Minggu, 29 Januari 2023

Pilar-pilar moderasi Islam

بسم الله الرحمن الرحيم

Allah subhanahu wata’aalaa berfirman:

{وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا} [البقرة: 143]

Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan (moderat) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. [Al-Baqarah:143]

Ø  Dari Abu Sa'id Al-Khudriy radhiyallahu 'anhu; Rasulullah bersabda:

" يَجِيءُ نُوحٌ وَأُمَّتُهُ، فَيَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: هَلْ بَلَّغْتَ؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ أَيْ رَبِّ، فَيَقُولُ لِأُمَّتِهِ: هَلْ بَلَّغَكُمْ؟ فَيَقُولُونَ: لاَ مَا جَاءَنَا مِنْ نَبِيٍّ، فَيَقُولُ لِنُوحٍ: مَنْ يَشْهَدُ لَكَ؟ فَيَقُولُ: مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمَّتُهُ، فَنَشْهَدُ أَنَّهُ قَدْ بَلَّغَ، وَهُوَ قَوْلُهُ جَلَّ ذِكْرُهُ: {وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ} ، وَالوَسَطُ العَدْلُ " [صحيح البخاري]

"Didatangkan Nuh beserta umatnya (pada hari kiamat), kemudian Allah ta'aalaa bertanya kepada Nuh: Apakah engkau telah menyampaikan risalah kapada kaummu? Nuh menjawab: Iya, wahai Tuhanku! Kemudian bertanya kepada umatnya: Apakah Nuh telah menyampaikannya kepada kalian? Umatnya menjawab: Tidak, tidak datang kepada kami seorang nabi pun! Kemudian berkata kepada Nuh: Siapa yang akan bersaksi untukmu? Maka Nuh menjawab: Muhammad beserta umatnya! Maka kita bersaksi bahwasanya Nuh telah menyampaikan risalahnya, itulah makna firman Allah jalla dzikruh: {Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia}. Dan Al-Wasath adalah yang adil". [Shahih Bukhari]

Moderasi (wasathiyah) Islam tidak akan terwujud tanpa memperhatikan pilar-pilar yang menjadi tolak ukurnya, yaitu:

Pertama: Harus berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Tidak ada moderasi tanpa landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih, karena moderasi Islam adalah kebaikan yang tidak mungkin diketahui kecuali atas petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Akal memang mampu mengetahui mana yang baik dan yang buruk, tapi tidak semua yang baik menurut akal manusian atau buruk itu juga baik atau buruk di sisi Allah ‘azza wajalla.

Nabi dan para sahabatnya adalah manusia yang paling sempurna akalnya, namun demikian beberapa pandangan mereka yang dianggap baik tapi ternyata ditolak oleh Allah ‘azza wajalla.

Sebagai contoh:

1.       Kisah tawanan perang Badar.

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu berkata:

فَلَمَّا أَسَرُوا الْأُسَارَى قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لِأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ: مَا تَرَوْنَ فِي هَؤُلَاءِ الْأُسَارَى؟ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ هُمْ بَنُو الْعَمِّ وَالْعَشِيرَةِ أَرَى أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُمْ فِدْيَةً فَتَكُونُ لَنَا قُوَّةً عَلَى الْكُفَّارِ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُمْ لِلْإِسْلَامِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَا تَرَى يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ قُلْتُ: لَا وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا أَرَى الَّذِي رَأَى أَبُو بَكْرٍ وَلَكِنِّي أَرَى أَنْ تُمَكِّنَّا فَنَضْرِبَ أَعْنَاقَهُمْ فَتُمَكِّنَ عَلِيًّا مِنْ عَقِيلٍ فَيَضْرِبَ عُنُقَهُ وَتُمَكِّنِّي مِنْ فُلَانٍ نَسِيبًا لِعُمَرَ فَأَضْرِبَ عُنُقَهُ، فَإِنَّ هَؤُلَاءِ أَئِمَّةُ الْكُفْرِ وَصَنَادِيدُهَا. فَهَوِيَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مَا قَالَ أَبُو بَكْرٍ وَلَمْ يَهْوَ مَا قُلْتُ، فَلَمَّا كَانَ مِنْ الْغَدِ جِئْتُ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَأَبُو بَكْرٍ قَاعِدَيْنِ يَبْكِيَانِ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي مِنْ أَيِّ شَيْءٍ تَبْكِي أَنْتَ وَصَاحِبُكَ؟ فَإِنْ وَجَدْتُ بُكَاءً بَكَيْتُ وَإِنْ لَمْ أَجِدْ بُكَاءً تَبَاكَيْتُ لِبُكَائِكُمَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: أَبْكِي لِلَّذِي عَرَضَ عَلَيَّ أَصْحَابُكَ مِنْ أَخْذِهِمْ الْفِدَاءَ لَقَدْ عُرِضَ عَلَيَّ عَذَابُهُمْ أَدْنَى مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ شَجَرَةٍ قَرِيبَةٍ مِنْ نَبِيِّ اللَّهِ ﷺ، وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ إِلَى قَوْلِهِ فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلَالًا طَيِّبًا} فَأَحَلَّ اللَّهُ الْغَنِيمَةَ لَهُمْ

