Rabu, 09 Desember 2020

Kitab Ilmu bab 16; Perginya Musa shallallahu ‘alaihi wasallam ke laut untuk menemui Khidhr

 بسم الله الرحمن الرحيم

Imam Bukhari -rahimahullah- berkata:

بَابُ مَا ذُكِرَ فِي ذَهَابِ مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي البَحْرِ إِلَى الخَضِرِ، وَقَوْلِهِ تَعَالَى: {هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِي مِمَّا عُلِّمْتَ رَشَدًا}

Bab: Perginya Musa shallallahu ‘alaihi wasallam ke laut untuk menemui Khidhir, dan firman Allah ta’aalaa {(Musa berkata) “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"} [Al-Kahfi: 66]

Dalam bab ini Imam Bukhari menyebutkan kisah perjalanan Nabi Musa ‘alaihissalam dalam menuntut ilmu kepada Nabi Khidhr yang mengandung banyak pelajaran berharga.

Imam Bukhari -rahimahullah- berkata:

74 - حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ غُرَيْرٍ الزُّهْرِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ [بن سعد الزهري]، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ صَالِحٍ [بن كيسان]، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، حَدَّثَهُ أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ أَخْبَرَهُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ تَمَارَى هُوَ وَالحُرُّ بْنُ قَيْسِ بْنِ حِصْنٍ الفَزَارِيُّ فِي صَاحِبِ مُوسَى، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: هُوَ خَضِرٌ، فَمَرَّ بِهِمَا أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ، فَدَعَاهُ ابْنُ عَبَّاسٍ فَقَالَ: إِنِّي تَمَارَيْتُ أَنَا وَصَاحِبِي هَذَا فِي صَاحِبِ مُوسَى، الَّذِي سَأَلَ مُوسَى السَّبِيلَ إِلَى لُقِيِّهِ، هَلْ سَمِعْتَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ شَأْنَهُ؟ قَالَ: نَعَمْ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " بَيْنَمَا مُوسَى فِي مَلَإٍ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: هَلْ تَعْلَمُ أَحَدًا أَعْلَمَ مِنْكَ؟ " قَالَ مُوسَى: لاَ، فَأَوْحَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى مُوسَى: بَلَى، عَبْدُنَا خَضِرٌ، فَسَأَلَ مُوسَى السَّبِيلَ إِلَيْهِ، فَجَعَلَ اللَّهُ لَهُ الحُوتَ آيَةً، وَقِيلَ لَهُ: إِذَا فَقَدْتَ الحُوتَ فَارْجِعْ، فَإِنَّكَ سَتَلْقَاهُ، وَكَانَ يَتَّبِعُ أَثَرَ الحُوتِ فِي البَحْرِ، فَقَالَ لِمُوسَى فَتَاهُ: {أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهِ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ}، قَالَ: {ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِي فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصًا}، فَوَجَدَا خَضِرًا، فَكَانَ مِنْ شَأْنِهِمَا الَّذِي قَصَّ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي كِتَابِهِ "

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ghurair Az-Zuhriy, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ya'qub bin Ibrahim [bin Sa’d Az-Zuhriy], ia berkata: Telah menceritakan bapakku kepadaku, dari Shalih [bin Kaisan], dari Ibnu Syihab, dia menceritakan bahwa 'Ubaidullah bin Abdullah mengabarkan kepadanya dari Ibnu 'Abbas, bahwasanya dia dan Al-Hurru bin Qais bin Hishin Al-Fazariy berdebat tentang sahabat Musa 'alaihissalam, Ibnu 'Abbas berkata; Dia adalah Khidhr 'alaihissalam.

Tiba-tiba lewat Ubay bin Ka'b di depan keduanya, maka Ibnu 'Abbas memanggilnya dan berkata, "Aku dan temanku ini berdebat tentang sahabat Musa 'alaihissalam, yang ditanya tentang jalan yang akhirnya mempertemukannya, apakah kamu pernah mendengar Nabi menceritakan masalah ini?"

Ubay bin Ka'ab menjawab: Ya, benar, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: "Ketika Musa di tengah pembesar Bani Israil, datang seseorang yang bertanya: Apakah kamu mengetahui ada orang yang lebih pandai darimu?"

Berkata Musa 'alaihissalam, "Tidak".

Maka Allah ta'ala mewahyukan kepada Musa 'alaihissalam: "Ada, yaitu hamba Kami bernama Hidhir."

