau tiga kali. Setelah kembali aku bertanya, "Wahai ayahku, aku melihatmu berbolak-balik". Dia bertanya, "Apakah benar kamu melihatku, wahai anakku?" Aku jawab, "Ya benar". Dia berkata, "Karena sebelumnya Rasulullah bersabda, "Siapa yang dapat mendatangi Bani Quraizhah lalu membawa kabar mereka kepadaku?". Maka aku berangkat dan tatkala aku kembali, aku dapati Rasulullah menyertakan kedua orangtua beliau sebagai tebusan bagiku dengan sabdanya, "Tebusanmu adalah bapak dan ibuku". [Shahih Bukhari]

Wallahu a’lam!

Lihat juga: Kitab Ilmu bab 17; Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Ya Allah, ajarkanlah dia Al-Kitab"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...