"Tatkala tawanan telah mereka tahan, Rasulullah bertanya kepada Abu Bakar dan Umar: "Bagaimana pendapat kalian mengenai tawanan ini?" Abu Bakar menjawab, "Wahai Nabi Allah, mereka itu adalah anak-anak paman dan masih famili kita, aku berpendapat, sebaiknya kita pungut tebusan dari mereka. Dengan begitu, kita akan menjadi kuat terhadap orang-orang kafir, semoga Allah menunjuki mereka supaya masuk Islam." Kemudian Rasulullah berkata: "Bagaimana pendapatmu wahai Ibnul Khattab?" Aku menjawab, "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak setuju dengan pendapat Abu Bakar. Menurutku, berilah aku kesempatan untuk memenggal leher mereka, berilah kesempatan kepada Ali supaya memenggal leher 'Uqail, dan berilah kesempatan kepadaku supaya memenggal leher si fulan -maksudnya saudaranya sendiri-, karena mereka adalah para pemimpin kaum kafir dan pembesar-pembesar mereka." Akan tetapi Rasulullah menyetujui pendapat Abu Bakar dan tidak menyutujui pendapatku. Di keesokan harinya, aku menemui Rasulullah , aku dapati beliau sedang duduk menangis berdua dengan Abu Bakar, lalu aku berkata, "Ceritakanlah kepadaku, apa sebabnya anda berdua menangis? Jika bisa menangis maka aku akan menangis, jika tidak bisa maka aku akan pura-pura menangis untuk kalian." Rasulullah bersabda: "Aku menangis karena tebusan yang dipungut sahabatmu terhadap para tawanan itu, lebih murah daripada harga kayu ini. " -  yaitu kayu yang berada di dekat Nabi Allah - Lalu Allah Azza wa jalla menurunkan ayat: { ... Tidak pantas bagi seorang Nabi mempunyai seorang tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi ini ... -hingga firman Nya- maka makanlah olehmu sebagian harta rampasan}' (Qs. Al Nafaal: 67 - 69). Karena itulah Allah menghalalkan harta rampasan buat mereka." [Shahih Muslim]

2.       Kisah Ibnu Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu.

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:

أُنْزِلَ: {عَبَسَ وَتَوَلَّى} [عبس: 1] فِي ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ الأَعْمَى، أَتَى رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَجَعَلَ يَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرْشِدْنِي، وَعِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ رَجُلٌ مِنْ عُظَمَاءِ المُشْرِكِينَ، فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُعْرِضُ عَنْهُ وَيُقْبِلُ عَلَى الآخَرِ، وَيَقُولُ: أَتَرَى بِمَا أَقُولُ بَأْسًا؟ فَيَقُولُ: لَا، فَفِي هَذَا أُنْزِلَ [سنن الترمذي: صحيح]