Maka Musa 'alaihissalam meminta jalan untuk bertemu dengannya. Allah menjadikan ikan bagi Musa sebagai tanda dan dikatakan kepadanya, "Jika kamu kehilangan ikan tersebut kembalilah, nanti kamu akan berjumpa dengannya".

Maka Musa 'alaihissalam mengikuti jejak ikan di lautan. Berkatalah murid Musa 'alaihissalam, "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi? Sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidaklah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan".

Maka Musa 'alaihissalam berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari".

Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Maka akhirnya keduanya bertemu dengan Hidlir 'alaihissalam." Begitulah kisah keduanya sebagaimana Allah ceritakan dalam kitab-Nya.

Nb: Hadits ini akan diriwayatkan ulang dalam kitab Ilmu pada bab 19 “Keluar untuk menuntut ilmu”, dan bab 44 "Apa yang dianjurkan bagi seorang ulama jika ditanya; Siapa orang yang paling berilmu"

Penjelasan singkat hadits ini:

  1. Biografi Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Lihat di sini: Keistimewaan Abdullah bin ‘Abbas

  1. Biografi Al-Hurru bin Qais bin Hishn Al-Fazariy radhiyallahu ‘anhu.

Ia salah seorang yang dekat dengan Umar dan ahli Qur’an, Ibnu 'Abbas radhiallahu'anhuma berkata;

«قَدِمَ عُيَيْنَةُ بْنُ حِصْنِ بْنِ حُذَيْفَةَ فَنَزَلَ عَلَى ابْنِ أَخِيهِ الحُرِّ بْنِ قَيْسٍ، وَكَانَ مِنَ النَّفَرِ الَّذِينَ يُدْنِيهِمْ عُمَرُ، وَكَانَ القُرَّاءُ أَصْحَابَ مَجَالِسِ عُمَرَ وَمُشَاوَرَتِهِ، كُهُولًا كَانُوا أَوْ شُبَّانًا»، فَقَالَ عُيَيْنَةُ لِابْنِ أَخِيهِ: يَا ابْنَ أَخِي، هَلْ لَكَ وَجْهٌ عِنْدَ هَذَا الأَمِيرِ، فَاسْتَأْذِنْ لِي عَلَيْهِ، قَالَ: سَأَسْتَأْذِنُ لَكَ عَلَيْهِ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: «فَاسْتَأْذَنَ الحُرُّ لِعُيَيْنَةَ فَأَذِنَ لَهُ عُمَرُ»، فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهِ قَالَ: هِيْ يَا ابْنَ الخَطَّابِ، فَوَاللَّهِ مَا تُعْطِينَا الجَزْلَ وَلاَ تَحْكُمُ بَيْنَنَا بِالعَدْلِ، فَغَضِبَ عُمَرُ حَتَّى هَمَّ أَنْ يُوقِعَ بِهِ، فَقَالَ لَهُ الحُرُّ: يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {خُذِ العَفْوَ وَأْمُرْ بِالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِينَ} [الأعراف: 199]، وَإِنَّ هَذَا مِنَ الجَاهِلِينَ، «وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلاَهَا عَلَيْهِ، وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّهِ»

Uyainah bin Hishan bin Hudzafah datang, lalu singgah di rumah anak saudaranya yaitu Al-Hurr bin Qais. Ia adalah salah seorang yang dekat dengan Umar, dan para Qari adalah teman majelis Umar dan dewan syuranya. Baik ketika ia masih muda maupun sudah tua. Uyainah berkata kepada anak saudaranya; Wahai anak saudaraku, apakah kamu ada masalah dengan Amirul Mukminin, izinkanlah aku menemuinya. Al-Hurr berkata; Aku akan memintakan izin untukmu. Ibnu Abbas berkata; Maka Al-Hurr meminta izin untuk Uyainah agar bisa menemui Umar, Umar pun mengizinkannya. Tatkala ia masuk, ia berkata; Wahai Ibnul Khatthab, Demi Allah, Anda tidak memenuhi hak kami, dan tidak bersikap adil kepada kami. Maka Umar pun marah, hampir saja ia akan memukulnya. Lalu Al-Hurr berkata kepadanya; Wahai Amirul Mukminin, Sesungguhnya Allah ta'ala berfirman kepada Nabi : {Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh} [Al-A’raf: 198]. Dan orang ini termasuk orang-orang yang bodoh. Ibnu Abbas berkata; Maka demi Allah, Umar pun tidak menyakitinya ketika ayat itu dibacakan kepadanya. Ia senantiasa mengerjakan kandungan kitabullah. [Shahih Bukhari]

  1. Biografi Ubay bin Ka'ab bin Qais, Abu Al-Mundzir Al-Anshariy radhiyallahu ‘anhu.

Ia ikut pada perjanjian ‘Aqabah yang kedua, dan ikut perang Badr. Digalari dengan “Sayyidul Qurra’” (tuannya ahli Qur’an). Waktu wafatnya diperselisihkan, ada yang mengatakan tahun 19, atau 32, atau selain itu di Madinah.

Diantara keistimewaannya:

a)      Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membacakan ayat Al-Qur’an kepadanya.

Anas bin Maik radhiallahu'anhu berkata: Nabi berkata kepada Ubbay:

" إِنَّ اللَّهَ أَمَرَنِي أَنْ أَقْرَأَ عَلَيْكَ {لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الكِتَابِ} [البينة: 1] قَالَ: وَسَمَّانِي؟ قَالَ: «نَعَمْ» فَبَكَى [صحيح البخاري ومسلم]

"Allah memerintahkanku agar membacakan {Lam yakunil ladziina kafaruu min ahlil kitaab} [Al-Bayyinah: 1]” Ubay bertanya, "Apakah Allah menyebut namaku?" Beliau menjawab, "Ya". Ubbay pun menangis. [Shahih Bukhari dan Muslim]

b)      Dido’akan kemudahan ilmu oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dari Ubai bin Ka'b radiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepadanya:

«يَا أَبَا الْمُنْذِرِ، أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللهِ مَعَكَ أَعْظَمُ؟»

"Wahai Abu Al-Mudzir, tahukah kamu ayat apa dalam Al-Qur'an yang kamu hafal yang paling mulia?"

Ubay menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih tahu!

Rasulullah bertanya lagi:

«يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللهِ مَعَكَ أَعْظَمُ؟»

"Wahai Abu Al-Mudzir, tahukah kamu ayat apa dalam Al-Qur'an yang kamu hafal yang paling mulia?"

Ubai menjawab:

{اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ} [البقرة: 255]

Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). [Al-Baqarah: 255]

Ubai berkata: Lalu Rasulullah menepuk dadaku dan berkata:

«وَاللهِ لِيَهْنِكَ الْعِلْمُ أَبَا الْمُنْذِرِ» [صحيح مسلم]

"Demi Allah, semoga Allah memudahkan ilmu bagimu wahai Abu Al-Mundzir!" [Sahih Muslim]

c)       Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mempelajari Al-Qur'an darinya.

Dari Abdullah bin 'Amr radhiyallahu 'anhuma; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

«اسْتَقْرِئُوا القُرْآنَ مِنْ أَرْبَعَةٍ، مِنْ ابْنِ مَسْعُودٍ، وَسَالِمٍ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ، وَأُبَيٍّ، وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ» [صحيح البخاري ومسلم]

"Ambillah bacaan Al Qur'an dari empat orang. Yaitu dari 'Abdullah bin Mas'ud, Salim maula Abu Hudzaifah, Ubay bin Ka'ab, dan Mu'adz bin Jabal". [Sahih Bukhari dan Muslim]

d)      Yang paling bagus bacaan Al-Qur'annya.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

«أَرْحَمُ أُمَّتِي بِأُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ، وَأَشَدُّهُمْ فِي أَمْرِ اللَّهِ عُمَرُ، وَأَصْدَقُهُمْ حَيَاءً عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ، وَأَعْلَمُهُمْ بِالحَلَالِ وَالحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ، وَأَفْرَضُهُمْ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، وَأَقْرَؤُهُمْ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ» [سنن الترمذي: صححه الألباني]

"Ummatku yang paling belas kasih terhadap ummatku (yang lain) adalah Abu Bakr, sedangkan yang paling tegas terhadap perintah Allah adalah Umar, yang paling pemalu adalah Utsman, yang paling mengetahui halal haram adalah Mu'adz bin Jabal, dan yang paling mengetahui tentang fara'idh (ilmu tentang pembagian harta waris) adalah Zaid bin Tsabit, serta yang paling bagus bacaannya adalah Ubay bin Ka'ab." [Sunan Tirmidziy: Sahih]