Telah diturunkan surat {'Abasa wa tawalla} mengenai Ibnu Ummi Maktum, seseorang yang buta. Ia datang kepada Rasulullah dan berkata; Wahai Rasulullah, berilah aku petunjuk! Sementara di sisi Rasulullah terdapat pejabat-pejabat elit orang-orang musyrik. Kemudian Rasulullah berpaling darinya dan menghadap kepada orang-orang elit musyrik itu. Maka Ibn Maktum berkata: Apakah anda melihat cela pada apa yang aku katakan? Beliau menjawab: "Tidak." Karena sikap Nabi inilah wahyu diturunkan. [Sunan Tirmidziy: Shahih]

3.       Kisah pengharaman madu.

Aisyah radhiallahu'anha berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَمْكُثُ عِنْدَ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ، وَيَشْرَبُ عِنْدَهَا عَسَلًا، فَتَوَاصَيْتُ أَنَا وَحَفْصَةُ: أَنَّ أَيَّتَنَا دَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ ﷺ فَلْتَقُلْ: إِنِّي أَجِدُ مِنْكَ رِيحَ مَغَافِيرَ، أَكَلْتَ مَغَافِيرَ، فَدَخَلَ عَلَى إِحْدَاهُمَا، فَقَالَتْ لَهُ ذَلِكَ، فَقَالَ: «لاَ، بَلْ شَرِبْتُ عَسَلًا عِنْدَ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ، وَلَنْ أَعُودَ لَهُ» فَنَزَلَتْ: {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ} - إِلَى - {إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ} [التحريم: 1-4] لِعَائِشَةَ وَحَفْصَةَ: {وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ} [التحريم: 3] لِقَوْلِهِ: «بَلْ شَرِبْتُ عَسَلًا» [صحيح البخاري ومسلم]

Bahwa Nabi pernah singgah di rumah Zainab binti Jahsy dan beliau juga minum madu di situ. Lalu aku dan Hafshah saling berpesan, bahwa siapa saja di antara kita yang ditemu oleh Nabi hendaklah ia berkata, "Sesungguhnya aku mendapatkan bau Maghafir. Apakah Anda habis makan maghafir?" akhirnya beliau pun masuk menemui salah seorang dari keduanya dan ia mengungkapkan kalimat itu pada beliau. Akhirnya beliau bersabda, "Tidak, akan tetapi aku hanya minum madu di tempat Zainab binti Jahsyin dan aku tidak akan mengulanginya lagi." Maka turunlah ayat, {Wahai Nabi, kenapa kamu mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah…} hingga firman-Nya, {Jika kalian berdua bertobat..}. yaitu Aisyah dan Hafshah, begitupula ayat {Dan ketika Nabi berkata rahasia kepada sebagian istrinya…} yakni terkait dengan sabda beliau, "Bahkan, aku hanya minum madu." [Shahih Bukhari dan Muslim]

4.       Kisah perjanjian Hudaibiyah.

Sahal bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu berkata:

أَيُّهَا النَّاسُ اتَّهِمُوا أَنْفُسَكُمْ، فَإِنَّا كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ يَوْمَ الحُدَيْبِيَةِ، وَلَوْ نَرَى قِتَالًا لَقَاتَلْنَا، فَجَاءَ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَسْنَا عَلَى الحَقِّ وَهُمْ عَلَى البَاطِلِ؟ فَقَالَ: «بَلَى». فَقَالَ: أَلَيْسَ قَتْلاَنَا فِي الجَنَّةِ وَقَتْلاَهُمْ فِي النَّارِ؟ قَالَ: «بَلَى»، قَالَ: فَعَلاَمَ نُعْطِي الدَّنِيَّةَ فِي دِينِنَا، أَنَرْجِعُ وَلَمَّا يَحْكُمِ اللَّهُ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ؟ فَقَالَ: «يَا ابْنَ الخَطَّابِ، إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ، وَلَنْ يُضَيِّعَنِي اللَّهُ أَبَدًا»، فَانْطَلَقَ عُمَرُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ لَهُ مِثْلَ مَا قَالَ لِلنَّبِيِّ ﷺ، فَقَالَ: إِنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ، وَلَنْ يُضَيِّعَهُ اللَّهُ أَبَدًا، فَنَزَلَتْ سُورَةُ الفَتْحِ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَلَى عُمَرَ إِلَى آخِرِهَا، فَقَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَوَفَتْحٌ هُوَ؟ قَالَ: «نَعَمْ» [صحيح البخاري ومسلم]