  1. Apakah Khadhir atau Khidhr seorang Nabi atau Wali?

Ulama berselishi dalam hal ini, namun pendapat yang terkuat bahwasanya beliau adalah Nabi, karena ilmu yang Allah berikan kepadanya adalah ilmu yang khusus diberikan kepada para Nabi. Allah subhanahu wata'aalaa berfirman:

{فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا} [الكهف: 65]

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. [Al-Kahfi: 65]

{وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي} [الكهف: 82]

Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. [Al-Kahfi: 82]

Ulama juga berselisih, apakah Khidir masih hidup atau sedah wafat?

Pendapat yang lebih kuat menunjukkan bahwa beliau telah wafat, diantara dalilnya:

'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: Nabi shalat Isya bersama kami di akhir hayatnya. Setelah selesai memberi salam beliau berdiri dan bersabda,

«أَرَأَيْتَكُمْ لَيْلَتَكُمْ هَذِهِ، فَإِنَّ رَأْسَ مِائَةِ سَنَةٍ مِنْهَا، لاَ يَبْقَى مِمَّنْ هُوَ عَلَى ظَهْرِ الأَرْضِ أَحَدٌ» [صحيح البخاري ومسلم]

"Tidakkah kalian perhatikan malam kalian ini? Sesungguhnya pada penghujung seratus tahun darinya tidak akan tersisa seorangpun dari muka bumi ini." [Shahih Bukhari dan Muslim]

Keumuman hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Khidir -'alaihissalam- sudah wafat, ini adalah pendapat: Imam Bukhari, Ibnu Al-Jauziy, Ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar Al'Asqalaniy, dan selainnya -rahimahumullah-.

  1. Boleh berdebat dalam ilmu untuk mengetahui kebenaran.

Allah subhanahu wata’aalaa berfirman:

{سَيَقُولُونَ ثَلَاثَةٌ رَابِعُهُمْ كَلْبُهُمْ وَيَقُولُونَ خَمْسَةٌ سَادِسُهُمْ كَلْبُهُمْ رَجْمًا بِالْغَيْبِ وَيَقُولُونَ سَبْعَةٌ وَثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ قُلْ رَبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِمْ مَا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا قَلِيلٌ فَلَا تُمَارِ فِيهِمْ إِلَّا مِرَاءً ظَاهِرًا وَلَا تَسْتَفْتِ فِيهِمْ مِنْهُمْ أَحَدًا} [الكهف: 22]

Nanti (ada orang yang akan) mengatakan: “(jumlah mereka) adalah tiga orang yang keempat adalah anjingnya”, dan (yang lain) mengatakan: "(jumlah mereka) adalah lima orang yang keenam adalah anjing nya", sebagai terkaan terhadap barang yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan: "(jumlah mereka) tujuh orang, yang ke delapan adalah anjingnya". Katakanlah: "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit". Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorangpun di antara mereka. [Al-Kahfi: 22]

Adapun jika perdebatan itu tidak berdasaskan dalil atau tidak memberikan manfaat maka sebaiknya ditinggalkan:

Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

"Aku akan menjamin rumah di tepi surga bagi seseorang yang meninggalkan perdebatan meskipun benar. Aku juga menjamin rumah di tengah surga bagi seseorang yang meninggalkan kedustaan meskipun bershifat gurau, Dan aku juga menjamin rumah di syurga yang paling tinggi bagi seseorang yang berakhlak baik." [Sunan Abi Daud: Hasan]

Lihat: Adab berdebat dan berselisih pendapat

  1. Merujuk ulama ketika ada perselisihan.

Allah subhanahu wata’aalaa berfirman:

{فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ} [النحل: 43] [الأنبياء: 7]

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. [An-Nahl: 43, Al-Anbiyaa’: 7]

  1. Mengamalkan hadits ahad yang shahih.

Dalil lain yang menunjukkan bahwa hadits ahad adalah hujjah secara muthlak, baik dalam masalah hukum atau pun aqidah:

Allah subhanahu wata'aalaa berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ} [الحجرات: 6]

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. [Al-Hujuraat: 6]

Ø  Dari Zayd bin Tsabit radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

«نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا، فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ» [سنن أبي داود: صحيح]

"Allah memberi cahaya pada wajah (atau kenimatan) pada orang yang mendengar dariku suatu hadits kemudian ia menghafalnya untuk ia sampaikan kepada orang lain. Karena bisa jadi seorang yang menghafal suatu pemahaman (hadits) menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya, dan bisa jadi orang yang menghafal suatu pemahaman (hadits) tapi ia tidak paham". [Sunan Abu Daud: Sahih]

  1. Buruknya perangai kaum Yahudi, bertanya dengan suatu yang tidak bermanfaat.

Dari Al-Mugirah bin Syu'bah radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

" إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلاَثًا: قِيلَ وَقَالَ، وَإِضَاعَةَ المَالِ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ " [صحيح البخاري ومسلم]

"Sesungguhnya Allah membenci dari kalian tiga perkara: Banyak bicara (yang tidak bermanfaat), menghambur-hamburkan harta, dan banyak meminta (bertanya)". [Sahih Bukhari dan Muslim]

Lihat: Syarah Arba’inNawawiy, (9) hadits Abu Hurairah

  1. Keutamaan keluar menuntut ilmu.

Nb: Imam Bukhari akan mengkhususkan satu bab tentang ini (bab 19).

  1. Allah mengankat derajat seseorang dengan ilmunya.

Allah subhanahu wata’aalaa berfirman:

{يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ} [المجادلة: 11]

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al-Mujadilah: 11]

  1. Jangan merasa diri paling berilmu.

Allah subhanahu wata'aalaa berfirman:

{وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ} [يوسف: 76]

Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang lebih mengetahui. [Yusuf: 76]

Ø  Masruuq bin Al-Ajda' (62 H) rahimahullah berkata:

بحسب امرئ من العلم أن يخشى الله، وبحسب امرئ من الجهل أن يعجب بعلمه [أخلاق العلماء للآجري]

"Cukuplah seorang itu dikatakan berilmu apabila dia takut kepada Allah, dan cukuplah seorang itu dikatakan bodoh apabila dia bangga dengan ilmunya" [Akhlaq Al-'Ulama' karya Al-Ajurriy]

Lihat: Akhlak ulama dan penuntut ilmu

  1. Membawa bekal dalam bepergian jauh.

Ibnu 'Abbas -radhiyallahu 'anhuma- berkata:

" كَانَ أَهْلُ اليَمَنِ يَحُجُّونَ وَلاَ يَتَزَوَّدُونَ، وَيَقُولُونَ: نَحْنُ المُتَوَكِّلُونَ، فَإِذَا قَدِمُوا مَكَّةَ سَأَلُوا النَّاسَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى} " [البقرة: 197] [صحيح البخاري]

"Dahulu para penduduk Yaman berhaji namun mereka tidak membawa bekal dan mereka berkata: Kami adalah orang-orang yang bertawakal. Ketika mereka tiba di Makkah, mereka meminta-minta kepada manusia. Maka Allah ta'ala menurunkan firman-Nya: {Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa} [Al-Baqarah: 197] [Shahih Bukhari]

  1. Semangat Nabi Musa dalam menuntut ilmu.

Dari Anas dan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

«مَنْهُومَانِ لَا يَشْبَعَانِ: طَالِبُ عِلْمٍ، وَطَالِبُ دُنْيَا» [صحيح الجامع الصغير]

"Dua gorongan yang rakus tidak pernah puas: Penuntut ilmu (tidak puas dengan ilmu), dan pencari dunia (tidak puas dengan dunia)". [Sahih Al-Jami' Ashagiir]

  1. Tidak boleh gengsi dalam menuntut ilmu.

Nabi Musa rela menjadi pengikut Khidr –‘alaihimassalam- demi mendapatkan ilmu darinya.

  1. Tawadhu’ dalam setiap hal.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

«وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ» [صحيح مسلم]

"Dan seseorang tidak bersikap tawadhu’ demi Allah kecuali Allah akan mengangkat derajatnya". [Sahih Muslim]

  1. Sabar dalam menuntut ilmu.

Allah subhanahu wata'aalaa berfirman:

{قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (67) وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا (68) قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا} [الكهف: 67 - 69]

Dia menjawab, “Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Dia (Musa) berkata, “Insya Allah akan engkau dapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apa pun.” [Al-Kahf: 67-69]

Lihat: Bagaimana menuntut ilmu

Wallahu a’lam!

Lihat juga: Kitab Ilmu bab 15; Iri dalam ilmu dan hikmah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...