"Wahai sekalian manusia, berhati-hatilah kalian dengan diri kalian. Sungguh kami pernah bersama Rasulullah pada hari Perjanjian Hudaibiyah. Seandainya saat itu kami berpendapat untuk perang pasti kami sudah berperang hingga datang 'Umar bin Al-Khaththab seraya berkata, "Wahai Rasulullah, bukankah kita berada di atas kebenaran sedangkan mereka di atas kebathilan?" Beliau menjawab, "Ya, benar." Lalu dia bertanya lagi, "Bukankah siapa yang gugur diantara kita akan masuk surga sedang orang yang tewas dari mereka akan masuk neraka?" Beliau menjawab, "Ya, benar." 'Umar bertanya, "Lalu atas dasar alasan apa kita menimpakan kehinaan dalam agama kita ini, apakah kita akan pulang sedangkan Allah belum memutuskan perkara antara kita dan mereka?" Maka beliau menjawab, "Wahai putra Al-Khaththab, aku ini Rasulullah dan Allah sekali-kali tidak akan menyia-nyiakan aku selamanya." Kemudian 'Umar mendatangi Abu Bakr lalu mengatakan seperti yang dia katakan kepada Nabi . Maka Abu Bakr berkata, "Beliau itu Rasulullah dan Allah sekali-kali tidak akan menyia-nyiakan beliau selamanya." Maka kemudian turunlah surah Al-Fath lalu Rasulullah membacakannya kepada 'Umar hingga akhir surat. Lalu 'Umar bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah (keputusan) ini tanda kemenangan?" Beliau menjawab, "Ya". [Shahih Bukhari dan Muslim]

Kedua: Sesuai dengan manhaj salaf terbaik dari Sahabat dan yang menginkuti mereka.

Para sahabat Nabi adalah generasi yang paling moderat, bahwa ayat tentang moderat semuanya ditujukan lebih utama kepada mereka.

Oleh sebeb itu Allah menjadikan keimanan mereka sebagai tolak ukur keimanan yang benar. Allah subhanahu wa ta'aalaa berfirman:

{فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ} [البقرة: 137]

Maka jika mereka beriman seperti apa yang kamu (Rasulullah dan sahabatnya) telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al-Baqarah:137]

Ø  Dari 'Imran bin Hushain radhiyallahu 'anhu; Rasulullah bersabda:

«خَيْرُكُمْ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَخُونُونَ وَلاَ يُؤْتَمَنُونَ، وَيَشْهَدُونَ وَلاَ يُسْتَشْهَدُونَ، وَيَنْذِرُونَ وَلاَ يَفُونَ، وَيَظْهَرُ فِيهِمُ السِّمَنُ»

"Yang paling baik dari kalian adalah orang yang hidup di masaku, kemudian masa setelahnya, kemudian seetelahnya. Sesungguhnya pada masa yang akan datang ada kaum yang suka berkhianat dan tidak bisa dipercaya, mereka bersaksi sebelum diminta kesaksiaannya, bernazar tapi tidak melaksanakannya, dan nampak pada mereka ke-gemukan" [Sahih Bukhari dan Muslim]

Ketiga: Sesuai dengan maksud dan tujuan syari’at yaitu meraih kebaikan dan jauh dari keburukan dunia dan akhirat.

Allah subhanahu wa ta'aalaa berfirman:

{مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ}

Allah tidak hendak menyulitkan kamu (dengan syari'at-Nya), tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. [Al-Maidah: 6]

Ø  Dari Abdullah bin Mas'ud -radhiyallahu 'anhu-; Rasulullah bersabda:

"  أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ شَيْءٍ يُقَرِّبُكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبْعِدُكُمْ مِنَ النَّارِ إِلَّا قَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ، وَلَيْسَ شَيْءٌ يُقَرِّبُكُمْ مِنَ النَّارِ وَيُبْعِدُكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ إِلَّا قَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ "

“Wahai sekalian manusia, sungguh tiada sesuatupun amalan yang bisa mendekatkan kalian ke surga dan menjaukahn kalian dari neraka kecuali aku telah memerintahkannya kepada kalian, dan tiada sesuatupun amalan yang bisa mendekatkan kalian ke nerakan dan menjauhkan kalian dari surga kecuali aku telah melarangnya dari kalian”. [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah: Shahih]

Keempat: Yang bertugas untuk menjelaskan moderasi Islam adalah ulama yang ikhlas.

Allah subhanahuu wata'aalaa berfirman:

{وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا} [النساء: 83]

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri (ulama) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah Karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). [An-Nisaa':83]

{فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ} [النحل: 43] [الأنبياء: 7]

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. [An-Nahl:43, Al-Anbiyaa':7]

Ø  Dari Abu Ad-Dardaa' radhiyallahu 'anhu; Rasulullah bersabda:

"إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا، وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ" [سنن أبى داود: صحيح]

"Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham tapi mereka mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil sesuatu yang sangat besar". [Sunan Abu Daud: Shahih]

Wallahu a’lam!

Referensi:

بلوغ الآمال في تحقيق الوسطية والاعتدال

 تأليف: أ.د. عبد الرحمن بن عبد العزيز السديس

Lihat juga: Hadits Handzalah: “Sesaat dan sesaat” (moderasi beragama) - Al-Wasathiyah dalam Al-Qur'an - Syarah Shahih Bukhari, Kitab Iman bab 30; Agama itu mudah

2 komentar:

  1. Assalaamu alaikum ustad, maaf saya bertanya diluar topik. Saya sangat bingung dan belum menemukan sumber yg bisa menjawab dgn detil pertanyaan saya jadi saya bertanya disini. Saya sudah melihat2 jawaban ustad tentang najis di postingan yg lain, Dan saya sudah tinggalkan komen di postingan ustad namun tidak kelihatan, jadi saya tanya disini saja ya ustad, mohon maaf🙏🏻🙏🏻

    Apakah jika dimasa lalu (belasan tahun lalu) kita pernah terkena moncong anjing yg basah dan berinteraksi dgnnya (bulu, tapak kaki semua kena) kemudian tdk mensucikannya sesuai sunnah 7 kali dan dengan tanah, entah karena memang abai dll, kemudian sekarang ingat kembali, apakah itu artinya shalatnya selama ini tdk tidak sah? Dan sebenarnya hal ini sdh pernah ditanyakan jg ke grup fb (sudah lama) yg adminnya menjawab bahwa itu sudah lama sekali jadi insya allah sdh suci. Sehingga saya merasa tak perlu khawatir lagi. Tapi kemudian akhir2 ini kembali khawatir apakah jawaban tsbt benar? Bgmna seandainya najis tsb tdk akan pernah suci selain disucikan dgn sunnah, Apakah seluruh shalat yg dikerjakan selama ini tidak diterima (batal karna bernajis)? Apakah harus disucikan semuanya kembali dgn mandi 1 badan dgn debu/tanah, krn tentu najisnya sdh berpindah2 krn basah. Jika demikian, lalu bgmna dgn barang2 lain yg selama ini sdh disentuh dgn tangan basah dan tak terhitung tdk terdeteksi lg jumlahnya. Tp pertanyaan yg paling penting adalah apakah shalat saya selama ini sah? Jika tidak, bgmna cara bertaubat dan memperbaiki hal ini?🙏🏻

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wa'alaikum salam! Kalau selama ini tdk mensucikan najis sesuai dgn sunnah krn tdk tau maka itu dimaafkan, namun jika dilakukan krn sengaja maka cukup bertaubat dan berjanji tdk mengulangi. Najisnya insyaallah sdh suci, dan shalatnya selama ini semoga diterima oleh Allah'azza wajalla!

      Hapus

Komentar anda adalah pelajaran berharga bagi saya ...